Prevalensi penyakit
hepar meningkat di Amerika Serikat. Sirosis merupakan terminal patologi pada
mayoritas penyakit hepar, didapatkan + 5% pada otopsi pada seluruh
insidens. Sirosis merupakan penyebab utama kematian pada laki-laki dekade ke 4
dan ke 5, serta mortality ratenya meningkat. Pasien dengan penyakit hepar, +
10% nya mendapatkan operasi dalam kurun waktu 2 tahun terakhir kehidupannya.
Hepar memiliki fungsi yang luar biasa dan manifestasi klinik dari penyakit
hepar sering tidak tampak sampai terjadi kerusakan yang luas. Sebagai
akibatnya, ketika pasien yang berada pada daerah terpencil dengan sedikit
persediaan, datang ke ruang operasi, beberapa efek dari anastesi dan
pembedahan dapat memicu
dekompensasi hepar yang lebih lenjut menuju ke arah gagal hepar.
HEPATITIS
HEPATITIS AKUT
Hepatitis akut biasanya disebabkan
oleh infeksi virus, reaksi obat-obatan atau masuknya
hepatotoxin. Penyakit ini mewakili kerusakan hepatocelluler akut dengan
jumlah nekrosis sel yang bervariasi.Manifestasi klinis umumnya bergantung pada
kerasnya reaksi peradangan dan terlebih lagi pada jumlah nekrosis. Reaksi
peradangan biasa dapat muncul sebagai peningkatan asimptomatik dalam
transaminase serum, sedang hepatitis nekrosis yang banyak muncul sebagai
kegagalan hepatic fulminant akut.
Hepatitis Virus
Hepatitis virus seringkali
disebabkan oleh virus hepatitis A, B, atau C ( sebelumnya dinamakan enteric non
A, non B). Akhirnya telah ditemukan juga 2 virus hepatitis lainnya : hepatitis
D (delta virus) dan hepatitis E (enteric non A, non B). Hepatitis tipe A dan E
ditansmisikan melalui rute feco-oral, sedangkan tipe B dan C ditransmisikan
utamanya dengan cara perkutaneus dan melalui kontak dengan cairan tubuh.
Hepatitis D sendiri unik karena dapat ditransmisikan oleh salah satu rute dan
memerlukan virus hepatitis B dalam host untuk jadi tidak efektif. Virus
lainnya, termasuk Epstein-Barr, herpes simpleks, cytomegalovirus, dan
coxackivirus, juga bias menyebabkan hepatitis.
Pasien dengan hepatitis virus
biasanya mengalami gejala-gejala prodormal (kelelahan, malaise, demam, mual,
dan muntah) selama 1 sampai 2 minggu yang bisa disertai oleh ikterus. Ikterus
ini bias berlangsung selama 2-12 minggu, tapi penyembuhan sempurna seperti yang
dibuktikan oleh pemeriksaan serum transaminase, biasanya membutuhkan waktu 4
bulan.
Disebabkan oleh manifestasi klinis
yang tumpang tindih, tes serologis dibutuhkan untuk menentukan agen virus
causative. Perkembangan klinis menjadi lebih rumit dan diperpanjang dengan
virus hepatitis B dan C. Kolestasis adalah manifestasi utama. Jarang kegagalan
hepatic fulminant (berlebihnya necrosis hepatic) dapat berkembang.
Berjangkitnya hepatitis kronik
aktif 3-10% menyertai infeksi oleh virus hepatitis B dan setidaknya 50%
mengikuti infeksi dengan virus hepatitis C. Sebagian kecil pasien (umumnya
pasien yang imunosupressed dan mereka yang hemodialisis jangka panjang) menjadi
pengidap asimptomatik yang mudah menular menyertai infeksi oleh virus hepatitis
B. Berdasarkan penelitian terhadap sekelompok pasien, dimana-mana antara 0,3%
dan 30% pasien tetap menjangkitkan penyakit dan memiliki ketahanan dari antigen B permukaan (HBsAg) dalam darahnya. + 0,5-1%
pasien dengan infeksi hepatitis C menjadi pembawa asimptomatik yang mudah
menular. Keterjangkitan berhubungan dengan RNA hepatitis C virus dalam darah
peripheral. Sebagian besar pasien dengan infeksi hepatitis Conis nampaknya
memiliki sirkulasi partikel virus yang sangat rendah, terputus-putus atau
bahkan hilang. Dan karenanya tidak terlalu infektif. Akan tetapi, pembawa
penyakit yang menular membawa resiko bagi kesehatan pekerja ruang operasi.
Selain pencegahan umum untuk menghindari kontak dengan darah dan sekresi
(sarung tangan, masker, pelindung mata, dan jarum yang tidak digunakan
berulang), imunisasi sangatlah efektif melawan infeksi hepatitis B. Vaksin
untuk hepatitis C tidak tersedia, tidak seperti hepatitis B, infeksi hepatitis
C nampaknya tidak memberikan kekebalan pada kemungkinan penyakit lainnya. Post
exposure prophylaksis dengan globulin hyperimmune efektif untuk hepatitis B
tapi tidak untuk hepatitis C.
Hepatitis yang Disebabkan oleh Obat-obatan
Hepatitis katena obat-obatan dapat
disebabkan oleh ketergantungan terhadap racun obat-obatan secara langsung atau
metabolit, atau oleh reaksi khusus obat-obatan , atau oleh kombinasi dari
keduanya. Perkembangan klinis seringkali menyerupai hepatitis virus yang
menyebabkan sulitnya diagnosis. Alkoholic hepatitis mungkin adalah type
hepatitis akibat obat-obatan yang paling sering dijumpai, tapi penyebabnya
tidak teridentifikasi. Penggunaan alkohol dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan terjadinya hepatomegali dan infiltrasi lemak pada hepar, yang
menimbulkan : (1) Oksidasi asam lemak lemah, (2) meningkatkan uptake dan
esterifikasi asam lemak, (3) mengurangi sintesis dan sekresi lipoprotein.
Penggunaan asetaminofen 25 gr atau lebih menyebabkan hepatitis fulminan yang
fatal. Beberapa jenis obat seperti Chlorpromazine dan kontrasepsi oral
menyebabkan reaksi type cholestatic .Ingesti hepatoksin kuat, seperti carbon
tetrachlorida dan jenis jamur tertentu (amanita, galerina) seringkali
berhubungan dengan kegagalan hepatic akut. Anestesi cair, terutama halotan,
berhubungan dengan reaksi khas hepatitis.
Pertimbangan Preoperatif
Operasi harus ditunda sampai
hepatitis akutnya sembuh, yang diindikasikan dengan normalnya tes fungsi hepar.
Penelitian memperkirakan adanya peningkatan
morbiditas (12%) dengan mortalitas (hingga 10% dengan laparatomi) pada
preoperative selama hepatitis viral akut. Meskipun resiko dengan hepatitis
alkoholik tidak sebesar itu, keracunan alcohol akut sangat mempersulit
penanganan anestesi. Lagipula, eliminasi alcohol selama pembedahan bias
dihubungkan dengan rata-rata mortalitas sebesar 50%. Hanya pembedahan yang
betul-betul darurat yang seharusnya dipertimbangkan dalam kasus ini. Pasien
hepatitis mempunyai resiko penurunan fungsi hepar dan berkembangnya komplikasi
kegagalan hepar, seperti encephalopathy, coagulopathy, atau hepatorenal
syndrom.
Pemeriksaan laboratorium harus
meliputi nitrogen urea darah, serum elektrolit, kreatinin, glukosa,
transaminase, bilirubin, alkali fosfatase, dan albumin sebaik protrombin time
(PT) dan pletelet count. Serum juga seharusnya dicek untuk HBsAg kapanpun hal
itu mungkin. Level alcohol dalam darah akan berguna jika status mental cocok
dengan intoksikasi . Hipokalemia dan alkalosis metabolic bukannya tidak umum
dan biasanya disebabkan oleh muntah-muntah.Concomitant hypomagnesemia bias
muncul pada alkoholik kronik dan menjadikan mudah terkena aritmia. Elevasi
serum transaminase belum tentu berhubungan dengan jumlah nekrosis. Serum Alanin
aminotransferase (ALT) umumnya lebih tinggi dari serum aspartat
aminotransferase (AST) kecuali dalam hepatitis alkoholik, dimana kebalikannya
yang muncul. Bilirubin dan alkali fosfatase umumnya hanya nai tidak cukup
tinggi, kecuali dengan cholestatic hepatic yang berlainan . PT adalah indicator
terbaik untuk fungsi hepatic syntetic (lihat bab 34). Perpanjangan yang lebih
dari 3 detik (INR > 1,5) mengikuti administrasi vitamin K menunjukkan
disfungsi hepar yang berat. Hipoglikemia bukan tidak biasa. Hipoalbuminemia
biasanya tidak muncul kecuali dalam kasus protaksi, dengan malnutrisi berat,
atau ketika terdapat penyakit hepar kronik.
Jika pasien dengan hepatitis akut
harus menjalani operasi emergensi, evaluasi praanastesi harus difokuskan untuk
menentukan jenis dan tingkat kerusakan hepar. Informasi seharusnya diperoleh
dengan memperhatikan penggunaan obat-obatan terbaru, termasuk pemakaian
alcohol, penggunaa obat intravena, transfuse, dan anestesi sebelumnya. Mual,
muntah harus diperhatikan, dehidrasi dan gangguan elektrolit harus diperbaiki.
Perubahan status mental biasanya menunjukkan kerusakan hepar yang parah.
Tindakan yang tidak wajar dan obtundasi
pada pasien alkoholik bias menjadi tanda adanya keracunan, sedangkan tremor dan
cepat marah biasanya mencerminkan pengeluaran. Hipertensi dan takikardi
seringkali mudah terlihat. Vitamin K atau fresh frozen plasma (FFP) dapat
dibutuhkan untuk memperbaiki coagulopathy. Premedikasi umumnya tidak diberikan
, dalam usaha untuk mengurangi/meminimalkan penggunaan obat-obatan dan tidak
menggabungkan encephalopathy hepatic dan penyakit hepar. Namun benzodiazepine
dan thiamin diberikan pada pasien dengan alkoholik dengan pengeluaran akut.
Pertimbangan intraoperatif
Tujuan penanganan intraoperatif
adalah untuk mengembalikan fungsi hepar dan menghindari factor-faktor yang
dapat merugikannya. Pemilihan obat dan dosisnya harus diindividualkan. Beberapa
pasien dengan hepatitis virus bisa memperlihatkan sensitifitas system saraf
pusat terhadap anestesi. Sedangkan pasien alkoholik akan sering memperlihatkan
toleransi silang baik pada intravena maupun anestesi inhalasi. Pasien alkoholik
juga membutuhkan monitoring yang teliti terhadap cardiovaskuler, sebab efek
dari penurunan cardiac dari alcohol aditif untuk mereka yang berada dalam pengaruh anestesi, selain itu cardiomiopathy
alcoholic berkembang pada banyak pasien alkoholik.
Secara defenisi, semua anestesi
adalah untuk menurunkan system saraf pusat, dan untuk alas an itulah sangat
sedikit jenis yang seharusnya digunakan. Anestesi inhalasi biasanya lebih
disukai untuk agent intravenous karena kebanyakan yang lain bergantung pada
hepar untuk metabolisme dan eliminasi. Dosis induksi standar terhadap agen
induksi intravenous umumnya dapat digunakan karena aksinya berakhir dengan
redistribusi lebih baik dibandingkan metabolisme atau ekskresi. Aksi yang
berlarut-larut mungkin harus menggunakan dosis agen intravena yang sangat besar
secara berulang-ulang, khususnya opioid.
Isofluran adalah anastesi inhalasi
yang dipilih karena mempunyai efek yang paling sedikit pada aliran darah hepar.
Faktor-faktor yang diketahui dapat mengurangi aliran darah hepar, misalnya
hipotensi, aktivasi simpatik yang meningkat, dan peningkatan Mean airway
pressure selama ventilasi terkontrol, sebaiknya dihindari. Anastesi regional
dapat digunakanpada tidak terdapatnya koagulopati, hipotensi, yang ada harus
dicegah.
HEPATITIS KRONIK
Hepatitis Kronik didefenisikan
sebagai radang hepar yang terjadi lebih dari 6 bulan, yang dibuktikan dengan
meningkatnya serum aminotransferase. Pasien umumnya dapat diklasifikasikan
karena memiliki satu dari 3 gejala berdasarkan biopsy hepar, hepatitis kronik
persisten, hepatitis kronik lobular, atau hepatitis kronik aktif. Mereka dengan
hepatitis kronik, memanifestasikan radang yang kronik pada daerah portal dengan
manifestasi sel normal pada biopsy, type ini biasanya tidak akan berkembang
menjadi sirosis. Secara klinis, pasien ini dating dengan hepatitis akut
(umumnya hepatitis B atau C) yang memiliki perkembangan protraksi tapi umumnya
bias diatasi. Yang terbaru menunjukkan jenis yang disebut hepatitis kronik
lobular, yang ditandai dengan eksaserbasi yang berulang-ulang, radang dan
nekrosis terdapat pada lobulus hepar. Seperti hepatitis kronik persisten,
bagaimanapun hepatitis kronik lobular juga tidak akan berkembang menjadi
sirosis.
Pasien dengan hepatitis kronik
aktif mengalami radang hepar kronik dengan kerusakan sel pada biopsy.
Tanda-tanda sirosis seringkali muncul pada awalnya (20-50% pasien) atau
berkembang pada akhirnya. Meskipun nampaknya hepatitis kronik aktif memiliki
berbagai penyebab, namun umumnya dia muncul sebagai lanjutan hepatitis B atau
C. Penyebab lainnya termasuk obat-obatan (methyldopa, oxyphenisasi, isoniazid,
dan nitrofurantoin) dan kerusakan autoimmune. Kedua factor kekebalan dan
kemudahan terkena penyakit secara genetika terlihat sebagai sebab dalam
berbagai kasus. Pasien umumnya dating dengan riwayat mual-mual dan ikterus yang
berulang-ulang; manifestasi ekstrahepatik seperti arthritis dan serositis,
tidaklah biasa.
Manifestasi sirosis seringkali
menonjol pada pasien dengan penyakit progresif. Hasil pemeriksaan laboratorium
hanya dapt menunjukkan peningkatan yang tidak terlalu tinggi pada aktivitas
serum aminotransferase dan sering tidak berkaitan dengan keganasan penyakit.
Pasien yang tidak memiliki infeksi hepatitis B atau C kronis biasanya mempunyai
respon yang baik terhadap imunosupressan dan biasanya diterapi dengan
kortikosteroid jangka panjang dengan atau tanpa azathiopine.
Penanganan Anestesi
Pasien dengan hepatitis kronik
persisten atau hepatitis kronik lobuler harus diobati dengan cara yang sama
terhadap pasien hepatitis akut. Sebaliknya mereka denagn hepatitis kronik aktif
dapat diperkirakan telah menderita sirosis dan diobati sesuai dengan penyakit
tersebut. Pasien dengan autoimmune hepatitis kronik aktif juga dapat
memperlihatkan masalah yang berhubungan denagn manifestasi autoimun lainnya
(misalnya: diabetes atau tiroiditis) selama terapi kortikosteroid jangka
panjang.
SIROSIS
Sirosis adalah penyakit yang serius dan progresif yang disebabkan
oleh kegagalan hepar. Penyebab sirosis yang paling umum di Amerika adalah
alcohol (Lachnac’s cirrhosis). Penyebab lainnya termasuk hepatitis kronik aktif
(postnecrosis cirrhosis), cardiac cirrhosis, hemochromatosis, penyakit Wilson,
dan defesiensi a1-antitrypsin. Tanpa mengindahkan penyebabnya, necrosis
hepatosit diikuti oleh regenerasi fibrosis dan nodular. Distorsi sel hepar
normal dan susunan vascular menghalangi aliran vena portal yang menyebabkan
hipertensi portal, sementara kerusakan pada sintesis normal hepar dan fungsi
metabolisme berbeda lainnya disebabkan oleh penyakit multisystem. Secara
klinis, tanda dan symptom tidak berhubungan dengan keganasan penyakit.
Tanda-tanda nyata biasanya tidak terlihat pada awalnya, tapi ikterus dan asites
pada akhirnya akan berkembang pada kebanyakan pasien. Tanda-tanda lain termasuk
spidernevy, eritema palmaris, ginekomasti, dan splenomegali.
Tiga
komplikasi utama sirosis hepatis, yaitu ; (1) perdarahan varises, akibat
hipertensi portal, (2) retensi cairan, dalam bentuk asites dan sindrom
hepatorenal, (3) encephalopathy hepatic atau koma. + 10% pasien juga
mengalami setidaknya satu rangkaian peritonitis bakteri spontan, dan beberapa
akan mengalami carcinoma hepatoseluler pada akhirnya.
Beberapa penyakit akan
menghasilkan fibrosis hepar tanpa nekrosis hepatoseluler atau regenerasi
nodular. Hal tersebut diakibatkan oleh hipertensi portal dan dihubungkan dengan
komplikasi. Fungsi hepatoseluler tidak selalu dapat dipelihara. Kerusakan ini
termasuk didalamnya schistosomiasis, fibrosis portal idiopatik (Sindrom Banti),
dan fibrosis hepatic congenital. Obstruksi pembuluh darah hepar atau vena cava
inferior (Budd-Chiari syndrome) juga dapat menyebabkan hipertensi. Yang
terakhir mungkin akibat dari trombosis vena (hypercoaguable state), tumor
thrombus (renal carcinoma), atau penyakit oklusi pembuluh darah hepar
sublobular.
Pertimbangan preoperatif
Efek merugikan dari anestesi dan
pembedahan terhadap aliran darah hepar sudah didiskusikan pada bagian yang lain. Pasien
dengan sirosis memiliki resiko tinggi mengalami penurunan fungsi hepar karena
terbatasnya reservasi fungsional. Keberhasilan penanganan anestesi pada apsien
tergantung pada pengenalan sifat/jenis multisistem dari sirosis dan mengontrol
atau mencegah komplikasinya.
Manifestasi
Sirosis
a. Manifestasi
Gastrointestinal
Hipertensi portal (>10mmHg)
mengakibatkan berkembangnya saluran portal-vena sistemik kolateral yang
panjang. Secara umum telah diketahui 4 tempat kolateral utama : gastroesofageal,
hemorrhoidal, periumbilical, dan retroperitoneal. Hipertensi portalsering
muncul sebelum operasi seperti dibuktikan dengan melebarnya pembuluh darah pada
dinding abdominal (caput medusa).
Perdarahan yang banyak dari varises gastroesofageal adalah penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada pasien sirosis. Selain itu, efek dari kehilangan
banyak darah, peningkatan muatan nitrogen (tidak jalannya darah pada daerah
intestinal) dapat mempercepat terjadinya encephalopathy hepatic. Endoskopi
merupakan alat diagnosis dan terapi yang baik. Identifikasi terhadap tempat
perdarahan sangat penting, karena pasien ini akan mengalami perdarahan dari
ulkus peptic atau gastritis, yang membutuhkan terapi berbeda.
Penanganan perdarahan varises
umumnya secara suportif. Darah yang hilang harus digantikan dengan cairan
intravena. Penanganan non bedah termasuk didalamnya
vasopressin (0,1-0,9 u/min. secara intravena), propanolol, balloon tamponade
(dengan tube Sengstaken Blakorhore), somatostatin (250 ug diikuti dengan 250
ug/jam), dan sclerosis endoskopik dari varises. Vasopressin, somatostatin, dan
propanolol, mengurangi kehilangan darah. Vasopressin dalam dosis tinggi dapat
dihasilkan dalam gagal jantung kongestif atau miokardial iskemik, infuse concomitant
dari nitrogliserin intravena dapat mengurangi kemungkinan komplikasi, selain
itu juga mengurangi pendarahan . Endoskopik sclerosis atau ligasi dari varises
biasanya efektif untuk menghentikan perdarahan + 90% dari seluruh
perdarahan. Percutaneus transjugular intrahepatic portosystemic shunts (TIPS)
dapat menurunkan hipertensi portal dan perdarahan (tapi, dapat meningkatkan
luasnya jangkitan encephalopathy). Pada
saat perdarahan gagal dihentikan atau terjadi lagi, pembedahan darurat harus
dilakukan. Resiko pembedahan telah diperlihatkan untuk menghubungkan dengan
tingkat kerusakan hepar, berdasarkan penemuan klinis dan laboratorium.
Prosedur shunting umumnya hanya
dilakukan pada pasien dengan resiko rendah, sedangkan pembedahan ablasi,
transreseksi esophageal, dan devaskularisasi gaster direncanakan untuk pasien
dengan resiko tinggi. Shunt non selektif (portacaval dan proksimal splenorenal)
umumnya ditinggalkan daripada shunt selektif (distal splenorenal). Yang terakhir
ini menekan varises tapi tidak merusak aliran darah hepar cukup banyak dan
mempunyai kecil kemungkinan untuk menyebabkan encephalopathy setelah operasi.
b. Manifestasi
Hematologi
Anemia, trombositopenia, dan
jarang terjadi leucopenia, mungkin akan muncul. Penyebab anemia umumnya
multifactor dan termasuk didalamnya kehilangan darah, meningkatkan destruksi
sel darah merah, penekanan sum-sum tulang, dan defisiensi nutrisi. Splenomegali
kongestif (dari hipertensi portal) memiliki peran yang sangat besar dalam
trombositopenia dan leucopenia. Defisiensi factor koagulasi akibat penurunan
sintesa hepar. Fibrinolisis yang bertambah setelah terjadi penurunan activator
system fibrinolytic juga dapat berperan terhadap koagulopati (lihat bab 34).
Kebutuhan akan transfuse darah sebelum operasi harus seimbang dengan
peningkatan dalam muatan nitrogen. Protein yang tidak bekerja akibat transfusi
darah yang sangat banyaka dapat mempercepat encephalopathy. Tapi bagaimanapun,
koagulopati harus disembuhkan sebelum pembedahan. Faktor-faktor pembekuan harus
digantikan dengan produk darah yang tepat misalnya FFP dan kriopresipitat.
Transfusi platelet harus dipertimbangkan segera dan utama untuk pembedahan
dengan hitungan < 100.000/uL.
c. Manifestasi
sirkulasi
Sirosis secara khas ditandai
dengan keadaan sirkulasi yang hiperdinamik. Cardiac output sering meningkat,
dan vasodilatasi perifer secara merata akan muncul. Shunting arteriovenous
dapat muncul pada sirkulasi sistemik dan pulmonal. Shunting arteriovenous
bersama dengan penurunan dalam viskositas darah karena anemia setidaknya
berpengaruh 50% untuk cardiac output. Pasien dengan superimposed alcoholic
cardiomyopathy dapat meningkatkan kegagalan jantung kongestif dengan mudah.
d. Manifestasi
respiratory
Gangguan terhadap pertukaran udara
pulmonal selain itu juga sering muncul ventilasi mekanis. Hiperventilasisudah
umum dan dihasilkan dalam alkalosis respirasi. Umumnya terdapat hipoksemia dan
diakibatkan oleh shunting (> 40% dari cardiac output). Shunting disebabkan oleh
komunikasiarteriovenous pulmonary (absolute) dan kesalahan ventilasi/perfusi
(relatif). Elevasi diafragma dari asites yang menurunkan volume paru-paru,
khususnya kapasitas residu fungsional, dan predisposisi pada atelektasis.
Terlebih lagi, jumlah yang sangat besar dari asites dapat menyebkan defek pada
ventilatory restriktif yang meningkatkan kerja pernapasan.
Dengan melihat foto thorax dan
pengukuran gas darah artesi sangat berguna sebelum operasi karena atelektasis
dan hipoksemia seringkali tidak tampak dalam gejala klinisnya. Paracentesis
harus dipertimbangkan untuk pasien dengan asites massif dan pertimbangan
pulmonary tapi harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena perpindahan
cairan yang terlalu banyak akan mengakibatkan kolaps sirkulasi.
e. Manifestasi
Renal dan Keseimbangan Cairan
Pengaturan ulang keseimbangan
cairan dan elektrolit bermanifestasi sebagai asites, edema, gangguan
elektrolit, atau sindrom hepatorenal. Mekanisme penting yang berperan serta
dalam timbulnya asites, yaitu :
- Hipertensi potal, yang meningkatkan tekanan hidrostatik dan transudasi cairan melewati usus
- Hipoalbuminemia, yang menurunkan tekanan onkotik plasma dan transudasi cairan
- Perembesan cairan limfe yang kaya protein dari permukaan serosa hepar m,enjadi distorsi dan obstruksi saluran limfe di hepar
- Retensi natrium renal (dan seringkali air).
Kedua teori “underfilling” dan
“overflow” telah diajukan untuk menjelaskan retensi natrium. Teori
“underfilling” menyatakan bahwa meskipun total cairan ekstraseluleryang dapat
diukur dan volume plasma pada pasien sirosis dengan asites meningkat, volume
plasma efektif malah menurun; retensi natrium kurang penting untuk hipovolemia
relative dan hiperaldosteronisme sekunder. Ketidaksesuaian yang terlihat antara
ukuran volume plasma efekstif dapat dijelaskan dengan peningkatan volume darah
splanchnic. Sebaliknya teori “overflow” beranggapan bahwa abnormalitas yang
utama adalah retensi natrium oleh ginjal asites merepresentasikan transudasi
menengah ke volume plasma yang semakin meluas. Pasien dengan asites telah
meningkatkan level sirkulasi katekolamin, yang dianggap disebabkan oleh aliran
simpatetik. Sebagai tambahan untuk peningkatan rennin dan angiotensin II,
pasien menunjukkan intensifitas pada sirkulasi atrial natriuretic peptide.
Tanpa mengindahkan keterlibatan
mekanisme, pasien sirosis dan asites telah mengurangi perfusi renal, merubah
hemodinamik intrarenal, memperbesarreabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan
distal, dan gangguan pada klirens air bebas. Hiponatremia dan hipokalemia sudah
umum terjadi. Hiponatremia adalah pengenceran, sedangkan hipokalemi disebabkan
oleh kehilangan kalium melalui urin yang sangat banyak (hiperaldosteronisme
sekunder atau diuresis). Manifestasi berkembangnya penyakit menuju yang lebih
buruk dapat terlihat dengan berkembangnya sindroma hepatorenal.
Sindrom hepatorenal adalah suatu
gangguan fungsi renal pada pasien sirosis yang biasanya diikuti dengan
perdarahan gastrointestinal, diuresis aggresif, sepsis atau pembedahan mayor.
Hal ini ditandai oleh oligouria yang progresif dengan retensi natrium yang
banyak, azotemia, intractable ascites, dan mortality rate yang tinggi.
Penanganannya secara suportif dan sering tidak berhasil kecuali jika dilakukan
transplantasi hepar.
Terapi cairan preoperative yang
bijaksana pada pasien dengan pasien penyakit hepar tingkat lanjut. Pentingnya
perawatan fungsi renalsebelum operasi tidak dapat terlalu mendapatkan
penekanan. Diuresis pre operasi yang sangat berlebihan harus dihindari, dan
deficit cairan intravaskuler akut harus dikoreksi denagn infuse koloid.
Diuresis dari asites dan cairan edema harus diselesaikan setelah beberapa hari.
Diuresis Loop hanya dapat diberikan setelah pemberian tindakan seperti bedrest,
retriksi natrium (<2 g NaCl/d), dan terapi spironolakton dianggap tidak
efektif. Pengukuran berat badan setiap hari sangat penting untuk mencegah
pengosongan volume intravascular selama diuresis. Untuk pasien yang menderita
asites dan edema perifer, tidak lebih dari 1 kg/d harus dihilangkan selama diuresis,
sementara mereka yang hanya memiliki asites saja, yang harus dihilangkan lebih
dari 0,5 kg/d. Hiponatremia (serum Na+ < 130 meq/L) juga harus diretriksi
cairan, sedangkan deficit kalium harus diganti melalui preoperasi. Infus
manitol propilaktif perioperasi mungkin efektif untuk mencegah kerusakan renal,
tapi hal ini belum dibuktikan secara pasti.
f. Manifestasi
Sistem Saraf Pusat
Encephalopaty hepatic ditandai
dengan perubahan pada status mental dengan tanda-tanda neurologist yang tidak
tetap (asterixis, hiperfleksi, atau refleks plantar yang abnormal) dan
perubahan electroencephalographie khusus ( tekanan tinggi-simetris, aktivitas gelombang yang lemah). Beberapa pasien juga mengalami
peningkatan tekanan intracranial. Encephalopaty metabolic berhubungan dengan
jumlah kerusakan hepatoseluler yang muncul maupun derajat shunting dari daerah
portal jauh dari hepar dan langsung masuk ke sirkulasi sistemik. Akumulasi
substansi yang berasal dari daerah gastrointestinal tetapi dimetabolisme secara
normal oleh hepar telah di libatkan. Toksin, termasuk didalamnya ammonia,
methionine metabolit (mercaptans), rangkaian pendek nasam lemak, dan phenol.
Keabnormalan lainnya termasuk naiknya level darah dari asam amino aromatic,
menurunnya level darah dari asam amino rantai cabang, peningkatan penyerapan
oleh sawar darah otak, dan level tinggi yang abnormal dari g-aminobutiric acid dalam otak. Faktor-faktor yang diketahui
mempercepat encephalopathy hepatic termasuk perdarahan gastrointestinal,
meningkatkan pemasukan diet protein, alkalosis hipokalemi (dari muntah-muntah
atau diuresis), infeksi dan memburuknya fungsi hepar.
Encephalopaty seharusnya ditangani
secara agresif preoperative. Hal-hal yang bias memicunya harus dikoreksi.
Laktulosa oral 30-50 ml 98h atau neomycin 500 mg 96h berguna untuk menurunkan
penyerapan ammonia intestinal. Laktulosa berperan sebagai osmotic laxative dan
seperti neomycin mungkin menghalangi produksi ammonia dan bakteri intestinal.
Pencegahan sedative pada pasien dengan encephalopathy dianjurkan.
Pertimbangan intraoperatif
Pasien dengan postnecrotic sirosis
karena hepatitis B atau C yang menjadi pembawa virus mungkin mudah berjangkit.
Perhatian ekstra ditunjukkan dengan menghindarkan kontak dengan darah dan
cairan tubuh dari pasien.
A. Respon Obat
Respon terhadap obat anestesi
tidak dapat ditebak pada pasien dengan sirosis. Perubahan pada kepekaan system
saraf pusat, volume distribusi, ikatan protein, metabolisme obat, dan eliminasi
obat sudah umum. Banyak pasien yang menunjukkan peningkatan kepekaan system
saraf pusat ke thiopental, sementara beberapa dengan sejarah alkoholik akan
terlihat menunjukkan toleransi. Peningkatan volume distribusi untuk obat-obatan
dengan ion tinggi, misalnya neuromuscular blocking agent (disebut juga muscle relaxan),
disebabkan oleh meluasnya tempat cairan ekstraseluler, resisten yang terlihat
dapat diobservasi, membutuhkan dosis yang lebih besar dari yang normal.
Bagaimanapun, dosis yang lebih kecildari yang dibutuhkan oleh anti
neuromuscular blocking agent bergantung pada eliminasi di hepar (pancuronium,
recuroniam, dan vecuronium) juga diperlukan. Ini merupakan waktu penanganan
yang lama untuk succinilcholine sebagai akibat dari pengurangan level
pseudocholinesterase, tapi jarang bermanifestasi klinis.
B. Teknik
Anestesi
Aliran darah vena porta berkurang
pada kasus sirosis. Hepar menjadi sangat bergantung pada perfusi arteri
hepatic. Pemeliharaan aliran darah arteri hepatic dan pencegahan terhadap agen
yang memiliki kemungkinan memberikan efek yang merugikan fungsi hepar harus
kritis. Anestesi regional bias dilakukan pada pasien tanpa trombositopenia atau
koagulopati, tapi perawatan yang lebih diatas normal harus diarahkan untuk
menghindari hipotensi. Induksi barbiturate diikuti dengan isofluran dalam oksigen
atau campuran oksigen-nitrous oxide adalah yang paling umum digunakan dalam
anestesi pada umumnya. Penggunaan halotan biasanya dihindari supaya tidak
mengacaukan diagnosis jika tes hepar memburuk post operasi. Penambahan opioid
mengurangi dosis anestesi inhalasi yang dibutuhkan, tapi waktu paruh opioid
cenderung lama.Cisatracurium bisa jadi agen yang memblok neuromuscular yang
dipilih, karena metabolisme hepaticnya yang unik. Mual sebelum operasi, muntah,
perdarahan gastrointestinal atas, distensi abdomen yang diakibatkan oleh asites
yang sangat banyak, membutuhkan induksi yang terencanakan dengan baik.
Preoksigenasi dan rangkaian induksi yang sering dengan tekanan cricoid sangat
sering dijalankan. Untuk pasien yang tidak stabil dan mereka dengan perdarahan
aktif sangat disarankan, intubasi sadar atau induksi yang sering dengan tekanan
cricoid menggunakan ketamine (ethiomidate) dan succyniocholine.
C. Monitoring
Monitoring yang teliti terhadap
system respirasi dan kardiovaskular penting bagi pasien yang menjalani prosedur
abdominal. Monitoring EKG five lead pada pasien yang diberi infuse vasopressin
penting untuk mendeteksi iskemik miokard, vasokonstriksi koroner. Oksimetri
denyut nadi harus ditambahkan dengan pengukuran gas darah arteri untuk
mengevaluasi status asam basa. Pasien dengan shunt intrapulmonary dari kanan ke
kiri yang besar tidak dapat mentoleransi penambahan nitrous oxide dan akan
membutuhkan tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) untuk mengatasi
ketidakcukupan ventilasi/perfusi dan hipoksemia yang mungkin akan terjadi.
Monitoring terhadap tekanan
intraarterial umum dilakukan terhadap kebanyakan pasien. Perubahan yang cepat
pada tekanan darah munculsebagai akibat dari perdarahan yang sangat banyak,
pergantian cairan intercomparemental yang sering dan manipulasi pembedahan.
Status volume intravascular seringkali sulit ditentukan tanpa ada monitoring,
juga pada vena sentral atau tekanan arteri pulmonary. Monitoring yang seperti
ini mungkin kritis untuk mencegah sindrom hepatorenal. Urinary output juga
harus diawasi dengan cermat, mannitol atau dopamine dalam dosis rendah harus
dipertimbangkan agar bias diperoleh urinary output yang sedikit meskipun
perpindahan cairan intravaskuler memenuhi syarat.
D. Pemberian cairan
Sebelum operasi, sebagian besar
pasien mengalami retriksi natrium, namun pada intraoperatif, nperawatan
terhadap volume intravascular dan urinary output lebih diprioritaskan.
Penggunaan cairan koloid intravena lebih dipilih untuk menghindari berlebihnya
muatan natrium dan untuk meningkatkan tekanan onkotik (lihat bab 28). Pemberian
cairan intravena harus dipertimbangkan karena perdarahan hebat dan perpindahan
cairan yang sering muncul pada pasien dengan prosedur abdominal. Venous
engorgement dari hipertensi portal, lisis dan adhesi setelah pembedahan
sebelumnya, dan koagulopati yang menyebabkan perdarahan hebat selama
pembedahan, sementara evakuasi asites dan prosedur pembedahan yang
berkepanjangan mengakibatkan perpindahan cairan dalam jumlah besar. Pemberian
cairan koloid intravena sering penting untuk mencegah hipotensi yang dalam dan
gagal ginjal yang menikuti perpindahan sejumlah besar cairan asites. Karena
sebagian besar pasien mengalami anemia dan koagulopati sebelum operasi,
transfusi merupakan hal yang sering dilakukan. Transfusi penting, bisa memberi
hasil dalam toksisitas sitrat. Sitrat, merupakan antikoagulan dalam persiapan
penyimpanan sel darah merah, dapat dimetabolisme dalam hepar dengan mudah.
Toksisitas dapat muncul pada pasien denga sirosis karena mengalami gangguan
metabolisme. Sitrat berikatan dengan serum kalsium mengakibatkan hipokalsemia
lanjutan. Kalsium intravena sering penting untuk menghilangkan efek negative
inotropik dalam satu tetes konsentrat kalsium berion darah.
PENYAKIT HEPATOBILIER
Penyakit hepatobilier
ditandai dengan kolestasis, terhambatnya bahkan terhentinya aliran empedu.
Penyebab utama terjadinya kolestasis adalah obstruksi saluran empedu
ekstrahepatik (ikterus obstruktif). Obstruksi bilier ini bisa disebabkan oleh
batu empedu, striktur, atau tumor pada duktus hepatis kommunis. Pasien yang
mengalami obstruksi total atau hampir total akan mengalami gejala ikterus yang
progresif, warna urin yang pekat, kotoran berwarna dempul, dan pruritus.
Ikterus obstruktif
harus dibedakan dari kolestasis intrahepatik. Kolestasis intrahepatik
disebabkan oleh obstruksi aliran empedu di tingkat sel hepar (hepatosit) dan
kanalikulus, dimana penyebab utamanya adalah infeksi virus hepatitis atau
reaksi obat idiosinkratik (paling sering disebabkan oleh konsumsi fenotiazin
dan pil KB). Penanganan obstruksi ekstrahepatik biasanya dengan pembedahan,
sedangkan untuk obstruksi intrahepatik diterapi dengan medikamentosa. Meskipun
pruritus (akibat akumulasi garam-garam empedu) merupakan gambaran klinis yang
paling utama pada kolsestasis intrahepatik, diagnosis yang tepat mungkin tidak
bisa didasarkan hanya pada gambaran klinis dan hasil laboratorium. Pada kedua
tipe obstruksi di atas terjaddi hiperbilirubinemia terkonjugasi yang berlebihan
(> 50%) dan peningkatan alkali fosfatase serum yang moderat (lihat bab 34).
Pemeriksaan imaging (ultrasound, kolangiogram, radioisotop atau CT-scan)
diperlukan untuk mengkonfirmasi adanya obstruksi saluran empedu ekstrahepatik.
Penyakit batu empedu
(kolelitiasis) yang masih berada di kandung empedu biasanya tidak bergejala dan
biasanya diderita 10-20% dari populasi umum. Biasanya diagnosis ditegakkan dari
pemeriksaan USG abdomen. Gejala baru muncul apabila terjadi kolik saluran
empedu akibat obstruksi pada duktus sistikus. Trias kolesistitis adalah nyeri
yang tiba-tiba pada kuadran kanan atas, demam, dan lekositosis. Diagnosis dapat
dipastikan dengan pemeriksaan scan radioisotop, dimana pada pemeriksaan ini,
kandung empedu tidak dapat terlihat. Pasase batu empedu di duktus kommunis juga
dapat menyebabkan ikterus yang bersifat sementara. Menggigil yang disertai
dengan demam tinggi bisa mengindikasikan adanya infeksi bakteri ke sistem
bililaris (kolangitis). Bisa juga terjadi obstruksi duktus pankreatikus akibat
batu empedu, namun jarang. Diperkirakan 75% gejala kolesistitis akut sembuh
dalam 2-7 hari dengan terapi medis. Sisanya, sekitar 25%, tidak sembuh bahkan
mengalami komplikasi berupa empiema, perforasi, gangren, hydrops, fistel, atau
ileus batu empedu. Lima dari 10% pasien yang menderita serangan akut mengalami
kolesistitis akalkulus yang mungkin terjadi akibat trauma yang serius, luka
bakar, persalinan yang memanjang, operasi besar, atau sakit kritis. Diagnosis
biasanya ditegakkan dengan USG atau CT scan abdomen.
Pertimbangan Preoperatif
Biasanya indikasi
pasien dioperasi adalah untuk menjalani kolesistektomi, untuk membebaskan
obstruksi saluran empedu ekstrahepatik, atau keduanya. Prosedur operasi yang
lazim dilakukan adalah kolesistektomi melalui pendekatan laparoskopi. Kebanyakan
pasien dengan kolesistitis akut harus distabilkan dulu sebelum menjalani
kolesistektomi. Terapi medis yang dapat diberikan adalah suction nasogastric , pemberian cairan infus,
antibiotik, dan analgetik opiat. Pelaksanaan operasi dapat ditunda pada pasien
yang sembuh dari serangan akut, namun pada mereka yang mengalami komplikasi,
kolesistektomi darurat mungkin dibutuhkan. Kolesistitis akalkulus biasanya
terjadi pada pasien dengan sakit kritis, dimana mereka mempunyai risiko tinggi
mengalami gangren dan perforasi; sehingga diindikasikan untuk menjalani operasi
darurat.
Pasien yang mengalami
obstruksi saluran empedu ekstrahepatik apapun penyebabnya biasanya menderita
defisiensi vitamin K. Sebaiknya diberikan vitamin K parenteral yang mungkin
bekerja optimal setelah 24 jam. Bila sebelum operasi nilai PT belum optimal
(tidak dalam batas normal), maka mungkin harus diberikan FFP. Kadar bilirubin
yang tinggi mungkin menyebabkan peningkatan risiko gagal ginjal postoperatif;
sehingga dianjurkan untuk hidrasi preoperatif dalam jumlah yang banyak. Pada
obstruksi hepatik yang sudah berjalan lama (> 1 tahun), mungkin sudah
terjadi sirosis hepar dan hipertensi portal.
Pertimbangan Intraoperatif
Kolesistektomi
laparoskopi mempercepat masa penyembuhan pasien, namun insuflasi CO2
ke abdomen selama operasi tersebut dapat mempersulit penanganan anestesi (lihat
diskusi kasus bab 23). Mengingat semua golongan opiat dapat menyebabkan spasme
sfingter Oddi dalam berbagai derajat, maka penggunaannya masih diperdebatkan
bila akan dilakukan pemeriksaan kolangiogram intraoperatif. Spasme sfingter
Oddi yang disebabkan oleh penggunaan opiat secara teoritis dapat mengakibatkan
hasil positif palsu pada pemeriksaan kolangiogram intraoperatif sehingga
eksplorasi duktus biliaris tidak dilakukan. Meskipun sebelumnya hal ini sangat
diyakini, namun beberapa dokter memilih tetap menggunakan opiat setelah kolangiogram
selesai. Jika diduga terjadi spasme akibat penggunaan opiat, maka dapat
diberikan nalokson atau glukagon.
Pada pasien dengan
obstruksi saluran empedu, pemanjangan durasi obat-obat yang tergantung pada
ekskresi empedu harus diantisipasi. Plihlah obat-obat yang dieliminasi di
ginjal. Produksi urin harus terus dipantau dengan kateter.
Diuresis intraoperatif mungkin diperlukan.
Pasien yang
menderita kolesistitis akalkulus atau
kolangitis berat termasuk dalam pasien kritis yang memiliki angka mortalitas
perioperatif yang tinggi. Pemantauan hemodinamik yang invasif dapat memperbaiki
perawatan anestesi yang diberikan.
OPERASI HEPAR
Prosedur operasi hepar
yang lazim dilakukan adalah reparasi laserasi, drainase abses, dan reseksi
tumor (primer atau metastase). Pada kebanyakan pasien, hepar bisa diangkat
sampai 80-85%. Beberapa sentra bisa melakukan transplantasi hepar. Semua
prosedur di atas dapat menimbulkan masalah bagi anestesi sehubungan dengan
kehilangan darah intraoperatif dalam jumlah yang banyak. Sirosis dapat
menimbulkan komplikasi yang besar pada penanganan anestesi dan meningkatkan
mortalitas perioperatif. Pemasangan jalur intravena dengan kanul besar dalam
jumlah yang banyak dan penghangat darah mungkin dibutuhkan; semua peralatan
yang dapat memudahkan pemberian transfusi darah masif harus disiapkan. Dapat
dianjurkan pemasangan jalur arteri dan CVP (central
venous pressure). Beberapa dokter menghindari hipotensi anestesia karena
berpotensi menyebabkan efek yang serius (membahayakan) jaringan hepar yang
tersisa, sementara yang lainnya berpikir bahwa hipotensi anestesia tersebut
dapat membantu mencegah kehilangan banyak darah bila dipantau dengan seksama.
Pemberian antifibrinolitik seperti aprotinin, asam ε-aminokaproik, atau asam
traneksamat dapat mencegah kehilangan banyak darah intraoperatif. Hipoglikemia dapat terjadi setelah reseksi hepar yang luas. Drainase abses
atau kista dapat menyebabkan komplikasi berupa kontaminasi peritoneum. Pada
kasus hydatid cyst (kista hidatid), spillage dapat menyebabkan anafilaksis
akibat antigen echinococcus.
Komplikasi postoperatif dapat berupa perdarahan,
sepsis, dan disfungsi hepar. Penggunaan ventilator mungkin diperlukan pada
pasien yang menjalani reseksi hepar luas.
REFERENSI
GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Liver Disease,. Clinical Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed. New York; 2006.
GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Liver Disease,. Clinical Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed. New York; 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar