PENDAHULUAN
Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat
terjadinya arterosklerosis dan hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor
terjadinya penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler.3
Pengendalian hipertensi yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark
miokardium, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi
perifer dan diseksi aorta, sehingga morbiditas dapat dikurangi.3,6
Konsekuensi dari penggunaan obatobat antihipertensi yang rutin mempunyai
potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan.
Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap dilanjutkan selama periode
perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2 jam sebelum
prosedur pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan kembali pada saat
pemulihan dari pengaruh anestesia.7 Tingginya angka penderita
hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat hipertensi ini
menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama
periode perioperatif. Periode perioperatif dimulai dari hari dimana
dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode selama pembedahan sampai
pemulihan pasca bedah.1,7
Hipertensi adalah penyakit yang
umum dijumpai.Diperkirakan satu dari empat populasi dewasa di Amerika atau
sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita
hipertensi, dengan mayoritas dari populasi ini mempunyai risiko yang tinggi
untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler.1-4 Data yang diperoleh
dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tetap akan
meningkat meskipun sudah dilakukan deteksi dini dengan dilakukan pengukuran
tekanan darah (TD) secara teratur. Pada populasi berkulit putih ditemukan hampir
1/5 mempunyai tekanan darah sistolik (TDS) lebih besar dari 160/95 mmHg dan
hampir separuhnya mempunyai TDS lebih besar dari 140/90 mmHg. Prevalensi
hipertensi tertinggi ditemukan pada populasi bukan kulit putih.2,5
DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI
HIPERTENSI
Diagnosis suatu keadaan
hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya peningkatan tekanan arteri
diatas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras.
Batas atas tekanan darah normal yang di ijinkan adalah sebagai berikut :
- Dewasa 140/90 mmHg
- Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg
- Anak usia prasekolah 85/55 mmHg
- Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg
Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on prevention, detection,
evaluation, and treatment of high blood pressure tahun 2003, klasifikasi
hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2 (lihat tabel
1).
Klasifikasi di atas untuk dewasa
18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk
posisi dan waktu pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan
teknik pengukuran TD. Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih
pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD darah
sebelumnya.3 Penderita dengan klasifikasi prehipertensi mempunyai progresivitas
yang meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89
mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan
nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu.2
Disamping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:5,8
Disamping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:5,8
- Hipertensi primer (esensial, idiopatik).
- Hipertensi sekunder:
A. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar:
Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA.B. Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR:
- Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik ginjal, stenosis arteri renalis.
- Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal congenital, sindroma Conn (hiperaldosteronisme primer), phaeochromacytoma, hipotiroidisme.
- Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat Hypertension), porfiria akut, tanda-tanda keracunan.
- Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa, hiperkalsemia, peningkatan volume intravaskuler (overload).
PATOGENESIS TERJADINYA HIPERTENSI
Hanya berkisar 10-15% kasus
hipertensi yang diketahui penyebabnya secara spesifik. Hal ini penting menjadi
bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus-kasus hipertensi tersebut bisa
dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan, seperti penyempitan arteri
renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma, cushing’s disease,
akromegali, dan hipertensi dalam kehamilan. Sedangkan hipertensi yang tidak
diketahui penyebabnya sering disebut sebagai hipertensi esensial. Hipertensi
esensial menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi.1,3,9,10
Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan
aktivitas simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO),
seperti pada keadaan febris, hipertiroidisme atau terjadi peningkatan
resistensi pembuluh darah perifer (SVR) atau kedua-duanya. Peningkatan SVR
merupakan penyebab hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi.1,3
Pola perkembangan terjadinya hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam
batas-batas normal. Ketika hipertensi semakin progresif, CO kembali normal
tetapi SVR meningkat menjadi tidak normal. Afterload jantung yang meningkat
secara kronis menghasilkan LVH (left ventricle hypertrophy) dan merubah fungsi
diastolik. Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral sehingga cerebral
blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi dipertahankan pada tekanan
yang tinggi.3
Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung
dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan menggunakan hukum Law,
yaitu:1,9
BP = CO x SVR
FARMAKOLOGI DASAR
OBAT-OBAT ANTIHIPERTENSI
Obat antihipertensi bekerja pada
reseptor tertentu yang tersebar dalam tubuh.8,9 Kategori obat
antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atauprinsip kerjanya, yaitu:
- Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan volume darah, sehingga CO berkurang. Contohnya: golongan thiazide, loop diuretics.
- Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan cara menumpulkan refleks arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi pembuluh darah perifer, menghambat fungsi kardiak, meningkatkan pengisian vena sehingga terjadi penurunan CO. Contohnya: beta dan alpha blocker, methyldopa dan clonidine, ganglion blocker, dan post ganglionic symphatetic blocker (reserpine, guanethidine).
- Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara relaksasi otot-otot polos vaskuler. Contoh: nitroprusside, hydralazine, calcium channel blocker.
- Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini menurunkan resistensi perifer dan volume darah, yaitu dengan menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II dan menghambat metabolisme dari bradikinin.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
1Extended
realease.
|
MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA
HIPERTENSI
1. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:10,11
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:10,11
- Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.
- Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi.
- Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
- Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Semua data-data di atas bisa
didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan
fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya.2,11 Penilaian status volume cairan
tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang
sebenarnya ataukah suatu relatif hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan
diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering
menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan
risiko terjadinya aritmia.5,11,12 Untuk evaluasi jantung, EKG dan
x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya
risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya
diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika
ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan
peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler,
riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.5
Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat
tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal.
Diturunkannya TD secara farmakologis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit
jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit
arteri koronariasebesar 16%.11
|
2. Pertimbangan Anestesia Penderita
Hipertensi
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi.12,13 Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi.11,12 Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12 Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi.15 The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS ≥ 180 mmHg dan/atau TDD ≥ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting.16 Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.11,13,14
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi.12,13 Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi.11,12 Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12 Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi.15 The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS ≥ 180 mmHg dan/atau TDD ≥ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting.16 Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.11,13,14
3. Perlengkapan Monitor
Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa
kita gunakan serta maksud dan tujuan penggunaanya:5
- EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.
- Tekanan Darah: monitoring secara continuous Tekanan Darah adalah esensial kateter Swan-Ganz: hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI berulang.
- Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer.
- Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita mempertahankan kadar CO2.
- Suhu atau temperature.
4. Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.
5. Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.3,8,10 Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.3,10
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.3,8,10 Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.3,10
- Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5- 10 menit.
- Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).
- Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
- Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
- Menggunakan anestesia topikal pada airway..
Pemilihan obat induksi untuk
penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol,
barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk
induksi pada penderita hipertensi.3 Untuk pemilihan pelumpuh otot
vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa
digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.8,10
6. Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif.10 Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:8
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif.10 Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:8
- Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
- Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.
- Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.
- Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral.
Anestesia aman jika dipertahankan
dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang
kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan
N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh
otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan
anestesia.3 Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik
anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan
hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan
keadaan hipovolemia.10 Jika hipertensi tidak berespon terhadap
obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan
seperti phaeochro-macytoma, carcinoid syndrome dan
tyroid storm.17 Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani
tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring
intra-arterial secara langsung diperlukan terutama jenis operasi yang
menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk
mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk
penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter
urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral
diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang
mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.3,10
7. Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode
preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode anestesia maupunsaat
pasca bedah.13 Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan
didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral
(lihat tabel 2), namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi
seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus
disingkirkan terlebih dahulu.3
|
Pemilihan obat antihipertensi
tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline
ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner dan juga
tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari
pemberian obat tersebut (lihat tabel 3).3,19 Berikut ini ada
beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:3
- Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik.
- Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
- Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.
- Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi sedang sampai berat.
- Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau pencegahan iskemia miokard.
- Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal.
- Hydralazine: bisa menjaga kestabilan tekanan darah, namun obat ini juga punya onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
8. Krisis Hipertensi
Dikatakan krisis hipertensi jika tekanan darah lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi.10 Hal-hal yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma, preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini.8 Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra serebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang memerlukan intervensi farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-tanda ensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita hamil dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan-pelan diturunkan sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan tekanan darah ditoleransi dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ.8,10,20 Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan target organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari.10,20
Dikatakan krisis hipertensi jika tekanan darah lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi.10 Hal-hal yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma, preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini.8 Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra serebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang memerlukan intervensi farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-tanda ensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita hamil dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan-pelan diturunkan sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan tekanan darah ditoleransi dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ.8,10,20 Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan target organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari.10,20
9. Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada
periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita hipertensi
esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga
berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping
itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat
terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada
daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi.3,10 Penyebab
terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer
karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya
adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari
kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi,
penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.3 Nyeri
merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi
pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani
secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi,
maka intervensi secara farmakologi
harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun
pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca
bedah tetap diberikan.14 Hipertensi pasca
operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara
parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya
karena overload cairan, bisa diberikan diuretika
furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart
failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat
diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena
sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera
diberikan sodium nitroprusside.13 Apabila penderita sudah bisa
makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral
segera dimulai.3,10,14
REFERENSI
- Murray MJ. Perioperative hypertension: evaluation and management; Available at: http://www.anesthesia.org.cn/asa2002/rcl.source/512Murray.pdf
- The seventh report of Joint National Committee on Prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure, NIH publication No.03- 5233, December 2003.
- Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.p.444-52.
- Perez-Stable EJ. Management of mild hypertension- selecting an antihypertensive regimen. West J Med 1991;154:78-87.
- Yao FSF, Ho CYA. Hypertension. Anesthesiologyproblem oriented patient manajement. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2003.p.337-57.
- Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Perioperative hypertension (HTN). Decision making in anesthesiology-an algorithmic approach. 4th ed. Philadhelpia: Elsevier; 2007.p.124-6.
- Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at: http://www. emedicine. com/MED/ topic3158.htm..
- Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at: http://www.4um.com/ tutorial/anaesthbp.htm.
- Benowitz NL. Antihypertensive agentcardiovaskular- renal drugs. In: Katzung BG, editor. Basic and clinical pharmacology. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2004.p.160- 83.
- Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In: Hines RL, Marschall KE, editors. Stoeltings anesthesia and co-existing disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.
- Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In: Hines RL, editor. Adult perioperative anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia: Elsevier; 2004.p.3-82.
- Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient undergoing anesthesia and elective surgery. British Journal of Anesthesia 2001;86(6):789-93.
- Kaplan NM. Perioperative management of hypertension. In: Aronson MD, Bakris GL. editors. Available at: www.uptodate.com.
- Laslett L. Hypertension-preoperative assesment and perioperative management. West J Med 1995;162:215-9.
- Hanada, et al. Anesthesia and medical disease-hypertension and anesthesia. Current Opinion in Anesthesiology 2006;19(3):315-9.
- Howell SJ, Foex P. Hypertension, hypertensive heart disease and perioperative cardiac risk. British Journal of Anesthesia 2004;92(4):570-83.
- Paix AD, et al. Crisis management during anesthesia: hypertension. Qual Saf Health Care 2005;14:e12.
- Barisin S, et al. Perioperatif blood pressure control in hypertensive and normotensive patient undergoing off-pump coronary bypass grafting. Croat Med J 2007;48:341-7.
- Common problem in the cardiac surgery recovery unit in perioperative care. In: Cheng DCH, David TE, editors. Cardiac anesthesia and surgery. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.p.1178-22.
- Hypertensive emergencies. Available at: www.ehs.egypt.net/pdf/11-guideline.pdf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar