Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak usia
15 – 44 tahun dan merupakan penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan.
Di negara berkembang seperti Indonesia,
seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan frekuensinya
cenderung makin meningkat. Cedera kepala berperan pada hampir separuh
dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan
bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan.
Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia
produktif, yaitu antara 15 – 44 tahun, dengan usia rata – rata sekitar
tiga puluh tahun, dan lebih didominasi oleh kaum laki – laki
dibandingkan kaum perempuan. Adapun penyebab yang tersering adalah
kecelakaan lalu lintas ( 49 % ) dan kemudian disusul dengan jatuh
(terutama pada kelompok usia anak – anak).
Pada kehidupan sehari – hari cedera kepala adalah tantangan umum bagi
kalangan medis untuk menghadapinya, di mana tampaknya keberlangsungan
proses patofisiologis yang diungkapkan dengan segala terobosan
investigasi diagnosik medis mutakhir cenderung bukanlah sesuatu yang
sederhana. Berbagai istilah lama seperti kromosio dan kontusio kini
sudah ditingalkan dan kalsifikasi cedera kepala lebih mengarah dalam
aplikasi penanganan klinis dalam mencapai keberhasilan penanganan yang
maksimal.
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai
dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang
tengkorak , durameter, vaskuler otak, sampai jaringan otak sendiri. Baik
berupa luka tertutup, maupun trauma tembus. Dengan pemahaman landasan
biomekanisme-patofisiologi terperinci dari masing – masing proses di
atas, yang dihadapkan dengan prosedur penanganan cepat dan akurat,
diharapkan dapat menekan morbilitas dan mortalitasnya.
Jenis beban mekanik yang menimpa kepala sangat bervariasi dan rumit.
Pada garis besarnya dikelompokkan atas dua tipe yaitu beban statik dan
beban dinamik. Beban statik timbul perlahan – lahan yang dalam hal ini
tenaga tekanan diterapkan pada kepala secara bertahap, hal ini bisa
terjadi bila kepala mengalami gencetan atau efek tekanan yang lambat dan
berlangsung dalam periode waktu yang lebih dari 200 mili detik. Dapat
mengakibatkan terjadinya keretakan tulang, fraktur multiple, atau
kominutiva tengkorak atau dasar tulang tengkorak.Biasanya koma atau
defisit neurologik yang khas belum muncul, kecuali bila deformasi
tengkorak hebat sekali sehingga menimbulkan kompresi dan distorsi
jaringan otak, serta selanjutnya mengalami kerusakan yang fatal.
Mekanisme ruda paksa yang lebih umum adalah akibat beban dinamik,
dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat ( kurang
dari 200 mili detik). Beban ini dibagi menjadi beban guncangan dan
beban benturan. Komplikasi kejadian ini dapat berupa hematom
intrakranial, yang dapat menjadikan penderita cedera kepala derajat
ringan dalam waktu yang singkat masuk dalam suatu keadan yang gawat dan
mengancam jiwanya.
Disatu pihak memang hanya sebagian saja kasus cedera kepala yang
datang kerumah sakit berlanjut menjadi hematom, tetapi dilain pihak “
frekuensi hematom ini terdapat pada 75 % kasus yang datang sadar dan
keluar meninggal “.
A. DEFINISI
Cedera Kepala atau Traumatic Brain Injury (TBI) adalah salah satu
dari trauma yang paling serius dan mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan
cepat diperlukan untuk mendapatkan outcome yang baik. Anestetist
mengelola pasien ini sepanjang periode perioperatif, dari ruang gawat
darurat sampai ke tempat pemeriksaan radiologi, kamar bedah, dan
neuroICU.
Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan cedera otak
adalah optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak, hindari
cedera sekunder dan memberikan fasilitas pembedahan untuk dokter bedah
saraf. Anestesi umum dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi respirasi dan
sirkulasi.
Cedera kepala diklasifikasikan kedalam cedera primer dan cedera
sekunder. Klasifikasi ini berguna untuk pertimbangan terapi. Cedera
primer adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh impak mekanis dan stres
aselerasi-deselerasi pada tulang kepala dan jaringan otak, mengakibatkan
patah tulang kepala (tulang kepala atau basis kranii) dan lesi
intrakranial. Lesi intrakranial diklasifikasikan kedalam dua tipe yaitu
cedera difus dan fokal. Difus injuri ada dua kategori yaitu brain
concussion (bila hilangnya kesadaran berakhir < 6 jam) dan Diffus
axonal injury /DAI (bila hilangnya kesadaran berakhir > 6 jam). Fokal
injury ada beberapa macam antara lain brain contusion, epidural
hematom, subdural hematom, intracerebral hematom. Cedera sekunder
berkembang dalam menit, jam atau hari sejak cedera pertama dan
menimbulkan kerusakan lanjutan dari jaringan saraf. Penyebab paling umum
dari cedera sekunder adalah hipoksia dan iskemi serebral. Cedera
sekunder dapat disebabkan hal-hal berikut : 1) disfungsi respirasi
(hipoksemia, hiperkarbia), 2) instabilitas kardiovaskuler ( hipotensi,
curah jantung rendah), 3) peningkatan tekanan intrakranial, dan 4)
kekacauan biokimia.
B. ANATOMI
B.1 Meninges dan Vasa Darah Otak
1. Meninges
Meninges adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus
otak dan medulla spinalis yang barisi liquor cerebrospinal dan berfungsi
sebagai schock absorber. Meninges terdiri dari tiga lapisan dari luar
kedalam yaitu : duramater, arachnoidea dan piamater.
a. Duramater
Merupakan selaput padat, keras dan tidak elastis. Duramater
pembungkus medulla spinalis terdiri atas satu lembar, sedangkan
duramater otak terdiri atas dua lembar yaitu lamina endostealis yang
merupakan jaringan ikat fibrosa cranium, dan lamina meningealis.
Membentuk lipatan / duplikatur dibeberapa tempat, yaitu dilinea mediana
diantara kedua hehemispherium cerebri disebut falx cerebri , berbentuk
segitiga yang merupakan lanjutan kekaudal dari falx cerebri disebut Falx
cerebelli, berbentuk tenda yang merupakan atap dari fossa cranii
posterior memisahkan cerebrum dengan cerebellum disebut tentorium
cerebelli, dan lembaran yang menutupi sella tursica merupakan pembungkus
hipophysis disebut diafragma sellae.
Diantara dua lembar duramater, dibeberapa tempat membentuk ruangan disebut sinus (venosus) duramatris.
Sinus duramatis menerima aliran dari vv. Cerebri, vv. Diploicae, dan vv. Emissari. Ada
dua macam sinus duramatis yang tunggal dan yang berpasangan. Sinus
duramater yang tunggal adalah : sinus sagitalis superior, sinus
sagitalis inferior, sinus rectus, dan sinus occipitalis. Sinus sagitalis
superior menerima darah dari vv. Cerebri,vv. Diploicae, dan vv.
Emissari.Sinus sagitalis inferior menerima darah dari facies medialis
otak. Sinus rectus terletak diantara falx cerebri dan tentorium
cerebelli, merupakan lanjutan dari v. cerebri magna, dengan sinus
sagitalis superior membentuk confluens sinuum. Sinus occipitalis mulai
dari foramen magnum, bergabung dengan confluens sinuum.
Sinus duramater yang berpasangan yaitu sinus tranversus, sinus
cavernosus, sinus sigmoideus dan sinus petrosus superior dan inferior.
Sinus tranversus menerima darah dari sinus sagitalis superior dan sinus
rectus, kemudian mengalir ke v. jugularis interna. Sinus sigmoideus
merupakan lanjutan sinus tranversus berbentuk huruf S. Sinus petrosus
superior dan inferior menerima darah dari sinus cavernosus dan
mengalirkan masing – masing ke sinus traaanversus dan v. jugularis
interna.
b. Aracnoidea
Membran halus disebelah dalam duramater, tidak masuk kedalam sulcus /
fissura kecuali fissura longitudinalis. Dari aracnoidea banyak muncul
trabecula halus menuju kepiamater membentuk bangunan seperti sarang laba
– laba.
Diantara aracnoidea dan piamater terdapat ruang spatium
subaracnoidale, yang dibeberapa tempat melebar membentuk cisterna.
Sedangkan celah sempit diantara duramater dan aracnoidea disebut spatium
subdurale, celah sempit diluar duramater disebut spatium epidurale.
Dari aracnoidea juga muncul jonjot – jonjot yang mengadakan
invaginasi ke duramater disebut granulasio aracnoidales terutama
didaerah sinus sagitalis yang berfungsi klep satu arah memungkinkan
lalunya bahan – bahan dari LCS ke sinus venosus.
c. Piamater
Piamater melekat erat pada otak dan medulla spinalis, mengikuti
setiap lekukan, mengandung vasa kecil. Ditempat tertentu bersama dengan
ependyma membentuk tela choroidea. Piamater berperan sebagai barrier
terhadap masuknya senyawa yang membahayakan.
B.2. Vasa Darah Otak
a. Arteri
Otak divaskularisasi oleh cabang – cabang a. carotis interna dan a.
vertebralis. A. carotis interna merupakan cabang dari a. carotis comunis
yang masuk ke kavum cranii melalui canalis caroticus, cabang- cabangnya
adalah a. optalmica, a. choroidea anterior, a. cerebralis anterior dan
a.cerebralis medialis. A. opthalmica mempercabang a. centralis retina,
a. cerebralis anterior mempercabangkan a. communicans anterior,
sedangkan a. cerebralis medialis mempercabangkan a. communican
posterior.
Arteri vertebralis merupakan cabang a. subclavia naik ke leher
melalui foramina tranversalis. Kedua a. vertebralis di kranial pons
membentuk a. basillaris yang mempercabangkan aa. Pontis, a.labirintina
(mengikuti n. V dan n. VIII), a. cerebellaris superior (setinggi n.
III dan n. IV) dan a. cerebralis posterior yang merupakan cabang
terminal a. basilaris.
Cabang -.cabang a. carotis interna dan a. vertebralis membentuk
circulus arteriosus Willis yang terdapat disekitar chiasma opticum.
Dibentuk oleh a. cerebralis anterior, a. cerebralis media, a. cerebralis
posterior, a. comunican posterior dan a.communican anterior. Sistem ini
memungkinkan suplai darah ke otak yang adekuat terutama jika terjadi
oklusi / sumbatan.
b. Vena
Vena diotak diklasifikasikan sebagai berikut :
- Vena cerebri eksterna, meliputi v. cerebralis superior / lateralis / medialis / inferior dan vv. Basallles.
- Vena cerebri interna, meliputi v. choroidea dan v. cerebri magna.
- Vv. Cerebellaris
- Vv. Emissariae, yaitu vena yang menghubungkan sinus duralis dengan vena superfisialis cranium yang berfungsi sebagai klep tekanan jika terjadi kenaiakan tekanan intrakranial. Juga berperan dalam penyebaran infeksi ke dalam cavum cranii.
Vena yang berasal dari truncus cerebri dan cerebellum pada umumnya
mengikuti kembali aliran arterinya. Sedangkan aliran balik darah venosa
di cerebrum tidak tidak mengikuti pola di arterinya. Semua darah venosa
meninggalkan otak melalui v. jugularis interna pada basis cranii.
Anastomosis venosa sangat ektensif dan efektif antara vv. Superfisialis
dan vv. Profunda di dalam otak.
C. MENIFESTASI KLINIS
Pada trauma kapitis dapat terjadi perdarahan intrakranial / hematom
intrakranial yang dibagi menjadi :hematom yang terletak diluar duramater
yaitu hematom epidural, dan yang terletak didalam duramater yaitu
hematom subdural dan hematom intraserebral ; dimana masing-masing dapat
terjadi sendiri ataupun besamaan.
D. KLAFISIKASI PERDAAHAN INTRAKRANIAN
D.1 EPIDURAL HEMATOMA
D.1.a. Definisi
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak
dengan duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural). Hematom
jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya
fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan
arteri-arteri meningens (a. Meningea media). Fraktur tengkorak yang
menyertai dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%)
disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama
pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara).
Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi.
D.1.b Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
- Trauma kepala
- Sobekan a/v meningea mediana
- Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
- Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat
adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan
arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai
85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan
robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana
deformitas yang terjadi hanya sementara.
Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang
terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur
oksipital, parietal atau tulang sfenoid.
D.1.c. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
III.1.d. Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam
waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir
selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan
pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau
keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis
fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.
III.1.e. Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
1. Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang
diikuti dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere
contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval
lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan
dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat
interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal.
Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang
pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada
diencephalic karena herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid
yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal
dari arteri.
2. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa
pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan
dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada
permukaan tentorial.
3. Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada
perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya
yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula
kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun
sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran
sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang
merupakan tanda kematian.
D.1.f. Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat
mungkin, dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber
perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom
D.1.g. Komplikasi Dan Outcome
Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
- Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial
- Kompresi batang otak – meninggal
- Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :
- Mortalitas 20% -30%
- Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
- Sembuh tanpa defisit neurologik
- Hidup dalam kondisi status vegetatif
D.2 SUBDURAL HEMATOMA
D.2. a Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari:
- Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater.
- Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid'
D. 2. b Etiologi
1. Trauma kepala.
2. Malformasi arteriovenosa.
3. Diskrasia darah.
4. Terapi antikoagulan
D.2.c. Klasifikasi
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens
D. 2.d. Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar
atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat
berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan
effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
D. 2.e. Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit
kepala) sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom
subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer,
kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari
peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah,
vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi,
anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat
traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.
D.2.f. Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi
hematom secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita
hematom subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul
hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya
lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan
burr-hole saja).
D.2.g. Komplikasi Dan Outcome
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empiema
Sedangakan outcome untuk subdural hematom adalah :
1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
2. Pada sub dural hematom kronis :
- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.
D.3 INTRASEREBRAL HEMATOM
D.3.a. Definisi
Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom
intraserbral pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya
diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap
pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera
penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai
beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5
mldalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate
atau petechial /bercak).
D.3.b. Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
1. Trauma kepala.
2. Hipertensi.
3. Malformasi arteriovenosa.
4. Aneurisme
5. Terapi antikoagulan
6. Diskrasia darah
D.3.c. Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.
III.3.d. Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal
atau di daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal
primer lainnya serta fraktur kalvaria.
D.3.e. Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar,
mirip dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada
puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan adanya scan
computer tomografi otak diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial nyeri kepala mendadak penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
Tanda fokal yang mungkin terjadi ;
- Hemiparesis / hemiplegi.
- Hemisensorik.
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III.
Kriteria diagnosis hematom serebeller ;
- Nyeri kepala akut.
- Penurunan kesadaran.
- Ataksia
- Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.
Kriteria diagnosis hematom pons batang otak:
- Penurunan kesadaran koma.
- Tetraparesa
- Respirasi irreguler
- Pupil pint point
- Pireksia
- Gerakan mata diskonjugat.
D.3.f. Terapi umum
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif.
Tekanan darah harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya
hemmoragi. Intra cerebral hematom yang luas dapat ditreatment dengan
hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan
intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan
dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan
neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis
Konservatif
- Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
- Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller
- Bila perdarahan pons batang otak.
Pembedahan
Kraniotomi
- Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
- Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan effek massa
E. PENANGANAN
Persiapan anastesi
1. Pemeriksaan prabedah
Pemeriksaan prabedah sama seperti pemeriksaan rutin untuk tindakan
anestesi lain, hanya ditambah dengan evaluasi tekanan intrakranial, efek
samping kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan sebelumnya, hasil
CT-scan, MRI dll. CT scan menunjukkan adanya peningkatan tekanan
intrakranial dengan adanya midline shift, obliterasi sisterna basalis,
hilangnya sulkus, hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus
hidrosefalus), dan edema (adanya daerah hipodensitas).
Indikasi untuk pemasangan monitor tekanan intrakranial adalah 1) CT
scan abnormal dan GCS 3-8 setelah resusitasi syok dan hipoksia adekuat,
2) CT scan normal dan GCS 3-8 dan disertai dua atau lebih : umur > 40
tahun, posturing, tekanan sistolik < 90 mmHg. Pemantauan tekanan
intrakranial menggunakan kateter intraventrikuler lebih disukai karena
selain dapat membaca tekanan intrakranial juga dapat digunakan untuk
terapi peningkatan tekanan intrakranial dengan cara drainase cairan
serebrospinal. Terapi untuk menurunkan tekanan intrakranial umumnya
dimulai pada level tekanan intrakranial 20-25 mmHg. Tujuannya untuk
mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
Pengobatan hipertensi intrakranial adalah level kepala 150 sampai
300, mengendalikan kejang, ventilasi PaCO2 normal rendah (35 mmHg), suhu
tubuh normal, tidak ada obstruksi drainase vena jugularis, optimal
resusitasi cairan dan semua homeostasis fisiologis, dan pemberian sedasi
dan obat pelumpuh otot bila diperlukan. Bila tindakan ini gagal untuk
menurunkan tekanan intrakranial, tambahan terapi diberikan dalam manuver
first-tier dan second-tier terapi.
First-tier terapi adalah : 1) drainase CSF secara inkremental melalui
kateter intraventricular, 2) Diuresis dengan mannitol, 0.25-1.5 g/kg
diberikan lebih dari 10 menit, 3) hiperventilasi moderat. Mannitol
menurunkan tekanan intrakranial dengan cara mengurangi edema otak dan
memperbaiki aliran darah otak. Akan tetapi, mannitol dapat menyebabkan
diuresis dan hipotensi, terutama pada fase resusitasi awal bila tidak
dipasang alat pantau invasif dan adanya cedera lain tidak diketahui.
Karena itu, dipertahankan euvolemia atau sedikit hipervolemia selama
terapi mannitol dan osmolaritas serum dipantau serta dipertahankan
dibawah 320 mOsm/L. Hiperventilatisi moderat untuk mencapai PaCO2 antara
35 sampai 40 mmHg juga menurunkan tekanan intrakranial dengan
mengurangi aliran darah otak. Hiperventilasi harus dilakukan dengan
singkat untuk mengobati gangguan neurologis akut atau peningkatan
tekanan intrakranial yang refrakter terhadap drainase cairan
serebrospinal dan pemberian mannitol.
Second-tier terapi adalah: 1) hiperventilasi agressif, 2) dosis
tinggi barbiturat dan, 3) craniektomi decompresif. Hiperventilasi
agressif untuk mencapai PaCO2 < 30 mmHg mungkin diperlukan untuk
peningkatan tekanan intrakranial yang tidak berespon terhadap first-tier
terapi. Bila digunakan aggresif hiperventilasi, pemantauan jugular
venous oxygen saturation (SJO2) atau cerebral tissue oxygenation
dianjurkan untuk menilai pengaruh penurunan aliran darah otak pada
metabolisme oksigen serebral.
Herniasi otak adalah satu hal yang paling ditakutkan sebagai akibat
penyakit intrakranial misalnya tumor otak atau cedera kepala. Dari
pasien cedera kepala yang berkembang menjadi herniasi transtentorial,
hanya 18% mempunyai outcome yang baik, didefinisikan sebagai good
recovery atau moderate disability.
Secara klasik, trias yang dihubungkan dengan herniasi transtentorial
yaitu penurunan kesadaran, dilatasi pupil, motor posturing timbul
sebagai konsekwensi adanya massa hemisperic. Tanda pertama dan ketiga akan hilang bila pasien dianestesi dan yang kedua memerlukan pemantauan pupil yang sering.
Pengelolaan klinis sindroma herniasi adalah sama dengan pengelolaan
hipertensi intrakranial yaitu dirancang untuk mengurangi volume otak dan
volume darah otak yaitu dengan cara: berikan mannitol, hiperventilasi.
Tambahan tindakan yang mungkin digunakan adalah posisi kepala head-up
(supaya drainase vena serebral baik), posisi leher netral (untuk
menghindari penekanan vena jugularis), pola ventilasi yang tepat,
glukokortikoid (hanya untuk tumor atau abses otak, tidak efektif untuk
stroke dan kerusakan akibat hipoksia), sedasi, pelumpuh otot dan terapi
demam (lakukan hipotermi ringan). Bila tekanan darah naik, harus
dikurangi secara hati-hati karena hipertensi umumnya sekunder bukan
primer (merupakan komponen dari trias Cushing).
Pengelolaan pasien tanpa adanya tanda klinis herniasi otak. Bila
tidak ada tanda herniasi transtentorial, sedasi dan pelumpuh otot harus
digunakan selama transportasi pasien untuk kemudahan dan keamanan selama
transportasi. Agitasi, confus sering terdapat pada pasien cedera kepala
dan memerlukan pertimbangan pemberian sedasi. Pelumpuh otot mempunyai
keterbatasan untuk evaluasi pupil serta dalam pemeriksaan CT scan.
Karena itu, penggunaannnya pada pasien tanpa tanda herniasi otak adalah
bila pemberian sedatif saja tidak cukup untuk menjamin keamanan dan
kemudahan transportasi pasien. Bila akan digunakan pelumpuh otot,
pakailah yang masa kerjanya pendek. Tidak perlu mannitol karena dapat
menimbulkan hipovolemia. Tidak perlu dilakukan hiperventilasi tapi asal
optimal oksigenasi dan normal ventilasi.
Pengelolaan pasien dengan adanya tanda klinis herniasi otak. Bila ada
tanda herniasi transtentorial atau perubahan progresif dari memburuknya
neurologis yang bukan disebabkan akibat ekstrakranial, diindikasikan
untuk melakukan terapi agresif peningkatan tekanan intrakranial.
Hiperventilasi mudah dilakukan dengan meningkatkan frekuensi ventilasi
dan tidak tergantung pada sukses atau tidaknya resusitasi volume.
Disebabkan hipotensi dapat menimbulkan memburuknya neurologis dan
hipertensi intrakranial maka pemberian mannitol hanya bila volume
sirkulasi adekuat. Bila belum adekuat jangan dulu diberi mannitol.
2. Anestesi
Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah dilakukan
intubasi di unit gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasen
datang ke kamar operasi belum dilakukan intubasi, dilakukan oksigenasi
dan bebaskan jalan nafas. Spesialis anestesi harus waspada bahwa pasien
ini mungkin dalam keadaan lambung penuh, hipovolemia, dan cervical spine
injury.
Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik yang
stabil menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid sequence induction
dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil
walaupun prosedur ini dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan
intrakranial. Selama pemberian oksigen 100%, dosis induksi pentotal 3-4
mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg dan succinylcholin1,5 mg/kg diberikan,
lidokain 1,5 mg/kg lalu dilakukan intubasi endotrakheal. Etomidate
0,2-0,3 mg/kg dapat diberikan pada pasien dengan status sirkulasi
diragukan. Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil dosis induksi
diturunkan atau tidak diberikan. Akan tetap, depresi kardiovaskuler
selalu menjadi pertimbangan, terutama pada pasien dengan hipovolemia.
Succinylcholin dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian
dosis kecil pelumpuh otot nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan
tekanan intrakranial, akan tetapi keadaan ini tidak dapat dipastikan.
Succinylcholin tetapi merupakan pilihan, terutama, untuk memfasilitasi
laringoskopi dan intubasi yang cepat. Rocuronium 0,6 -1 mg/kg merupakan
alternatif yang memuaskan disebabkan karena onsetnya yang cepat dan
sedikit pengaruhnya pada dinamika intrakranial.
Bila pasien stabil dan tidak ada lambung penuh, induksi intravena
dapat dilakukan dengan titrasi pentotal atau propofol untuk mengurangi
efeknya pada sirkulasi. Berikan dosis intubasi pelumpuh otot tanpa
diberikan priming terlebih dulu. Sebagai contoh, dengan rocuronium 0,6-1
mg/kg diperoleh kondisi intubasi yang baik dalam watu 60-90 detik.
Fentanyl 1-4 ug/kg diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik
terhadap laringoskopi dan intubasi. Lidokain 1,5 mg/kg intravena
diberikan 90 detik sebelum laringoskopi dapat mencegah kenaikan tekanan
intrakranial.
Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk,
dan pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan
mengalir secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan dipasang
melalui nasal disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis kranii dapat
menyebabkan masuknya pipa nasogastrik kedalam rongga cranium.
Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu
menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang
adekuat ke otak, dan melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat
anestesi berdasarkan pertimbangan patologi intrakranial, kondisi
sistemik, dan adanya multiple trauma.
Tiopental dan pentobarbital menurunkan aliran darah otak, volume
darah otak, dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial
oleh obat ini berhubungan dengan penurunan aliran darah otak dan volume
darah otak akibat depresi metabolisme. Obat-obat ini juga mempunyai efek
pada pasien yang respon terhadap CO2nya terganggu. Tiopental dan
pentobarbital mempunyai efek proteksi melawan iskemia otak fokal. Pada
cedera kepala, iskemia merupakan sequele yang umum terjadi. Walaupun
barbiturat mungkin efektif pada brain trauma, tapi tidak ada penelitian
Randomized Controlled Trial yang menunjukkan secara definitif
memperbaiki outcome setelah cedera otak traumatika. Sebagai tambahan,
tiopental dapat mempunyai efek buruk bila tekanan darah turun.
3. Pascabedah
Bila pasien prabedah GCS 8 kebawah, pasca bedah tetap diintubasi.
Bila masih tidak sadar, pasien mungkin dilakukan ventilasi mekanik atau
nafas spontan. Harus diperhatikan bahwa pasien dalam keadaan posisi
netral-head up, jalan nafas bebas sepanjang waktu, normokapni,
oksigenasi adekuat, normotensi, normovolemia, isoosmoler, normoglikemia,
normotermia (35-360C). Berikan fenitoin sampai 1 minggu pascabedah untuk profilaksis kejang. Nutrisi enteral dimulai dalam 24 jam pascabedah.
DAFTAR PUSTAKA
- Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Olah Saga Citra; 2008.
- Bisri T. Penentuan Jugular Bulb Oxygen Saturation (SJO2) dan Cerebral Extraction of Oxygen (CEO2) sebagai indikator utama proteksi otak pada teknik anestesi untuk operasi cedera kepala. Disertasi. Universitas Padjadjaran 2002.
- Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007:91-110
Ditulis Oleh : Yayan, Modifikasi terakhir pada Fri 21 of May, 2010
Sumber : fkumyecase.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar