PENDAHULUAN
Nitrous oksida (N2O), kloroform,
dan eter adalah agen pembiusan umum pertama yang diterima secara universal. Etil
klorida, etilen, dan siklopropan kemudian menyusul, dengan zat yang terakhir
cukup digemari pada saat itu karena induksinya yang singkat dan pemulihannya
yang cepat tanpa disertai delirium. Sayang sekali sebagian besar agen-agen
anestetik yang telah disebutkan tadi telah ditarik dari pasaran.
Sebagai contoh, eter sudah tidak
digunakan secara luas karena mudah tersulut api dan berisiko mengakibatkan
kerusakan hepar. Di samping itu, eter juga mempunyai beberapa kerugian yang
tidak disenangi para anestetis seperti berbau menyengat dan menimbulkan sekresi
bronkus berlebih. Kloroform juga kini dihindari karena toksik terhadap jantung
dan hepar. Etil klorida, etilen, dan siklopropan pun tidak lagi digunakan
sebagai anestetik, baik karena toksik ataupun mudah terbakar.
Metoksifluran dan enfluran termasuk agen
anestetik generasi baru yang sempat digunakan bertahun-tahun tetapi jarang
digunakan lagi karena toksisitas dan efikasinya. Metoksifluran adalah anestetik
inhalasi yang paling poten, tetapi induksi dan pemulihannya relatif lambat. Lebih
lanjut, sebagian metoksifluran dimetabolisme oleh sitokrom P-450 menghasilkan
florida bebas (F–), asam oksalat, dan bebrapa komponen lain yang
bersifat nefrotoksik. Sementara itu, enfluran mengurangi kontraksi myokardial
dan meningkatkan sekresi likuor serebrospinal (CSF). Selama anestesia, enfluran
menginduksi perubahan elektroensefalograf yang dapat berprogresi pada pola spike-and-wave yang biasa ditemukan pada
kejang tonik-klonik. Oleh karena itulah, dewasa ini baik metoksifluran maupun
enfluran penggunaannya telah dibatasi.
Dengan ditariknya berbagai zat anestetik
dari peredaran seperti yang dikemukakan di atas, kini terdapat lima agen
inhalasi yang masih digunakan dalam praktik anestesi yakni nitrous oksida,
halotan, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Anestetik inhalasi paling banyak
dipakai untuk induksi pada pediatri yang mana sulit dimulai dengan jalur
intravena. Di sisi lain, bagi pasien dewasa biasanya dokter anestesi lebih
menyukai induksi cepat dengan agen intravena. Meskipun demikian, sevofluran
masih menjadi obat induksi pilihan untuk pasien dewasa, mengingat baunya tidak
menyengat dan onsetnya segera. Selain induksi, agen inhalasi juga sering
digunakan dalam praktik anestesiologi untuk rumatan.
Studi mengenai kaitan antara dosis obat,
konsentrasi jaringan, dan waktu kerja obat disebut sebagai farmakokinetik (bagaimana
tubuh memengaruhi obat); sedangkan studi mengenai mekanisme aksi obat, termasuk
respons toksik, disebut farmakodinamik (bagaimana obat memengaruhi tubuh).
Setelah penjelasan secara umum tentang farmakokinetik dan dinamik anestetik
inhalasi, akan dibahas farmakologi klinis dari masing-masing agen.
A. Farmakokinetik Anestesi Inhalasi
Meskipun
mekanisme aksi anestetik inhalasi masih belum diketahui secara pasti, para ahli
mengasumsikan bahwa efek anestesia diperoleh dari konsentrasi terapetik di
sistem saraf pusat. Sesuai dengan gambar berikut, terdapat beberapa langkah
yang diperlukan zat anestetik inhalasi mulai dari vaporisasi di mesin anestesi
hingga terdeposisi di jaringan otak.
Gambar 1. Perjalanan gas
anestetik inhalasi dari mesin anestesia ke otak
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Inspiratori
(FI)
Gas segar yang keluar dari mesin anestesia bercampur dengan
gas di sirkuit pernapasan sebelum dihirup oleh pasien. Oleh karena itu, pasien
tidak serta-merta mendapatkan konsentrasi yang sesuai dengan pengaturan di
vaporiser. Komposisi aktual campuran gas yang diinspirasi dipengaruhi oleh laju
aliran gas segar, volume dalam sirkuit pernapasan, dan absorpsi mesin anestesia.
Agen inhalasi yang terhirup akan semakin dekat dengan konsentrasi yang keluar
dari mesin anestesia apabila laju aliran gas segar tinggi, volume sirkuit napas
sedikit, dan absorpsi mesin rendah. Secara klinis, atribut-atribut demikian
ditampilkan sebagai kecepatan induksi dan pemulihan.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Alveolar (FA)
Terdapat tiga faktor yang menentukan konsentrasi alveolar,
yakni ambilan, ventilasi, dan konsentrasi.
Ambilan. Jika tidak ada ambilan (uptake) zat anestetik oleh tubuh, konsentrasi
alveolar (FA) akan segera mencapai konsentrasi inspiratori (FI).
Karena agen inhalasi diambil oleh sirkulasi pulmoner selama induksi, konsentrasi
alveolar berkisar di bawah konsentrasi inspiratori (FA/FI
< 1). Semakin besar ambilan, semakin lambat peningkatan konsentrasi alveolar
dan semakin rendah pula rasio FA:FI.
Karena konsentrasi suatu gas sebanding dengan tekanan
parsialnya, maka tekanan parsial gas anestetik di alveolus juga lambat
peningkatannya. Tekanan parsial alveolar ini penting karena turut menentukan
tekanan parsial agen anestetik tersebut di darah dan lebih lanjut di otak. Kembali
lagi, tekanan parsial gas anestetik di otak secara langsung memengaruhi
konsentrasi zat di jaringan otak, yang menentukan efek klinis pada pasien. Jadi,
semakin besar ambilan agen anestetik, semakin besar pula perbedaan antara
konsentrasi alveolar dengan konsentrasi inspiratori, dan semakin lambat
kecepatan induksi.
Terdapat tiga hal yang dapat memengaruhi ambilan anestetik: solubilitas
dalam darah, aliran darah alveolar, dan perbedaan tekanan parsial antara udara
alveolar dan darah vena.
Zat yang insolubel seperti nitrous oksida diambil oleh darah
lebih lambat daripada zat yang solubel seperti halotan. Akibatnya, konsentrasi
alveolar nitrous oksida meningkat lebih cepat daripada halotan, dan induksinya
lebih cepat. Solubilitas relatif dari anestetik dalam udara, darah, dan
jaringan diekspresikan dalam koefisien partisi, seperti tampak pada tabel di
atas. Masing-masing koefisien adalah rasio konsentrasi gas anestetik di dua
medium saat terjadi kesetimbangan.
Tabel 1. Koefisien parsial
anestetik inhalasi pada 37°C
Anestetik
|
Darah/Udara
|
Otak/Darah
|
Otot/Darah
|
Lemak/Darah
|
Nitrous
oksida
|
0.47
|
1.1
|
1.2
|
2.3
|
Halotan
|
2.4
|
2.9
|
3.5
|
60
|
Isofluran
|
1.4
|
2.6
|
4.0
|
45
|
Desfluran
|
0.42
|
1.3
|
2.0
|
27
|
Sevofluran
|
0.65
|
1.7
|
3.1
|
48
|
Faktor lain yang ikut memengaruhi ambilan adalah aliran darah
alveolar, yang kurang lebih sama dengan curah jantung. Seiring dengan
meningkatnya curah jantung, ambilan anestetik turut meningkat, dan peningkatan
tekanan parsial alveolar semakin melambat, dan induksi menjadi lebih lambat. Pengaruh
mengubah curah jantung kurang bermakna untuk anestetik insolubel, mengingat
yang dapat terdifusi ke darah alveolar memang sedikit, baik aliran darah di
sana lebih deras ataupun lebih tenang. Keadaan curah jantung yang sedikit
merupakan berisiko mengakibatkan overdosis dengan anestetik sobulel, karena
peningkatan konsentrasi alveolar yang terlalu cepat. Bahkan halotan, yang
mempunyai efek depresi myokardial, apabila kadar alveolarnya lebih dari yang
diharapkan akan semakin menurunkan curah jantung dan menciptakan umpan balik
positif yang membahayakan pasien.
Satu faktor lagi yang memengaruhi ambilan anestetik oleh
sirkulasi pulmoner adalah perbedaan tekanan parsial antara gas alveolar dan
darah vena. Gradien ini bergantung pada ambilan oleh jaringan. Transfer
anestetik dari darah ke jaringan ditentukan oleh tiga faktor yang analog dengan
ambilan sistemik, yakni solubilitas agen di jaringan (koefisien partisi
jaringan/darah seperti pada tabel halaman sebelumnya), aliran darah jaringan, dan
perbedaan tekanan parsial antara darah arterial dengan jaringan.
Jaringan dapat digolongkan menjadi empat grup berdasarkan perfusi
dan solubili-tasnya. Grup tinggi vaskularisasi (otak, jantung, liver, ginjal, dan
organ endokrin) adalah yang pertama mengambil anestetik dalam jumlah yang
signifikan. Grup otot (kulit dan otot) tidak mempunyai perfusi sebaik grup yang
pertama, sehingga ambilannya lebih pelan. Kapasitasnya pun lebih besar; ambilan
oleh grup kedua ini berlangsung dalam beberapa jam. Berlanjut ke grup
berikutnya, perfusi di grup lemak kurang lebih sama dengan grup otot; tetapi
solubilitas anestetik pada grup lemak yang luar biasa sekaligus volume jaringan
yang relatif besar menghasilkan kapasitas total yang memerlukan beberapa hari
untuk diisi. Grup terakhir beranggotakan jaringan perfusi minimal dengan
vaskularisasi rendah (tulang, ligamen, gigi, rambut, dan kartilago) hampir
tidak memberi kontribusi terhadap ambilan anestetik.
Tabel 2. Klasifikasi
jaringan berdasarkan perfusi dan solubilitas
Karakteristik
|
Vessel Rich
|
Otot
|
Lemak
|
Vessel Poor
|
Persentase
berat badan
|
10
|
50
|
20
|
20
|
Persentase
curah jantung
|
75
|
19
|
6
|
0
|
Perfusi
(mL/min/100 g)
|
75
|
3
|
3
|
0
|
Solubilitas
relatif
|
1
|
1
|
20
|
0
|
Diagram 1. Laju peningkatan konsentrasi
alveolar anestetik inhalasi
Ambilan
anestesi meng-hasilkan kurva konsentrasi alveolar per waktu yang khas untuk
masing-masing anestetik (diagram 1). Bentuk dari setiap grafik tersebut
ditentukan oleh ambilan jaringan sesuai dengan grupnya (diagram 2). Mula-mula
konsentrasi alveolar meningkat tajam oleh karena pengisian alveolar melalui
ventilasi. Peningkatan tersebut kemudian melambat seiring dengan ambilan
jaringan, terutama oleh grup kaya vaskuler dan grup otot, hingga mencapai
kapasitas totalnya.
Diagram 2. Pengaruh ambilan
jaringan terhadap peningkatan tekanan parsial alveolar
Ventilasi. Penurunan tekanan parsial
alveolar oleh ambilan jaringan, seperti tampak pada diagram 2, dapat kembali
ditingkatkan dengan ventilasi. Dengan kata lain, memberikan anestetik secara
konstan dapat menstabilisasi konsentrasi alveolar. Meningkatkan ventilasi
secara langsung akan meningkatkan rasio FA:FI untuk
anestetik solubel. Berlawanan dengan agen inhalasi yang mendepresi curah
jantung, anestetik yang mendepresi ventilasi (misalnya halotan) akan menurunkan
laju peningkatan konsentrasi alveolar dan justru menghasilkan umpan balik
negatif.
Konsentrasi. Efek ambilan juga dapat
dikurangi dengan peningkatan konsentrasi inspirasi (FI). Menariknya,
meningkatkan konsentrasi inspirasi tidak hanya meningkatkan konsentrasi
alveolar, tetapi juga laju peningkatan tersebut (dengan kata lain meningkatkan FA:FI).
Secara khusus, konsentrasi membawa dua fenomena yang disebut efek konsentrasi (concentration effect). Mungkin agak
membingungkan, fenomena yang pertama adalah efek pengonsentrasian (concentrating effect). Misalkan 50% dari
gas anestetik diambil oleh sirkulasi pulmoner, maka konsentrasi inspiratori
sebesar 20% (20 bagian anestetik per 100 bagian gas) akan menghasilkan
konsentrasi alveolar sebesar 11% (10 bagian anestetik tersisa dari total 90 bagian
gas). Di sisi lain, jika konsentrasi inspirasi ditingkatkan menjadi 80% (80 bagian
anestetik per 100 bagian gas), konsentrasi alveolar menjadi 67% (40 bagian anestetik
tersisa dari volume 60 bagian gas). Melihat dua sampel tersebut, konsentrasi
inspiratori yang lebih tinggi akan menghasilkan konsentrasi alveolar yang lebih
tinggi secara disproporsional. Di contoh tadi, peningkatan 4 kali konsentrasi
inspiratori akan menghasilkan 6 kali konsentrasi alveolar.
Fenomena yang kedua adalah efek aliran teraugmentasi (augmented inflow effect). Meneruskan
contoh di atas, untuk mencegah kolapsnya alveoli, 10 bagian anestetik yang
diabsorpsi oleh sirkulasi pulmoner harus digantikan oleh gas campuran dengan
konsentrasi inspirasi 20%. Dengan demikian, konsentrasi alveolar menjadi 12%
(10+2 bagian anestetik dari total 100 bagian gas). Lebih kontras, setelah
absorpsi 50% anestetik dari gas 80% yang diinspirasi, perlu penggantian
sebanyak 40 bagian menggunakan gas 80% pula. Dalam kasus ini akan diperoleh
konsentrasi alveolar meningkat dari 67% menjadi 72% (40+32 bagian anestetik dari
total volume 100 bagian gas).
Kedua fenomena yang termasuk efek konsentrasi di atas lebih
dirasakan pada penggunaan nitrous oksida daripada agen inhalasi lainnya, karena
anestetik tersebut dapat digunakan dalam konsentrasi yang jauh lebih tinggi. Sebagai
tambahan, konsentrasi nitrous oksida yang tinggi akan teraugmentasi tidak hanya
dipengaruhi oleh ambilan agen itu sendiri, melainkan juga oleh konsentrasi
anestetik inhalasi lainnya. Fenomena yang satu ini disebut efek gas kedua (second gas effect) yang secara klinis
tidak terlalu bermakna.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Arterial (Fa)
Hanya terdapat satu faktor yang memengaruhi konsentrasi
arterial secara bermakna, yakni ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi. Normalnya, tekanan parsial anestetik di alveoli
diasumsikan sama dengan darah arteri. Akan tetapi kenyataannya tekanan parsial
arterial secara konstan kurang dari yang diperkirakan. Alasan di balik
kejanggalan ini adalah pencampuran di darah vena, ruang rugi alveolar, dan
distribusi gas di alveoli yang tidak merata. Lebih lanjut, adanya ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi akan semakin meningkatkan perbedaan konsentrasi alveolar
dengan arterial. Ketidakseimbangan ini dapat diasumsikan sebagai restriksi: meningkatkan
tekanan di depan restriksi, menurunkan tekanan di belakang restriksi, dan
mengurangi aliran di restriksi itu sendiri.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Eleminasi
Pemulihan pascaanestesia bergantung pada penurunan
konsentrasi anestetik di jaringan otak. Anestetik dapat dieleminasi dengan
biotransformasi, kehilangan transkutaneus, atau ekshalasi. Biotransformasi biasanya tidak terlalu berkontribusi terhadap
penurunan tekanan parsial alveolar. Pengaruh terbesar metode ini adalah pada
eleminasi anestetik solubel yang mengalami metabolisme ekstensif seperti metoksifluran.
Biotransformasi halotan yang lebih tinggi daripada isofluran mengakibatkan
eleminasi halotan lebih cepat daripada isofluran. Beberapa isoenzim sitokrom
P-450 terutama CYP 2EI tampak memegang peran penting dalam eleminasi beberapa
agen anestetik inhalasi. Sementara itu, difusi transkutaneus juga terhitung tidak terlalu signifikan.
Rute terpenting dalam eleminasi anestetik inhalasi adalah ekshalasi melalui alveolus. Banyak
faktor yang mempercepat induksi rupanya juga mempercepat eleminasi: rebreathing, tingginya aliran gas segar,
rendahnya volume sirkuit, rendahnya absorpsi oleh sirkuit dan mesin anestesia, rendahnya
solubilitas, tingginya aliran darah serebral, dan besarnya ventilasi. Eleminasi
nitrous oksida sangat cepat sedemikian sehingga oksigen dan CO2
alveolar menjadi terdilusi; akibatnya terjadi hipoksia difusi. Risiko demikian
dicegah dengan administrasi oksigen 100% selama 5–10 menit setelah menghentikan
nitrous oksida. Laju pemulihan biasanya lebih cepat daripada induksi karena
jaringan yang belum mencapai kesetimbangan akan terus mengambil anestetik dari
darah hingga tekanan parsial alveolar menjadi lebih rendah daripada tekanan
parsial jaringan. Lebih konkret, jaringan lemak akan terus mengambil anestetik
dan mempercepat pemulihan hingga tekanan parsial di sana sama atau lebih tinggi
daripada di alveoli. Redistribusi demikian tidak terjadi setelah anestesia yang
sudah berlangsung lama; jadi kecepatan pemulihan juga dipengaruhi oleh durasi
anestesia.
B. Farmakodinamik Anestesi
Inhalasi
Teori-teori mengenai Mekanisme Kerja Anestetik Inhalasi
Anestesia umum adalah keadaan fisiologis yang sengaja
disimpangkan, ditandai dengan kehilangan kesadaran secara reversibel, analgesia
seluruh tubuh, amnesia, dan sedikit relaksasi otot. Zat-zat yang dapat
menghasilkan keadaan anestesia umum sangat beragam mulai dari elemen inert (xenon),
substansi organik sederhana (nitrous oksida), hidrokarbon terhalogenasi
(halotan), dan struktur irganik kompleks (barbiturat). Teori yang dapat
menyatukan mekanisme kerja anestetik harus dapat mengakomodasi diversitas
struktur yang telah tergambarkan tadi. Pada kenyataannya, berbagai agen mungkin
menghasilkan anestesia melalui metodenya masing-masing.
Diduga kuat tidak terdapat satu situs aksi makroskopik
bersama antara semua agen inhalasi. Area spesifik otak dipengaruhi oleh
berbagai macam anestetik termasuk reticular
activating system (RAS), korteks serebral, nukleus kaudatus, korteks
olfaktorius, dan hipokampus. Anestetik juga menekan transmisi eksitatori pada
medula spinalis, terutama di interneuron kornu dorsalis yang berperan dalam
menyampaikan impuls nyeri. Aspek anestesia yang berbeda mungkin
dilatarbelakangi oleh mekanisme yang berbeda pula. Misalnya, ketidaksadaran dan
amnesia mungkin dimediasi oleh aksi anestetik di korteks, sementara supresi
nyeri mungkin berkaitan dengan struktur subkortikal seperti medula spinalis
atau batang otak. Suatu studi mencit bahkan menunjukkan bahwa pengangkatan
korteks serebral tidak mengubah potensi anestetik!
Pada level mikroskopik, transmisi sinaptik lebih sensitif
terhadap anestesia umum daripada konduksi aksonal. Hipotesis ini beranggapan
bahwa semua agen inhalasi mempunyai suatu mekanisme yang sama di tingkat
molekuler. Hal ini didukung oleh observasi di mana potensi agen-agen inhalasi
berkorelasi secara langsung dengan solubilitasnya dalam lemak (aturan Meyer–Overton).
Implikasinya, anestesia dihasilkan oleh kinerja molekul anestetik di suatu
situs lipofilik tertentu. Relasi antara potensi anestetik dan solubilitasnya
dalam lemak secara kasar dapat dilihat pada diagram 3.
Diagram 3. Relasi potensi
anestetik inhalasi dengan solubilitasnya dalam lemak
Membran neuron mengandung situs hidrofobik beragam di bilayer
fosfolipidnya. Ikatan anestetik di situs tersebut dapat memperluas bilayer
melebihi jumlah kritisnya dan mengganggu fungsi membran; hal ini tertuang
sebagai hipotesis volume kritis. Meskipun
tampaknya terlalu disimplifikasikan, teori ini dapat menjelaskan fenomena reversal
anestesia akibat peningkatan tekanan: laboratorium mencit yang terekspos
tekanan hidrostatik yang meningkat ternyata resisten terhadap anestetik. Kemungkinan
tekanan tersebut menggantikan sejumlah molekul di membran neuron, sehingga
meningkatkan jumlah anestetik yang diperlukan untuk memberikan efek. Anestesia
umum dapat muncul akibat alterasi satu atau beberapa sistem seluler seperti
kanal ion, fungsi perantau kedua, atau reseptor neurotransmiter terutama GABA.
Konsentrasi Alveolar Minimum
Agen
|
MAC%
|
Nitrous oksida
|
105
|
Halotan
|
0.75
|
Isofluran
|
1.2
|
Desfluran
|
6.0
|
Sevofluran
|
2.0
|
Konsentrasi alveolar minimum atau minimum alveolar concentration (MAC) anestetik inhalasi adalah
konsentrasi alveolar yang dapat menghambat gerakan pada 50% pasien terhadap
stimulus standar seperti insisi bedah. MAC merupakan ukuran yang berguna karena
merefleksikan tekanan parsial anestetik di otak, sehingga dapat membandingkan
secara langsung potensi setiap anestetik sekaligus memberikan standar baku
untuk penelitian. Meskipun demikian, nilai MAC tetap saja hanya merupakan angka
statistikal belaka pada saat menangani pasien; masing-masing pasien merupakan
individu yang unik dan oleh karena itu memerlukan pendekatan yang bersifat
individual pula, misalnya pada saat menentukan dosis induksi.
C. Farmakologi Klinik Anestesi Inhalasi
Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak
berasa, lebih berat dari udara, serta tidak mudah terbakar dan meledak (kecuali
jika dikombinasikan dengan zat anestetik yang mudah terbakar seperti eter). Gas
ini dapat disimpan dalam bentuk cair dalam tekanan tertentu, serta relatif
lebih murah dibanding agen anestetik inhalasi lain.
Efek terhadap Sistem Organ
Efek terhadap kardiovaskular dapat dijelaskan melalui
tendensinya dalam menstimulasi sistem simpatis. Meski secara in vitro gas ini
mendepresikan kontraktilitas otot jantung, namun secara in vivo tekanan darah
arteri, curah jantung, serta frekuensi nadi tidak mengalami perubahan atau
hanya terjadi sedikit peningkatan karena adanya stimulasi katekolamin, sehingga
peredaran darah tidak terganggu (kecuali pada pasien dengan penyakit jantung
koroner atau hipovolemik berat).
Efek terhadap respirasi dari gas ini adalah peningkatan laju
napas (takipnea) dan penurunan volume tidal akibat stimulasi Sistem Saraf Pusat
(SSP). N2O dapat menyebabkan berkurangnya respons pernapasan
terhadap CO2 meski hanya diberikan dalam jumlah kecil, sehingga
dapat berdampak serius di ruang pemulihan (pasien jadi lebih lama dalam keadaan
tidak sadar).
Efek terhadap SSP adalah peningkatan aliran darah serebral
yang berakibat pada sedikit peningkatan tekanan intrakranial (TIK). N2O
juga meningkatkan konsumsi oksigen serebral. Efek terhadap neuromuskular tidak
seperti agen anestetik inhalasi lain, di mana N2O tidak menghasilkan
efek relaksasi otot, malah dalam konsentrasi tinggi pada ruangan hiperbarik, N2O
menyebabkan rigiditas otot skeletal.
Efek terhadap ginjal adalah penurunan aliran darah renal
(dengan meningkatkan resistensi vaskular renal) yang berujung pada penurunan
laju filtrasi glomerulus dan jumlah urin. Efek terhadap hepar adalah penurunan
aliran darah hepatik (namun dalam jumlah yang lebih ringan dibandingkan dengan
agen inhalasi lain). Efek terhadap gastrointestinal adalah adalanya mual muntah
pascaoperasi, yang diduga akibat aktivasi dari chemoreceptor trigger zone dan pusat muntah di medula. Efek ini
dapat muncul pada anestesi yang lama.
Biotransformasi dan
Toksisitas
N2O sukar larut dalam darah, dan merupakan
anestetik yang kurang kuat sehingga kini hanya dipakai sebagai adjuvan atau
pembawa anestetik inhalasi lain karena kesukarlarutannya ini berguna dalam
meningkatkan tekanan parsial sehingga induksi dapat lebih cepat (setelah
induksi dicapai, tekanan parsial diturunkan untuk mempertahankan anestesia).
Dengan perbandingan N2O:O2 = 85:15, induksi cepat dicapai
tapi tidak boleh terlalu lama karena bisa mengakibatkan hipoksia (bisa dicegah
dengan pemberian O2 100% setelah N2O dihentikan). Efek
relaksasi otot yang dihasilkan kurang baik sehingga dibutuhkan obat pelumpuh
otot. N2O dieksresikan dalam bentuk utuh melalui paru-[aru dan
sebagian kecil melalui kulit.
Dengan secara ireversibel mengoksidasi atom kobalt pada
vitamin B12, N2O menginhibisi enzim yang tergantung pada
vitamin B12, seperti metionin sintetase yang penting untuk
pembentukan myelin, serta thimidilar sintetase yang penting untuk sintesis DNA.
Pemberian yang lama dari gas ini akan menghasilkan depresi sumsum tulang (anemia
megaloblastik) bahkan defisiensi neurologis (neuropati perifer). Oleh karena
efek teratogeniknya, N2O tidak diberikan untuk pasien yang sedang
hamil (terbukti pada hewan coba, belum diketahui efeknya pada manusia).
Interaksi Obat
Kombinasinya dengan agen anestetik inhalasi lain dapat
menurunkan MAC agen inhalasi tersebut sampai 50%, contohnya halotan dari 0,75%
menjadi 0,29% atau enfluran dari 1,68% menjadi 0,6%.
Halotan
Merupakan alkana terhalogenisasi dengan ikatan karbon-florida
sehingga bersifat tidak mudah terbakar atau meledak (meski dicampur oksigen).
Halotan berbentuk cairan tidak berwarna dan berbau enak. Botol berwarna amber
dan pengawet timol berguna untuk menghambat dekomposisi oksidatif spontan.
Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, di mana induksi
dan tahapan anestesia dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun
setelah anestetik dihentikan. Gas ini merupakan agen anestestik inhalasi paling
murah, dan karena keamanannya hingga kini tetap digunakan di dunia.
Efek terhadap Sistem Organ
2 MAC dari halotan menghasilkan 50% penurunan tekanan darah
dan curah jantung. Halotan dapat secara langsung menghambat otot jantung dan
otot polos pembuluh darah serta menurunkan aktivitas saraf simpatis. Penurunan
tekanan darah terjadi akibat depresi langsung pada miokard dan penghambatan
refleks baroreseptor terhadap hipotensi, meski respons simpatoadrenal tidak
dihambat oleh halotan (sehingga peningkatan PCO2 atau rangsangan
pembedahan tetap memicu respons simpatis). Makin dalam anestesia, makin jelas
turunnya kontraksi miokard, curah jantung, tekanan darah, dan resistensi
perifer. Efek bradikardi disebabkan aktivitas vagal yang meningkat. Automatisitas
miokard akibat halotan diperkuat oleh pemberian agonis adrenergik (epinefrin)
yang menyebabkan aritmia jantung. Efek vasodilatasi yang dihasilkan pada
pembuluh darah otot rangka dan otak dapat meningkatkan aliran darah.
Efek terhadap respirasi adalah pernapasan cepat dan dangkal.
Peningkatan laju napas ini tidak cukup untuk mengimbangi penurunan volume
tidal, sehingga ventilasi alveolar turun dan PaCO2. Depresi napas
ini diduga akibat depresi medula (sentral) dan disfungsi otot interkostal (perifer).
Halotan diduga juga sebagai bronkodilator poten, di mana dapat mencegah
bronkospasme pada asma, menghambat salivasi dan fungsi mukosiliar, dengan
relaksasi otot maseter yang cukup baik (sehingga intubasi mudah dilakukan),
namun dapat mengakibatkan hipoksia pascaoperasi dan atelektasis. Efek
bronkodilatasi ini bahkan tidak dihambat oleh propanolol.
Dengan mendilatasi pembuluh darah serebral, halotan
menurunkan resistensi vaskular serebral dan meningkatkan aliran darah otak,
sehingga ICP meningkat, namun aktivitas serebrum berkurang (gambaran EEG
melambat dan kebutuhan O2 yang berkurang). Efek terhadap
neuromuskular adalah relaksasi otot skeletal dan meningkatkan kemampuan agen
pelumpuh otot nondepolarisasi, serta memicu hipertermia malignan.
Efek terhadap ginjal adalah menurunkan aliran darah renal,
laju filtrasi glomerulus, dan jumlah urin, semua ini diakibatkan oleh penurunan
tekanan darah arteri dan curah jantung. Efek terhadap hati adalah penurunan
aliran darah hepatik, bahkan dapat menyebabkan vasospasme arteri hepatik.
Selain itu, metabolisme dan klirens dari beberapa obat (fentanil, fenitoin,
verapamil) jadi terganggu.
Biotransformasi dan
Toksisitas
Eksresi halotan utamanya melalui paru, hanya 20% yang
dimetabolisme dalam tubuh untuk dibuang melalui urin dalam bentuk asam
trifluoroasetat, trifluoroetanol, dan bromida. Halotan dioksidasi di hati oleh
isozim sitokrom P-450 menjadi metabolit utamanya, asam trifluoroasetat.
Metabolisme ini dapat dihambat dengan pemberian disulfiram. Bromida, metabolit
oksidatif lain, diduga menjadi penyebab perubahan status mental pascaanestesi.
Disfungsi hepatik pascaoperasi dapat disebabkan oleh: hepatitis viral, perfusi
hepatik yang terganggu, penyakit hati yang mendasari, hipoksia hepatosit, dan
sebagainya. Penggunaan berulang dari halotan dapat menyebabkan nekrosis hati
sentrolobular dengan gejala anoreksia, mual muntah, kadang kemerahan pada kulit
disertai eosinofilia.
Kontraindikasi dan Interaksi
Obat
Halotan dikontraindikasikan pada pasien dengan disfungsi
hati, atau pernah mendapat halotan sebelumnya. Halotan sebaiknya digunakan
secara hati-hati pada pasien dengan massa intrakranial (kemungkinan adanya
peningkatan TIK). Efek depresi miokard oleh halotan dapat dieksaserbasi oleh
agen penghambat adrenergik (seperti propanolol) dan agen penghambat kanal ion
kalsium (seperti verapamil). Penggunaannya bersama dengan antidepresan dan
inhibitor monoamin oksidase (MAO-I) dihubungkan dengan fluktuasi tekanan darah
dan aritmia. Kombinasi halotan dan aminofilin berakibat aritmia ventrikel.
Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Memiliki
struktur kimia yang mirip dengan enfluran, isofluran berbeda secara
farmakologis dengan enfluran. Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi
dalam udara inspirasi menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah
premedikasi, induksi dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya
digunakan barbiturat intravena untuk mempercepat induksi. Tanda untuk mengamati
kedalaman anestesia adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas,
serta peningkatan frekuensi denyut jantung.
Efek terhadap Sistem Organ
Secara in vivo, isofluran menyebabkan depresi kardiak
minimal, curah jantung dijaga dengan peningkatan frekuensi nadi. Stimulasi
adrenergik meningkatkan aliran darah otot, menurunkan resistensi vaskular
sistemik,dan menurunkan tekanan darah arteri (karena vasodilatasi). Dilatasi
juga terjadi pada pembuluh darah koroner sehingga dipandang lebih aman untuk
pasien dengan penyakit jantung (dibanding halotan atau enfluran), namun
ternyata dapat menyebabkan iskemia miokard akibat coronary steal (pemindahan
aliran darah dari area dengan perfusi buruk ke area yang perfusinya baik).
Efek terhadap respirasi serupa dengan semua agen anestetik
inhalasi lain, yakni depresi napas dan menekan respons ventilasi terhadap
hipoksia, selain itu juga berperan sebagai bronkodilator. Isofluran juga memicu
refleks saluran napas yang menyebabkan hipersekresi, batuk, dan spasme laring
yang lebih kuat dibanding enfluran. Isofluran juga mengganggu fungsi mukosilia
sehingga dengan anestesi lama dapat menyebabkan penumpukan mukus di saluran
napas.
Efek terhadap SSP adalah saat konsentrasi lebih besar dari 1 MAC,
isofluran dapat meningkatkan TIK, namun menurunkan kebutuhan oksigen. Efek
terhadap neuromuskular adalah merelaksasi otot skeletal serta meningkatkan efek
pelumpuh otot depolarisasi maupun nondepolarisasi lebih baik dibandingkan
enfluran. Efek terhadap ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju
filtrasi glomerulus, dan jumlah urin. Efek terhadap hati adalah menurunkan
aliran darah hepatik total (arteri hepatik dan vena porta), fungsi hati tidak
terganggu.
Biotransformasi dan
Toksisitas
Isofluran dimetabolisme menjadi asam trifluoroasetat, dan
meski kadar fluorida serum meningkat, kadarnya masih di bawah batas yang
merusak sel. Belum pernah dilaporkan adanya gangguan fungsi ginjal dan hati
sesudah penggunaan isofluran. Penggunaannya tidak dianjurkan untuk wanita hamil
karena dapat merelaksasi otot polos uterus (perdarahan persalinan). Penurunan
kewaspadaan mental terjadi 2-3 jam sesudah anestesia, tapi tidak terjadi mual
muntah pascaoperasi.
Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah
meledak, bersifat absorben dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar menguap,
dibutuhkan vaporiser khusus untuk desfluran. Dengan struktur yang mirip
isofluran, hanya saja atom klorin pada isofluran diganti oleh fluorin pada
desfluran, sehingga kelarutan desfluran lebih rendah (mendekati N2O)
dengan potensi yang juga lebih rendah sehingga memberikan induksi dan pemulihan
yang lebih cepat dibandingkan isofluran (5-10 menit setelah obat dihentikan,
pasien sudah respons terhadap rangsang verbal). Desfluran lebih digunakan untuk
prosedur bedah singkat atau bedah rawat jalan. Desfluran bersifat iritatif
sehingga menimbulkan batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan
untuk induksi. Desfluran bersifat ¼ kali lebih poten dibanding agen anestetik
inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten dibanding N2O.
Efek terhadap Sistem Organ
Efek terhadap kardiovaskular desfluran mirip dengan
isofluran, hanya saja tidak seperti isofluran, desfluran tidak meningkatkan
aliran darah arteri koroner. Efek terhadap respirasi adalah penurunan volume
tidak dan peningkatan laju napas. Secara keseluruhan terdapat penurunan
ventilasi alveolar sehingga terjadi peningkatan PaCO2. Efek terhadap
SSP adalah vasodilatasi pembuluh darah serebral, sehingga terjadi peningkatan
TIK, serta penurunan konsumsi oksigen oleh otak. Tidak ada laporan nefrotoksik
akibat desfluran, begitu juga dengan fungsi hati.
Kontraindikasi dan Interaksi
Obat
Desfluran memiliki kontraindikasi berupa hipovolemik berat,
hipertermia malignan, dan hipertensi intrakranial. Desfluran juga dapat
meningkatkan kerja obat pelumpuh otot nondepolarisasi sama halnya seperti
isofluran.
Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi
dengan fluorin. Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi
pilihan yang tepat untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien
anak maupun dewasa. Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O
dan oksigen dapat dicapai dalam 1-3 menit.
Efek terhadap Sistem Organ
Sevofluran dapat menurunkan kontraktilitas miokard, namun
bersifat ringan. Resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arterial secara
ringan juga mengalami penurunan, namun lebih sedikit dibandingkan isofluran
atau desfluran. Belum ada laporan mengenai coronary
steal oleh karena sevofluran. Agen inhalasi ini dapat mengakibatkan depresi
napas, serta bersifat bronkodilator. Efek terhadap SSP adalah peningkatan TIK,
meski beberapa riset menunjukkan adanya penurunan aliran darah serebral.
Kebutuhan otak akan oksigen juga mengalami penurunan. Efeknya terhadap
neuromuskular adalah relaksasi otot yang adekuat sehingga membantu dilakukannya
intubasi pada anak setelah induksi inhalasi. Terhadap ginjal, sevofluran
menurunkan aliran darah renal dalam jumlah sedikit, sedangkan terhadap hati,
sevofluran menurunkan aliran vena porta tapi meningkatkan aliran arteri
hepatik, sehingga menjaga aliran darah dan oksigen untuk hati.
Biotransformasi dan
Toksisitas
Enzim P-450 memetabolisme sevofluran. Soda lime dapat mendegradasi sevofluran menjadi produk akhir yang
nefrotoksik. Meski kebanyakan riset tidak menghubungkan sevofluran dengan
gangguan fungsi ginjal pascaoperasi, beberapa ahli tidak menyarankan pemberian
sevofluran pada pasien dengan disfungsi ginjal. Sevofluran juga dapat
didegradasi menjadi hidrogen fluorida oleh logam pada peralatan pabrik, proses
pemaketannya dalam botol kaca, dan faktor lingkungan, di mana hidrogen fluorida
ini dapat menyebabkan luka bakar akibat asam jika terkontak dengan mukosa
respiratori. Untuk meminimalisasi hal ini, ditambahkan air dalam proses
pengolahan sevofluran dan pemaketannya menggunakan kontainer plastik khusus.
Kontraindikasi dan Interaksi
Obat
Sevofluran dikontraindikasikan pada hipovolemik berat,
hipertermia maligna, dan hipertensi intrakranial. Sevofluran juga sama seperti
agen anestetik inhalasi lainnya, dapat meningkatkan kerja pelumpuh otot.