Jumat, 05 Agustus 2011

Anestesi pada Pasien dengan Penyakit Hepar


Prevalensi penyakit hepar meningkat di Amerika Serikat. Sirosis merupakan terminal patologi pada mayoritas penyakit hepar, didapatkan + 5% pada otopsi pada seluruh insidens. Sirosis merupakan penyebab utama kematian pada laki-laki dekade ke 4 dan ke 5, serta mortality ratenya meningkat. Pasien dengan penyakit hepar, + 10% nya mendapatkan operasi dalam kurun waktu 2 tahun terakhir kehidupannya. Hepar memiliki fungsi yang luar biasa dan manifestasi klinik dari penyakit hepar sering tidak tampak sampai terjadi kerusakan yang luas. Sebagai akibatnya, ketika pasien yang berada pada daerah terpencil dengan sedikit persediaan, datang ke ruang operasi, beberapa efek dari anastesi dan pembedahan  dapat memicu dekompensasi hepar yang lebih lenjut menuju ke arah gagal hepar.
             
HEPATITIS
HEPATITIS AKUT 
Hepatitis akut biasanya disebabkan oleh infeksi virus, reaksi obat-obatan atau masuknya hepatotoxin. Penyakit ini mewakili kerusakan hepatocelluler akut dengan jumlah nekrosis sel yang bervariasi.Manifestasi klinis umumnya bergantung pada kerasnya reaksi peradangan dan terlebih lagi pada jumlah nekrosis. Reaksi peradangan biasa dapat muncul sebagai peningkatan asimptomatik dalam transaminase serum, sedang hepatitis nekrosis yang banyak muncul sebagai kegagalan hepatic fulminant akut.

Hepatitis Virus
Hepatitis virus seringkali disebabkan oleh virus hepatitis A, B, atau C ( sebelumnya dinamakan enteric non A, non B). Akhirnya telah ditemukan juga 2 virus hepatitis lainnya : hepatitis D (delta virus) dan hepatitis E (enteric non A, non B). Hepatitis tipe A dan E ditansmisikan melalui rute feco-oral, sedangkan tipe B dan C ditransmisikan utamanya dengan cara perkutaneus dan melalui kontak dengan cairan tubuh. Hepatitis D sendiri unik karena dapat ditransmisikan oleh salah satu rute dan memerlukan virus hepatitis B dalam host untuk jadi tidak efektif. Virus lainnya, termasuk Epstein-Barr, herpes simpleks, cytomegalovirus, dan coxackivirus, juga bias menyebabkan hepatitis.
     Pasien dengan hepatitis virus biasanya mengalami gejala-gejala prodormal (kelelahan, malaise, demam, mual, dan muntah) selama 1 sampai 2 minggu yang bisa disertai oleh ikterus. Ikterus ini bias berlangsung selama 2-12 minggu, tapi penyembuhan sempurna seperti yang dibuktikan oleh pemeriksaan serum transaminase, biasanya membutuhkan waktu 4 bulan.
      Disebabkan oleh manifestasi klinis yang tumpang tindih, tes serologis dibutuhkan untuk menentukan agen virus causative. Perkembangan klinis menjadi lebih rumit dan diperpanjang dengan virus hepatitis B dan C. Kolestasis adalah manifestasi utama. Jarang kegagalan hepatic fulminant (berlebihnya necrosis hepatic) dapat berkembang.
      Berjangkitnya hepatitis kronik aktif 3-10% menyertai infeksi oleh virus hepatitis B dan setidaknya 50% mengikuti infeksi dengan virus hepatitis C. Sebagian kecil pasien (umumnya pasien yang imunosupressed dan mereka yang hemodialisis jangka panjang) menjadi pengidap asimptomatik yang mudah menular menyertai infeksi oleh virus hepatitis B. Berdasarkan penelitian terhadap sekelompok pasien, dimana-mana antara 0,3% dan 30% pasien tetap menjangkitkan penyakit dan memiliki ketahanan dari antigen  B permukaan (HBsAg) dalam darahnya. + 0,5-1% pasien dengan infeksi hepatitis C menjadi pembawa asimptomatik yang mudah menular. Keterjangkitan berhubungan dengan RNA hepatitis C virus dalam darah peripheral. Sebagian besar pasien dengan infeksi hepatitis Conis nampaknya memiliki sirkulasi partikel virus yang sangat rendah, terputus-putus atau bahkan hilang. Dan karenanya tidak terlalu infektif. Akan tetapi, pembawa penyakit yang menular membawa resiko bagi kesehatan pekerja ruang operasi. Selain pencegahan umum untuk menghindari kontak dengan darah dan sekresi (sarung tangan, masker, pelindung mata, dan jarum yang tidak digunakan berulang), imunisasi sangatlah efektif melawan infeksi hepatitis B. Vaksin untuk hepatitis C tidak tersedia, tidak seperti hepatitis B, infeksi hepatitis C nampaknya tidak memberikan kekebalan pada kemungkinan penyakit lainnya. Post exposure prophylaksis dengan globulin hyperimmune efektif untuk hepatitis B tapi tidak untuk hepatitis C.

Hepatitis yang Disebabkan oleh Obat-obatan
Hepatitis katena obat-obatan dapat disebabkan oleh ketergantungan terhadap racun obat-obatan secara langsung atau metabolit, atau oleh reaksi khusus obat-obatan , atau oleh kombinasi dari keduanya. Perkembangan klinis seringkali menyerupai hepatitis virus yang menyebabkan sulitnya diagnosis. Alkoholic hepatitis mungkin adalah type hepatitis akibat obat-obatan yang paling sering dijumpai, tapi penyebabnya tidak teridentifikasi. Penggunaan alkohol dalam waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya hepatomegali dan infiltrasi lemak pada hepar, yang menimbulkan : (1) Oksidasi asam lemak lemah, (2) meningkatkan uptake dan esterifikasi asam lemak, (3) mengurangi sintesis dan sekresi lipoprotein. Penggunaan asetaminofen 25 gr atau lebih menyebabkan hepatitis fulminan yang fatal. Beberapa jenis obat seperti Chlorpromazine dan kontrasepsi oral menyebabkan reaksi type cholestatic .Ingesti hepatoksin kuat, seperti carbon tetrachlorida dan jenis jamur tertentu (amanita, galerina) seringkali berhubungan dengan kegagalan hepatic akut. Anestesi cair, terutama halotan, berhubungan dengan reaksi khas hepatitis.

Pertimbangan Preoperatif
Operasi harus ditunda sampai hepatitis akutnya sembuh, yang diindikasikan dengan normalnya tes fungsi hepar. Penelitian memperkirakan adanya peningkatan  morbiditas (12%) dengan mortalitas (hingga 10% dengan laparatomi) pada preoperative selama hepatitis viral akut. Meskipun resiko dengan hepatitis alkoholik tidak sebesar itu, keracunan alcohol akut sangat mempersulit penanganan anestesi. Lagipula, eliminasi alcohol selama pembedahan bias dihubungkan dengan rata-rata mortalitas sebesar 50%. Hanya pembedahan yang betul-betul darurat yang seharusnya dipertimbangkan dalam kasus ini. Pasien hepatitis mempunyai resiko penurunan fungsi hepar dan berkembangnya komplikasi kegagalan hepar, seperti encephalopathy, coagulopathy, atau hepatorenal syndrom.
      Pemeriksaan laboratorium harus meliputi nitrogen urea darah, serum elektrolit, kreatinin, glukosa, transaminase, bilirubin, alkali fosfatase, dan albumin sebaik protrombin time (PT) dan pletelet count. Serum juga seharusnya dicek untuk HBsAg kapanpun hal itu mungkin. Level alcohol dalam darah akan berguna jika status mental cocok dengan intoksikasi . Hipokalemia dan alkalosis metabolic bukannya tidak umum dan biasanya disebabkan oleh muntah-muntah.Concomitant hypomagnesemia bias muncul pada alkoholik kronik dan menjadikan mudah terkena aritmia. Elevasi serum transaminase belum tentu berhubungan dengan jumlah nekrosis. Serum Alanin aminotransferase (ALT) umumnya lebih tinggi dari serum aspartat aminotransferase (AST) kecuali dalam hepatitis alkoholik, dimana kebalikannya yang muncul. Bilirubin dan alkali fosfatase umumnya hanya nai tidak cukup tinggi, kecuali dengan cholestatic hepatic yang berlainan . PT adalah indicator terbaik untuk fungsi hepatic syntetic (lihat bab 34). Perpanjangan yang lebih dari 3 detik (INR > 1,5) mengikuti administrasi vitamin K menunjukkan disfungsi hepar yang berat. Hipoglikemia bukan tidak biasa. Hipoalbuminemia biasanya tidak muncul kecuali dalam kasus protaksi, dengan malnutrisi berat, atau ketika terdapat penyakit hepar kronik.
    Jika pasien dengan hepatitis akut harus menjalani operasi emergensi, evaluasi praanastesi harus difokuskan untuk menentukan jenis dan tingkat kerusakan hepar. Informasi seharusnya diperoleh dengan memperhatikan penggunaan obat-obatan terbaru, termasuk pemakaian alcohol, penggunaa obat intravena, transfuse, dan anestesi sebelumnya. Mual, muntah harus diperhatikan, dehidrasi dan gangguan elektrolit harus diperbaiki. Perubahan status mental biasanya menunjukkan kerusakan hepar yang parah. Tindakan yang tidak wajar  dan obtundasi pada pasien alkoholik bias menjadi tanda adanya keracunan, sedangkan tremor dan cepat marah biasanya mencerminkan pengeluaran. Hipertensi dan takikardi seringkali mudah terlihat. Vitamin K atau fresh frozen plasma (FFP) dapat dibutuhkan untuk memperbaiki coagulopathy. Premedikasi umumnya tidak diberikan , dalam usaha untuk mengurangi/meminimalkan penggunaan obat-obatan dan tidak menggabungkan encephalopathy hepatic dan penyakit hepar. Namun benzodiazepine dan thiamin diberikan pada pasien dengan alkoholik dengan pengeluaran akut.

Pertimbangan intraoperatif
Tujuan penanganan intraoperatif adalah untuk mengembalikan fungsi hepar dan menghindari factor-faktor yang dapat merugikannya. Pemilihan obat dan dosisnya harus diindividualkan. Beberapa pasien dengan hepatitis virus bisa memperlihatkan sensitifitas system saraf pusat terhadap anestesi. Sedangkan pasien alkoholik akan sering memperlihatkan toleransi silang baik pada intravena maupun anestesi inhalasi. Pasien alkoholik juga membutuhkan monitoring yang teliti terhadap cardiovaskuler, sebab efek dari penurunan cardiac dari alcohol aditif untuk mereka yang berada  dalam pengaruh anestesi, selain itu cardiomiopathy alcoholic berkembang pada banyak pasien alkoholik.
Secara defenisi, semua anestesi adalah untuk menurunkan system saraf pusat, dan untuk alas an itulah sangat sedikit jenis yang seharusnya digunakan. Anestesi inhalasi biasanya lebih disukai untuk agent intravenous karena kebanyakan yang lain bergantung pada hepar untuk metabolisme dan eliminasi. Dosis induksi standar terhadap agen induksi intravenous umumnya dapat digunakan karena aksinya berakhir dengan redistribusi lebih baik dibandingkan metabolisme atau ekskresi. Aksi yang berlarut-larut mungkin harus menggunakan dosis agen intravena yang sangat besar secara berulang-ulang, khususnya opioid.
      Isofluran adalah anastesi inhalasi yang dipilih karena mempunyai efek yang paling sedikit pada aliran darah hepar. Faktor-faktor yang diketahui dapat mengurangi aliran darah hepar, misalnya hipotensi, aktivasi simpatik yang meningkat, dan peningkatan Mean airway pressure selama ventilasi terkontrol, sebaiknya dihindari. Anastesi regional dapat digunakanpada tidak terdapatnya koagulopati, hipotensi, yang ada harus dicegah.

HEPATITIS KRONIK
Hepatitis Kronik didefenisikan sebagai radang hepar yang terjadi lebih dari 6 bulan, yang dibuktikan dengan meningkatnya serum aminotransferase. Pasien umumnya dapat diklasifikasikan karena memiliki satu dari 3 gejala berdasarkan biopsy hepar, hepatitis kronik persisten, hepatitis kronik lobular, atau hepatitis kronik aktif. Mereka dengan hepatitis kronik, memanifestasikan radang yang kronik pada daerah portal dengan manifestasi sel normal pada biopsy, type ini biasanya tidak akan berkembang menjadi sirosis. Secara klinis, pasien ini dating dengan hepatitis akut (umumnya hepatitis B atau C) yang memiliki perkembangan protraksi tapi umumnya bias diatasi. Yang terbaru menunjukkan jenis yang disebut hepatitis kronik lobular, yang ditandai dengan eksaserbasi yang berulang-ulang, radang dan nekrosis terdapat pada lobulus hepar. Seperti hepatitis kronik persisten, bagaimanapun hepatitis kronik lobular juga tidak akan berkembang menjadi sirosis.
      Pasien dengan hepatitis kronik aktif mengalami radang hepar kronik dengan kerusakan sel pada biopsy. Tanda-tanda sirosis seringkali muncul pada awalnya (20-50% pasien) atau berkembang pada akhirnya. Meskipun nampaknya hepatitis kronik aktif memiliki berbagai penyebab, namun umumnya dia muncul sebagai lanjutan hepatitis B atau C. Penyebab lainnya termasuk obat-obatan (methyldopa, oxyphenisasi, isoniazid, dan nitrofurantoin) dan kerusakan autoimmune. Kedua factor kekebalan dan kemudahan terkena penyakit secara genetika terlihat sebagai sebab dalam berbagai kasus. Pasien umumnya dating dengan riwayat mual-mual dan ikterus yang berulang-ulang; manifestasi ekstrahepatik seperti arthritis dan serositis, tidaklah biasa.
Manifestasi sirosis seringkali menonjol pada pasien dengan penyakit progresif. Hasil pemeriksaan laboratorium hanya dapt menunjukkan peningkatan yang tidak terlalu tinggi pada aktivitas serum aminotransferase dan sering tidak berkaitan dengan keganasan penyakit. Pasien yang tidak memiliki infeksi hepatitis B atau C kronis biasanya mempunyai respon yang baik terhadap imunosupressan dan biasanya diterapi dengan kortikosteroid jangka panjang dengan atau tanpa azathiopine.
 
Penanganan Anestesi
Pasien dengan hepatitis kronik persisten atau hepatitis kronik lobuler harus diobati dengan cara yang sama terhadap pasien hepatitis akut. Sebaliknya mereka denagn hepatitis kronik aktif dapat diperkirakan telah menderita sirosis dan diobati sesuai dengan penyakit tersebut. Pasien dengan autoimmune hepatitis kronik aktif juga dapat memperlihatkan masalah yang berhubungan denagn manifestasi autoimun lainnya (misalnya: diabetes atau tiroiditis) selama terapi kortikosteroid jangka panjang.

SIROSIS                          
Sirosis adalah penyakit  yang serius dan progresif yang disebabkan oleh kegagalan hepar. Penyebab sirosis yang paling umum di Amerika adalah alcohol (Lachnac’s cirrhosis). Penyebab lainnya termasuk hepatitis kronik aktif (postnecrosis cirrhosis), cardiac cirrhosis, hemochromatosis, penyakit Wilson, dan defesiensi a1-antitrypsin. Tanpa mengindahkan penyebabnya, necrosis hepatosit diikuti oleh regenerasi fibrosis dan nodular. Distorsi sel hepar normal dan susunan vascular menghalangi aliran vena portal yang menyebabkan hipertensi portal, sementara kerusakan pada sintesis normal hepar dan fungsi metabolisme berbeda lainnya disebabkan oleh penyakit multisystem. Secara klinis, tanda dan symptom tidak berhubungan dengan keganasan penyakit. Tanda-tanda nyata biasanya tidak terlihat pada awalnya, tapi ikterus dan asites pada akhirnya akan berkembang pada kebanyakan pasien. Tanda-tanda lain termasuk spidernevy, eritema palmaris, ginekomasti, dan splenomegali.
Tiga komplikasi utama sirosis hepatis, yaitu ; (1) perdarahan varises, akibat hipertensi portal, (2) retensi cairan, dalam bentuk asites dan sindrom hepatorenal, (3) encephalopathy hepatic atau koma. + 10% pasien juga mengalami setidaknya satu rangkaian peritonitis bakteri spontan, dan beberapa akan mengalami carcinoma hepatoseluler pada akhirnya.
Beberapa penyakit akan menghasilkan fibrosis hepar tanpa nekrosis hepatoseluler atau regenerasi nodular. Hal tersebut diakibatkan oleh hipertensi portal dan dihubungkan dengan komplikasi. Fungsi hepatoseluler tidak selalu dapat dipelihara. Kerusakan ini termasuk didalamnya schistosomiasis, fibrosis portal idiopatik (Sindrom Banti), dan fibrosis hepatic congenital. Obstruksi pembuluh darah hepar atau vena cava inferior (Budd-Chiari syndrome) juga dapat menyebabkan hipertensi. Yang terakhir mungkin akibat dari trombosis vena (hypercoaguable state), tumor thrombus (renal carcinoma), atau penyakit oklusi pembuluh darah hepar sublobular.

Pertimbangan preoperatif
Efek merugikan dari anestesi dan pembedahan terhadap aliran darah hepar sudah didiskusikan pada bagian yang lain. Pasien dengan sirosis memiliki resiko tinggi mengalami penurunan fungsi hepar karena terbatasnya reservasi fungsional. Keberhasilan penanganan anestesi pada apsien tergantung pada pengenalan sifat/jenis multisistem dari sirosis dan mengontrol atau mencegah komplikasinya.

Manifestasi Sirosis
a.  Manifestasi Gastrointestinal
    Hipertensi portal (>10mmHg) mengakibatkan berkembangnya saluran portal-vena sistemik kolateral yang panjang. Secara umum telah diketahui 4 tempat kolateral utama : gastroesofageal, hemorrhoidal, periumbilical, dan retroperitoneal. Hipertensi portalsering muncul sebelum operasi seperti dibuktikan dengan melebarnya pembuluh darah pada dinding abdominal  (caput medusa). Perdarahan yang banyak dari varises gastroesofageal adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien sirosis. Selain itu, efek dari kehilangan banyak darah, peningkatan muatan nitrogen (tidak jalannya darah pada daerah intestinal) dapat mempercepat terjadinya encephalopathy hepatic. Endoskopi merupakan alat diagnosis dan terapi yang baik. Identifikasi terhadap tempat perdarahan sangat penting, karena pasien ini akan mengalami perdarahan dari ulkus peptic atau gastritis, yang membutuhkan terapi berbeda.
    Penanganan perdarahan varises umumnya secara suportif. Darah yang hilang harus digantikan dengan cairan intravena. Penanganan non bedah termasuk didalamnya vasopressin (0,1-0,9 u/min. secara intravena), propanolol, balloon tamponade (dengan tube Sengstaken Blakorhore), somatostatin (250 ug diikuti dengan 250 ug/jam), dan sclerosis endoskopik dari varises. Vasopressin, somatostatin, dan propanolol, mengurangi kehilangan darah. Vasopressin dalam dosis tinggi dapat dihasilkan dalam gagal jantung kongestif atau miokardial iskemik, infuse concomitant dari nitrogliserin intravena dapat mengurangi kemungkinan komplikasi, selain itu juga mengurangi pendarahan . Endoskopik sclerosis atau ligasi dari varises biasanya efektif untuk menghentikan perdarahan + 90% dari seluruh perdarahan. Percutaneus transjugular intrahepatic portosystemic shunts (TIPS) dapat menurunkan hipertensi portal dan perdarahan (tapi, dapat meningkatkan luasnya jangkitan  encephalopathy). Pada saat perdarahan gagal dihentikan atau terjadi lagi, pembedahan darurat harus dilakukan. Resiko pembedahan telah diperlihatkan untuk menghubungkan dengan tingkat kerusakan hepar, berdasarkan penemuan klinis dan laboratorium.
   Prosedur shunting umumnya hanya dilakukan pada pasien dengan resiko rendah, sedangkan pembedahan ablasi, transreseksi esophageal, dan devaskularisasi gaster direncanakan untuk pasien dengan resiko tinggi. Shunt non selektif (portacaval dan proksimal splenorenal) umumnya ditinggalkan daripada shunt selektif (distal splenorenal). Yang terakhir ini menekan varises tapi tidak merusak aliran darah hepar cukup banyak dan mempunyai kecil kemungkinan untuk menyebabkan encephalopathy setelah operasi.

b.  Manifestasi Hematologi
   Anemia, trombositopenia, dan jarang terjadi leucopenia, mungkin akan muncul. Penyebab anemia umumnya multifactor dan termasuk didalamnya kehilangan darah, meningkatkan destruksi sel darah merah, penekanan sum-sum tulang, dan defisiensi nutrisi. Splenomegali kongestif (dari hipertensi portal) memiliki peran yang sangat besar dalam trombositopenia dan leucopenia. Defisiensi factor koagulasi akibat penurunan sintesa hepar. Fibrinolisis yang bertambah setelah terjadi penurunan activator system fibrinolytic juga dapat berperan terhadap koagulopati (lihat bab 34). Kebutuhan akan transfuse darah sebelum operasi harus seimbang dengan peningkatan dalam muatan nitrogen. Protein yang tidak bekerja akibat transfusi darah yang sangat banyaka dapat mempercepat encephalopathy. Tapi bagaimanapun, koagulopati harus disembuhkan sebelum pembedahan. Faktor-faktor pembekuan harus digantikan dengan produk darah yang tepat misalnya FFP dan kriopresipitat. Transfusi platelet harus dipertimbangkan segera dan utama untuk pembedahan dengan hitungan < 100.000/uL.

c.  Manifestasi sirkulasi
   Sirosis secara khas ditandai dengan keadaan sirkulasi yang hiperdinamik. Cardiac output sering meningkat, dan vasodilatasi perifer secara merata akan muncul. Shunting arteriovenous dapat muncul pada sirkulasi sistemik dan pulmonal. Shunting arteriovenous bersama dengan penurunan dalam viskositas darah karena anemia setidaknya berpengaruh 50% untuk cardiac output. Pasien dengan superimposed alcoholic cardiomyopathy dapat meningkatkan kegagalan jantung kongestif dengan mudah.

d.  Manifestasi respiratory
   Gangguan terhadap pertukaran udara pulmonal selain itu juga sering muncul ventilasi mekanis. Hiperventilasisudah umum dan dihasilkan dalam alkalosis respirasi. Umumnya terdapat hipoksemia dan diakibatkan oleh shunting (> 40% dari cardiac output). Shunting disebabkan oleh komunikasiarteriovenous pulmonary (absolute) dan kesalahan ventilasi/perfusi (relatif). Elevasi diafragma dari asites yang menurunkan volume paru-paru, khususnya kapasitas residu fungsional, dan predisposisi pada atelektasis. Terlebih lagi, jumlah yang sangat besar dari asites dapat menyebkan defek pada ventilatory restriktif yang meningkatkan kerja pernapasan.
Dengan melihat foto thorax dan pengukuran gas darah artesi sangat berguna sebelum operasi karena atelektasis dan hipoksemia seringkali tidak tampak dalam gejala klinisnya. Paracentesis harus dipertimbangkan untuk pasien dengan asites massif dan pertimbangan pulmonary tapi harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena perpindahan cairan yang terlalu banyak akan mengakibatkan kolaps sirkulasi.


e. Manifestasi Renal dan Keseimbangan Cairan
      Pengaturan ulang keseimbangan cairan dan elektrolit bermanifestasi sebagai asites, edema, gangguan elektrolit, atau sindrom hepatorenal. Mekanisme penting yang berperan serta dalam timbulnya asites, yaitu :
  1. Hipertensi potal, yang meningkatkan tekanan hidrostatik dan transudasi cairan melewati usus
  2. Hipoalbuminemia, yang menurunkan tekanan onkotik plasma dan transudasi cairan
  3. Perembesan cairan limfe yang kaya protein dari permukaan serosa hepar m,enjadi distorsi dan obstruksi saluran limfe di hepar
  4. Retensi natrium renal (dan seringkali air).
Kedua teori “underfilling” dan “overflow” telah diajukan untuk menjelaskan retensi natrium. Teori “underfilling” menyatakan bahwa meskipun total cairan ekstraseluleryang dapat diukur dan volume plasma pada pasien sirosis dengan asites meningkat, volume plasma efektif malah menurun; retensi natrium kurang penting untuk hipovolemia relative dan hiperaldosteronisme sekunder. Ketidaksesuaian yang terlihat antara ukuran volume plasma efekstif dapat dijelaskan dengan peningkatan volume darah splanchnic. Sebaliknya teori “overflow” beranggapan bahwa abnormalitas yang utama adalah retensi natrium oleh ginjal asites merepresentasikan transudasi menengah ke volume plasma yang semakin meluas. Pasien dengan asites telah meningkatkan level sirkulasi katekolamin, yang dianggap disebabkan oleh aliran simpatetik. Sebagai tambahan untuk peningkatan rennin dan angiotensin II, pasien menunjukkan intensifitas pada sirkulasi atrial natriuretic peptide.
      Tanpa mengindahkan keterlibatan mekanisme, pasien sirosis dan asites telah mengurangi perfusi renal, merubah hemodinamik intrarenal, memperbesarreabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan distal, dan gangguan pada klirens air bebas. Hiponatremia dan hipokalemia sudah umum terjadi. Hiponatremia adalah pengenceran, sedangkan hipokalemi disebabkan oleh kehilangan kalium melalui urin yang sangat banyak (hiperaldosteronisme sekunder atau diuresis). Manifestasi berkembangnya penyakit menuju yang lebih buruk dapat terlihat dengan berkembangnya sindroma hepatorenal.
Sindrom hepatorenal adalah suatu gangguan fungsi renal pada pasien sirosis yang biasanya diikuti dengan perdarahan gastrointestinal, diuresis aggresif, sepsis atau pembedahan mayor. Hal ini ditandai oleh oligouria yang progresif dengan retensi natrium yang banyak, azotemia, intractable ascites, dan mortality rate yang tinggi. Penanganannya secara suportif dan sering tidak berhasil kecuali jika dilakukan transplantasi hepar.
      Terapi cairan preoperative yang bijaksana pada pasien dengan pasien penyakit hepar tingkat lanjut. Pentingnya perawatan fungsi renalsebelum operasi tidak dapat terlalu mendapatkan penekanan. Diuresis pre operasi yang sangat berlebihan harus dihindari, dan deficit cairan intravaskuler akut harus dikoreksi denagn infuse koloid. Diuresis dari asites dan cairan edema harus diselesaikan setelah beberapa hari. Diuresis Loop hanya dapat diberikan setelah pemberian tindakan seperti bedrest, retriksi natrium (<2 g NaCl/d), dan terapi spironolakton dianggap tidak efektif. Pengukuran berat badan setiap hari sangat penting untuk mencegah pengosongan volume intravascular selama diuresis. Untuk pasien yang menderita asites dan edema perifer, tidak lebih dari 1 kg/d harus dihilangkan selama diuresis, sementara mereka yang hanya memiliki asites saja, yang harus dihilangkan lebih dari 0,5 kg/d. Hiponatremia (serum Na+ < 130 meq/L) juga harus diretriksi cairan, sedangkan deficit kalium harus diganti melalui preoperasi. Infus manitol propilaktif perioperasi mungkin efektif untuk mencegah kerusakan renal, tapi hal ini belum dibuktikan secara pasti.

f. Manifestasi Sistem Saraf Pusat
      Encephalopaty hepatic ditandai dengan perubahan pada status mental dengan tanda-tanda neurologist yang tidak tetap (asterixis, hiperfleksi, atau refleks plantar yang abnormal) dan perubahan electroencephalographie khusus ( tekanan tinggi-simetris, aktivitas gelombang yang lemah). Beberapa pasien juga mengalami peningkatan tekanan intracranial. Encephalopaty metabolic berhubungan dengan jumlah kerusakan hepatoseluler yang muncul maupun derajat shunting dari daerah portal jauh dari hepar dan langsung masuk ke sirkulasi sistemik. Akumulasi substansi yang berasal dari daerah gastrointestinal tetapi dimetabolisme secara normal oleh hepar telah di libatkan. Toksin, termasuk didalamnya ammonia, methionine metabolit (mercaptans), rangkaian pendek nasam lemak, dan phenol. Keabnormalan lainnya termasuk naiknya level darah dari asam amino aromatic, menurunnya level darah dari asam amino rantai cabang, peningkatan penyerapan oleh sawar darah otak, dan level tinggi yang abnormal dari g-aminobutiric acid dalam otak. Faktor-faktor yang diketahui mempercepat encephalopathy hepatic termasuk perdarahan gastrointestinal, meningkatkan pemasukan diet protein, alkalosis hipokalemi (dari muntah-muntah atau diuresis), infeksi dan memburuknya fungsi hepar.
Encephalopaty seharusnya ditangani secara agresif preoperative. Hal-hal yang bias memicunya harus dikoreksi. Laktulosa oral 30-50 ml 98h atau neomycin 500 mg 96h berguna untuk menurunkan penyerapan ammonia intestinal. Laktulosa berperan sebagai osmotic laxative dan seperti neomycin mungkin menghalangi produksi ammonia dan bakteri intestinal. Pencegahan sedative pada pasien dengan encephalopathy dianjurkan.

Pertimbangan intraoperatif
Pasien dengan postnecrotic sirosis karena hepatitis B atau C yang menjadi pembawa virus mungkin mudah berjangkit. Perhatian ekstra ditunjukkan dengan menghindarkan kontak dengan darah dan cairan tubuh dari pasien.

A.  Respon Obat
      Respon terhadap obat anestesi tidak dapat ditebak pada pasien dengan sirosis. Perubahan pada kepekaan system saraf pusat, volume distribusi, ikatan protein, metabolisme obat, dan eliminasi obat sudah umum. Banyak pasien yang menunjukkan peningkatan kepekaan system saraf pusat ke thiopental, sementara beberapa dengan sejarah alkoholik akan terlihat menunjukkan toleransi. Peningkatan volume distribusi untuk obat-obatan dengan ion tinggi, misalnya neuromuscular blocking agent (disebut juga muscle relaxan), disebabkan oleh meluasnya tempat cairan ekstraseluler, resisten yang terlihat dapat diobservasi, membutuhkan dosis yang lebih besar dari yang normal. Bagaimanapun, dosis yang lebih kecildari yang dibutuhkan oleh anti neuromuscular blocking agent bergantung pada eliminasi di hepar (pancuronium, recuroniam, dan vecuronium) juga diperlukan. Ini merupakan waktu penanganan yang lama untuk succinilcholine sebagai akibat dari pengurangan level pseudocholinesterase, tapi jarang bermanifestasi klinis.

B. Teknik Anestesi
      Aliran darah vena porta berkurang pada kasus sirosis. Hepar menjadi sangat bergantung pada perfusi arteri hepatic. Pemeliharaan aliran darah arteri hepatic dan pencegahan terhadap agen yang memiliki kemungkinan memberikan efek yang merugikan fungsi hepar harus kritis. Anestesi regional bias dilakukan pada pasien tanpa trombositopenia atau koagulopati, tapi perawatan yang lebih diatas normal harus diarahkan untuk menghindari hipotensi. Induksi barbiturate diikuti dengan isofluran dalam oksigen atau campuran oksigen-nitrous oxide adalah yang paling umum digunakan dalam anestesi pada umumnya. Penggunaan halotan biasanya dihindari supaya tidak mengacaukan diagnosis jika tes hepar memburuk post operasi. Penambahan opioid mengurangi dosis anestesi inhalasi yang dibutuhkan, tapi waktu paruh opioid cenderung lama.Cisatracurium bisa jadi agen yang memblok neuromuscular yang dipilih, karena metabolisme hepaticnya yang unik. Mual sebelum operasi, muntah, perdarahan gastrointestinal atas, distensi abdomen yang diakibatkan oleh asites yang sangat banyak, membutuhkan induksi yang terencanakan dengan baik. Preoksigenasi dan rangkaian induksi yang sering dengan tekanan cricoid sangat sering dijalankan. Untuk pasien yang tidak stabil dan mereka dengan perdarahan aktif sangat disarankan, intubasi sadar atau induksi yang sering dengan tekanan cricoid menggunakan ketamine (ethiomidate) dan succyniocholine.

C.  Monitoring
      Monitoring yang teliti terhadap system respirasi dan kardiovaskular penting bagi pasien yang menjalani prosedur abdominal. Monitoring EKG five lead pada pasien yang diberi infuse vasopressin penting untuk mendeteksi iskemik miokard, vasokonstriksi koroner. Oksimetri denyut nadi harus ditambahkan dengan pengukuran gas darah arteri untuk mengevaluasi status asam basa. Pasien dengan shunt intrapulmonary dari kanan ke kiri yang besar tidak dapat mentoleransi penambahan nitrous oxide dan akan membutuhkan tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) untuk mengatasi ketidakcukupan ventilasi/perfusi dan hipoksemia yang mungkin akan terjadi.
Monitoring terhadap tekanan intraarterial umum dilakukan terhadap kebanyakan pasien. Perubahan yang cepat pada tekanan darah munculsebagai akibat dari perdarahan yang sangat banyak, pergantian cairan intercomparemental yang sering dan manipulasi pembedahan. Status volume intravascular seringkali sulit ditentukan tanpa ada monitoring, juga pada vena sentral atau tekanan arteri pulmonary. Monitoring yang seperti ini mungkin kritis untuk mencegah sindrom hepatorenal. Urinary output juga harus diawasi dengan cermat, mannitol atau dopamine dalam dosis rendah harus dipertimbangkan agar bias diperoleh urinary output yang sedikit meskipun perpindahan cairan intravaskuler memenuhi syarat.

D.  Pemberian  cairan
      Sebelum operasi, sebagian besar pasien mengalami retriksi natrium, namun pada intraoperatif, nperawatan terhadap volume intravascular dan urinary output lebih diprioritaskan. Penggunaan cairan koloid intravena lebih dipilih untuk menghindari berlebihnya muatan natrium dan untuk meningkatkan tekanan onkotik (lihat bab 28). Pemberian cairan intravena harus dipertimbangkan karena perdarahan hebat dan perpindahan cairan yang sering muncul pada pasien dengan prosedur abdominal. Venous engorgement dari hipertensi portal, lisis dan adhesi setelah pembedahan sebelumnya, dan koagulopati yang menyebabkan perdarahan hebat selama pembedahan, sementara evakuasi asites dan prosedur pembedahan yang berkepanjangan mengakibatkan perpindahan cairan dalam jumlah besar. Pemberian cairan koloid intravena sering penting untuk mencegah hipotensi yang dalam dan gagal ginjal yang menikuti perpindahan sejumlah besar cairan asites. Karena sebagian besar pasien mengalami anemia dan koagulopati sebelum operasi, transfusi merupakan hal yang sering dilakukan. Transfusi penting, bisa memberi hasil dalam toksisitas sitrat. Sitrat, merupakan antikoagulan dalam persiapan penyimpanan sel darah merah, dapat dimetabolisme dalam hepar dengan mudah. Toksisitas dapat muncul pada pasien denga sirosis karena mengalami gangguan metabolisme. Sitrat berikatan dengan serum kalsium mengakibatkan hipokalsemia lanjutan. Kalsium intravena sering penting untuk menghilangkan efek negative inotropik dalam satu tetes konsentrat kalsium berion darah.
               
PENYAKIT HEPATOBILIER
Penyakit hepatobilier ditandai dengan kolestasis, terhambatnya bahkan terhentinya aliran empedu. Penyebab utama terjadinya kolestasis adalah obstruksi saluran empedu ekstrahepatik (ikterus obstruktif). Obstruksi bilier ini bisa disebabkan oleh batu empedu, striktur, atau tumor pada duktus hepatis kommunis. Pasien yang mengalami obstruksi total atau hampir total akan mengalami gejala ikterus yang progresif, warna urin yang pekat, kotoran berwarna dempul, dan pruritus.      
       Ikterus obstruktif harus dibedakan dari kolestasis intrahepatik. Kolestasis intrahepatik disebabkan oleh obstruksi aliran empedu di tingkat sel hepar (hepatosit) dan kanalikulus, dimana penyebab utamanya adalah infeksi virus hepatitis atau reaksi obat idiosinkratik (paling sering disebabkan oleh konsumsi fenotiazin dan pil KB). Penanganan obstruksi ekstrahepatik biasanya dengan pembedahan, sedangkan untuk obstruksi intrahepatik diterapi dengan medikamentosa. Meskipun pruritus (akibat akumulasi garam-garam empedu) merupakan gambaran klinis yang paling utama pada kolsestasis intrahepatik, diagnosis yang tepat mungkin tidak bisa didasarkan hanya pada gambaran klinis dan hasil laboratorium. Pada kedua tipe obstruksi di atas terjaddi hiperbilirubinemia terkonjugasi yang berlebihan (> 50%) dan peningkatan alkali fosfatase serum yang moderat (lihat bab 34). Pemeriksaan imaging (ultrasound, kolangiogram, radioisotop atau CT-scan) diperlukan untuk mengkonfirmasi adanya obstruksi saluran empedu ekstrahepatik.
      Penyakit batu empedu (kolelitiasis) yang masih berada di kandung empedu biasanya tidak bergejala dan biasanya diderita 10-20% dari populasi umum. Biasanya diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan USG abdomen. Gejala baru muncul apabila terjadi kolik saluran empedu akibat obstruksi pada duktus sistikus. Trias kolesistitis adalah nyeri yang tiba-tiba pada kuadran kanan atas, demam, dan lekositosis. Diagnosis dapat dipastikan dengan pemeriksaan scan radioisotop, dimana pada pemeriksaan ini, kandung empedu tidak dapat terlihat. Pasase batu empedu di duktus kommunis juga dapat menyebabkan ikterus yang bersifat sementara. Menggigil yang disertai dengan demam tinggi bisa mengindikasikan adanya infeksi bakteri ke sistem bililaris (kolangitis). Bisa juga terjadi obstruksi duktus pankreatikus akibat batu empedu, namun jarang. Diperkirakan 75% gejala kolesistitis akut sembuh dalam 2-7 hari dengan terapi medis. Sisanya, sekitar 25%, tidak sembuh bahkan mengalami komplikasi berupa empiema, perforasi, gangren, hydrops, fistel, atau ileus batu empedu. Lima dari 10% pasien yang menderita serangan akut mengalami kolesistitis akalkulus yang mungkin terjadi akibat trauma yang serius, luka bakar, persalinan yang memanjang, operasi besar, atau sakit kritis. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan USG atau CT scan abdomen.

Pertimbangan Preoperatif
Biasanya indikasi pasien dioperasi adalah untuk menjalani kolesistektomi, untuk membebaskan obstruksi saluran empedu ekstrahepatik, atau keduanya. Prosedur operasi yang lazim dilakukan adalah kolesistektomi melalui pendekatan laparoskopi. Kebanyakan pasien dengan kolesistitis akut harus distabilkan dulu sebelum menjalani kolesistektomi. Terapi medis yang dapat diberikan adalah suction nasogastricSTRIC, pemberian cairan infus, antibiotik, dan analgetik opiat. Pelaksanaan operasi dapat ditunda pada pasien yang sembuh dari serangan akut, namun pada mereka yang mengalami komplikasi, kolesistektomi darurat mungkin dibutuhkan. Kolesistitis akalkulus biasanya terjadi pada pasien dengan sakit kritis, dimana mereka mempunyai risiko tinggi mengalami gangren dan perforasi; sehingga diindikasikan untuk menjalani operasi darurat.
     Pasien yang mengalami obstruksi saluran empedu ekstrahepatik apapun penyebabnya biasanya menderita defisiensi vitamin K. Sebaiknya diberikan vitamin K parenteral yang mungkin bekerja optimal setelah 24 jam. Bila sebelum operasi nilai PT belum optimal (tidak dalam batas normal), maka mungkin harus diberikan FFP. Kadar bilirubin yang tinggi mungkin menyebabkan peningkatan risiko gagal ginjal postoperatif; sehingga dianjurkan untuk hidrasi preoperatif dalam jumlah yang banyak. Pada obstruksi hepatik yang sudah berjalan lama (> 1 tahun), mungkin sudah terjadi sirosis hepar dan hipertensi portal.

Pertimbangan Intraoperatif
Kolesistektomi laparoskopi mempercepat masa penyembuhan pasien, namun insuflasi CO2 ke abdomen selama operasi tersebut dapat mempersulit penanganan anestesi (lihat diskusi kasus bab 23). Mengingat semua golongan opiat dapat menyebabkan spasme sfingter Oddi dalam berbagai derajat, maka penggunaannya masih diperdebatkan bila akan dilakukan pemeriksaan kolangiogram intraoperatif. Spasme sfingter Oddi yang disebabkan oleh penggunaan opiat secara teoritis dapat mengakibatkan hasil positif palsu pada pemeriksaan kolangiogram intraoperatif sehingga eksplorasi duktus biliaris tidak dilakukan. Meskipun sebelumnya hal ini sangat diyakini, namun beberapa dokter memilih tetap menggunakan opiat setelah kolangiogram selesai. Jika diduga terjadi spasme akibat penggunaan opiat, maka dapat diberikan nalokson atau glukagon.
      Pada pasien dengan obstruksi saluran empedu, pemanjangan durasi obat-obat yang tergantung pada ekskresi empedu harus diantisipasi. Plihlah obat-obat yang dieliminasi di ginjal. Produksi urin harus terus dipantau dengan kateter. Diuresis intraoperatif mungkin diperlukan.
      Pasien yang menderita  kolesistitis akalkulus atau kolangitis berat termasuk dalam pasien kritis yang memiliki angka mortalitas perioperatif yang tinggi. Pemantauan hemodinamik yang invasif dapat memperbaiki perawatan anestesi yang diberikan.

OPERASI HEPAR
Prosedur operasi hepar yang lazim dilakukan adalah reparasi laserasi, drainase abses, dan reseksi tumor (primer atau metastase). Pada kebanyakan pasien, hepar bisa diangkat sampai 80-85%. Beberapa sentra bisa melakukan transplantasi hepar. Semua prosedur di atas dapat menimbulkan masalah bagi anestesi sehubungan dengan kehilangan darah intraoperatif dalam jumlah yang banyak. Sirosis dapat menimbulkan komplikasi yang besar pada penanganan anestesi dan meningkatkan mortalitas perioperatif. Pemasangan jalur intravena dengan kanul besar dalam jumlah yang banyak dan penghangat darah mungkin dibutuhkan; semua peralatan yang dapat memudahkan pemberian transfusi darah masif harus disiapkan. Dapat dianjurkan pemasangan jalur arteri dan CVP (central venous pressure). Beberapa dokter menghindari hipotensi anestesia karena berpotensi menyebabkan efek yang serius (membahayakan) jaringan hepar yang tersisa, sementara yang lainnya berpikir bahwa hipotensi anestesia tersebut dapat membantu mencegah kehilangan banyak darah bila dipantau dengan seksama. Pemberian antifibrinolitik seperti aprotinin, asam ε-aminokaproik, atau asam traneksamat dapat mencegah kehilangan banyak darah intraoperatif. Hipoglikemia dapat terjadi setelah reseksi hepar yang luas. Drainase abses atau kista dapat menyebabkan komplikasi berupa kontaminasi peritoneum. Pada kasus hydatid cyst (kista hidatid), spillage dapat menyebabkan anafilaksis akibat antigen echinococcus.
Komplikasi postoperatif dapat berupa perdarahan, sepsis, dan disfungsi hepar. Penggunaan ventilator mungkin diperlukan pada pasien yang menjalani reseksi hepar luas.

REFERENSI
GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Liver Disease,. Clinical Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed. New York; 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar