A. PENDAHULUAN
Sejarah Opioid
Opioid adalah kelompok obat yang sering dipergunakan pada penanganan pasien dengan nyeri yang berat. Berawal dari tumbuhan papaver somniferum atau opium yang diekstrak dan digunakan secara luas pada peradaban kuno Persia, Mesir dan Mesopotamia. Kata opium sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti jus. Telah dicatat bahwa penggunaan opium yang pertama kali adalah pada salah satu teks kuno bangsa Sumeria pada tahun 4000 SM. (1,2,3,4)
Sejarah Opioid
Opioid adalah kelompok obat yang sering dipergunakan pada penanganan pasien dengan nyeri yang berat. Berawal dari tumbuhan papaver somniferum atau opium yang diekstrak dan digunakan secara luas pada peradaban kuno Persia, Mesir dan Mesopotamia. Kata opium sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti jus. Telah dicatat bahwa penggunaan opium yang pertama kali adalah pada salah satu teks kuno bangsa Sumeria pada tahun 4000 SM. (1,2,3,4)
Gambar 1. Papaver Somniferum
Opium digunakan dengan dihirup atau dengan cara ditusukkan pada kulit yang akan memberikan efek analgesia, selain itu juga akan menyebabkan depresi pernafasan dan kematian sesuai dengan derajat absorbsi yang diberikan. Opium merupakan campuran bahan kimia yang mengandung gula, protein, lemak, air, lilin nabati alami, lateks, dan beberapa alkaloid. Adapun alkaloid yang terkandung antara lain morfin (10%-15%), kodein (1%-3%), noskapin (4%-8%), papaverin (1%-3%), dan thebain (1%-2%). Beberapa dari alkaloid-alkaloid tersebut banyak digunakan untuk pengobatan diantaranya: untuk nyeri (morfin dan kodein), untuk batuk (kodein dan noskapin) dan untuk mengobati spasme visceral (papaverin). Morfin berhasil diisolasi oleh Seturner pada tahun 1803, kemudian dilanjutkan dengan kodein tahun 1832 lalu papaverin tahun 1848. (1,4,5,6)
Istilah opioid digunakan untuk semua obat baik alami maupun sintetik yang dapat menduduki reseptor opioid di tubuh manusia. istilah opiat digunakan untuk semua obat yang diekstrak dari tumbuhan opium yang menempati dan bekerja pada reseptor opioid.
B. KLASIFIKASI OPIOID
Klasifikasi senyawa opioid
A. Agonis reseptor µ
1. Alkaloid :
Klasifikasi senyawa opioid
A. Agonis reseptor µ
1. Alkaloid :
Morfin
Gambar.2 Struktur kimia morfin
Morfin merupakan obat prototype opiod yang menjadi perbandingan pada semua jenis obat golongan agonis opioid. Efek dari morfin berupa analgesia, euforia, sedasi, berkurangnya konsentrasi, nausea, perasaan berat pada ekstremitas, mulut yang kering dan priritus terutama pada daerah sekitar hidung. Jenis nyeri tumpul yang continu lebih efektif dihilangkan dengan morfin daripada jenis nyeri yang tajam dan intermiten. Efek analgesia dari morfin lebih efektif bila diberikan sebelum stimulus nyeri diberikan. Sementara bila tidak ada rangsangan nyeri, morfin lebih memberikan efek disforia daripada euphoria. (2,3,4,6)
Hidromorfon
Hidromorfon adalah derivat morfin dengan potensi 5 kali lebih besar jika dibandingkan dengan morfin. Jika dibandingkan dengan morfin, hidromorfon mempunyai efek sedasi yang lebih besar, efek euphoria yang lebih kecil serta durasi kerja yang lebih pendek. (4,5,6)
Kodein
Gambar.3 Struktur kimia kodein
Kodein merupakan obat antitusif kuat yang sering digunakan pada praktek medis sehari-hari. Sekitar 10% kodein dimetilasi di hepar menjadi morfin. Hal ini membuat kodein efektif sebagai analgesik oral. Jika diberikan im efek analgesia 120 mg kodein setara dengan 10 mg morfin. Pemberian kodein secara iv tidak disarankan oleh karena kejadian hipotensi yang dikaitkan dengan efek pelepasan histaminnya cukup besar. (4,5,6)
Oksikodon
Oksikodon adalah opioid derivat dari thebain yang ditemukan di Jerman tahun 1916 sebagai salah satu opioid semi sintetik. Terapi oksikodon untuk nyeri sedang hingga berat sudah terbukti dan oleh European Association for Palliative Care, oksikodon digunakan sebagai second line alternative drug setelah morfin. Gejala withdrawal sering didapatkan pada pengguna oksikodon jangka panjang yang mengalami henti obat seketika. Oleh karena itu disarankan untuk menghentikan oksikodon bertahap. (14)
Hidrokodon
Hidrokodon adalah opioid semisintetik derivat dari kodein dan thebain. Pertama disintesis di Jerman tahun 1920 yang kemudian digunakan secara luas sebagai terapi nyeri sedang hingga berat. Opioid ini selain mempunyai kekuatan analgesik juga mempunyai efek antitusif yang cukup kuat. (15)
Dihidrokodein
Dihidrokodein adalah opioid semisintetik yang ditemukan di Jerman tahun 1908 yang memiliki struktur kimia menyerupai kodein. Selain analgesik, obat ini juga memiliki efek antitusif yang cukup kuat. (16)
Heroin.
Heroin atau juga dikenal sebagai diasetilmorfin adalah opioid sintetik sebagai hasil asetilasi dari morfin. Penetrasi cepat ke otak adalah salah satu keistimewaan obat ini oleh karena kelarutan lemak serta struktur kimianya yang unik. Heroin sudah tidak beredar lagi di AS oleh karena potensi ketergantungan fisiknya yang cukup tinggi.
2. Opioid sintetik :
a. Derivat fenil piperidin :
Fentanyl
Fentanyl adalah opioid sintetik yang secara struktur mirip dengan meperidin. Potensial analgesiknya 75-125 kali lebih besar daripada morfin. Mempunyai onset dan durasi yang lebih cepat jika dibandingkan dengan morfin hal ini dikarenakan kelarutan lemak fentanyl yang tinggi. Fentanyl dimetabolisme dengan cara metilasi menjadi norfentanyl, hydroksipropionil-fentanyl dan hidroksinorpropionil-fentanyl. Diekskresi melalui urin dan dapat dideteksi 72 jam setelah pemberian iv. Namun <10% tetap tidak termetabolisme dan diekskresikan melalui urin. Setelah pemberian bolus iv, fentanyl tersebar terutama pada organ yang kaya vaskularisasi seperti otak, paru-paru dan jantung. Dosis fentanyl 2-20 µg/kgBB seringkali diberikan sebagai adjuvant anestesi inhalasi pada saat operasi. Pemberian intratekal juga memberikan respon yang memuaskan terutama pada dosis 25 µg. Terdapat juga sediaan oral transmukosa fentanyl 15-20 µg/kgBB untuk anak-anak 2-8 tahun yang diberikan 45 menit sebelum induksi anestesi. Fentanyl juga diberikan transdermal dengan sediaan 12,5-100 µg yang ditujukan terutama pasien postoperatif serta pasien dengan nyeri kanker. Jika dibandingkan dengan morfin, fentanyl kurang menyebabkan pelepasan histamin namun lebih sering mencetuskan bradikardi. Pemberian fentanyl iv secara cepat dapat mencetuskan otot rigid, batuk bahkan kejang. Fentanyl juga dapat meningkatkan tekanan intrakranial hingga 6-9 mmHg oleh karena efek vasodilatasi. (5,6)
Sufentanyl
Sufentanyl merupakan analog dari fentanyl dan mempunyai kekuatan analgesi 5-10 kali lebih besar daripada fentanyl. Dimetabolisme terutama di hepar melalui proses N-dealkilasi dan O-demetilasi. Ekskresi terutama di urine dan faeses dengan <1% dari sufentanyl tidak berubah. Pada pemberian sufentanyl dengan dosis 0,1-0,4 µg/kgBB memberikan waktu yang lebih lama serta efek depresi pernafasan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan dosis fentanyl 1-4 µg/kgBB. Jika dibandingkan dengan opioid yang lain, sufentanyl mempunyai beberapa kelebihan terutama penurunan kebutuhan oksigen metabolisme di otak serta aliran darah otak cenderung menurun atau hampir tidak mengalami perubahan ynag berarti. (5,6)
Alfentanyl
Alfentanyl adalah analog dari fentanyl yang mempunyai potensi 1/5 sampai 1/10 dari fentanyl. Keunikan dari alfentanyl adalah onset dan durasi yang lebih cepat jika dibandingkan dengan fentanyl. Alfentanyl dimetabolisme melalui piperidin N-dealkilasi menjadi noralfentanyl serta melalui amida N-dealkilasi menjadi N-fenilpropionamid. Sebagian besar diekskresi melalui urin dengan <1% yang tidak berubah. Alfentanyl sering dipakai pada manipulasi singkat seperti intubasi trakeal ataupun blok retrobulbar dengan dosis 10-30 µg/kgBB. Jika dibandingkan dengan opioid yang lain, kejadian PONV lebih rendah pada pemakaian alfentanyl. (5,6)
Remifentanyl
Remifentanyl adalah agonis selektif reseptor opioid u dengan potensi analgesi menyerupai fentanyl (15-20 kali lebih poten daripada alfentanyl). Struktur kimia remifentanyl tergolong unik karena meskipun tergolong derivat fenilpiperidin, remifentanyl mempunyai gugus ester. Sehingga metabolism remifentanyl juga terjadi oleh hidrolisis enzim esterase di plasma maupun jaringan yang lain menjadi metabolit yang inaktif. Onset yang cepat, waktu pulih yang singkat dan efek yang relative non kumulatif menjadikan remifentanyl opioid yang sering dipakai intraop di negara-negara maju saat ini. Hasil metabolisme remifentanyl adalah asam remifentanyl, yang juga agonis reseptor u dengan potensi 1/300-1/4600 dari asalnya. Hasil metabolit yang lain adalah N-dealkilasi remifentanyl yang juga diekskresikan terutama melalui urin. Dosis 0,25-1 µg/kgBB memberikan efek analgesia yang memuaskan. Namun pemberian remifentanyl intratekal tidak disarankan oleh karena adanya glisin pada vehikulum obat ini. Glisin mempunyai efek menginhibisi neurotransmitter pada medulla spinalis. (5,6)
Petidin
Gambar.4. Struktur kimia meperidin/petidin
Meperidin atau petidin merupakan opioid sintetik yang bekerja agonis terhadap reseptor u dan k sebagai derivat dari fenilpiperidin. Adapun beberapa analog golongan ini antara lain fentanil, alfentanyl, sufentanyl dan remifentanyl. Secara struktur, meperidin mempunyai bentuk menyerupai atropin sehingga beberapa efek atropine juga dimiliki oleh atropine ini seperti takikardi, midriasis dan antispasmodic. Morfin mempunyai potensi 1/10 morfin dengan durasi kerja 2-4 jam. Meperidin diabsorbsi baik pada GIT tapi mempunyai efektifitas ½ jika dibandingkan dengan pemberian IM. Metabolisme meperidin terutama di hepar dengan merubahnya melalui proses dimetilasi 90% menjadi normeperidin dan ekskresinya terutama melalui urin. Normeperidin mempunyai waktu paruh eliminasi 15 jam dan dapat dideteksi di urin 3 hari setelah pemakaian. Normeperidin mempunyai potensi ½ meperidin sebagai analgesik dan menstimulasi sistem saraf pusat. Kejang, mioklonus, delirium dan halusinasi yang dapat terjadi setelah pemberian meperidin adalah sebagai akibat efek stimulasi saraf pusat oleh normeperidin. Sekitar 60% meperidin terikat pada protein, sehingga pada pasien tua terjadi peningkatan jumlah obat bebas pada plasma dan mencetuskan terjadinya peningkatan sensitifitas pada opioid. Konsentrasi plasma 0,7µg dianggap mampu secara efektif meghilangkan nyeri post operatif. Selain sebagai analgesia yang poten, meperidin juga mempunyai efek anti menggigil postoperatif yang jika dibiarkan lama dapat meningkatkan konsumsi oksigen pada tubuh. Efek anti menggigil postoperatif dari meperidin didapatkan sebagai salah satu kerjanya pada reseptor k2. Selain itu klonidin, ondansetron, dan butorfanol juga merupakan obat-obatan yang dipakai untuk mengatasi menggigil setelah operasi. Pemberian meperidin dengan obat-obatan antidepresan dapat mencetuskan sindrom serotonin yaitu suatu ketidakstabilan sistem saraf otonom yang ditandai hipertensi, takikardi, diaphoresis, hipertermi, perubahan perilaku, agitasi dan perasaan bingung.
b. Derivat difenilheptan :
Methadon
Methadon merupakan agonis opioid sintetik yang digunakan untuk penanganan nyeri kronik berat terutama penanganan ketergantungan opioid oleh karena efek ketergantungannya yang rendah, penyerapan lewat oral yang bagus, onsetnya relatif cepat dan durasinya lama. Methadone 20mg iv dapat menghasilkan analgesia hingga >24jam. Dimetabolisme terutama di hepar menjadi metabolit inaktif yang selanjutnya akan diekskresikan melalui urin dan empedu. (4,5,6)
Propoksifen
Struktur propoksifen secara umum sama dengan methadone sebagai salah satu agonis opioid yang poten. Dimana dosis oral 90-120 mg menghasilkan efek analgesia setara dengan 60 mg kodein atau 650 mg aspirin. Propoksifen diserap dengan baik melalui GIT yang kemudian dimetabolisme terutama di hepar. Efek samping yang utama adalah vertigo, sedasi, mual dan muntah. (4,5,6)
c. Derivat morfinian :
Levorfanol
Levorfanol adalah golongan morfinian sintetik yang digunakan sebagai salah satu terapi nyeri berat. Obat ini pertama kali ditemukan di Jerman tahun 1948. Levorfanol mempunyai afinitas yang sama pada reseptor opiat seperti morfin tetapi mempunyai efek cross tolerance yang lebih rendah jika dibandingkan morfin. 17
B. Agonis parsial reseptor µ
C. Agonis-antagonis campuranTramadol
Tramadol adalah analgesik yang bekerja sentral, agonis terhadap reseptor u serta mempunyai afinitas yang lemah pada reseptor k dan d. melalui reseptor u tramadol meningkatkan efek inhibisi descending spinal melalui penurunan reuptake norepinefrin dan serotonin. Efek tramadol hanya bisa diantagonis oleh nalokson sebesar 30%. Tramadol dibuat sebagai rasemik yaitu campuran antara enansiomer dimana enansiomer yang satu berfungsi menghambat reuptake norepinefrin sedangkan yang satu lagi bekerja menghambat reuptake serotonin. Tramadol dimetabolisme di hepar melalui enzim P-450 menjadi O-dismetiltramadol. Dosis tramadol 3mg/kgBB oral, im, maupun iv efektif untuk penanganan nyeri sedang hingga berat. Selain itu tramadol juga dapat digunakan sebagai agent anti menggigil postoperative. Salah satu efeksampingnya yang sering terjadi adalah mual dan muntah. (4,5,6)
D. Antagonis reseptor µ1. Alkaloid semisintetik :
Nalbifin
Nalbufin adalah agonis-antagonis opioid yang secara kimia mirip dengan oksimorfon dan nalokson. Nalbufin dimetabolisme terutama di hepar. Efek samping yang paling sering adalah sedasi pada pemberian nalbufin. Tidak seperti pentazosin dan butorfanol, nalbufin tidak menyebabkan pelepasan katekolamin sehingga hemodinamik pasien relatif stabil. Oleh karena itu nalbufin merupakan pilihan yang tepat untuk digunakan pada pasien dengan gangguan jantung, seperti pada tindakan kateterisasi jantung. (4,5,6)
2. Opioid sintetik :
a. Derivat benzomorfan :
Pentazocin
Pentazosin merupakan agonis dan antagonis reseptor opioid yang lemah pada reseptor k dan d dengan potensi sekitar 1/5 dari obat nalorfin. Pentazosin diserap baik melalui rute oral maupun perenteral yang kemudian dimetabolisme di hepar melui proses oksidasi menjadi glukoronid inaktif yang akan diekskresikan terutama melalui urin dan kemudian empedu. Dengan dosis 10-30mg iv atau 50mg oral, setara dengan kodein 60 mg, mampu mengatasi nyeri sedang. Efek samping yang sering dari pentazosin adalah sedasi yang kemudian diikuti dengan diaphoresis dan pusing. Pentazosin menyebabkan pelepasan katekolamin pada tubuh kita sehingga Pentazosin sebesar 20-30 mg im mempunyai efek analgesia, sedasi dan depresi pernafasan yang setara dengan 10 mg morfin. Tidak seperti morfin, pentazosin tidak memiliki efek miosis pada pupil mata.(5,6)
b. Derivat morfinian :
Butorfanol
Butorfanol adalah agonis dan antagonis opioid yang menyerupai pentazosin. Efek agonisnya 20 kali lebih besar dan efek antagonisnya 10 hingga 30 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pentazosin. Butorfanol memiliki afinitas yang lemah sebagai antagonis pada reseptor u dan afinitas yang sedang pada reseptor k untuk menghasilkan analgesia dan efek anti menggigil. Pada prakteknya butorfanol 2-3 mg im menghasilkan efek analgesia dan depresi pernafasan setara dengan morfin 10 mg. Butorfanol terutama dimetabolisme menjadi metabolit inaktif hidroksibutorfanol yang diekskresi terutama di empedu dan sebagian kecil pada urin. Efek samping yang paling sering adalah sedasi, mual dan diaphoresis. Efek pelepasan katekolamin yang dimiliki pentazosin juga dimilikioleh butorfanol ini sehingga akan didapat peningkatan laju nadi dan tekanan darah pada pasien. (4,5,6)
1. Antagonis reseptor µ
1. Nalokson
Gambar.5. Struktur kimia nalokson
Nalokson adalah antagonis nonselektif pada ketiga reseptor opioid. Dengan dosis 1-4mg/kgBB iv dapat membalikkan efek overdosis akibat obat-obatan opioid. Durasi kerja nalokson sekitar 30-45 menit, sehingga pemberian continuous 5 mg/kgBB iv/jam perlu dilanjutkan untuk mendapatkan efek yang maksimal. Nalokson dimetabolisme terutama di hepar melalui proses konjugasi dengan asam glukoronat menjadi nalokson-3-glukoronid. Pemberian nalokson iv yang cepat dapat menimbulkan kejadian mual dan muntah.oleh karena itu pemberian bolus harus pelan yaitu 2-3 menit. Efek stimulasi kardiovaskuler juga sering ditemukan pada pemberian nalokson ini sebagai akibat dari meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatis dan rangsangan nyeri yang kembali terasa. Peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis ini dimanifestasikan dengan takikardi, hipertensi, edema paru serta disritmia jantung. (4,5,6)
2. Naltrekson
E. Opioid Endogen
Gambar.6. Struktur kimia naltrekson
Naltrekson bekerja hampir sama dengan nalokson dan sering diberikan secara oral. Efeknya dapat bertahan lama hingga lebih dari 24 jam.
3. Nalmefen
Nalmefen adalah antagonis reseptor opioid 6-methilen analog dan equipoten dengan naltrekson. Dosis yang direkomendasikan 15-25mg iv yang diberikan titrasi tiap 2-5 menit hingga efek sesuai dengan yang diinginkan denga dosis total tidak boleh melebihi 1 mg/kgBB. Kelebihan nalmefen jika dibandingkan dengan naltrekson adalah durasi kerjanya yang lebih lama. Nalmefen dimetabolisme di hepar melalui proses konjugasi dan diekskresikan terutama di urin.
Selain opioid yang berasal dari luar (eksogen) yang telah diterangkan diatas sebelumnya, di tubuh kita juga mengasilkan senyawa opioid yang secara alami terbentuk yang biasa disebut opioid endogen. Ada beberapa struktur opioid endogen yang telah ditemukan yaitu :
- Golongan Enkefalin adalah salah satu jenis opioid endogen yang merupakan derivat dari prekursornya yaitu proenkefalin. Setiap molekul proenkefalin mengandung empat rantai met-enkefalin, satu rantai leu-enkefalin dan beberapa peptide yang menyerupai enkefalin namun dengan molekul yang lebih besar. Golongan enkefalin ini secara umum bekerja seletif pada reseptor δ. Senyawa ini ditemukan di medulla kelenjar adrenal dan di ujung saraf yang mengandung katekolamin. Golongan enkefalin bekerja di reseptor opioid presinaps pada neuron nosiseptif yang mengandung neurotransmitter seperti substansi P. Secara alami golongan enkefalin dihidrolisa oleh dengan cepat oleh enzim peptidase di plasma darah kita.(7,9)
- Prodinorfin yang juga biasa disebut sebagai proenkefalin B mengandung senyawa dinorfin A dan dinorfin B. Keluarga dinorfin terutama berikatan dengan reseptor κ dan distribusi lokasinya hamper sama dengan enkefalin. Dinorfin yang meningkat ini juga dapat mencetuskan hiperalgesia yang lama. Hal ini dsisebabkan oleh karena dinorfin A juga dapat mengaktivasi NMDA reseptor kompleks.(7,9)
- Proopiomelanocortin (POMC) merupakan salah satu prekursor yang banyak ditemukan di hipotalamus dan kelenjar pituitari, dimana dalam satu molekulnya terdapat peptida opioid dan non opioid. Struktur N-terminal POMC menyerupai met-enkefalin namun POMC tidak berubah menjadi met-enkefalin. 31 asam amino pada rantai terakhir dari POMC akan berubah menjadi β-endorfin yang merupakan opioid endogen yang sangat penting yang berikatan dengan reseptor µ. POMC juga berubah menjadi beberapa hormon non opioid seperti adrenokortikotropik hormon (ACTH), melanosit-stimulating hormon (MSH) dan lipotropin.(7,9)
- Proorphanin akan berubah menjadi orphanin FQ (yang disebut juga sebagai nosiseptin), sebuah peptide yang mengandung 17 jenis asam amino. Meskipun proorphanin mempunyai struktur yang homolog dengan ketiga jenis yang lainnya namun orphanin tidak berikatan dengan reseptor µ, κ, atau δ. Orphanin berikatan dengan reseptor coupling protein-G (NOP). Dan menyebabkan respon seluler yang menyerupai opioid yang lain, termasuk hambatan pada adenil siklase, terbukanya gerbang Kalium serta blokade gerbang Kalsium tipe-N. Orfanin FQ ditemukan di tempat yang tidak biasa seperti di hippocampus dan korteks sensoris. Orphanin FQ mempunyai efek antianalgesik ketika memproduksi analgesia spinal.
- Golongan Endomorfin merupakan opioid agonis yang mempunyai afinitas tinggi dan selektifitas yang tinggi pada reseptor µ. Molekul prekursor dari endomorfin masih belum dapat ditemukan. Terdapat 2 macam endomorfin dibedakan menurut struktur kiminya, endomorfin 1 dan endomorfin 2. Pada studi in vivo diketahui bahwa endomorfin 1 bekerja melalui stimulasi reseptor µ2 sementara endomorfin 2 titik tangkap kerjanya melalui reseptor µ dan κ. Keduanya baik endomorfin 1 maupun endomorfin 2 bekerja menurunkan potensial aksi pada medulla daerah rostral ventrolateral, daerah yang menjadi pusat pengatur tekanan darah. Sementara di perifer endomorfin menurunkan noreprinefrin yang dilepaskan neuron simpatis vaskuler.
Gambar.7.Peptida prekursor, POMC Proopiomelanocortin,, ACTH adrenocorticotropic hormone; b-LPH b-lipotropinhormone
(Brunton L, Parker K, Blumenthal D. Goodman and Gilman’s Manual of farmacology and Therapeutics. New York:Lange Medical Books/Mc Graw Hill; 2008)
Ketiga reseptor opioid mempunyai afinitas yang saling tumpang tindih terhadap kelompok peptida opioid endogen tersebut seperti terlihat di dalam tabel.
Tabel.1 Titik aksi dan selektivitas beberapa obat opioid pada beberapa klas reseptor (8)
C. FARMAKOLOGI
OPIOID
Struktur kimia opioid
Struktur dari klas opioid alkaloid fenantren cukup rumit dan terdiri atas lima atau bahkan enam cincin yang bergabung. Morfin sebagai salah satu anggota dari fenantren, terdiri atas 5 cincin, 3 cincin terbentuk dalam satu bidang datar sementara 2 cincin yang lainnya tersusun perpendicular yang membentuk huruf ”T”. Terdapat 2 group hidroksil (satu fenolik dan satu alkoholik), sebuah karbon atom kuarterner pada posisi 13 dan cincin piperidin dengan grup metil pada gugus nitrogen. Struktur morfin mempunyai stereoisomer levo dan dekstro dimana hanya stereoisomer levo yang mempunyai efek analgesik. Anggota fenantren yang lain adalah kodein, derivat dari morfin, serta thebain, prekursor dari oksikodon dan nalokson. Jika dikurangi secara bertahap jumlah cincin fenantren maka akan didapatkan golongan morfinian dengan empat cincin, golongan benzomorfan dengan tiga cincin, golongan fenilpiperidin dengan dua cincin dan yang terakhir peptida opioid endogen dengan struktur separuh tiramin dengan cincin terhidroksilasi tunggal. Kemampuan mengikat reseptor apakah pada sisi romatik atau sisi anion menentukan apakah suatu opioid merupakan suatu agonis atau antagonis. (8)
Gambar.8. struktur kimia morfin dan perbandingannya dengan struktur kimia golongan opioid yang lain
Jika rantai nitrogen piperidin mempunyai grup kimia yang besar (seperti allil, siklopropil, siklobutil), maka sering pada komponen ini memliliki efek antagonis. Sebagai contoh derivate N-aliil morfin dan oksimorfon adalah nalorfin dan nalokson yang memiliki efek antagonis reseptor opioid. Modifikasi struktur kimia dari opioid sangat menentukan banyak hal baik kemampuan afinitas reseptor, aktifitas agonis atau antagonis, ketahanan untuk dimetabolisme tubuh, kelarutan lemak maupun juga farmakokinetiknya. (8)
Pada praktek anestesi klinis opioid pada umumnya digunakan intravena. Setelah dosis bolus kadar plasma puncak akan diraih dalam hitungan menit. Selanjutnya konsentrasi obat dalam plasma akan turun oleh karena distribusi obat menuju ekstravaskuler, target tempat dia bekerja, jaringan dan organ. Penurunan awal yang cepat pada konsentrasi plasma setelah kadar puncak adalah fase distribusi. Dan penurunan kadar plasma yang berikutnya disebut fase eliminasi.
Tabel berikut akan memberikan simpulan tentang parameter farmakokinetik dan kharakteristik kimiawi dari beberapa senyawa opioid yang biasa dipakai dalam praktek klinis.
Tabel.3. Kharakteristik farmakokinetik beberapa senyawa opioid. (8)
Pada praktek anestesi klinis opioid pada umumnya digunakan intravena. Setelah dosis bolus kadar plasma puncak akan diraih dalam hitungan menit. Selanjutnya konsentrasi obat dalam plasma akan turun oleh karena distribusi obat menuju ekstravaskuler, target tempat dia bekerja, jaringan dan organ. Penurunan awal yang cepat pada konsentrasi plasma setelah kadar puncak adalah fase distribusi. Dan penurunan kadar plasma yang berikutnya disebut fase eliminasi.
Tabel berikut akan memberikan simpulan tentang parameter farmakokinetik dan kharakteristik kimiawi dari beberapa senyawa opioid yang biasa dipakai dalam praktek klinis.
Tabel.3. Kharakteristik farmakokinetik beberapa senyawa opioid. (8)
Parameter
|
Morfin
|
Meperidin
|
Fentanyl
|
Sufentanyl
|
Alfentanyl
|
Remifentanyl
|
pKa
|
7,9
|
8,5
|
8,4
|
8,0
|
6,5
|
7,26
|
%
tak terionisasi (pH 7,4)
|
23
|
7
|
8,5
|
20
|
89
|
58
|
Ikatan
protein (%)
|
35
|
70
|
84
|
93
|
92
|
66-93
|
Clearance
(ml/mnt)
|
1050
|
1020
|
1530
|
900
|
238
|
4000
|
Vd
(L)
|
224
|
305
|
335
|
123
|
27
|
30
|
Waktu
paruh eliminasi (jm)
|
1,7-3,3
|
3-5
|
3,1-6,6
|
2,2-4,6
|
1,4-1,5
|
0,17-0,33
|
λow
(koefisien partisi octanol-air)
|
1,4
|
39
|
816
|
1757
|
128
|
17,9
|
Waktu
paruh distribusi cepat (T1/2n,min)
|
1,2-1,9
|
1,4
|
1,0-3,5
|
0,4-0,5
|
||
λow
(koefisien partisi oktanol:air)
|
1,4
|
39
|
816
|
1757
|
128
|
17,9
|
Untuk mencapai titik tangkap kerjanya di sistem saraf pusat, opioid terlebih dahulu harus menembus membrane biologis dari darah menuju membrane sel neuron. Kemampuan opioid menembus sawar darah otak tergantung pada ukuran molekul, ionisasi, kelarutan lemak, dan ikatan pada protein. Diantara kharakteristik tersebut, kelarutan lemak dan ionisasi memberi peranan penting dalam menentukan kemampuan penetrasi menuju sistem saraf pusat.
Dalam laboratorium, kelarutan lemak ditentukan berdasarkan koefisien partisi oktanol:air atau oktanol:buffer. Obat yang terionisasi juga merupakan hal yang penting untuk menentukan kelarutannya dalam lemak. Obat yang tidak terionisasi 1000 sampai 10.000 kali lebih larut lemak jika disbanding dengan obat ynag terionisasi. Derajat ionisasi tergantung pada pKa obat opioid serta pH lingkungan. Opioid dengan pKa lebih rendah daripada 7,4 akan mempunyai fraksi yang tidak terionisasi lebih banyak pada plasma daripada opioid dengan pKa mendekati atau lebih besar daripada pH fisiologis. Kelarutan lemak yang tinggi dari suatu opioid menentukan kemampuan permeabilitas membran terhadap obat tersebut tetapi hal ini tidak linear. Kemampuan penetrasi sawar darah otak mempunyai nilai optimal hidrofobisitas.
Ikatan protein plasma juga mempengaruhi redistribusi opioid. Hal ini disebabkan karena hanya fraksi obat bebas yang dapat menembus membrane sel. Protein plasma utama yang berikatan dengan opioid adalah albumin dan α1-acid glycoprotein (AAG). Perubahan konsentrasi AAG terjadi dalam berbagai kondisi, tingkat keparahan suatu penyakit sehingga menghasilkan suatu perubahan kronik maupun akut dalam kebutuhan opioid.
Dalam praktek klinis sehari-hari obat opioid dapat diberikan pada berbagai pilihan rute antara lain :
Dalam laboratorium, kelarutan lemak ditentukan berdasarkan koefisien partisi oktanol:air atau oktanol:buffer. Obat yang terionisasi juga merupakan hal yang penting untuk menentukan kelarutannya dalam lemak. Obat yang tidak terionisasi 1000 sampai 10.000 kali lebih larut lemak jika disbanding dengan obat ynag terionisasi. Derajat ionisasi tergantung pada pKa obat opioid serta pH lingkungan. Opioid dengan pKa lebih rendah daripada 7,4 akan mempunyai fraksi yang tidak terionisasi lebih banyak pada plasma daripada opioid dengan pKa mendekati atau lebih besar daripada pH fisiologis. Kelarutan lemak yang tinggi dari suatu opioid menentukan kemampuan permeabilitas membran terhadap obat tersebut tetapi hal ini tidak linear. Kemampuan penetrasi sawar darah otak mempunyai nilai optimal hidrofobisitas.
Ikatan protein plasma juga mempengaruhi redistribusi opioid. Hal ini disebabkan karena hanya fraksi obat bebas yang dapat menembus membrane sel. Protein plasma utama yang berikatan dengan opioid adalah albumin dan α1-acid glycoprotein (AAG). Perubahan konsentrasi AAG terjadi dalam berbagai kondisi, tingkat keparahan suatu penyakit sehingga menghasilkan suatu perubahan kronik maupun akut dalam kebutuhan opioid.
Dalam praktek klinis sehari-hari obat opioid dapat diberikan pada berbagai pilihan rute antara lain :
- Pemberian Sistemik : oral, sublingual, buccal, rectal, transdermal, subkutaneus, intramuscular, intravena maupun nasal.
- Pemberian serebrospinal : epidural dan spinal
- Pemberian melalui jalur perifer : lokal atau topikal
Farmakokinetik
1. Absorbsi
Sebagian besar analgesik opioid mampu diserap bagus melalui rute subkutan, intramuscular dan oral. Oleh karena efek first pass metabolism opioid pada aliran darah di hepar maka dosis oral opioid membutuhkan dosis yang lebih besar untuk mencapai efek terapeutik, seperti pada morfin. Beberapa jenis opioid dipercaya lebih efektif jika diberikan melalui rute oral karena kecil yang melalui first pass metabolism seperti kodein dan oksikodon. Insuflasi melalui nasal juga bisa menjadi rute pilihan untuk menghindari first pass metabolism. Rute yang lain yaitu melalui mukosa oral serta transdermal yang diyakini dapat memberikan analgesik yang poten hingga dalam hitungan hari.
2. Distribusi
Penyerapan opioid pada organ sangat bervariasi. Meskipun tiap jenis opioid mempunyai afinitas yang berbeda terhadap protein, opioid dapat secara cepat meninggalkan kompartemen darah, kemudian berkumpul menuju jaringan yang mempunyai perfusi darah yang tinggi seperti otak, paru-paru, hepar, ginjal dan limpa. Konsentrasi opioid pada otot sebenarnya lebih kecil, namun jaringan otot mempunyai volume yang besar sehingga banyak juga yang terakumulasi disana. Meskipun aliran darah pada jaringan lemak rendah, namun akumulasi pada jaringan lemak ini adalah suatu hal yang penting oleh karena akan terjadi redistribusi kembali oleh opioid yang larut baik dengan lemak, seperti fentanyl.
1. Absorbsi
Sebagian besar analgesik opioid mampu diserap bagus melalui rute subkutan, intramuscular dan oral. Oleh karena efek first pass metabolism opioid pada aliran darah di hepar maka dosis oral opioid membutuhkan dosis yang lebih besar untuk mencapai efek terapeutik, seperti pada morfin. Beberapa jenis opioid dipercaya lebih efektif jika diberikan melalui rute oral karena kecil yang melalui first pass metabolism seperti kodein dan oksikodon. Insuflasi melalui nasal juga bisa menjadi rute pilihan untuk menghindari first pass metabolism. Rute yang lain yaitu melalui mukosa oral serta transdermal yang diyakini dapat memberikan analgesik yang poten hingga dalam hitungan hari.
2. Distribusi
Penyerapan opioid pada organ sangat bervariasi. Meskipun tiap jenis opioid mempunyai afinitas yang berbeda terhadap protein, opioid dapat secara cepat meninggalkan kompartemen darah, kemudian berkumpul menuju jaringan yang mempunyai perfusi darah yang tinggi seperti otak, paru-paru, hepar, ginjal dan limpa. Konsentrasi opioid pada otot sebenarnya lebih kecil, namun jaringan otot mempunyai volume yang besar sehingga banyak juga yang terakumulasi disana. Meskipun aliran darah pada jaringan lemak rendah, namun akumulasi pada jaringan lemak ini adalah suatu hal yang penting oleh karena akan terjadi redistribusi kembali oleh opioid yang larut baik dengan lemak, seperti fentanyl.
3. Metabolisme
Sebagian besar opioid akan diubah menjadi metabolit yang lebih polar sebagian besar glukoronid, yang kemudian akan diekskresikan melalui ginjal. Sebagai contoh morfin, sebagian besar akan dikonjugasi menjadi morfin-6-glukoronid, suatu kompenen yang mempunyai efek neuroeksitatori. Efek neuroeksitatori ini bukan dimediasi oleh reseptor opioid melainkan oleh system GABA/glisinergik. Kurang lebih 10% dari morfin akan diubah menjadi M6G, suatu metabolit aktif dengan efek analgesik 4 hingga 6 kali lebih poten jika dibandingkan dengan morfin. Namun metabolit yang lebih polar ini mempunyai keterbatasan untuk menembus sawar darah otak. Akumulasi yang berlebihan dari obat ini seperti pada pasien dengan gagal ginjal ataupun pemakaian dosis besar tentunya akan menyebabkan berbagai macam efek samping. Kejang oleh karena efek neuroeksitasi dari M3G serta efek kerja yang memanjang dari opioid yang dihasilkan oleh M6G. (3,4,5,8)
Golongan ester seperti heroin dan remifentanyl dihidrolisa secara cepat oleh enzim esterase jaringan. Heroin (diasetilmorfin) dihidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan pada akhirnya menjadi morfin yang kemudian dikonjugasi oleh asam glukoronat. Metabolism oksidatif hepatik merupakan rute primer degradasi opioid golongan fenilpiperidin seperti meperidin, fentanyl, alfentanyl dan sufentanyl. Hasil metabolit dimetilasi dari meperidin yaitu normeperidin dapat terakumulasi pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal ataupun pada pemakaian dosis yang tinggi. Normeperidin dapat menyebabkan kejang apabila terakumulasi dalam jumlah yang cukup tinggi. Sebaliknya fentanyl tidak memiliki metabolit aktif. Isozim P450 CYP3A4 memetabolisme fentanyl melalui proses N-dealkilasi di hepar. CYP3A4 juga terdapat di mukosa usus halus dan memberikan kontribusi pada proses first pass metabolism jika fentanyl diberikan secara oral. Kodein, oksikodon, dan hidrokodon dimetabolisme di hepar oleh isozim P450 CYP2D6 yang akan menghasilkan metabolit dengan efek yang lebih besar. Sebagai contoh, kodein dimetilasi menjadi morfin,. (5,6)
4. Ekskresi
Sebagian besar opioid akan diubah menjadi metabolit yang lebih polar sebagian besar glukoronid, yang kemudian akan diekskresikan melalui ginjal. Sebagai contoh morfin, sebagian besar akan dikonjugasi menjadi morfin-6-glukoronid, suatu kompenen yang mempunyai efek neuroeksitatori. Efek neuroeksitatori ini bukan dimediasi oleh reseptor opioid melainkan oleh system GABA/glisinergik. Kurang lebih 10% dari morfin akan diubah menjadi M6G, suatu metabolit aktif dengan efek analgesik 4 hingga 6 kali lebih poten jika dibandingkan dengan morfin. Namun metabolit yang lebih polar ini mempunyai keterbatasan untuk menembus sawar darah otak. Akumulasi yang berlebihan dari obat ini seperti pada pasien dengan gagal ginjal ataupun pemakaian dosis besar tentunya akan menyebabkan berbagai macam efek samping. Kejang oleh karena efek neuroeksitasi dari M3G serta efek kerja yang memanjang dari opioid yang dihasilkan oleh M6G. (3,4,5,8)
Golongan ester seperti heroin dan remifentanyl dihidrolisa secara cepat oleh enzim esterase jaringan. Heroin (diasetilmorfin) dihidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan pada akhirnya menjadi morfin yang kemudian dikonjugasi oleh asam glukoronat. Metabolism oksidatif hepatik merupakan rute primer degradasi opioid golongan fenilpiperidin seperti meperidin, fentanyl, alfentanyl dan sufentanyl. Hasil metabolit dimetilasi dari meperidin yaitu normeperidin dapat terakumulasi pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal ataupun pada pemakaian dosis yang tinggi. Normeperidin dapat menyebabkan kejang apabila terakumulasi dalam jumlah yang cukup tinggi. Sebaliknya fentanyl tidak memiliki metabolit aktif. Isozim P450 CYP3A4 memetabolisme fentanyl melalui proses N-dealkilasi di hepar. CYP3A4 juga terdapat di mukosa usus halus dan memberikan kontribusi pada proses first pass metabolism jika fentanyl diberikan secara oral. Kodein, oksikodon, dan hidrokodon dimetabolisme di hepar oleh isozim P450 CYP2D6 yang akan menghasilkan metabolit dengan efek yang lebih besar. Sebagai contoh, kodein dimetilasi menjadi morfin,. (5,6)
4. Ekskresi
Metabolit yang polar, termasuk konjugasi glukoronid dari analgesik opioid, sebagian besar diekskresi melalui urin. Sejumlah kecil dari bagian yang yang tidak diubah dapat ditemukan juga di urin. Selain itu konjugasi glukoronid juga ditemukan di empedu, namun sirkulasi enterohepatik hanya berperan kecil dalam proses ekskresi
Referensi
Referensi
-
1. Morgan GE, Jr. Mikhail MS, Murray MJ. Lange clinical anesthesiology. 4th ed. New York: Lange Medical Books/Mc-Graw-Hill;2006.p.192-972. Bacon MD. Opioid Analgesics. In: Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, editors. Anesthesiology. New York: The Mc-Graw-Hill Company Inc; 2008 p. 349-713. Aitkenhead AR, Rowbotham DJ. Smith G. Textbook of anaesthesia. 4th ed. London: churcill Livingstone; 2001.4. Brunton L, Parker K, Blumenthal D. Opioid analgesics in Goodman and Gilman’s Manual of farmacology and Therapeutics..New York:Lange Medical Books/Mc Graw Hill; 2008.p 351-715. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 4th ed. Philadelphia; Lippincott William and Wilkins;2006.p.87-1226. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology 10th ed. New York: Lange Medical Books/ Mc-Graw-Hill;2007.7. Casy AF, Parfitt RT. Opioid Analgesic Chemistry and receptors. New York; Plenum Press; 1996.8. Fukuda K, Opioids in Miller’s Anesthesia 6th ed. Philadelphia;Churcill Livingstone; 2005.9. Freye E, Levy JV. Opioids in medicine. Dusseldorf, Germany:Springer;2008.10. Sinatra RS, de leon-Cassasola OA, Ginsberg B. Acute Pain Management. New York: Cambridge press;2009.11. Stein C. Analgesia. Berlin, Germany:Springer;200712. Chahl LA. Opioids mechanism of action. Aust Prescr 1996; 19:63-6513. New South Wales, Guidelines for opioid detoxification ,(http//www.health.nsw.gov.au RapidDetoxificationFromOpioidsGuidelines[GL2005_027].pdf) July 21 201114. Poyhia R, Seppala T, Olkkola KT, Kalso E. The pharmacokinetics and metabolism of oxycodone after intramuscular and oral administration to healthy subjects. Br J Clin Pharm 1992; 33:617-21.15. Kaplan HL, Busto UE, Baylon GJ, Cheung SW, Otton SV, Somer G, Sellers EM: Inhibition of cytochrome P450 2D6 metabolism of hydrocodone to hydromorphone does not importantly affect abuse liability. J Pharmacol Exp Ther 1997; 281:103-108.16. Armstrong SC, Cozza KL. Pharmacokinetic drug interactions of morphine, codeine, and their derivatives: Theory and clinical reality. Psychosomatics 2003; 44:515-520.17. McNulty J. Can Levorphanol be used like methadone for intractable refractory pain? J Palliat Med 2007, 10:293-96.18. Bell J, Kimber J, Lintzeris N. Guidelines for rapid detoxification from opioids. NSW Health, circular no. 2001/17, file no. 00/1287, issued on 23 February 2001 (http:// www.health.nsw.gov.au/publichealth/dpb/publications/pdf/rapiddetoxification_cir200117.pdf).19. Knotkova H, Fine P, Portenoy R. Opioid Rotation: The science and the limitations of the equianalgesic dose table. Journal of Pain and Symptom Management, 2010; 38:426-43920. Onsolis (fentanyl buccal soluble flm) Prescribing information. Available at: http:// www.Onsolis.com/assets/downloads/Onsolis_pi.pdf. July 4, 2011.21. Abstral (sublingual fentanyl tablets) Prescribing information. Available at: http:// www. Abstral.com/pdfs/Abstral-PI-MedGuide.pdf. Accessed July 4, 2011.22.Lazanda (fentanyl nasal spray) Prescribing information. Available at: http://www.lazanda.com/Lazanda_PI.pdf. Accessed July 4, 2011.23.Chu LF, Clark DJ, Angst MS. Opioid tolerance and hyperalgesia in chronic pain patients after one month of oral morphine therapy: A preliminary prospective study. Pain. 2006;7(1):43-48.24.Fine P, Portenoy R. Establishing “Best Practices” for Opioid Rotation: Conclusions of an Expert Panel. Journal of Pain and Symptom Management, 2010;38:418-425