Perbedaan ion kuat, PCO2, dan konsentrasi total asam lemah (ATOT) adalah yang terbaik dalam menjelaskan sistem fisiologis keseimbangan asam basa.Buffer bikarbonat efektif untuk melawan kelainan metabolik, tetapi tidak untuk gangguan asam basa respiratorik.Berbeda dengan buffer bikarbonat, hemoglobin dapat berfungsi sebagai penyangga asam karbonik (CO2) dan nonkarbonik (nonvolatile).Secara umum, PaCO2 dapat digunakan untuk meningkatkan 0,25-1 mmHg untuk setiap peningkatan 1 mEq/L [HCO3-].Respon ginjal terhadap keadaan asam ada 3 tahap: (1) Peningkatan reabsorbsi HCO3- yang telah difiltrasi, (2) Peningkatan ekskresi asam yang dititrasi, (3) Peningkatan produksi ammonia.
Selama terjadi asidosis
respiratorik kronik, [HCO3-] plasma meningkat sekitar 4mEq/L untuk
setiap kenaikan 10mmHg PaCO2 diatas 40 mmHg.Diare merupakan penyebab
terbanyak dari asidosis metabolic hiperkhloremik.Perbedaan dari akut dan
kronik dari respirasi alkalosis tidak selalu dibuat, karena respon
kompensasi dari respirasialkalosis kronis bervariasi: [HCO3-] Plasma
menurun 2-5 mEq/L untuk setiap penurunan 10 mmHg dari PaCO2 dibawah 40
mmHg.Muntah atau kehilangan cairan lambung secara terus-menerus karena
drainase lambung (nasogastric suctioning) dapat menyebabkan metabolik
alkalosis, volume ekstraseluler berkurang, dan hipokalemia.Kombinasi
dari alkalemia dan hipokalemia dapat menjadi pencetus terjadinya aritmia
atrium dan ventrikel yang berat.Perubahan suhu mempengaruhi
penghitungan dari PCO2 dan PO2 secara langsung dan pH secara tidak
langsung. Baik PCO2 dan PO2 akan menurun selama hipotermi, tetapi pH
meningkat karena suhu tidak mempengaruhi [HCO3-]: PaCO2 menurun, tetapi
[HCO3-] tidak berubah.
Hampir semua reaksi biokimia di dalam tubuh kita tergantung dari pemeliharaan konsentrasi ion hidrogen yang fisiologis. Konsentrasi ion hidrogen harus diatur secara ketat karena perubahan dari konsentrasi ion hidrogen ini menyebabkan disfungsi organ yang luas.
Pengaturan ini (yang dikenal sebagai keseimbangan asam basa) merupakan hal yang sangat penting bagi anesthesiologist. Perubahan pada ventilasi dan perfusi dan infus cairan elektrolit sering terjadi selama anesthesia dan dengan cepat dapat mengganggu keseimbangan asam basa. Pemahaman yang baik dari gangguan asam basa, efek fisiologisnya, dan Penanganannya merupakan hal yang sangat essensial dalam manajemen anesthesi secara tepat.
Pemahaman kita tentang keseimbangan asam basa terus berkembang. Sebelumnya, kita fokus pada konsentrasi on hidrogen, keseimbangan CO2, dan base excess/deficit. Sekarang kita mengerti bahwa perbedaan ion kuat (SID), PCO2, dan konsentrasi total asam lemah (ATOT) yang sangat baik dalam menjelaskan sistem keseimbangan asam basa secara fisiologis.
Bab ini menjelaskan fisiologi asam basa, gangguan yang biasa terjadi, dan implikasinya dalam anesthesi. Pengukuran gas darah secara klinis dan interpretasinya juga dibicarakan dalam bab ini.
DEFINISI
KIMIA ASAM BASA
Konsentrasi Ion Hidrogen dan pH
Dalam setiap cairan biasa, molekul air terurai secara reversibel menjadi hidrogen dan ion hidroksida:
Proses ini dikenal sebagai disosiasi konstan, KW:
Konsentrasi air tidak digunakan karena hasilnya tidak signifikan dan sudah konstan. Oleh karena itu dengan pemberian [H+] atau [OH-] konsentrasi ion lainnya dapat dihitung.
Contoh: Jika [H+] = 10-8 nEq/L, maka [OH-] = 10-14 ÷ 10-8 = 10-6 nEq/L.
Nilai normal [H+] pada arteri adalah 40 nEq/L atau 40 x 10-9 mol/L. Konsentrasi ion hidrogen sering dikenal sebagai pH, pH dari suatu larutan didefinisikan sebagai logaritma negatif (base 10) dari [H+]. pH normal arteri adalah –log (40 x 10-9) = 7,40. Konsentrasi ion hidrogen yang sesuai dalam kehidupan adalah antara 16 dan 160 nEq/L (pH 6,8 – 7).
Gambar 1
Hampir semua reaksi biokimia di dalam tubuh kita tergantung dari pemeliharaan konsentrasi ion hidrogen yang fisiologis. Konsentrasi ion hidrogen harus diatur secara ketat karena perubahan dari konsentrasi ion hidrogen ini menyebabkan disfungsi organ yang luas.
Pengaturan ini (yang dikenal sebagai keseimbangan asam basa) merupakan hal yang sangat penting bagi anesthesiologist. Perubahan pada ventilasi dan perfusi dan infus cairan elektrolit sering terjadi selama anesthesia dan dengan cepat dapat mengganggu keseimbangan asam basa. Pemahaman yang baik dari gangguan asam basa, efek fisiologisnya, dan Penanganannya merupakan hal yang sangat essensial dalam manajemen anesthesi secara tepat.
Pemahaman kita tentang keseimbangan asam basa terus berkembang. Sebelumnya, kita fokus pada konsentrasi on hidrogen, keseimbangan CO2, dan base excess/deficit. Sekarang kita mengerti bahwa perbedaan ion kuat (SID), PCO2, dan konsentrasi total asam lemah (ATOT) yang sangat baik dalam menjelaskan sistem keseimbangan asam basa secara fisiologis.
Bab ini menjelaskan fisiologi asam basa, gangguan yang biasa terjadi, dan implikasinya dalam anesthesi. Pengukuran gas darah secara klinis dan interpretasinya juga dibicarakan dalam bab ini.
DEFINISI
KIMIA ASAM BASA
Konsentrasi Ion Hidrogen dan pH
Dalam setiap cairan biasa, molekul air terurai secara reversibel menjadi hidrogen dan ion hidroksida:
Proses ini dikenal sebagai disosiasi konstan, KW:
Konsentrasi air tidak digunakan karena hasilnya tidak signifikan dan sudah konstan. Oleh karena itu dengan pemberian [H+] atau [OH-] konsentrasi ion lainnya dapat dihitung.
Contoh: Jika [H+] = 10-8 nEq/L, maka [OH-] = 10-14 ÷ 10-8 = 10-6 nEq/L.
Nilai normal [H+] pada arteri adalah 40 nEq/L atau 40 x 10-9 mol/L. Konsentrasi ion hidrogen sering dikenal sebagai pH, pH dari suatu larutan didefinisikan sebagai logaritma negatif (base 10) dari [H+]. pH normal arteri adalah –log (40 x 10-9) = 7,40. Konsentrasi ion hidrogen yang sesuai dalam kehidupan adalah antara 16 dan 160 nEq/L (pH 6,8 – 7).
Gambar 1
Seperti
disosiasi konstan lainnya, KW dipengaruhi oleh suhu. Oleh karena itu
titik elektronetralitas untuk air terjadi pada pH 7,0 dengan suhu 250C
atau pada pH 6,8 dan suhu 370C; Perubahan yang terjadi karena perubahan
suhu menjadi penting selama hipotermi.
Karena cairan fisiologis adalah larutan biasa yang kompleks, Faktor lain yang mempengaruhi penguraian dari air menjadi H+ dan OH- adalah SID, PCO2, dan ATOT.
Asam dan Basa
Asam dikenal sebagai bahan kimia yang berperan sebagai proton [H+] donor, sedangkan basa berperan sebagai penerima proton (definisi Bronsted-Lowry). Pada larutan fisiologis, lebih baik menggunakan definisi dari Arrhenius: Asam adalah senyawa yang terdiri dari hidrogen dan bereaksi dengan air untuh menghasilkan ion hidrogen. Basa adalah komponen yang menghasilkan ion hidroksida dari air. Dengan menggunakan definisi ini, SID menjadi sama pentingnya seperti ion-ion lain dalam larutan (kation dan anion) yang akan mempengaruhi disosiasi konstan dari air, dan konsentrasi ion hidrogen. Asam kuat merupakan substansi yang mudah dan hampir irreversibel yang dapat memberikan H+ dan dapat meningkatkan [H+], sedangkan basa kuat berikatan kuat dengan H+ dan menurunkan [H+]. Sebaliknya asam lemah memberikan H+ secara reversibel; keduanya punya efek yang sedikit terhadap [H+]. Senyawa biologis termasuk asam lemah atau basa lemah.
Untuk larutan yang mengandung asam lemah HA
dengan disosiasi konstan K dapat digambarkan seperti :
Bentuk logaritma negatif menghasilkan persamaan yang dikenal dengan persamaan Henderson-Hasselbach:
Dari persamaan ini dapat dilihat bahwa pH dari larutan ini berhubungan dengan rasio antara anion yang terdisosiasi dengan asam yang tidak terdisosiasi.
Yang menjadi masalah dalam perhitungan ini adalah bahwa secara fenomenal – Pengukuran pH dan bikarbonat, dan kemudian variabel yang lainnya dapat dimanipulasi secara matematis. Perhitungan ini dapat diukur dengan baik dengan air murni – konsentrasi [H+] harus sama dengan [OH-]. Tetapi larutan fisiologis, walaupun larutan biasa, jauh lebih kompleks. Meskipun pada larutan yang kompleks, [H+] dapat diperkirakan dengan menggunakan tiga variabel : SID, PCO2, dan konsentrasi total asam lemah [ATOT].
Perbedan Ion Kuat
SID adalah jumlah dari seluruh komponen kuat, baik yang terdisosiasi secara lengkap atau hampir lengkap, Kation (Na+, K+, Ca2+, Mg2+) dikurangi anion kuat (Cl-, laktat-, dan lain-lain)Walaupun kita dapat menghitung SID, karena hukum elektronetralitas harus diperhatikan, maka jika ada SID, ion lain yang tidak terhitung harus ada. PCO2 adalah variabel yang dapat berdiri sendiri dengan asumsi ventilasi tetap berlanjut. Basa konjugasi dari HA adalah A- dan biasanya sebagian besar terdiri dari foafat dan protein yang tidak berubah terhadap kedua variabel lainnya. A- ditambah AH adalah variabel yang berdiri sendiri karena nilainya tidak ditentukan oleh variabel yang lain. Perlu dicatat bahwa [H+] bukanlah ion kuat ( air tidak berdisosiasi secara lengkap), tetapi hal itu dapat terjadi atau dapat berespon terhadap setiap perubahan SID, PCO2, atau ATOT sesuai dengan hukum elektronetralitas dan keutuhan dari massa. Ion kuat tidak dapat dibuat untuk mancapai elektronetralitas, tetapi ion hidrogen dibuat atau dipakai berdasarkan perubahan pada disosiasi air.
Gambar 2
Karena cairan fisiologis adalah larutan biasa yang kompleks, Faktor lain yang mempengaruhi penguraian dari air menjadi H+ dan OH- adalah SID, PCO2, dan ATOT.
Asam dan Basa
Asam dikenal sebagai bahan kimia yang berperan sebagai proton [H+] donor, sedangkan basa berperan sebagai penerima proton (definisi Bronsted-Lowry). Pada larutan fisiologis, lebih baik menggunakan definisi dari Arrhenius: Asam adalah senyawa yang terdiri dari hidrogen dan bereaksi dengan air untuh menghasilkan ion hidrogen. Basa adalah komponen yang menghasilkan ion hidroksida dari air. Dengan menggunakan definisi ini, SID menjadi sama pentingnya seperti ion-ion lain dalam larutan (kation dan anion) yang akan mempengaruhi disosiasi konstan dari air, dan konsentrasi ion hidrogen. Asam kuat merupakan substansi yang mudah dan hampir irreversibel yang dapat memberikan H+ dan dapat meningkatkan [H+], sedangkan basa kuat berikatan kuat dengan H+ dan menurunkan [H+]. Sebaliknya asam lemah memberikan H+ secara reversibel; keduanya punya efek yang sedikit terhadap [H+]. Senyawa biologis termasuk asam lemah atau basa lemah.
Untuk larutan yang mengandung asam lemah HA
dengan disosiasi konstan K dapat digambarkan seperti :
Bentuk logaritma negatif menghasilkan persamaan yang dikenal dengan persamaan Henderson-Hasselbach:
Dari persamaan ini dapat dilihat bahwa pH dari larutan ini berhubungan dengan rasio antara anion yang terdisosiasi dengan asam yang tidak terdisosiasi.
Yang menjadi masalah dalam perhitungan ini adalah bahwa secara fenomenal – Pengukuran pH dan bikarbonat, dan kemudian variabel yang lainnya dapat dimanipulasi secara matematis. Perhitungan ini dapat diukur dengan baik dengan air murni – konsentrasi [H+] harus sama dengan [OH-]. Tetapi larutan fisiologis, walaupun larutan biasa, jauh lebih kompleks. Meskipun pada larutan yang kompleks, [H+] dapat diperkirakan dengan menggunakan tiga variabel : SID, PCO2, dan konsentrasi total asam lemah [ATOT].
Perbedan Ion Kuat
SID adalah jumlah dari seluruh komponen kuat, baik yang terdisosiasi secara lengkap atau hampir lengkap, Kation (Na+, K+, Ca2+, Mg2+) dikurangi anion kuat (Cl-, laktat-, dan lain-lain)Walaupun kita dapat menghitung SID, karena hukum elektronetralitas harus diperhatikan, maka jika ada SID, ion lain yang tidak terhitung harus ada. PCO2 adalah variabel yang dapat berdiri sendiri dengan asumsi ventilasi tetap berlanjut. Basa konjugasi dari HA adalah A- dan biasanya sebagian besar terdiri dari foafat dan protein yang tidak berubah terhadap kedua variabel lainnya. A- ditambah AH adalah variabel yang berdiri sendiri karena nilainya tidak ditentukan oleh variabel yang lain. Perlu dicatat bahwa [H+] bukanlah ion kuat ( air tidak berdisosiasi secara lengkap), tetapi hal itu dapat terjadi atau dapat berespon terhadap setiap perubahan SID, PCO2, atau ATOT sesuai dengan hukum elektronetralitas dan keutuhan dari massa. Ion kuat tidak dapat dibuat untuk mancapai elektronetralitas, tetapi ion hidrogen dibuat atau dipakai berdasarkan perubahan pada disosiasi air.
Gambar 2
Pasangan Konjugasi dan Buffer
Seperti yang telah dibahas diatas, ketika asam lemah HA berada dalam larutan, HA dapat berperan sebagai asam dengan melepas H+ dan A- dapat berperan sebagai basa dengan menangkap H+. Oleh karena itu A- sering disebut basa terkonjugasi dari HA. Konsep yang sama dapat diterapkan untuk basa lemah, dimana
Oleh karena itu, BH+ merupakan asam terkonjugasi dari B.
Buffer adalah larutan yang terdiri dari asam lemah dan basa terkonjugasi atau basa lemah dan asam terkonjugasi. Buffer meminimalisasikan setiap perubahan konsentrasi [H+] dengan cara mudah menerima atau melepaskan ion hidrogen. Sehingga buffer sangat efisien dalam meminimalisasi perubahan [H+] larutan (contoh, [A-] = [HA]) ketika pH = pK. Terlebih lagi, pasangan konjugasi harus berada dalam jumlah yang signifikan dalam suatu larutan agar dapat berperan sebagai buffer yang efektif.
GANGGUAN KLINIS
Pengertian yang jelas tentang gangguan asam basa dan kompensasi dari respon fisiologis membutuhkan terminologi yang baik. Kata ”-osis” disini digunakan untuk menyebutkan proses patologis yang mengubah pH arteri. Oleh karena itu, gangguan yang dikarenakan penurunan pH disebut asidosis, sedangkan yang dikarenakan peningkatan pH disebut alkalosis. Jika suatu gangguan terutama mempengaruhi [HCO3-], maka disebut metabolik. Jika gangguan terutama mempengaruhi PaCO2, maka disebut respiratorik. Respon kompensasi sekunder harus sesuai dengan nama sebenarnya dan tidak diikuti dengan kata ”-osis”. Mungkin seseorang akan mengarah ke metabolik asidosis dengan kompensasi respiratorik.
Jika hanya satu proses patologis yang terjadi, gangguan asam basa dianggap sederhana. Adanya dua atau lebih proses primer merupakan indikasi terjadinya gangguan asam basa campuran.
Kata ”-emia” digunakan untuk menunjukkan efek dari semua proses primer dan respon kompensasi fisiologis dari pH darah arteri. Karena pH normal darah arteri orang dewasa 7,35-7,45, pada keadaan asidemia pH <7,35, sedangkan pada alkalemia yang signifikan pH >7,45.
MEKANISME KOMPENSASI
Respon fisiologis terhadap perubahan [H+] terdiri dari tiga fase: (1) Buffering kimia yang segera, (2) kompensasi respiratorik, (3) kompensasi yang lebih lambat, tetapi lebih efektif yaitu respon kompensasi ginjalyang hasilnya dapat mendekati pH normal arteri meskipun proses patologis masih berlangsung.
BODY BUFFERS
Secara fisiologis buffer yang utama di manusia termasuk antara lain bikarbonat (H2CO3/HCO3-), Hemoglobin (HbH/Hb-), protein intraseluler (PrH/Pr-), fosfat (H2PO4/HPO4), dan ammonia (NH3/NH4+). Efektifitas dari keseluruhan buffer ini pada kompartemen cairan yang berbeda tergantung dari konsentrasinya. Bikarbonat adalah buffer yang sangat penting di kompartemen cairan ekstraseluler. Hemoglobin, yang terikat erat dalam sel darah merah, juga berfungsi sebagai buffer yang penting di dalam darah. Protein yang lainnya mungkin juga mempunyai pengaruh utama sebagai buffer pada kompartemen cairan intraseluler. Fosfat dan ammonia merupakan buffer urin yang utama.
Penyanggaan dari kompartemen ekstraseluler dapat terpenuhi dengan pertukaran H+ ekstraseluler dengan Na+ dan Ca2+ dari tulang dan bisa juga dengan pertukaran antara H+ ekstraseluler dengan K+ intraseluler. Asam yang berlebih juga dapat menyebabkan demineralisasi tulang dan pelepasan senyawa alkali (CaCO3 dan CaHPO4). Alkali berlebih (NaHCO3) dapat meningkatkan deposit karbonat pada tulang.
Penyanggaan oleh bikarbonat plasma dapat terjadi segera meskipun bikarbonat interstisial membutuhkan waktu 15-20 menit. Sebaliknya, penyanggaan dengan protein intreseluler dan tulang berlangsung lambat (2-4 jam). Lebih dari 50-60% asam berlebih mungkin dapat disangga oleh sistem penyangga dati tulang dan intraseluler.
Buffer Bikarbonat
Meskipun dalam pengertian yang jelas bahwa buffer bikarbonat terdiri dari H2CO3 dan HCO3-, tekanan CO2 (PCO2) dapat menggantikan H2CO3, karena:
Hidrasi dari CO2 ini dikatalisasi oleh karbonik anhidrase. Jika penyesuaian ini dibuat dalam disosiasi konstan untuk buffer bikarbonat dan jika koefisien kelarutan untuk CO2 (0,03 mEq/L) dipakai, maka persamaan Henderson-Hesselbach dapat ditulis sebagai berikut:
dimana pK = 6,1.
Jika pK tidak mendekati pH normal arteri 7,4 maka bikarbonat tidak dapat dikatakan sebagai buffer ekstraseluler yang efisien. Sistem bikarbonat, bagaimanapun, penting karena dua alasan: (1) Bikarbonat (HCO3-) berada dalam konsentrasi yang tinggi alam cairan ekstraseluler, (2) Lebih penting lagi, PaCO2 dan [HCO3-] plasma diatur oleh paru-paru dan ginjal secara terus-menerus. Kemampuan dari kedua organ ini untuk mengubah rasio [HCO3-]/PaCO2 menyebabkan kedua organ ini memiliki pengaruh penting terhadap pH arteri.
Cara yang praktis dan lebih sederhana dari persamaan Henderson-Hesselbach untuk buffer bikarbonat adalah:
Persamaan ini sangat berguna secara klinis karena pH dapat dengan mudah diubah ke [H+]. Dikatakan untuk pH dibawah 7,40, [H+] meningkat 1,25 nEq/L untuk setiapp penurunan pH sebesar 0,01; Untuk pH diatas 7,40, [H+] menurun sebesar 0,8 nEq/L untuk setiap peningkatan pH sebesar 0,01.
Tabel 2
Contoh: Jika pH arteri = 7,28 dan PaCO2 = 24 mmHg, berapakah [HCO3-] plasma?
Karenanya,
Seharusnya buffer bikarbonat efektif untuk melawan metabolik tetapi tidak untuk melawan gangguan asam basa respirasi. Jika 3 mEq/L asam kuat nonvolatil seperti HCl ditambahkan ke dalam cairan ekstraseluler, reaksi berikutnya:
Tercatat bahwa HCO3- bereaksi dengan H+ untuk memproduksi CO2. Selebihnya, CO2 secara normal dieliminasi oleh paru-paru sehingga PaCO2 tidak berubah. Sebagai konsekwensi, [H+] = 24 x 40 ÷ 21 = 45,7 nEq/L dan pH = 7,34. Selanjutnya penurunan pada [HCO3-] mempengaruhi jumlah dari asam nonvolatil yang ditambahkan.
Secara kontras, peningkatan tekanan CO2 (asam volatil) memiliki efek yang minimal pada [HCO3-]. Jika, untuk contoh, PaCO2 meningkat dari 40 ke 80 mmHg, CO2 yang terlarut meningkat hanya dari 1,2 mEq/L ke 2,2 mEq/L. Selebihnya, keseimbangan konstan untuk hidrasi dari CO2 meningkat secara minimal dan membawa reaksi ke arah kiri.
Jika asumsi yang sebenarnya dibuat bahwa [ HCO3–] tidak berubah, kemudian
Oleh karena meningkat sebanyak 40 nEq/L dan karena HCO3- diproduksi dalam rasio 1:1 dengan H+, [HCO3-] juga meningkat sebanyak 40 nEq/L. Karena [HCO3-] ekstraseluler juga meningkat secara nyata dari 24 mEq/L menjadi 24.000040 mEq/L. Oleh karena itu, buffer bikarbonat tidak efektif melawan peningkatan PaCO2 dan perubahan dalam [HCO3-] tidak mempengaruhi keparahan dari asidosis respiratorik.
Hemoglobin Sebagai Buffer
Hemoglobin kaya akan histidin, yang merupakan buffer efektif dari pH 5,7 sampai 7,7 (pKa 6,8). Hemoglobin merupakan buffer nonkarbonik yang paling penting pada cairan ekstraseluler. Secara sederhana, hemoglobin dapat dipikirkan sebagai keberadaan sel darah merah dalam keseimbangan sebagai asam lemah (HHb) dan garam kalium (KHb). Berbeda dengan buffer bikarbonat, hemogloin dapat dipakai sebagai buffer untuk asam karbonik (CO2) dan nonkarbonik (nonvolatil):
Seperti yang telah dibahas diatas, ketika asam lemah HA berada dalam larutan, HA dapat berperan sebagai asam dengan melepas H+ dan A- dapat berperan sebagai basa dengan menangkap H+. Oleh karena itu A- sering disebut basa terkonjugasi dari HA. Konsep yang sama dapat diterapkan untuk basa lemah, dimana
Oleh karena itu, BH+ merupakan asam terkonjugasi dari B.
Buffer adalah larutan yang terdiri dari asam lemah dan basa terkonjugasi atau basa lemah dan asam terkonjugasi. Buffer meminimalisasikan setiap perubahan konsentrasi [H+] dengan cara mudah menerima atau melepaskan ion hidrogen. Sehingga buffer sangat efisien dalam meminimalisasi perubahan [H+] larutan (contoh, [A-] = [HA]) ketika pH = pK. Terlebih lagi, pasangan konjugasi harus berada dalam jumlah yang signifikan dalam suatu larutan agar dapat berperan sebagai buffer yang efektif.
GANGGUAN KLINIS
Pengertian yang jelas tentang gangguan asam basa dan kompensasi dari respon fisiologis membutuhkan terminologi yang baik. Kata ”-osis” disini digunakan untuk menyebutkan proses patologis yang mengubah pH arteri. Oleh karena itu, gangguan yang dikarenakan penurunan pH disebut asidosis, sedangkan yang dikarenakan peningkatan pH disebut alkalosis. Jika suatu gangguan terutama mempengaruhi [HCO3-], maka disebut metabolik. Jika gangguan terutama mempengaruhi PaCO2, maka disebut respiratorik. Respon kompensasi sekunder harus sesuai dengan nama sebenarnya dan tidak diikuti dengan kata ”-osis”. Mungkin seseorang akan mengarah ke metabolik asidosis dengan kompensasi respiratorik.
Jika hanya satu proses patologis yang terjadi, gangguan asam basa dianggap sederhana. Adanya dua atau lebih proses primer merupakan indikasi terjadinya gangguan asam basa campuran.
Kata ”-emia” digunakan untuk menunjukkan efek dari semua proses primer dan respon kompensasi fisiologis dari pH darah arteri. Karena pH normal darah arteri orang dewasa 7,35-7,45, pada keadaan asidemia pH <7,35, sedangkan pada alkalemia yang signifikan pH >7,45.
MEKANISME KOMPENSASI
Respon fisiologis terhadap perubahan [H+] terdiri dari tiga fase: (1) Buffering kimia yang segera, (2) kompensasi respiratorik, (3) kompensasi yang lebih lambat, tetapi lebih efektif yaitu respon kompensasi ginjalyang hasilnya dapat mendekati pH normal arteri meskipun proses patologis masih berlangsung.
BODY BUFFERS
Secara fisiologis buffer yang utama di manusia termasuk antara lain bikarbonat (H2CO3/HCO3-), Hemoglobin (HbH/Hb-), protein intraseluler (PrH/Pr-), fosfat (H2PO4/HPO4), dan ammonia (NH3/NH4+). Efektifitas dari keseluruhan buffer ini pada kompartemen cairan yang berbeda tergantung dari konsentrasinya. Bikarbonat adalah buffer yang sangat penting di kompartemen cairan ekstraseluler. Hemoglobin, yang terikat erat dalam sel darah merah, juga berfungsi sebagai buffer yang penting di dalam darah. Protein yang lainnya mungkin juga mempunyai pengaruh utama sebagai buffer pada kompartemen cairan intraseluler. Fosfat dan ammonia merupakan buffer urin yang utama.
Penyanggaan dari kompartemen ekstraseluler dapat terpenuhi dengan pertukaran H+ ekstraseluler dengan Na+ dan Ca2+ dari tulang dan bisa juga dengan pertukaran antara H+ ekstraseluler dengan K+ intraseluler. Asam yang berlebih juga dapat menyebabkan demineralisasi tulang dan pelepasan senyawa alkali (CaCO3 dan CaHPO4). Alkali berlebih (NaHCO3) dapat meningkatkan deposit karbonat pada tulang.
Penyanggaan oleh bikarbonat plasma dapat terjadi segera meskipun bikarbonat interstisial membutuhkan waktu 15-20 menit. Sebaliknya, penyanggaan dengan protein intreseluler dan tulang berlangsung lambat (2-4 jam). Lebih dari 50-60% asam berlebih mungkin dapat disangga oleh sistem penyangga dati tulang dan intraseluler.
Buffer Bikarbonat
Meskipun dalam pengertian yang jelas bahwa buffer bikarbonat terdiri dari H2CO3 dan HCO3-, tekanan CO2 (PCO2) dapat menggantikan H2CO3, karena:
Hidrasi dari CO2 ini dikatalisasi oleh karbonik anhidrase. Jika penyesuaian ini dibuat dalam disosiasi konstan untuk buffer bikarbonat dan jika koefisien kelarutan untuk CO2 (0,03 mEq/L) dipakai, maka persamaan Henderson-Hesselbach dapat ditulis sebagai berikut:
dimana pK = 6,1.
Jika pK tidak mendekati pH normal arteri 7,4 maka bikarbonat tidak dapat dikatakan sebagai buffer ekstraseluler yang efisien. Sistem bikarbonat, bagaimanapun, penting karena dua alasan: (1) Bikarbonat (HCO3-) berada dalam konsentrasi yang tinggi alam cairan ekstraseluler, (2) Lebih penting lagi, PaCO2 dan [HCO3-] plasma diatur oleh paru-paru dan ginjal secara terus-menerus. Kemampuan dari kedua organ ini untuk mengubah rasio [HCO3-]/PaCO2 menyebabkan kedua organ ini memiliki pengaruh penting terhadap pH arteri.
Cara yang praktis dan lebih sederhana dari persamaan Henderson-Hesselbach untuk buffer bikarbonat adalah:
Persamaan ini sangat berguna secara klinis karena pH dapat dengan mudah diubah ke [H+]. Dikatakan untuk pH dibawah 7,40, [H+] meningkat 1,25 nEq/L untuk setiapp penurunan pH sebesar 0,01; Untuk pH diatas 7,40, [H+] menurun sebesar 0,8 nEq/L untuk setiap peningkatan pH sebesar 0,01.
Tabel 2
Contoh: Jika pH arteri = 7,28 dan PaCO2 = 24 mmHg, berapakah [HCO3-] plasma?
Karenanya,
Seharusnya buffer bikarbonat efektif untuk melawan metabolik tetapi tidak untuk melawan gangguan asam basa respirasi. Jika 3 mEq/L asam kuat nonvolatil seperti HCl ditambahkan ke dalam cairan ekstraseluler, reaksi berikutnya:
Tercatat bahwa HCO3- bereaksi dengan H+ untuk memproduksi CO2. Selebihnya, CO2 secara normal dieliminasi oleh paru-paru sehingga PaCO2 tidak berubah. Sebagai konsekwensi, [H+] = 24 x 40 ÷ 21 = 45,7 nEq/L dan pH = 7,34. Selanjutnya penurunan pada [HCO3-] mempengaruhi jumlah dari asam nonvolatil yang ditambahkan.
Secara kontras, peningkatan tekanan CO2 (asam volatil) memiliki efek yang minimal pada [HCO3-]. Jika, untuk contoh, PaCO2 meningkat dari 40 ke 80 mmHg, CO2 yang terlarut meningkat hanya dari 1,2 mEq/L ke 2,2 mEq/L. Selebihnya, keseimbangan konstan untuk hidrasi dari CO2 meningkat secara minimal dan membawa reaksi ke arah kiri.
Jika asumsi yang sebenarnya dibuat bahwa [ HCO3–] tidak berubah, kemudian
Oleh karena meningkat sebanyak 40 nEq/L dan karena HCO3- diproduksi dalam rasio 1:1 dengan H+, [HCO3-] juga meningkat sebanyak 40 nEq/L. Karena [HCO3-] ekstraseluler juga meningkat secara nyata dari 24 mEq/L menjadi 24.000040 mEq/L. Oleh karena itu, buffer bikarbonat tidak efektif melawan peningkatan PaCO2 dan perubahan dalam [HCO3-] tidak mempengaruhi keparahan dari asidosis respiratorik.
Hemoglobin Sebagai Buffer
Hemoglobin kaya akan histidin, yang merupakan buffer efektif dari pH 5,7 sampai 7,7 (pKa 6,8). Hemoglobin merupakan buffer nonkarbonik yang paling penting pada cairan ekstraseluler. Secara sederhana, hemoglobin dapat dipikirkan sebagai keberadaan sel darah merah dalam keseimbangan sebagai asam lemah (HHb) dan garam kalium (KHb). Berbeda dengan buffer bikarbonat, hemogloin dapat dipakai sebagai buffer untuk asam karbonik (CO2) dan nonkarbonik (nonvolatil):
KOMPENSASI PARU-PARU
Perubahan pada ventilasi alveolar bertanggung jawab untuk kompensasi paru dari PaCO2 yang diperantarai oleh kemoreseptor pada batang otak. Reseptor ini berespon terhadap perubahan pada pH cairan serebrospinal. Ventilasi permenit meningkat 1-4 L/menit untuk setiap peningkatan 1 mmHg PaCO2. Faktanya, paru-paru bertanggung jawab untuk mengeliminasi kira-kira 15 mEq karbondioksida yang diproduksi setiap hari sebagai produk metabolisme karbohidrat dan lemak. Respon kompensasi paru juga penting dalam pertahanan melawan perubahan pada pH selama gangguan metabolik.
Kompensasi Paru-Paru Selama Asidosis Metabolik
Penurunan pH darah arteri menstimulasi pusat pernafasan di medulla. Hasil dari peningkatan ventilasi aleolar akan menurunkan PaCO2 dan cenderung menormalkan pH arteri. Respon paru terhadap PaCO2 yang rendah terjadi secara cepat tetapi mungkin tidak mencapai keadaan yang diinginkan sampai 12-24 jam; pH tidak pernah mencapai normal.PaCO2 secara normal turun 1-1,5 mmHg dibawah 40 mmHg untuk setiap penurunan [HCO3-] plasma sebesar 1 mEq/L.
Kompensasi Paru-Paru Selama Alkalosis Metabolik
Peningkatan pH darah arteri akan menekan pusat pernafasan. Hasilnya hipoventilasi alveolar cenderung menaikkan PaCO2 dan mengembalikan pH arteri menjadi normal.Respon paru terhadap alkalosis metabolik secara umum sulit diprediksi dibandingkan respon terhadap asidosis matabolik. Hipoksemia, sebagai akibat dari hipoventilasi yang progresif, biasanya mengaktifkan axygen-sensitive chemoreceptor; kemudian menstimulasi ventilasi dan membatasi respon kompensasi paru. Konsekwensinya, PaCO2 biasanya tidak pernah naik diatas 55 mmHg pada respon terhadap alkalosis metabolik. Secara umum, PaCO2 dapat diharapkan meningkat sebesar 0,25-1 mmHg untuk setiap peningkatan [HCO3-] sebesar 1 mEq/L.
KOMPENSASI GINJAL
Kemampuan ginjal untuk mengatur jumlah reabsorbsi HCO3- yang terfiltrasi dari cairan tubulus, membentuk HCO3- yang baru, dan mengeliminasi H+ dalam bentuk asam yang dapat dititrasi dan ion ammonia menyebabkan mereka memberi pengaruh utama terhadap pH selama gangguan asam basa baik metabolik dan respiratorik.
Pada kenyataannya, ginjal bertanggung jawab untuk mengeliminasi sekitar 1 mEq/kg/hari dari asam sulfat, asam fosfat, dan sebagian asam organik yang teroksidasi yang normalnya oleh metabolisme dari protein yang berasal dari makanan dan dari dalam tubuh (endogen), nukleoprotein, dan fosfat organik (fosfoprotein dan fosfolipid). Metablisme nukleoprotein juga menghasilkan asam urat. Pembakaran tidak sempurna dari asam lemak dan glukosa akan menghasilkan asam keton dan asam laktat. Alkali endogen dihasilkan selama metabolisme beberapa asam amino anionik (glutamat dan aspartat) dan senyawa organik lainnya (sitrat, asetat, dan laktat), tetapi jumlahnya tidak mencukupi untuk mengimbangi produksi asam endogen.
Kompensasi Ginjal Selama Asidosis
Respon ginjal terhadap keadaan asam terdiri dari 3 langkah: (1) Peningkatan reabsorbsi HCO3- yang terfiltrasi, (2) Peningkatan ekskresi asam yang dapat dicairkan, (3) Peningkatan produksi ammonia. Meskipun mekanisme ini dapat diaktifkan segera, efeknya secara umum tidak muncul dalam 12-24 jam dan mungkin belum maksimal setelah lebih dari 5 hari.
A. Meningkatkan Reabsorbsi Dari HCO3-
CO2 didalam sel tubulus ginjal berikatan dengan air dan membentuk karbonat anhidrase. Asam karbonat (H2CO3) terbentuk dengan cepat dan terdisosiasi menjadi H+ dan HCO3-. Kemudian ion bikarbonat masuk ke aliran darah sementara ion H+ disekresi ke dalam tubulus ginjal, dimana H+ bereaksi dengan HCO3- yang terfiltrasi untuk membentuk H2CO3. Karbonik anhidrase menempel ke dinding lumen dan mengkalisasi peruabhan H2CO3 menjadi CO2 dan H2O. Kemudian CO2 dapat berdifusi kembali kedalam sel tubulus ginjal ntuk menggantikan CO2 yang sudah terpakai. Tubulus proksimal secara normal mereabsorbsi 80-90% bikarbonat yang terfiltrasi bersamaan dengan sodium, sedangkan tubulus distal bertanggung jawab hanya 10-20%. Tidak seperti pompa H+ pada tubulus proksimal, pompa H+ di tubulus distal tidak bersamaan dengan reabsorbsi sodium, dan memiliki kemampuan mengatur gradien H+ antara cairan tubulus dan sel tubulus. pH urine dapat menurun sampai 4,4 (Bandingkan dengan pH plasma yaitu 7,4).
Gambar 3
B. Meningkatkan Ekskresi Asam Yang Dapat Dicairkan
Setelah seluruh HCO3- di dalam cairan tubulus kembali lagi ke dalam darah, H+ yang disekrasi ke dalam lumen dapat berikatan dengan HPO42- membentuk H2PO4 yang tidak dapat direabsorbsikarena muatannya dan dieliminasi melalui urine. Hasil akhirnya adalah H+ diekskresi dari tubuh dalam bentuk H2PO4, dan HCO3- dapat masuk ke aliran darah. Dengan pK 6,8, H2PO4/HPO42- secara normal merupakan buffer urine. Ketika pH urine mencapai 4,4, semua fosfat mencapai tubulus distal dalam bentuk H2PO4 dan ion HPO42- sudah tidak dapat lagi mengeliminasi H+.
Gambar 4
C. Meningkatkan Pembentukan Ammonia
Setelah reabsorbsi lengkap HCO3- dan penggunaan dari buffer fosfat, NH3/NH4+ menjadi bufer urine yang sangat penting. Deaminasi glutamin didalam mitokondria di sel tubulus proksimal merupakan sumber utama untuk produksi NH3 di ginjal. Keadaan asam dalam darah (acidemis) menyebabkan peningkatan produksi NH3 ginjal. Ammonia yang terbentuk kemudian dapat melewati membran sel luminal dan masuk ke cairan tubulus, kemudian bereaksi dengan H+ membentuk NH4+. Tidak seperti NH3, NH4+ tidak dapat penetrasi ke membran luminal dan terperangkap didalam tubulus. Sehingga NH4+ di urine efektif untuk mengeliminasi H+.
Gambar 5
Kompensasi Ginjal Selama Alkalosis
Jumlah HCO3- yang banyak secara normal difiltrasi dan kadang-kadang direabsorbsi karen aginjal butuh akskresi bikarbonat dalam jumlah banyak jika dibutuhkan. Sebagai haslnya, ginnjal sangat efektif dalam proteksi terhadap keadaan metabolik alkalosis yang secara umu terjadi karena defisiensi sodium atau mineralokortikoid berlebih. Deplesi dari sodium akan menurunkan volume cairan ekstraseluler dan meningkatkan reabsorbsi Na+ dari tubulus proksimal ginjal. Untuk mempertahankan keadaan netral, ion Na+ membawa ion Cl- saat melewati membran. Karena jumlah ion Cl- menurun (<10 mEq/L di urine), maka HCO3- harus direabsorbsi. Sebagai tambahan, peningkatan sekresi H+ sebagai pengganti untuk meningkatkan reabsorbsi Na+ membutuhkan pembentukan HCO3- yang berkelanjutan dengan metabolik alkalosis. Sama halnya, peningkatan aktivitas mineralokortikoid meningkatkan reabsorbsi Na+ yang diperantarai oleh hormon aldosterone sebagai pengganti ntuk sekresi ion H+ di tubulus distal, dan akhirnya peningkatan pementukan HCO3- dapat menjadi pencetus atau memperberat metabolik alkalosis. Metabolik alkalosis biasanya berhubungan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid meskipun tidak terjadi deplesi dari sodium dan klorida.
Base Excess
Base Excess adalah jumlah assam atau basa yang harus ditambahkan ke dalam darah agar pHnya kembali menjadi 7,4 dan PaCO2 menjadi 40 mmHh pada keadaan saturasi O2 maksimal dan suhu 370C. Ditambah lagi, pemberian ini hanya berlaku untuk buffer yang nonkarbonik di darah. Singkatnya, base excess menggambarkan tentang komponen metabolisme dari gangguan asam asa. Nilai positif menandakan keadaan metabolisme alkalosis, sedangkan nilai negatif menandakan metabolisme asidosis. Base excess biasanya dalam bentuk grafik atau secara elektronik dari normogram yang dikembabngkan oleh Siggaard-Anderson dan membutuhkan penghitungan konsentrasi hemoglobin.
Gambar 6
ASIDOSIS
EFEK FISIOLOGIS TERHADAP ACIDEMIA
[H+] diregulasi secara ketat dalam batas nanomol/L (36-43 nmol/L) karena ion H+ memiliki kepadatan muatan yang tinggi dan medan listrik yang las yang dapat mempengaruhi kekuatan ikatan hidrogen yang secara fisiologis terdapat pada hampir semua biokimia. Reaksi biokimia sangat sensitif akan perubahan [H+]. Keseluruhan efek akhir dari acidemia yang terlihat pada pasien menunjukkan keseimbangan antara efek secara langsung dan aktivasi simpatis ginjal. Dengan keadaan asidosis yang memburuk (pH < 7,20), efek depresi secara langsung sangat dominan. Depresi otot jantung dan otot polos secara langsung menyebabkan penurunan kontraksi jantung dan resistensi pembuluh perifer, dan pada akhirnya menyebabkan hipotensi tang progresif. Asidosis yang berat menyebabkan hipoksia jaringan disamping menyebabkan affinitas hemoglobin terhadap oksigen bergeser ke arah kanan. Jantung dan otot polos pembuluh darah menjadi kurang responsif terhadap katekolamin eksogen dan endogen, dan ambang fibrilasi ventrikel menurun. Hiperkalemia yang progresif sebagai akibat dari K+ yang keluar dari sel sebagai pengganti untuk H+ ekstraseluler juga sangat potensial untuk menyebabkan kematian.[K+] plasma meningkat sampai kira-kira 0,6 mEq/L untuk setiap penurunan pH sebesar 0,10. Depresi sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada respirasi asidosis dibandingkan metabolik asidosis. Pengaruh ini, seringkali disebut Narkosis CO2, mungkin sebagai hasil dari hipertensi sekunder intrakranial untuk meningkatkan aliran darah otak (Cerebral Blood Flow) dan asidosis intrasel yang berat. Tidak seperti CO2, ion H+ tidak mudah penetrasi melalui sawar darah otak.
ASIDOSIS RESPIRATORIK
Acidosis respiratorik digambarkan sebagai peningkatan PaCO2 primer. Peningkatan ini berdasar pada reaksi:
ke
arah kanan akan menyebabkan peningkatan [H+] dan menurunkan pH arteri.
Sesuai dengan reaksi diatas, [HCO3-] sedikit sekali terpengaruh.
PaCO2 menggambarkan keseimbangan antara produksi CO2 dan pembuangan CO2:
Produksi karbondioksida berasal dari metabolisme lemak dan karbohidrat. Aktivitas otot, Suhu tubuh, dan aktivitas hormon tiroid mempunyai pengaruh besar terhadap produksi CO2. Karena produksi CO2 tidak dapat dinilai di bawah banyak keadaan, maka asidosis respiratorik biasanya disebabkan hipoventilasi alveolar. Pada pasien dengan kapasitas yang terbatas untuk meningkatkan ventilasi alveolar, bagaimanapun juga, peningkatan produksi CO2 dapat menjadi pencetus asidosis respiratorik.
Tabel 30 – 3
Asidosis Respiratorik Akut
Respon kompensasi terhadap peningkatan PaCO2 secara akut (6-12 jam) adalah terbatas. Sistem penyangga yang berperan secara primer dilakukan oleh hemoglobin dan pertukaran H+ ekstraseluler dengan Na+ dan K+ dari tulang dan kompartemen cairan interstisial. Respon ginjal untuk mempertahankan bikarbonat dalam jumlah lebih sangat terbatas pada keadaan yang akut. Sebagai hasilnya, [HCO3-] plasma meningkat hanya sekitar 1 mEq/L untuk setiap peningkatan 10 mmHg dari PaCO2 di bawah 40 mmHg.
Asidosis Respiratorik Kronis
Kompensasi ginjal yang maksimal menandakan terjadinya asidosis respiratorik kronis. Kompensasi ginjal dapat dinilai hanya setelah 12-24 jam dan mungkin mencapai maksimal setelah 3-5 hari. Selama waktu itu, peningkatan PaCO2 yang bertahan sejak lama menyebabkan kompensasi ginjal yang maksimal. Selama asidosis respiratorik kronis, [HCO3-] plasma meningkat sekitar 4 mEq/L untuk setiap peningkatan 10 mmHg dari PaCO2 dibawah 40 mmHg.
Penanganan Asidosis Respiratorik
Asidosis respiratorik diterapi dengan mengembalikan ketidakseimbangan antara produksi CO2 dan ventilasi alveolar. Pada kebanyakan kasus, terapi ini dilakukan dengan meningkatkan ventilasi alveolar. Ukuran yang ditujukan pada penurunan produksi CO2 sangat berguna hanya pada kasus-kasus yang spesifik (seperti, dantrolene untuk hipertermi berat, paralisis otot untuk tetanus, medikasi antitiroid untuk krisis tiroid, dan penurunan asupan kalori). Penantian yang tepat yang ditujukan untuk meningkatkan ventilasi alveolar termasuk bronkhodilatasi, pengembalian keadaan narkosis, pemberian stimulan pernafasan (doxapram), atau meningkatkan kemampuan pengembangan paru (diuresis). Asidosis yang moderat sampai berat (pH < 7,20), narkosis CO2, dan kelelahan otot pernafasan yang tiba-tiba merupakan indikasi untuk pemasangan ventilator. Peningkatan konsentrasi oksigen inspirasi juga diperlukan, karena hipoksemia yang menetap biasa terjadi. NaHCO3 intravenous sangat jarang terjadi kecuali pH < 7.10 dan HCO3 < 15 mEq /L. Terapi sodium bikarbonat akan meningkatkan PaCO2 :
Buffer yang tidak menghasilkan CO2 seperti carbicarb, atau tromethamine, (THAM) bisa digunakan sebagai alternatif tetapi tidak terbukti keuntungannya. Carbicarb adalah campuran dari 0,3 M sodium bikarbonat dan 0,3 M sodium carbonat, buffering dengan campuran ini terutama memproduksi sodium bikarbonat bila dibandingkan dengan CO2. Tromethamin punya keuntungan karena mengandung a
Pasien dengan dasar kronik asidosis respiratorik memerlukan pertimbangan khusus. Ketika pasien dengan dengan kegagalan ventilasi akut, terapi yang harus dicapai dengan mengembalikan PaCO2 ke normal. Mengembalikan nilai normal PaCO2 pasien kenilai 40 mmHg akan memberikan hasil alkalosis. Terapi oksigen harus diperhatikan, karena kemampuan resipiratori pada pasien ini sudah terbiasa dalam keadaan hipoksemi, bukan PaCO2 atau meningkatkan kemampuan death space. Sehingga menormalisasikan PaCO2 atau relatif hiperoksia akan memicu terjadinya hipoventilasi.
Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik didefinisikan sebagai penurunan primer dari HCO3 . Proses patologis akan menghasilkan asidosis metabolik melalui salah satu dari tiga mekanisme sebagai berikut, 1. Konsumsi HCO3 dengan asam kuat nonvolatil, 2. Eksresi Renal atau gastrointestinal dari bikarbonat, 3. Pengenceran cepat dari kompartemen cairan ekstraseluler dengan cairan bebas bikarbonat .
Penurunan dari plasma (HCO3) tanpa diikuti dengan reduksi PaCO2 akan menurunkan pH arteri. Reaksi kompensasi pulmonal dalam asidosis metabolik sederhana tidak akan menurunkan PaCO2 sampai tingkat yang dapat menormalkan pH tapi kompensasi hanya berupa hiperventali nag jelas (Kussmaul).
Tabel 30.4 menggambarkan kelain-lelainan yang dapat menyebabkan asidosi metabolik. Catat bahwa diferensial diagnosis yang menyebabkan asidosis metabolik dapat diketahui melalui perhitungan anion gap.
Anion Gap
Anion gap di plasma biasanya didefinisikan sebagai perbedaan antara ukuran mayor kation dan anion.
Atau
Beberapa klinis memasukan kalium plasma dalam perhitungkan menggunakan nilai normal,
Pada dasarnya, anion gap tidak dapat muncul karena tubuh selalu mempertahankan keseimbangan elektrolit; jumlah anion sama dengan jumlah kation. Jadi,
Setelah reabsorbsi lengkap HCO3- dan penggunaan dari buffer fosfat, NH3/NH4+ menjadi bufer urine yang sangat penting. Deaminasi glutamin didalam mitokondria di sel tubulus proksimal merupakan sumber utama untuk produksi NH3 di ginjal. Keadaan asam dalam darah (acidemis) menyebabkan peningkatan produksi NH3 ginjal. Ammonia yang terbentuk kemudian dapat melewati membran sel luminal dan masuk ke cairan tubulus, kemudian bereaksi dengan H+ membentuk NH4+. Tidak seperti NH3, NH4+ tidak dapat penetrasi ke membran luminal dan terperangkap didalam tubulus. Sehingga NH4+ di urine efektif untuk mengeliminasi H+.
Gambar 5
Kompensasi Ginjal Selama Alkalosis
Jumlah HCO3- yang banyak secara normal difiltrasi dan kadang-kadang direabsorbsi karen aginjal butuh akskresi bikarbonat dalam jumlah banyak jika dibutuhkan. Sebagai haslnya, ginnjal sangat efektif dalam proteksi terhadap keadaan metabolik alkalosis yang secara umu terjadi karena defisiensi sodium atau mineralokortikoid berlebih. Deplesi dari sodium akan menurunkan volume cairan ekstraseluler dan meningkatkan reabsorbsi Na+ dari tubulus proksimal ginjal. Untuk mempertahankan keadaan netral, ion Na+ membawa ion Cl- saat melewati membran. Karena jumlah ion Cl- menurun (<10 mEq/L di urine), maka HCO3- harus direabsorbsi. Sebagai tambahan, peningkatan sekresi H+ sebagai pengganti untuk meningkatkan reabsorbsi Na+ membutuhkan pembentukan HCO3- yang berkelanjutan dengan metabolik alkalosis. Sama halnya, peningkatan aktivitas mineralokortikoid meningkatkan reabsorbsi Na+ yang diperantarai oleh hormon aldosterone sebagai pengganti ntuk sekresi ion H+ di tubulus distal, dan akhirnya peningkatan pementukan HCO3- dapat menjadi pencetus atau memperberat metabolik alkalosis. Metabolik alkalosis biasanya berhubungan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid meskipun tidak terjadi deplesi dari sodium dan klorida.
Base Excess
Base Excess adalah jumlah assam atau basa yang harus ditambahkan ke dalam darah agar pHnya kembali menjadi 7,4 dan PaCO2 menjadi 40 mmHh pada keadaan saturasi O2 maksimal dan suhu 370C. Ditambah lagi, pemberian ini hanya berlaku untuk buffer yang nonkarbonik di darah. Singkatnya, base excess menggambarkan tentang komponen metabolisme dari gangguan asam asa. Nilai positif menandakan keadaan metabolisme alkalosis, sedangkan nilai negatif menandakan metabolisme asidosis. Base excess biasanya dalam bentuk grafik atau secara elektronik dari normogram yang dikembabngkan oleh Siggaard-Anderson dan membutuhkan penghitungan konsentrasi hemoglobin.
Gambar 6
ASIDOSIS
EFEK FISIOLOGIS TERHADAP ACIDEMIA
[H+] diregulasi secara ketat dalam batas nanomol/L (36-43 nmol/L) karena ion H+ memiliki kepadatan muatan yang tinggi dan medan listrik yang las yang dapat mempengaruhi kekuatan ikatan hidrogen yang secara fisiologis terdapat pada hampir semua biokimia. Reaksi biokimia sangat sensitif akan perubahan [H+]. Keseluruhan efek akhir dari acidemia yang terlihat pada pasien menunjukkan keseimbangan antara efek secara langsung dan aktivasi simpatis ginjal. Dengan keadaan asidosis yang memburuk (pH < 7,20), efek depresi secara langsung sangat dominan. Depresi otot jantung dan otot polos secara langsung menyebabkan penurunan kontraksi jantung dan resistensi pembuluh perifer, dan pada akhirnya menyebabkan hipotensi tang progresif. Asidosis yang berat menyebabkan hipoksia jaringan disamping menyebabkan affinitas hemoglobin terhadap oksigen bergeser ke arah kanan. Jantung dan otot polos pembuluh darah menjadi kurang responsif terhadap katekolamin eksogen dan endogen, dan ambang fibrilasi ventrikel menurun. Hiperkalemia yang progresif sebagai akibat dari K+ yang keluar dari sel sebagai pengganti untuk H+ ekstraseluler juga sangat potensial untuk menyebabkan kematian.[K+] plasma meningkat sampai kira-kira 0,6 mEq/L untuk setiap penurunan pH sebesar 0,10. Depresi sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada respirasi asidosis dibandingkan metabolik asidosis. Pengaruh ini, seringkali disebut Narkosis CO2, mungkin sebagai hasil dari hipertensi sekunder intrakranial untuk meningkatkan aliran darah otak (Cerebral Blood Flow) dan asidosis intrasel yang berat. Tidak seperti CO2, ion H+ tidak mudah penetrasi melalui sawar darah otak.
ASIDOSIS RESPIRATORIK
Acidosis respiratorik digambarkan sebagai peningkatan PaCO2 primer. Peningkatan ini berdasar pada reaksi:
PaCO2 menggambarkan keseimbangan antara produksi CO2 dan pembuangan CO2:
Produksi karbondioksida berasal dari metabolisme lemak dan karbohidrat. Aktivitas otot, Suhu tubuh, dan aktivitas hormon tiroid mempunyai pengaruh besar terhadap produksi CO2. Karena produksi CO2 tidak dapat dinilai di bawah banyak keadaan, maka asidosis respiratorik biasanya disebabkan hipoventilasi alveolar. Pada pasien dengan kapasitas yang terbatas untuk meningkatkan ventilasi alveolar, bagaimanapun juga, peningkatan produksi CO2 dapat menjadi pencetus asidosis respiratorik.
Tabel 30 – 3
Asidosis Respiratorik Akut
Respon kompensasi terhadap peningkatan PaCO2 secara akut (6-12 jam) adalah terbatas. Sistem penyangga yang berperan secara primer dilakukan oleh hemoglobin dan pertukaran H+ ekstraseluler dengan Na+ dan K+ dari tulang dan kompartemen cairan interstisial. Respon ginjal untuk mempertahankan bikarbonat dalam jumlah lebih sangat terbatas pada keadaan yang akut. Sebagai hasilnya, [HCO3-] plasma meningkat hanya sekitar 1 mEq/L untuk setiap peningkatan 10 mmHg dari PaCO2 di bawah 40 mmHg.
Asidosis Respiratorik Kronis
Kompensasi ginjal yang maksimal menandakan terjadinya asidosis respiratorik kronis. Kompensasi ginjal dapat dinilai hanya setelah 12-24 jam dan mungkin mencapai maksimal setelah 3-5 hari. Selama waktu itu, peningkatan PaCO2 yang bertahan sejak lama menyebabkan kompensasi ginjal yang maksimal. Selama asidosis respiratorik kronis, [HCO3-] plasma meningkat sekitar 4 mEq/L untuk setiap peningkatan 10 mmHg dari PaCO2 dibawah 40 mmHg.
Penanganan Asidosis Respiratorik
Asidosis respiratorik diterapi dengan mengembalikan ketidakseimbangan antara produksi CO2 dan ventilasi alveolar. Pada kebanyakan kasus, terapi ini dilakukan dengan meningkatkan ventilasi alveolar. Ukuran yang ditujukan pada penurunan produksi CO2 sangat berguna hanya pada kasus-kasus yang spesifik (seperti, dantrolene untuk hipertermi berat, paralisis otot untuk tetanus, medikasi antitiroid untuk krisis tiroid, dan penurunan asupan kalori). Penantian yang tepat yang ditujukan untuk meningkatkan ventilasi alveolar termasuk bronkhodilatasi, pengembalian keadaan narkosis, pemberian stimulan pernafasan (doxapram), atau meningkatkan kemampuan pengembangan paru (diuresis). Asidosis yang moderat sampai berat (pH < 7,20), narkosis CO2, dan kelelahan otot pernafasan yang tiba-tiba merupakan indikasi untuk pemasangan ventilator. Peningkatan konsentrasi oksigen inspirasi juga diperlukan, karena hipoksemia yang menetap biasa terjadi. NaHCO3 intravenous sangat jarang terjadi kecuali pH < 7.10 dan HCO3 < 15 mEq /L. Terapi sodium bikarbonat akan meningkatkan PaCO2 :
Buffer yang tidak menghasilkan CO2 seperti carbicarb, atau tromethamine, (THAM) bisa digunakan sebagai alternatif tetapi tidak terbukti keuntungannya. Carbicarb adalah campuran dari 0,3 M sodium bikarbonat dan 0,3 M sodium carbonat, buffering dengan campuran ini terutama memproduksi sodium bikarbonat bila dibandingkan dengan CO2. Tromethamin punya keuntungan karena mengandung a
Pasien dengan dasar kronik asidosis respiratorik memerlukan pertimbangan khusus. Ketika pasien dengan dengan kegagalan ventilasi akut, terapi yang harus dicapai dengan mengembalikan PaCO2 ke normal. Mengembalikan nilai normal PaCO2 pasien kenilai 40 mmHg akan memberikan hasil alkalosis. Terapi oksigen harus diperhatikan, karena kemampuan resipiratori pada pasien ini sudah terbiasa dalam keadaan hipoksemi, bukan PaCO2 atau meningkatkan kemampuan death space. Sehingga menormalisasikan PaCO2 atau relatif hiperoksia akan memicu terjadinya hipoventilasi.
Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik didefinisikan sebagai penurunan primer dari HCO3 . Proses patologis akan menghasilkan asidosis metabolik melalui salah satu dari tiga mekanisme sebagai berikut, 1. Konsumsi HCO3 dengan asam kuat nonvolatil, 2. Eksresi Renal atau gastrointestinal dari bikarbonat, 3. Pengenceran cepat dari kompartemen cairan ekstraseluler dengan cairan bebas bikarbonat .
Penurunan dari plasma (HCO3) tanpa diikuti dengan reduksi PaCO2 akan menurunkan pH arteri. Reaksi kompensasi pulmonal dalam asidosis metabolik sederhana tidak akan menurunkan PaCO2 sampai tingkat yang dapat menormalkan pH tapi kompensasi hanya berupa hiperventali nag jelas (Kussmaul).
Tabel 30.4 menggambarkan kelain-lelainan yang dapat menyebabkan asidosi metabolik. Catat bahwa diferensial diagnosis yang menyebabkan asidosis metabolik dapat diketahui melalui perhitungan anion gap.
Anion Gap
Anion gap di plasma biasanya didefinisikan sebagai perbedaan antara ukuran mayor kation dan anion.
Atau
Beberapa klinis memasukan kalium plasma dalam perhitungkan menggunakan nilai normal,
Pada dasarnya, anion gap tidak dapat muncul karena tubuh selalu mempertahankan keseimbangan elektrolit; jumlah anion sama dengan jumlah kation. Jadi,
Kation yang tidak terukur termasuk K+, Ca++, dan Mg++, sedangkan anion yang tidak terukur termasuk semua anion organic (termasuk proteinplasma), fosfat dan sulfat. Albumin plasma normalnya menggambarkan fraksi terbesar anion gap (sekitar 11 mEq/l). Anion gap turun 2,5 mEq/l setiap reduksi albumin plasma 1 g/dl. Proses apapun yang meningkatkan anion tidak terukur atau menurunkan kation tidak terukur akan meningkatkan anion gap. Sebaliknya, proses apapun yang menurunkan anion tidak terukur akan menurunkan anion gap.
Elevasi ringan anion gap plasma hingga 20 mEq/l tidak membantu diagnosis selama asidosis, tetapi nilai > 30 mEq/l biasanya mengindikasikan adanya asidosis dengan anion gap tinggi (below). Alkalosis metabolic juga dapat menyebabkan anion gap yang tinggi karena penurunan volume elstraseluler, peningkatan pertukaran albumin, dan peningkatan produksi laktat sebagai kompensasi. Anion gap plasma yang rrendah mungkin disertai hipoalbumin, intoksikasi bromida atau lithium dan multiple myeloma.
Asidosis Metabolik Dengan Anion Gap Tinggi
Asidosis metebolik dengan anion gap tinggi ditandai dengan meningkatnya asam nonvolatile kuat. Asam ini dilepaskan dari H+ dan menggambarkan anion; H+ membutuhkan HCO-3 untuk menghasilkan CO2, dimana anionnya (basa konjugasi) berakumulasi dan menggantiikan HCO-3 dalam cairan ekstraseluler (anion gap tinggi). Asam non volatile dapat dihasilkan atau digunakan (ingested) secara endogen.
A. Kegagalan Ekskresi Asam Non Volatile Endogen
Asam organik yang dihasilkan secara endogen normalnya dikeluarakanb oleh ginjal lewat urin. GFR < 20 ml/menit (gagal ginjal) identik dengan asidosis metabolik yang progresif yang berasal dari akumulasi asam – asam tersebut.
B. Peningkatan Produksi Asam Non Volatile Endogen
Hipoksia jaringan yang berat diikuti hipoksemia, hipoperfusi (iskemia) atau ketidakmampuan menggunakan O2 (keracunan sianida) dapat m,enyebabkan asidosis laktat. Asam laktat yang merupakan hasil akhir metabolisme glukosa secara anaerob (glikolisis) secara cepat berakumulasi dalam kodisi – kondisi tersebut. Penrunan penggunaan laktat oleh hepar penggeluaran yang sedikit oleh ginjal tidak begitu bertangguang jawab atas terjadinya asidoss metabolik; penyebabnya termasuk hipoperfusi, alakoholisme, dan penyakit hepar. Kadar laktat dapat dengan mudah diukur dan normalnya 0,3 – 1,3 mEq/l. Asidosis disebabkan oleh D-lactic acid yang tidak dikenali oleh enzim - lactat dehydogenase (dan tidak diukur dalam pemeriksaan rutin), dapat ditemukan pada pasien dengan short bowel syndromes; D-lactic acid dibentuk oleh bakteri colon dari makanan yang mengandung glukosa dan gandum dan diabsorbsi seccara sistemik. Kekurangan insulin yang absolut atau relatif dapat menimbulkan hiperglikemia dan ketoasidosis yang progresif yang berasal dari akumulasi β-hidroksibutirat dan asam asetat. Ketoasidosis juga dapat terlihat dalam keadaan kelaparan dan kecanduan alkohol. Patofisiologi asidosis sering berhubungan dengan intoksikasi alkohol dan koma non ketotik hiperosmolar dan sangat kompleks dan dapat disertai pembentukan laktat, keto dan asam tidak dikenal lainnya. Beberapa gangguan metabolik bawaan sejak lahir , seperti maple syrup urine disease, methylmalonic aciduria, propionic acidemia dan isovalleric acidemia, menyebabkan asidosis metabolik dengan anion gap tinggi sebagai hasil akumulasi asam amino abnormal.
C. Penggunaan Asam Non Volatile Eksogen
Penggunaan salisilat dalam jumlah besar sering menyebabkan asidosis metabolik. Asam salisilat sebagaimana asam intermediate lainnya secara cepat berakumulasi dan menimbulkan asidosis dengan anion gap. Karena salisilat juga menstimulasi langsung pernafasan, pada kebanyakan orang dewasa asidosis metabolik disertai asidosis respiratorik. Penggunaan metanol (methyl alcohol) sering menyebabkan asidosis dan gangguan penglihatan (retinitis). Gejala – gejalanya baru muncul setelah oksidasi lambat metanol oleh enzim alcohol dehydrogenase untuk membentuk asam glikolat. Asam glikolat, penyebab utama asidosis, lebih lanjut dapat tersimpan di ginjal dan menyebabkan gagal ginjal.
Asidosis Metabolik Dengan Anion Gap Normal
Asidosis metabolik dengan anion gap normal biasanya ditandai dengan hiperkloremia. Konsentrasi CL- di plasma meningkat, menggantikan ion HCO-3 yang hilang. Perhitungan anion gap dalam urin dapat mewbantu diagnosis asidosis dengan anion gap normal.
Anion gap urin = ([Na+] + [K+]) – [Cl-]Anion gap urin normalnya positif atau mendekati nol. Kation urin tidak terukur yang utama adalah NH4+, yang seharusnya meningkat (bersamaan dengan Cl-) selama asidosis metabolik, pada akhirnya mengahasilkan anion gap negatif. Kegagalan sekresi H+ atau NH4+, sebagaimana terjadi pada gagal ginjal atau asidosis tubulus ginjal (below?), menghasilkan anion gap urin positif daripada asidosis metabolik.
A. Peningkatan Pelepasan HCO3- Gastrointestinal
Diare merupakan penyebab tersering asidosis metabolikmhiperkloremik. Cairan diare mengandung HCO3- 20 – 50 mEq/l. Usus halus, saluran empedu dan cairan pakreas kaya akan HCO3-. Kehilangan cairan ini dalam jumlah besar dapat menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik. Pasien dengan uterosigmoidostomies dan ileal loops yang terlalu panjang atau dengan obstrksi parsial dapat mengakibatkansidosis metabolik hiperkloremik. supan yang mengandung klorida sebagai pengganti anion resin (cholestyramine) atau jumlah kalsium yang banyak atau magnesium klorida bisa menunjukkan peningkatan absorbsi klorida dan kehilangan ion bikarbonat. Resin yang tdak dapat direabsorbsi mengikat ion bikarbonat, sedangkan kalsium dan magnesium berikatan dengan bikarbonat untuk membentuk garam yang tidak larut di dalam usus.
B. Peningkatan Pelepasan HCO-3 Ginjal
Pengeluaran HCO-3 dari ginjal bisa terjadi karena kegagalan reabsorbsi HCO-3 yang tersaring atau untuk mensekresi jumlah ion H+ yang adekuat dalam bentuk asssam yang dapat diencerkan atau ion amonium. Kelainan ini ditemuklan pada pasien yang mnegkonsumsi carbonic anhydrase inhibitor seperti asetolamid dan pada pasien yang mempunyai asidosis tubulus ginjal.
Asidosis tubulus ginjal meningkatkan kelompok dengan kelainan nonazotemik dengan sekresi H+ oleh tubulus ginjal, menyebabkan Ph urin yang terlalu tinggi untuk asidemia sistemik. Kelainan ini mungkin disebabkan oleh kelainan primer di ginjal atau mungkin oleh kelainan sekunder akibat penyakit stemik. Tempat terjadinya kelainan sekresi H+ mungkin di tubulus ginjal distal atau proksimal. Hipoaldosteronisme hiporeninemia biasanya selalu mengarah ke tipe -4 asidosis tubulus ginjal. Dengan asidosis tubulus distal ginjal, kelainan terjaadi pada tempat dimana hampir semua HCO-3 yang terfiltrasi telah direabsorbsi. Sebagai hasilnya, terjadi kegagalan pengasaman urin, dimana jumlah asam yang diekskresi lebih rendah dibanding jumlah asam yang diproduksi. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan hipokalemia, demineralisasi tulang, nefrolitiasis dan nefrokalsinosis. Terapi álcali (NaHCO3 1 – 3 mEq/kkg/hari) biasanya cukup untuk memperbaiki efek samping – efek samping tersebut. Dengan asidosis tubulus ginjal proksimal kurang dari biasanya, gangguan sekresi H+ di tubulus proksimal menyebabkan pembuangan HCO-3 yang Herat. Kelainan serupa pada reabsorbsi di tubulus untuk zat yang lain seperti glucosa, asam amino, atau fosfat sering terjadi. Asidosisi hioperkloremi terjadi pada penurunan volume dan hipokalemia. Penangananya termasuk pemberian álcali (sebanyak 10 – 25 mEq/kg/hari) dan suplemen potasium.
C. Penyebab Lain Terjadinya Asidosis Hiperkloremi
Asidosis hiperkloremi akibat pengenceran dapat terjadi ketika volume ekstraseluler meningkat secara cepat dengan pemberian cairan bikarbonat bebas seperti normal saline. HCO-3 plasma menurun sesuai jumlah cairan infus yang diberikan sebagaimana kadar HCO-3 ekstraseluler diencerkan. Cairan infus asam amino (parenteral hyperalimentation) mengandung kation organik yang lebih banyak daripada anion organik dan dapat menyebabkan asidosis metabolik karena klorida pada umumnya digunakan sebagai anion untuk asam amino kationik. Akhirnya kelebihan kuantitas dari asam yang mengandung klorida seperti amonium klorida atau arginin hidroklorida (biasanya diberikan untuk menangani alkalosis metabolik) dapat menyebabkan acidosis metabolik hypercloremic.
Penanganan asidosis metabolik
Beberapa pemeriksaan umum dapat dilakukan untuk mengetahui seberapa parah asidemia yang terjadi hingga penyebabnya dapat diatasi..Respirasi harus dikontrol bila perlu: PaCO2 serendah 30s dapat digunakan untuk mengembalikan PH kebali normal. Jika PH arterial tetap di bawah 7,20, terapi alkali , biasanya digunakan NaHCO3 (dalam larutan 7,5 % biasanya diperlukan. PaCO3 mungkin akan sedikit meningkat seiring dengan penggunaan HCO3 oleh senyawa asam (memperlihatkan perlunya pengendalian respirasi pada asidemia yang berat). Jumlah NaHCO3 yang diberikan ditentukan secara empiris sebesar 1 mEq/kg atau dengan menghitung base excess dan bikarbonat. Pada beberapa kasus, analisa gas darah serial diperlukan untuk menghindari komplikasi misalnya kelebihan alkali atau overload sodium. Dan untuk mengevaluasi terapi yang diberikan.peningkatan PH arterial > 7,25 biasanya cukup untuk mengetahui efek samping dari asidemia. Asidemia yang refrakter mungkin memerlukan hemodialisis dengan dialisat bikarbonat.
Penggunaan rutin NaHCO3 dalam jumlah banyak dalam penanganan henti jantung dan low flow states tidak lagi direkomendasikan. Asidosis seluler paradoksik dapat muncul , biasanya pada saat eliminasi CO2 terganggu. Karena CO2 yang telah terbentuk memasuki sel sementara ion bikarbonatnya belum. Peningkatan buffer yang tidak meningkatkan CO2 secara teoritis merupakan keadaan yang terpilih, tapi tidak terbukti secara klinik.
Terapi spesifik untuk ketoasidodis diabetikum termasuk perbaikan defisit cairan yang telah terjadi sebagai akibat dari diuresis osmotic hiperglikemik dilanjutkan dengan penanganan insulin, potassium, fosfat dan magnesium. Penanganan asidosis laktat harus diarahkan pertama kali untuk mengembalikan oksigenasi yang adekuat dan perfusi jaringan. Alkalinisasi urin oleh NaHCO3 untuk PH yang lebih besar dari 7 meningkatkan eliminasi salisilat untuk keadaan keracunan salisilat. Infus etanol (IV 8-10 mL/Kg 10% etanol dalam larutan D5 dalam 30 menit dibarengi dengan infuse kontinum sebesar 0,15 mL/kg/jam untuk mencapai kadar etanol dalam darah 100-130 mg/dL) adalah indikasi untuk keadaan keracunan methanol atau etilen glikol. Etanol berkompetisi dengan alkohol dehidrogenase dan menurunkan pembentukan asam dari methanol glikolik dan asam oksalat dari etilen glikol.
Bikarbonat Space
adalah volume HCO3 yang akan didistribusikan saat diberikan intra vena. Walaupun secara teoritis harus menyeimbangkan dengan ruang cairan ekstraseluler (25% dari berat badan), dalam kenyataannya dapat sebesar 25%-60% tergantung derajat keparahan dan lamanya sidosis terjadi. Variasi ini setidaknya berkaitan dengan jumlah buffer tulang dan intraseluler yang telah ada.
Contoh menghitung jumlah NaHCO3 yang diperlukan untuk menghitung defisit basa (BD) -10mEq/L pada seorang laki-laki 70 tahun dengan bikarbonat space diperkirakan sebesar 30%:
dalam prakteknya, hanya 50% dari dosis yang telah dihitung (105 mEq) biasa diberikan, setelahnya dilakukan pengukuran AGD.
Pertimbangan anestesi pada pasien dengan asidosis
Asidosis dapat membangkitkan efek depresan pada sebagian besar sedatif dan obat anestesi pada SSP dan peredaran darah. Karena sebagian besar opioid adalah basa lemah, asidosis dapat meningkatkan fraksi obat dalam bentuk tak terioniasasi dan mempermudah penetrasi ke dalam otak. Peningkatan sedasi dan deprsi dari refleks pernafasan dapat menjadi predisposisi terjadinya aspirasi paru. Efek Depresi sirkulasi obat anestesi volátil dan intravena dapat ditingkatkan. Obat-obatan yang meningkatkan tonos simpastis dapat meningkatkan keadaan depresi sirkulasi dalam keadaan asidosis. Halotan lebih aritmigenik dalam keadaan asidosis. Suksinilkolin sebaiknya dihindari pada pasien asidosis dengan hiperkalemia untuk mencegah peningkatan K+ plasma. Asidosis respirasi menginduksi blokade neuromuskular non depolarize.
Untuk mengimbangi ion Na+ yang direabsorpsi, peningkatan sekresi H+ harus digunakan untuk menjaga netralitas electrón. Sebagai akibatnya, ion HCO3- yang telah diekresi akan direabsorpsi mengakibatkan alkalosis metabolik. Secara fisiologis, maintenance volume cairan ekstraseluler lebih prioritas dari balance asam-basa. Karena sekresi ion K+ dapat menjaga netralitas electrón, sekresi potasium juga ditingkatkan. Hipokalemi meningkatkan sekresi H+ dan reabsorpsi HCO3- dan juga menyebabkan asidosis metabolik. Konsentrasi klorida urin selama alkalosis metabolik sensitif klorida biasanya rendah (< 10mEq/L). Terapi diuretik adalah penyebab yang paling umum alkalosis metabolik sensitif klorida. Diuretik seperti furosemide, asam etakrinat, dan tiazid meningkatkan sekresi Na+, Cl-, dan K+, mengakibatkan penurunan kadar NaCl, hipokalemi, dan biasanya alkalosis metabolik sedang. Sekret gastrik mengandung ion H+ sebesar 25-100mEq/L, Na+ sebesar 40-160mEq/L, K+ sekitar 15 mEq/L dan ion Cl- sebesar 200mEq/L. muntah atau kehilangan cairan gaster melaui suction nasogastrik dapat berakibat alkalosis metabolik, penurunan volume ekstraseluler, dan hipokalemia. Normalisasi cepat dari PaCO2 setelah [HCO3-] plasma telah meningkat pada asidosis respiratoris kronik pada alkalosis metabolik. Infant diberikan intake yang mengandung Na+ tanpa klorida pada yang telah mengalami alkalosis metabolik karena peningkatan sekresi H+ atau K+ yang harus diimbangi dengan absorpsi sodium.
ALKALOSIS
Efek Fisiologis Alkalosis
Alkalosis meningkatkan afinitas Hb terhadap oksigen dan pergeseran kurva disosiasi ke kiri, menyebabkan Hb lebih sulit melepaskan oksigen ke jaringan. Pertukaran H+ keluar sel dengan K+ ekstraseluler yang masuk ke dalam sel menyebabkan hipokalemia. Alkalosis meningkatkan jumlah binding site kalsium pada protein plasma, menurunkan ionisasi plasma, sehingga menyebabkan depresi sirkulasi dan iritabilitas neuromuscular. Alkalosis respiratori menurunkan cerebral blood flow, meningkatkan resistensi vascular sistemik dan presipitasi vasospasme koroner. Pada pulmonal, alkalosis respiratori meningkatkan tonus otot polos bronkus (bronkokonstriksi) namun menurunkan rsistensi vascular pulmonal.
Alkalosis Respiratori
Alkalosis respiratori didefenisikan sebagai menurunnya PaCO2 secara primer. Mekanismenya adalah abnormalitas peningkatan ventilasi alveolar relative terhadap produksi CO2. Tabel 30-5 menunjukkan penyebab alkalosis respiratori yang paling sering. [HCO3-] plasma biasanya turun 2 mEq/L untuk setiap penurunan 10 mmHg secara akut PaCO2 dibawah 40 mmHg. Perbedaan antara alkalosis respiratori akut dan kronis tidak selalu ada, karena respon kompensasialkalosis sedikit bervariasi ; [HCO3-] plasma menurun 2-5 mEq/L untuk setiap penurunan 10 mmHg PaCO2 dibawah 40 mmHg.
Tabel 5 Penyebab Alkalosis Respitorik
Penanganan Alkalosis Respiratori
Koreksi yang paling mendasari adalah satu-satunya treatment alkalosis respiratori. Alkalemia berat (pH arteri >7,6), pemberian asam hidroklorida intravena, arginin klorida atau ammonium klorida dapat diindikasikan.
ALKALOSIS METABOLIK
Alkalosis metabolic adalah peningkatan primer [HCO3-] plasma. Kasus alkalosis metabolik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) yang berhubungan dengan defisiensi NaCl dan deplesi cairan ekstraseluler, kadang disebut chloride sensitive, (2) yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid, desibut dengan chloride resistent.
Alkalosis Metabolik Resisten Klorida
Peningkatan aktivitas mineralokortikoid biasanya berakibat alkalosis metabolik meskipun tidak ada kaitannya dengan penurunan volume ekstraseluler. Peningkatan tak terkendali aktivitas mineralokortikoid menyebabkan retensi sodium dan peningkatan volume ekstraseluler. Peningkatan sekresi H+ dan K+ mengambil bagian untuk menyeimbangkan reabsorpsi sodium yang telah ditingkatkan oleh aktivitas mineralokortikoid., menghasilkan alkalosis metabolik dan hipokalemia. Konsentrasi klorida urin biasanya lebih dari 20mEq/L pada kasus seperti ini.
Alkalosis Metabolik dengan penyebab lain
Alkalosis metabolik jarang ditemui pada pasien yang diberikan NaHCO3 bahkan pada dosis yang besar kecuali ada gangguan pada ekresi HCO3-. Pemberian produk darah dalam jumlah yang besar dan plasma protein yang mengandung koloid biasanya berakibat alkalosis metabolik. Sitrat, laktat, dan asetat yang terkandung dalam cairan ini dikonversi oleh hepar menjadi HCO3-. Pasien yang mendapat penisilin sodium dosis tinggi, biasanya carbenicillin dapat berakibat alkalosis metabolik. Karena penisilin berperan sebagai anion nonabsorbable dalam tubulus renalis, peningkatan sekresi H+ dan K+ harus diimbangi dengan absorpsi sodium. Untuk alasan yang tidak jelas, hiperkalsemi karana sebab nonparatiroid (milk-alkali síndrome dan metastase tulang) juga sering berkaitan dengan alkalosis metabolik. Patofisiologi alkalosis karena refeeding juga belum diketahui.
Penanganan Alkalosis Metabolik
Seperti kelainan asam basa lainnya, perbaikan alkalosis metabolik tak pernah selesai kecuali penyebab utama telah ditangani. Saat ventilasi dikontrol, componen respirasi yang menyebabkan alkalemia harus dikoreksi dengan menurunkan minute ventilation untuk normalisasi PaCO2. Penanganan terpilih untuk alkalosis metabolik sensitif klorida ádalah pemberian saline IV dan potasium/KCl. Terapi blokade H-2 berguna bila penyebabnya adalah kehilangan cairan gaster. Asetazolamide dapat berguna pada pasien yang edematous. Alkalosis dikaitkan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid memberikan respon yang baik dengan pemberian antagosis aldosteron/spironolactone. Pada keadaan pH arterial lebih dari 7,60, penanganan dengan hydrochlorida IV (0,1 mol/L), amonium klorida (0,1mol/L), arginine hidrokorida atau hemodialisa harus dipertimbangkan.
Pertimbangan Anestesi pada pasien dengan alkalemia
Alkalosis respiratori sepertinya meningkatkan durasi depresi pernafasan yang diinduksi dengan opioid. Iskemi serebral dapat muncul karena adanya penurunan cerebral blood flow selama alkalosis respiratori, terutama saat hipotensi. Kombinasi dari alkalemia dan hipokalemia dapat mempresipitasi aritmia atrium dan ventrikel yang berat. Potensiasi blokade neuromuskular non depolarizing ditemukan pada alkalemia, tapi lebih dikarenakan adanya hipokalemia yang terjadi bersamaan.
Penanganan Metabolisme Alkalosis
Seperti dengan gangguan asam basa lainnya, koreksi metabolisme alkalosis tidak pernah lengkap sampai gangguan dasar dirawat. Kapan ventilasi dikendalikan, pernapasan apapun yang mendukung alkalemia harus dikoreksi dengan menurunkan waktu ventilasi menit menjadi PaCO2 normal. Penanganan metabolisme alkalosis pada chloride-sensitive adalah dari ion bersifat garam (NaCl) kedalam pembuluh darah dan kalium ( KCl). H2-blocker therapy bermanfaat ketika hilangnya cairan lambung berlebihan merupakan suatu faktor. Acetazolamide boleh juga bermanfaat pada pasien edematous. Alkalosis terasosiasi dengan peningkatan langsung dalam aktivitas mineralocorticoid yang siap bereaksi terhadap aldosterone lawan ( spironolactone). Ketika pH darah arteri lebih besar dari 7.60, penanganan dengan asam hydrochloric ( 0.1 mol/L), ammonium klorid ( 0.1 mol/L), arginine hydrochloride, atau hemodialysis ke dalam pembuluh darah harus dipertimbangkan.
PERTIMBANGAN ANESTHETIC PADA PASIEN DENGAN ALKALEMIA
Alkalosis Pernapasan tampak untuk memperpanjang jangka waktu dari tekanan pernapasan opioid-induced; efek ini boleh diakibatkan oleh peningkatan protein yang mengikat opioids. Cerebral Ischemia ditandai dengan pengurangan dalam aliran darah cerebral selama Alkalosis Pernapasan, terutama sekali selama hypotension. Kombinasi alkalemia dan hypokalemia dapat mempercepat atrial dan ventricular arrhythmias. Potensi dari nondepolarizing neuromuscular blokade dilaporkan dengan alkalemia tetapi mungkin lebih secara langsung serentak berhubungan dengan hypokalemia.
DIAGNOSIS GANGGUAN ASAM BASA
Interpretasi status asam basa dari analisis gas darah membutuhkan pendekatan sistematis. Rekomendasinya adalah sebagai berikut :
PENGUKURAN TEKANAN GAS DARAH DAN PH DARAH
Nilai yang didapat dari pengukuran gas darah rutin meliputi tekanan oksigen dan karbondioksida (PO2 dan PCO2), pH, [HCO3-], base excess, hemoglobin, dan persentasi saturasi oksigen. Seharusnya hanya PO2 , PCO2 dan pH yang diukur. Hemoglobin dan persentase saturasi oksigen diukur dengan cooximeter. [HCO3-] diukur dengan menggunakan persamaan Henderson-Hasselbalch dan base excess dari nomogram Siggaard-Andersen.
Sumber Sampel dan Pengumpulannya
Sampel darah arteri adalah yang paling sering digunakan secara klinis, walaupun darah vena atau kapiler dapat digunakan jika sampel terbatas. Tekanan oksigen pada darah vena (normal 40 mmHg) menggambarkan ekstraksi jaringan bukan fungsi pulmonal. PCO2 vena biasanya 4-6 mmHg lebih tinggi dari PaCO2. Konsekuensinya, pH darah vena 0,05 U lebih rendah dari pH darah arteri. Walaupun begitu, darah vena sering digunakan dalam menentukan status asam basa. Darah kapiler merepresentasikan campuran darah arteri dan vena, dan nilai yang didapat merefleksikan hal tersebut. sampel biasanya dikumpulkan pada syringe heparin dan harus dianalisis segera. Gelembung udara harus ditiadakan, sampel ditutup dan diletakkan di atas es untuk mencegah ambilan udara dari sel darah atau kehilangan udara ke atmosfer. Walaupun heparin sangat asam, jumlah haparin yang berlebihan dalam syringe hanya menurunkan pH secara minimal namun menurunkan PCO2 sebanding dengan persentase dilusinya, serta memiliki efek bervariasi terhadap PO2.
Koreksi Suhu
Perubahan pada suhu mempengaruhi PCO2 dan Po2 secara langsung serta pH secara tidak langsung. Turunnya suhu menurnunkan tekanan parsial gas pada larutan- walaupun total gas content tidak berubah- karena kelarutan sebanding dengan suhu. Baik PCO2 dan PO2 turun selama keadaan hipotermia, namun pH meningkat karena suhu tidak mengubah [HCO3-] : PaCO2 menurnu, namun [HCO3-] tidak berubah. Karena tekanan gas darah dan pH selalu diukur pada suhu 37º C, terdapat kontroversi apakan pengukuran nilai harus disesuaikan dengan suhu pasien sebenarnya. Nilai normal pada suhu selain 37 C tidak diketahui. Banyak klinisi menggunakan pengukuran pada suhu 37 C, mengabaikan suhu pasien yang sebenarnya.
Pengukuran pH
Ketika logam diletakkan pada larutan garam, tendensi logam untuk berionisasi ke dalam larutan menyebabkan logam bermuatan negatif. Jika dua logam yang berbeda (elektroda) dan larutan garamnya dipisahkan oleh partisi berpori (bisa terjadi pertukaran muatan), tendensi salah satu logam untuk larut ke dalam larutan dibandingkan logam yang lain menyebabkan adanya sebuah gaya elektromotive antara dua elektroda. Untuk mengukur pH, elektroda perak/ perak klorida dan elektroda merkuri/ merkuri klorida (calomel) adalah yang paling sering digunakan. Elektroda perak kontak dengan larutan uji melalui gelas yang sensitif terhadap pH. Elektroda calomel berhadapan dengan larutan uji melalui larutan potassium klorida dan porous plug. Gaya elektromotive berkembang antara dua elektroda adalah sebanding dengan [H+].
Pengukuran Karbondioksida
Modifikasi sistem elektroda pH dapat digunakan untuk mengukur PCO2. pada sistem ini, (elektroda Severinghaus), dua elektroda dipisahkan oleh larutan sodium bikarbonat dan potasium klorida. Sampel uji kontak dengan larutan bikarbonat melalui membran teflon yang tipis yang menyebabkan keseimbangan CO2 antara keduanya. Hasilnya, pH larutan bikarbonat merefleksikan PCO2 pada larutan uji.
Pengukuran Oksigen
PO2 paling sering diukur secara polarografis menggunakan elektroda Clark. Pada sistem ini, hubungan platinum dengan perak/ perak klorida melalui larutan elektrolit (NaCl dan KCl) sampel uji dipisahkan dari larutan elektrolit melalui membran yang menyebabkan oksigen brdifuis secara bebas. Ketika voltase negatif ditambahkan pada elektroda platinum, listrik yang mengalir antara dua elektroda secara langsung berhubungan dengan PO2. pada prosesnya, molekul oksigen menangkap elektron dari katoda dan bereaksi dengan air membentuk ion hidroksida.
Koreksi yang paling mendasari adalah satu-satunya treatment alkalosis respiratori. Alkalemia berat (pH arteri >7,6), pemberian asam hidroklorida intravena, arginin klorida atau ammonium klorida dapat diindikasikan.
ALKALOSIS METABOLIK
Alkalosis metabolic adalah peningkatan primer [HCO3-] plasma. Kasus alkalosis metabolik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) yang berhubungan dengan defisiensi NaCl dan deplesi cairan ekstraseluler, kadang disebut chloride sensitive, (2) yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid, desibut dengan chloride resistent.
Alkalosis Metabolik Resisten Klorida
Peningkatan aktivitas mineralokortikoid biasanya berakibat alkalosis metabolik meskipun tidak ada kaitannya dengan penurunan volume ekstraseluler. Peningkatan tak terkendali aktivitas mineralokortikoid menyebabkan retensi sodium dan peningkatan volume ekstraseluler. Peningkatan sekresi H+ dan K+ mengambil bagian untuk menyeimbangkan reabsorpsi sodium yang telah ditingkatkan oleh aktivitas mineralokortikoid., menghasilkan alkalosis metabolik dan hipokalemia. Konsentrasi klorida urin biasanya lebih dari 20mEq/L pada kasus seperti ini.
Alkalosis Metabolik dengan penyebab lain
Alkalosis metabolik jarang ditemui pada pasien yang diberikan NaHCO3 bahkan pada dosis yang besar kecuali ada gangguan pada ekresi HCO3-. Pemberian produk darah dalam jumlah yang besar dan plasma protein yang mengandung koloid biasanya berakibat alkalosis metabolik. Sitrat, laktat, dan asetat yang terkandung dalam cairan ini dikonversi oleh hepar menjadi HCO3-. Pasien yang mendapat penisilin sodium dosis tinggi, biasanya carbenicillin dapat berakibat alkalosis metabolik. Karena penisilin berperan sebagai anion nonabsorbable dalam tubulus renalis, peningkatan sekresi H+ dan K+ harus diimbangi dengan absorpsi sodium. Untuk alasan yang tidak jelas, hiperkalsemi karana sebab nonparatiroid (milk-alkali síndrome dan metastase tulang) juga sering berkaitan dengan alkalosis metabolik. Patofisiologi alkalosis karena refeeding juga belum diketahui.
Penanganan Alkalosis Metabolik
Seperti kelainan asam basa lainnya, perbaikan alkalosis metabolik tak pernah selesai kecuali penyebab utama telah ditangani. Saat ventilasi dikontrol, componen respirasi yang menyebabkan alkalemia harus dikoreksi dengan menurunkan minute ventilation untuk normalisasi PaCO2. Penanganan terpilih untuk alkalosis metabolik sensitif klorida ádalah pemberian saline IV dan potasium/KCl. Terapi blokade H-2 berguna bila penyebabnya adalah kehilangan cairan gaster. Asetazolamide dapat berguna pada pasien yang edematous. Alkalosis dikaitkan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid memberikan respon yang baik dengan pemberian antagosis aldosteron/spironolactone. Pada keadaan pH arterial lebih dari 7,60, penanganan dengan hydrochlorida IV (0,1 mol/L), amonium klorida (0,1mol/L), arginine hidrokorida atau hemodialisa harus dipertimbangkan.
Pertimbangan Anestesi pada pasien dengan alkalemia
Alkalosis respiratori sepertinya meningkatkan durasi depresi pernafasan yang diinduksi dengan opioid. Iskemi serebral dapat muncul karena adanya penurunan cerebral blood flow selama alkalosis respiratori, terutama saat hipotensi. Kombinasi dari alkalemia dan hipokalemia dapat mempresipitasi aritmia atrium dan ventrikel yang berat. Potensiasi blokade neuromuskular non depolarizing ditemukan pada alkalemia, tapi lebih dikarenakan adanya hipokalemia yang terjadi bersamaan.
Penanganan Metabolisme Alkalosis
Seperti dengan gangguan asam basa lainnya, koreksi metabolisme alkalosis tidak pernah lengkap sampai gangguan dasar dirawat. Kapan ventilasi dikendalikan, pernapasan apapun yang mendukung alkalemia harus dikoreksi dengan menurunkan waktu ventilasi menit menjadi PaCO2 normal. Penanganan metabolisme alkalosis pada chloride-sensitive adalah dari ion bersifat garam (NaCl) kedalam pembuluh darah dan kalium ( KCl). H2-blocker therapy bermanfaat ketika hilangnya cairan lambung berlebihan merupakan suatu faktor. Acetazolamide boleh juga bermanfaat pada pasien edematous. Alkalosis terasosiasi dengan peningkatan langsung dalam aktivitas mineralocorticoid yang siap bereaksi terhadap aldosterone lawan ( spironolactone). Ketika pH darah arteri lebih besar dari 7.60, penanganan dengan asam hydrochloric ( 0.1 mol/L), ammonium klorid ( 0.1 mol/L), arginine hydrochloride, atau hemodialysis ke dalam pembuluh darah harus dipertimbangkan.
PERTIMBANGAN ANESTHETIC PADA PASIEN DENGAN ALKALEMIA
Alkalosis Pernapasan tampak untuk memperpanjang jangka waktu dari tekanan pernapasan opioid-induced; efek ini boleh diakibatkan oleh peningkatan protein yang mengikat opioids. Cerebral Ischemia ditandai dengan pengurangan dalam aliran darah cerebral selama Alkalosis Pernapasan, terutama sekali selama hypotension. Kombinasi alkalemia dan hypokalemia dapat mempercepat atrial dan ventricular arrhythmias. Potensi dari nondepolarizing neuromuscular blokade dilaporkan dengan alkalemia tetapi mungkin lebih secara langsung serentak berhubungan dengan hypokalemia.
DIAGNOSIS GANGGUAN ASAM BASA
Interpretasi status asam basa dari analisis gas darah membutuhkan pendekatan sistematis. Rekomendasinya adalah sebagai berikut :
- Memeriksa pH arteri ; apakah terdapat asidemia atau alkalemia?
- Memeriksa PaCO2 ; apakah perubahan PaCO2 sesuai dengan komponen respiratori?
- Jika perubahan PaCO2 tidak menjelaskan perubahan pH arteri, apakah perubahan [HCO3-] mengindikasikan komponen metabolik?
- Buat diagnosis tentative.
- Bandingkan perubahan [HCO3-] dengan perubahan PaCO2. Apakah terdapat kompensasi? Karena pH arteri berhubungan dengan rasio PaCO2 dan [HCO3-], dimana kompensasi pulmonal maupun renalis selalu terjadi perubahan PaCO2 dan [HCO3-] yang searah. Perubahan yang berlawanan arah mengindikasikan gangguan asam basa campuran.
- Jika mekanisme kompensasi yang terjadi lebih atau kurang dari yang diharapkan, maka terjadi gangguan asam basa campuran.
- Hitung gap anion plasma pada kasus asidosis metabolik.
- Ukur konsentrasi klorida urin pada kasus alkalosis metabolik.
PENGUKURAN TEKANAN GAS DARAH DAN PH DARAH
Nilai yang didapat dari pengukuran gas darah rutin meliputi tekanan oksigen dan karbondioksida (PO2 dan PCO2), pH, [HCO3-], base excess, hemoglobin, dan persentasi saturasi oksigen. Seharusnya hanya PO2 , PCO2 dan pH yang diukur. Hemoglobin dan persentase saturasi oksigen diukur dengan cooximeter. [HCO3-] diukur dengan menggunakan persamaan Henderson-Hasselbalch dan base excess dari nomogram Siggaard-Andersen.
Sumber Sampel dan Pengumpulannya
Sampel darah arteri adalah yang paling sering digunakan secara klinis, walaupun darah vena atau kapiler dapat digunakan jika sampel terbatas. Tekanan oksigen pada darah vena (normal 40 mmHg) menggambarkan ekstraksi jaringan bukan fungsi pulmonal. PCO2 vena biasanya 4-6 mmHg lebih tinggi dari PaCO2. Konsekuensinya, pH darah vena 0,05 U lebih rendah dari pH darah arteri. Walaupun begitu, darah vena sering digunakan dalam menentukan status asam basa. Darah kapiler merepresentasikan campuran darah arteri dan vena, dan nilai yang didapat merefleksikan hal tersebut. sampel biasanya dikumpulkan pada syringe heparin dan harus dianalisis segera. Gelembung udara harus ditiadakan, sampel ditutup dan diletakkan di atas es untuk mencegah ambilan udara dari sel darah atau kehilangan udara ke atmosfer. Walaupun heparin sangat asam, jumlah haparin yang berlebihan dalam syringe hanya menurunkan pH secara minimal namun menurunkan PCO2 sebanding dengan persentase dilusinya, serta memiliki efek bervariasi terhadap PO2.
Koreksi Suhu
Perubahan pada suhu mempengaruhi PCO2 dan Po2 secara langsung serta pH secara tidak langsung. Turunnya suhu menurnunkan tekanan parsial gas pada larutan- walaupun total gas content tidak berubah- karena kelarutan sebanding dengan suhu. Baik PCO2 dan PO2 turun selama keadaan hipotermia, namun pH meningkat karena suhu tidak mengubah [HCO3-] : PaCO2 menurnu, namun [HCO3-] tidak berubah. Karena tekanan gas darah dan pH selalu diukur pada suhu 37º C, terdapat kontroversi apakan pengukuran nilai harus disesuaikan dengan suhu pasien sebenarnya. Nilai normal pada suhu selain 37 C tidak diketahui. Banyak klinisi menggunakan pengukuran pada suhu 37 C, mengabaikan suhu pasien yang sebenarnya.
Pengukuran pH
Ketika logam diletakkan pada larutan garam, tendensi logam untuk berionisasi ke dalam larutan menyebabkan logam bermuatan negatif. Jika dua logam yang berbeda (elektroda) dan larutan garamnya dipisahkan oleh partisi berpori (bisa terjadi pertukaran muatan), tendensi salah satu logam untuk larut ke dalam larutan dibandingkan logam yang lain menyebabkan adanya sebuah gaya elektromotive antara dua elektroda. Untuk mengukur pH, elektroda perak/ perak klorida dan elektroda merkuri/ merkuri klorida (calomel) adalah yang paling sering digunakan. Elektroda perak kontak dengan larutan uji melalui gelas yang sensitif terhadap pH. Elektroda calomel berhadapan dengan larutan uji melalui larutan potassium klorida dan porous plug. Gaya elektromotive berkembang antara dua elektroda adalah sebanding dengan [H+].
Pengukuran Karbondioksida
Modifikasi sistem elektroda pH dapat digunakan untuk mengukur PCO2. pada sistem ini, (elektroda Severinghaus), dua elektroda dipisahkan oleh larutan sodium bikarbonat dan potasium klorida. Sampel uji kontak dengan larutan bikarbonat melalui membran teflon yang tipis yang menyebabkan keseimbangan CO2 antara keduanya. Hasilnya, pH larutan bikarbonat merefleksikan PCO2 pada larutan uji.
Pengukuran Oksigen
PO2 paling sering diukur secara polarografis menggunakan elektroda Clark. Pada sistem ini, hubungan platinum dengan perak/ perak klorida melalui larutan elektrolit (NaCl dan KCl) sampel uji dipisahkan dari larutan elektrolit melalui membran yang menyebabkan oksigen brdifuis secara bebas. Ketika voltase negatif ditambahkan pada elektroda platinum, listrik yang mengalir antara dua elektroda secara langsung berhubungan dengan PO2. pada prosesnya, molekul oksigen menangkap elektron dari katoda dan bereaksi dengan air membentuk ion hidroksida.
Referensi?
BalasHapus