Sabtu, 21 Januari 2012

Anestesi dan Masalah Paru


ASMA
William R.Fuman,M.D
Asma didefinisikan sebagai obstruksi saluran nafas bawah yang rekuren, episodik dan reversible. Diantara episode-episode itu, fungsi paru pasien normal (atau agak normal). Diketahui pencetus dari reaksi saluran nafas pada pasien adalah allergen, proses infeksi atau stimulus fisik. Gejala pada pasien sangat bervariasi tetapi umumnya terjadi batuk, wheezing, nafas yang pendek dan exercional dyspnea.
  • Evaluasi klinis dimulai dengan menilai fungsi jalan nafas diantara episode-episode asma. Menentukan ada tidaknya gejala-gejala dan menentukan regimen pengobatan dibutuhkan untuk mencapai hasil ini. Jika pasien tidak bebas dari gejala-gejala, pikirkan kemungkinan bahwa pengobatan pada pasien asma tidak adekuat atau adanya keterlibatan proses lain (misalnya emfisema atau bronchitis kronik). Spirometer pre dan post penggunaan bronkodilator dapat dilakukan jika tersedia.
  • Putuskan, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik apakah pasien berada dalam keadaan dibawah standar. Jika pasien berada dalam keadaan standar, putuskan apakah keadaannya baik atau dapat berubah dengan farmakoterapi yang agresif.
  • Putuskan apakah pembedahan merupakan pilihan utama atau dapat ditunda dan dilakukan evaluasi serta terapi.
  • Pertama digunakan beta-adrenergic agonis dan kortikosteroid sistemik. Jika pasien tidak dapat menerimanya maka digunakan Albuterol inhaler dan Prednison oral selama 3-5 hari dengan dosis berangsur-angsur dikurangi. Penggunaan Theophyllin masih kontroversi dan sekarang tidak lagi digunakan untuk asma akut. Ipratropium bromida merupakan bahan inhalasi pilihan kedua yang kadang-kadang ditambahkan pada pengobatan dengan Albuterol. Reseptor antagonis leukotrien (misalnya Zafirlukast) adalah obat baru yang digunakan untuk terapi preventif pada penanganan asma. Jika terdapat infeksi paru atau bronkus maka digunakan antibiotika.
  • Jika prosedur mendesak dan gawat, albuterol secara nebulation dengan atau tanpa ipratropium merupakan pilihan terbaik untuk memperbaiki mekanisme pernapasan dan pertukaran udara. Pengobatan dimulai dengan penggunaan steroid intra vena sedini mungkin.
  • Bahan induksi yang paling disenangi untuk anstesi umum adalah propofol, ketamin intramuskular atau intravenosa, atau inhalasi halotan atau sevofluran. Bahan analgetik yang menyebabkan pelepasan histamin, induksi dan pelumpuh otot hasilnya tidak jelek dan lebih aman. Bahan anestetik volatile mengurangi bronkospasme dan biasanya merupakan bahan utama untuk maintenance pada anestesi umum serta pengobatan bronkospasme intraoperatif. Nitrogen oksida dihindari pemakaiannya (atau digunakan dengan konsentrasi lebih kurang 50%) jika diperkirakan terdapat obstruksi di daerah paru-paru. Jika diperlukan relaksan otot, pertimbangkan penggunaan anticholinesterase.. Obat antagonis muskarinik dapat menyebabkan bronkospasme.
  • Intubasi endotrakheal merupakan masalah pada asma. Kedalaman anestesi yang inadekuat dapat memperburuk bronkospasme, terutama jika terdapat rangsangan pada trakhea, carina atau bronkus oleh tube endotrakheal atau karena dingin, inhalasi gas kering. Efeknya dihambat oleh lidokain IV (1,5 mg/kg) pada saat anestesi yang dalam. Bahan lain adalah penggunaan lidokain spray topikal sebelum intubasi dan penggunaan atropin untuk memblok nervus vagus. Jangan lakukan hiperventilasi pada pasien; hal tersebut tidak diperlukan karena dapat menyebabkan barotrauma. Hipokarbia dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Ekstubasi merupakan pilihan tetapi hal ini biasanya tidak dibutuhkan.
  • Untuk menghindari penggunaan alat pada trachea, penggunaan anestesi umum dengan mask atau dengan laryngeal mask airway (LMA), anestesi lokal dan anesetsi regional perlu dipertimbangkan. Pemberian sedativ aman pada pasien asma, cocok digunakan secara IV dan neuraxial narcotik untuk mengobati nyeri.
 
PERIOPERATIV PADA WHEEZING
Deborah K. Rasch, M.d.
Ellen B. Duncan, M.D.

Wheezing (diambil dari kata Old Norse yang berarti “bunyi mendesis”) merupakan tanda yang kompleks yang dihadapi pada saat perawatan pasien perioperatif. Saat terjadi bronkospasme, wheezing akan menyertai terjadinya konstriksi bronkus (dan meningkat pada pasien yang di intubasi). Meskipun predominan terjadi pada saat ekspirasi, mungkin juga terdapat bunyi nafas yang pendek selama inspirasi. Bising pernafasan mirip dengan wheezing dan dapat dihubungkan dengan gangguan lain.
  • Wheezing pada saat preoperative, mengindikasikan satu atau lebih hal-hal dibawah ini : penyakit-penyakit brokospastik (asma, COPD, cystic fibrosis), penyakit jantung (Congestif Heart Failure [CHF], congenital heart disease dengan pembesaran arteri pulmonal dimana menyebabkan kompresi bronkus utama, vascular ring disekitar trachea); aspirasi; penyakit inflamasi atau infeksi (bronchitis kronis, pneumonia, infeksi virus pada anak). Wheezing bisa terjadi pada pasien dengan edema laring atau bagian lain pada bronkus dan jarang pada emboli paru. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis (gejala penekanan saluran nafas, toleransi terhadap exercise, respon terhadap bronkodilator, irama cardiac gallop, penggunaan diuretic guna penggolongan penyakit. Studi diagnostik masih diperlukan. Optimalkan fungsi kardiopulmonal, bronkodilator dan perbaikannpulmonary toilet pada penyakit bronkospastik ; penatalaksanaan medikasi dan diuretic pada CHF; dan penundaan tindakan elektiv sampai proses infeksi dihilangkan) sebelum pembedahan elektif.
  • Pengelolaan anestesi pada pasien asma termasuk intubasi (dan ekstubasi) sampai terjadi anestesi yang dalam (untuk menurunkan stimulasi vagal dan bronkokonstriksi). Pada pasien asma, oksibarbiturat kurang disukai karena menyebabkan pelepasan histamin dibandingkan barbiturat.Meskipun halothane lebih disenangi oleh beberapa ahli anestesi, semua bahan inhalasi secara kasar sama dengan bronkodilator. Bronkodilator ketamin sangat membantu.
  • Pengelolaan individual pada pasien jantung sesuai dengan lesi. Wheezing, walaupun pengelolaan hemodinamik tepat, dapat terjadi bronkospasme.
  • Pada pasien dimana tidak mendapatkan preoperative wheezing dan kemudian terjadi fase perpanjanga ekspirasi dan wheezing sesudah intubasi merupakan masalah diagnostik yang akut. Sekresi yang banyak pada saluran pernapasan atau tube endotrakheal dapat menyebabkan bising pada pernapasan dan dapat dihilangkan dengan suction.
  • Bronkospasme intraoperativ dapat disebabkan oleh pelepasan histamin karena obat (thiopental, curare, succinylcholine, morphine), anesthesia ringan, stimulasi parasimpatomimetik (adanya tube endotrakheal, rangsangan operasi), aspirasi, anafilaksis aktivitas obat beta-bloker. Anafilaksis menyebabkan hipotensi, vasodilatasi dan edema periorbital dan dapat disebabkan oleh beberapa obat tertentu. Pengobatan anafilaksis dengan dipenhydramin, 2 mg/kg; epinefrin, 3-5 g/kg IV; dan methylprednisolon 1-2 mg/kg IV.
  • Tebutaline 0,01 mg/kg subkutan; albuterol 0,1 mg/kg inhalasi; terbutaline 0,1 mg/kg inhalasi atau metaproterenol 5 mcg/kg inhalasi telah digunakan dan memberikan hasil yang memuaskan. Jika terjadi bronkospasme, dapat diberikan aminofilin 5-6 mg/kg IV, 20-30 menit, dan dimulai dengan infus aminofilin 0,4-0,9 mg/kg/jam (lihat table 1). Perhatikan disritmia ventricular. Jika pasien tidak respon terhadap pengobatan awal, dapat diberikan epinefrin IV.
Tabel 1. Penggunaan obat pada bronkospasme intraoperativ
 
CHRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE (COPD)
Michael A. Lyew, M.D.
Diane M. Peters-Koren, M.D.

COPD ditandai dengan kurangnya aliran udara ekspirasi yang persisten dengan meningkatnya residual volume dan function residual capacity. Resiko anestesi adalah : hipoksemia, hiperkarbia, bronkospasme dan peningkatan insiden Postoperative Pulmonary Complication (PPC), termasuk atelektasis, pneumonia dan gagal nafas.
  • Merokok adalah faktor predisposisi yang besar yang menyebabkan COPD, dimana sebagian besar diklasifikasikan dalam bronchitis kronis dan emfisema. Gabungan dari keduanya dapat terjadi. Penyebab minor dari emfisema adalah defisiensi homozygot a-1 antitripsin, dimana hal tersebut juga berperan sebagai penyebab sirhosis. Merokok lebih dari 20 pak/tahun, usia lanjut, obesitas, status ASA yang tinggi, serta operasi thorax dan upper abdominal merupakan co-faktor COPD untuk PPC. COPD dini dengan atau tanpa gejala, tes fungsi paru rutin (PFTs) tidak diperlukan, kecuali sebelum reseksi paru. Dispnu (terutama pada saat istirahat), batuk dan produksi sputum menandakan perlunya persiapan yang intensif, termasuk PFTs dasar dan pengukuran gas darah arteri.
  • Perbandingan FEV1/FVC menunjukkan beratnya COPD. Resiko PPC meningkat setelah pembedahan upper abdominal, jika pada preoperative nilai dari FEV1/FVC < 70%, FEV25-75%/FVC < 50%, FVC < 75%, dan MVV < 50%. Gagal nafas sering terjadi jika FEV1/FVC < 50% dan PaCO2 > 50 mmHg. Retensi CO2 sering terjadi jika FEV1/FVC < 35%. Perbaikan nilai aliran ekspirasi dan PaCO2 setelah pemberian bronkodilator menurunkan resiko PPC. Malnutrisi dan gangguan elektrolit perlu diperhatikan karena keduanya menyebabkan penurunan fungsi otot pernapasan. Selanjutnya dapat terjadi hipoksemia dan hiperkarbia menunjukan adanya polisitemia, hipertensi pulmonal dan cor-pulmonal. Pada COPD dini, foto thorax normal, tetapi dapat terlihat pembesaran paru pada emfisema dan blood diversion pada lobus atas serta kardiomegali pada bronchitis kronik.
  • Sebelum operasi elektif, fungsi paru harus optimal. Merokok harus dihentikan pada yang berat; untuk menurunkan level carboxyhemoglobin dibutuhkan 12-18 jam. Pengobatan penuh pada infeksi saluran nafas akut dan dilanjutkan dengan inhalasi bronkodilator serta obat anticholinergik. Jaga atau tingkatkan terapi steroid. Koreksi hipokalemi, tunjang gizi dan manuver ventilasi untuk meningkatkan cadangan nafas. Sediakan cadangan oksigen (O2) untuk memperbaiki hipertensi pulmonal. Pengobatan right ventricular failure dengan digoksin, diuretik dan vasodilator. Waktu yang inadekuat untuk mengoptimalkan keadaan sebelum operasi meningkatkan resiko PPC dan merupakan operasi yang emergensi.
  • Jenis pembedahan dan status fisik menentukan teknik anestesi dan tingkat monitoring. Blok spinal dan epidural lebih tinggi dari T6 menurunkan volume cadangan ekspirasi dan refleks batuk serta menghilangkan sekresi. Penggunaan sedative dibatasi karena efeknya terhadap depresi pernafasan. Bronkospasme saat dilakukan anestesi umum pada pasien dapat disebabkan oleh intubasi endotrakheal, rangsang nyeri dan pelepasan histamin karena obat. Nitrogen oksida dihindari jika terdapat bulla atau hipertensi pulmonal. Jaga pH normal arteri, tetapi tidak PaCO2 , pada pasien dengan retensi CO2 preoperative untuk menjaga kompensasi metabolik. Gradien antara CO2 tidal dan CO2 arteri bisa meningkat. CVP menggambarkan fungsi ventrikel kanan lebih baik daripada volume intravaskuler jika terdapat hipertensi pulmonal.
  • Hindari atau minimalkan bronkospasme selama keadaan gawat extubasi dalam keadaan tidak sadar atau sadar setelah profilaksis dengan lidokain IV atau inhalasi bronkodilator. Pasien-pasien seperti ini memiliki level PaCO2 yang rendah dan desaturasi oksigen pada analgesia epidural kemudian kontrol nyeri dengan opioid parenteral. Pengaturan FiO2 tergantung ventilasi pada hipoksia. Mobilisasi dini dan manuver ventilator merupakan anjuran. Hindari hidrasi yang berlebihan. CO2 yang berlebihan pada sepsis atau intake kalori yang berlebihan membutuhkan bantuan ventilasi. Kontrol ventilasi juga diperlukan pada tindakn di daerah thorax dan upper abdominal sampai fungsi paru diperbaiki.
 
CIGARETTE SMOKING
James Gilbert, M.D.
Kathryn R. Hamilton, M.D.

Diketahui, riwayat merokok meningkatkan insiden komplikasi pernapasan postoperative. Efek merokok adalah rusaknya mukosiliar, hipersekresi mucous, dan obstruksi jalan nafas. Hal ini meningkatkan sensitivitas bronchiolar sehingga terjadi bronkokonstriksi dan peningkatan resistensi jalan nafas dan pengurangan dinamik. Efek akut dari mengisap asam rokok adalah peningkatan level karbonmonoksida dan disosiasi kurva oxyhemoglobin pada leftward shift. Carboxyhemoglobin (CoHb) dapat meningkat sampai 8-10% pada perokok berat, yang berarti mengurangi kapasitas oksigen pembawa. Nikotin adalah agonis adrenergik yang meningkatkan heart rate, BP dan resistensi vaskuler perifer.
  • Adanya batuk produktif, sputum purulen atau penurunan FEV1 menandakan peningkatan resiko terhadap komplikasi pulmonal. Adanya beberapa faktor resiko atau kemungkinan adanya batuk pada intraoperatif atau postoperative dapat mengganggu jalannya operasi (misalnya operasi mata dan herniorrhaphy) memerlukan evaluasi yang lebih sebelum pembedahan.
  • Studi fungsi paru yang sederhana menyatakan adanya penurunan FEV1 dan peningkatan closing volume. Studi fungsi paru dilakukan dengan atau tanpa bronkodilator untuk mengevaluasi efek obat selama persiapan preoperative pada pasien. Diperlukan adanya ABGs, foto thorax dan EKG. Apabila beberapa tes hasilnya abnormal, jika lama operasi diperkirakan lebih dari 3 ½ jam atau jika lokasi operasi pada daerah upper abdominal atau thorax, pertimbangkan penundaan tindakan elektif untuk persiapan akan adanya efek pada paru yang luas.
  • Merokok harus dihentikan minimal 6-8 minggu sebelum operasi untuk mengurangi angka kesakitan pada postoperative pulmonal dan memperbaiki fungsi imun serta penyakit saluran nafas yang reversible. Merokok 48 jam sebelum operasi berdampak pulmonary toilet yang agresif, meskipun demikian, berhenti merokok lebih cepat sebelum operasi masih kontroversi. Namun, walaupun hanya beberapa hari tidak merokok, terjadi aktivitas perbaikan cilia dan 1-2 minggu tidak merokok secara signifikan menurunkan volume sputum dan reaktivitas saluran nafas. Waktu paruh yang singkat dari CoHb menurun setelah 12 jam tidak merokok.
  • Infiltasi lokal sebagai syarat untuk sedativ IV atau anestesi regional diperlukan, tetapi untuk anestesi umum tidak digunakan, hal ini penting untuk mempertahankan kelembaban yang adekuat, mempertahankan FRC dan cukup bermanfaat pada anestesi yang dalam untuk mengurangi reaktivitas jalan nafas. Preoperativ dengan menggunakan antikolinergik tidak bermanfaat. Pulmonary toilet yang aktif, termasuk perkusi dan vibrasi, diperlukan setelah extubasi, diikuti dengan tindakan suction pada jalan nafas selama tindakan operasi. Pengurangan FRC terjadi pada semua pasien yang dianestesi tetapi lebih banyak pada perokok. Walaupun penurunan SaO2 pada perokok memperlihatkan gejala yang asimptomatik, selama periode postoperative suplemen O2 harus ditransportasikan dan dipertahankan.
  • Siapkan analgetik postoperative dengan cara blok saraf atau analgetik epidural jika memungkinkan. Jika hal ini tidak mungkin atau kecil kemungkinannya untuk dilakukan, dosis analgetik IV secara titrasi yang berulangkali akan memberikan efek yang diinginkan; Hindari kombinasi beberapa obat sedatif kerja lama atau fenotiazin. Juga baik memilih analgetik yang kurang mengandung antitusive (misalnya obat nonsteroid antiinflamasi). Terapi preoperative pulmonal dilanjutkan sampai periode postoperative. Pertahankan hidrasi dan terapi O2 yang adekuat. Spirometer atau terapi fisik pada thorax (jika terjadi atelektasis atau infiltrat pada daerah tertentu), terapi bronkodilator dan mobilisasi dini untuk mengurangi komplikasi postoperative pulmonal.
 
INFEKSI SALURAN NAFAS ATAS
Alan R. Tait, Ph.D.
Paul R. Knight, M.D., Ph.D.

Resiko tindak anestesi pada pasien infeksi saluran nafas atas yang akut (ISPA) masih kontroversial. Studi menunjukkan bahwa hal tersebut kurang jelas. Walaupun beberapa studi mengatakan bahwa tindakan anestesi pada pasien dengan ISPA memiliki resiko terjadinya laringospasme, bronkospasme dan desaturasi pada postoperative, pendapat lain mengatakan bahwa pasien ISPA akut dan carries ISPA tanpa komplikasi, tidak menurunkan angka kesakitan.
  • Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menentukan apakah pasien sedang mengidap suatu proses infeksi atau tidak. Evaluasi pasien akan adanya demam, batuk, produksi sputum, dispnu dan letargi. Tentukan apakah gejala tersebut terjadi secara akut atau musiman. Shreiner dan kawan-kawan mengatakan bahwa sangat penting untuk memprediksikan kemungkinan yang akan terjadi. Thorax foto harus dipertimbangkan jika dipikirkan bahwa saluran nafas bawah ikut terlibat.
  • Perkiraan pembedahan yang urgency. Pembedahan yang nonurgency dengan adanya asma telah dinyatakan sebagai faktor yang paling sering mempengaruhi keputusan para ahli anestesi untuk menunda operasi elektif pada pasien dengan ISPA. Jika pembedahan urgent, pertimbangan tekhnik regional untuk menghindari manipulasi jalan nafas. Jika hal ini gagal atau tidak dapat dilakukan, alihkan pada anestesi umum dengan mempertimbangkan lamanya pasien puasa. Kelembaban dan hidrasi dapat menolong mobilisasi sekresi.
  • Jika pembedahan elektif, perkirakan kemungkinan infeksi. Dengan waktu yang singkat, hal ini tidaklah mudah; walaupun demikian, informasi bisa didapatkan dari data tentang riwayat dan pemeriksaan fisik pasien. Walaupun 95% pasien dengan gejala ISPA mendapatkan infeksi virus, beberapa pasien memperlihatkan sekresi atau sputum yang mukopurulen, demam, atau sepsis. Jika diduga infeksi bakteri, pasien harus diberikan antibiotik dan pembedahan harus ditunda paling kurang 4 minggu. Pasien dengan nasofaringitis berat, wheezing, demam lebih dari 38oC, batuk yang produktif atau flu atau gejala batuk yang disertai sesak nafas harus dijadwal ulang. Pasien tanpa infeksi, alergi, rhinitis vasomotor kronis atau penyakit-penyakit tingkatan sedang, tidak berkomplikasi, gejala “cold” akut dimana tidak terdapat sekresi dapat dilakukan pembedahan. Jika pasien – pasien ini akan dioperasi, pertimbangkan resiko dan keuntungan tindak operasi (misalnya operasi yang telah berulangkali ditunda, dan tidak diperlukannya pembedahan yang menambah resiko komplikasi pada pasien dengan ISPA). Jika perbandingan resiko dan keuntungan baik, operasi dapat dilakukan; jika tidak baik atau ragu-ragu, operasi ditunda paling kurang 4 minggu.
  • Jika tekhnik regional cocok, operasi dapat dilakukan. Jika dilakukan anestesi umum, gunakan mask jika memungkinkan. Jika biasa menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA), pertimbangkan penggunaannya untuk tindakan yang normalnya memerlukan intubasi tracheal. Antisialogoque dapat digunakan pada anak-anak untuk mengurangi stimulasi vagal pada manupulasi jalan nafas. Gunakan pulse oxymetri pada semua pasien.
  • Jika pasien telah diintubasi, suction trachea sebelum dilakukan extubasi. Lanjutkan pulse oxymetri selama pemindahan pasien dan dalam ruang pemulihan. Pasien dengan ISPA memperlihatkan tingkat saturasi terbesar selama masa pemulihan. Diperlukan penggunaan oksigen dengan menggunakan facemask.
 
TUBERCULOSIS ATAU SUSPEK TUBERCULOSIS  
Susan M. Ryan, Ph.D., M.D.
Peningkatan Tuberkulosa (TB) dan peningkatan resistensi terhadap antibiotik mendapat perhatian besar dalam kesehatan masyarakat. TB menyebar melalui inhalasi droplet nuclei; aerosol partikel kering, sisa-sisa yang ada diudara. Konsultasikan dengan spesialis penyakit infeksi untuk membantu diagnosa, pengobatan dan waktu operasi. Pegawai Rumah Sakit Departemen Kesehatan, National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), dan Center for Disease Control and Prevention (CDC) bermanfaat sebagai sumber informasi.
  • TB adalah penyakit paru primer. Diperlukan data tentang diagnosa, riwayat pengobatan dan gejala pada paru-paru, serta keterlibatan ekstrapulmonal (limfatik, CNS, ginjal dan sum-sum tulang). TB yang dini biasanya asimptomatik atau timbul dengan gejala yang tidak spesifik (anoreksia, fatique, kehilangan beratbadan, berkeringat pada malam hari). Selanjutnya dapat terjadi batuk yang produktif, hemoptisis dan nyeri pada dada. Takipnu, ronkhi, dan melemahnya bunyi pernafasan bisa terjadi. Jika ekstrapulmonal terlibat maka gejala yang paling sering terlihat adalah limfadenopati. Penemuan pada foto thorax tergantung pada tingkat dan kronisitas penyakit – Jika foto thorax abnormal maka dilihat foto sebelumnya. Pada TB primer terlihat infiltrat di lobus atas atau seperti infiltrat halus yang multiple. Limfadenopatui hilar atau efusi pleura bisa terjadi. Pada TB kronik, bisa terdapat bintik atau nodul pada apikal dan subapikal. Dahulu, pengobatan TB dimana terdapat granuloma adalah dengan apical scarring. Perhatikan adanya peningkatan leukosit dan anemia normositik normokrom. Pada TB pulmonal dapat terjadi hiponatremia dan meningitis TB disebabkan oleh syndrome of inappropriate secretion on antidiuretic hormone (SIADH).
  • Hilangkan infeksi TB yang aktif sebelum pembedahan yang tidak mendesak. Observasi penyebab TB jika ada dugaan adanya TB aktif. Jika foto thorax normal atau ada sedikit perubahan pada pasien yang asimptomatik, tidak ada tes yang direkomendasikan. Jika pada foto thorax diduga adanya TB aktif atau secara klinik diduga kuat pengobatan tidak adekuat, ambil tiga contoh sputum untuk smear basil tahan asam (BTA) dan kultur TB. Satu smear positif membantu diagnosa. Apabila BTA negatif, tindakan pencegahan dan pembedahan tergantung pada tingkatan penyakit dan kecurigaan TB yang tidak diobati. Jika BTA negatif, TB aktif tidak dapat disingkirkan (pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang memberikan gejala) dan dilakukan pengobatan serta penundaan tindakan pembedahan. PPD yang positif (tes penyaringan yang baik tetapi tidak pasti) dapat dicurigai adanya TB, tetapi PPD negatif (walaupun dengan kontrol) tidak dapat menyingkirkan adanya TB; Foto thorax dan analisa sputum lebih dipercaya. Pada pasien dengan HIV positif cenderung mendapatkan penyakit paru aktif dan melibatkan ekstrapulmonal. Pada pasien-pasien tersebut, tes PPD positif dengan ukuran 5 mm. Pada pasien dengan HIV positif yang berat, foto thorax bisa negatif untuk beberapa hari saat pasien terinfeksi dengan TB. Sebagai tambahan, BTA positif dihasilkan oleh beberapa mycobacteria; namun tetap diobati sebagai TB sampai hasil kultur didapatkan.
  • Pasien dengan HIV positif dan diduga TB adalah penduduk atau imigran dari daerah dengan prevalensi tinggi, penyalahguna obat, kontak TB, tunawisma, malnutrisi. Pikirkan diagnosa TB jika terjadi pneumonia pada pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang tidak respon terhadap antibiotik atau adanya kontak pada kasus yang aktif.
  • Observasi pernafasan sebagai pencegahan termasuk pasien yang diintubasi. Ruang khusus dengan tekanan ventilasi negatif dan 6-10 kali/jam perubahan udara, pencegahan gejala pada saluran nafas yang membahayakan dan masker atau alat bantu nafas untuk setiap orang yang masuk dalam ruangan. Tipe masker berguna untuk kesehatan kerja (HCW) dan alat bantu pernafasan yang diakui oleh NIOSH : fitted air-filtering mask, powered air purifying respirators (PAPR), atau respirator tekanan positif dengan tambahan udara. Selama pemindahan pasien ketempat lain, gunakan masker pada pasien. Jika pasien diintubasi dan dilakukan ventilasi, gunakan masker selama pemindahan pasien.
  • Jika pasien dengan BTA positif, dilakukan penundaan untuk pembedahan elektif dan tindak pengobatan selama 2 minggu dan tiga kali sputum negatif. Jika pasien BTA negatif tetapi kultur positif atau pasien dengan resiko tinggi, pasien dengan gejala TB, tindak pengobatan dilanjutkan minimal satu minggu sampai terjadi perubahan pada kondisi pasien. Kasus yang gawat memerlukan keputusan klinik, pengobatan yang memungkinkan selama sebelum pembedahan, dan tindak pencegahan di ruangan operasi.
  • TB diobati dengan kombinasi obat selama 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih. Masalah yang besar adalah terjadinya resistensi, dan terapi obat harus dilakukan secara hati-hati dan disesuaikan dengan sensitivitas. Respon terhadap terapi ditandai dengan berkurangnya bakteri, sputum dengan BTA negatif dan perubahan secara klinik. Pasien diperkirakan masih infeksius selama 2-3 minggu setelah pengobatan.
  • Ventilasi yang adekuat diruang operasi sangat penting. Dapat digunakan ventilator dengan tekanan negatif. Peralatan anestesi : gunakan alat-alat sekali pakai. Letakkan penyaring bakteri pada lubang pernafasan atau dengan menggunakan tube endotrakheal (ET) untuk mencegah kontaminasi. Atur tube ET dan kateter suction dengan cermat. Bersihkan mesin dan peralatan anestesi menggunakan larutan tuberkulosidal dan sterilkan jika memungkinkan. Ahli anestesi dan yang lainnya : menggunakan masker seperti biasanya, lindungi daerah steril. Sebagai tambahan perhatikan dan gunakan alat pelindung pernafasan untuk mencegah infeksi dari droplet. Satu masker dapat disiapkan . Respirator dengan katup ekshalasi, PAPR, respirator tekanan positif tidak melindungi daerah yang steril. Pembedahan dan prosedurnya : terdapat resiko tinggi terhadap kontaminasi selama dilakukan tindakan dimana cairan tubuh yang terinfeksi keluar (trakheostomi, thorakotomi, bipso paru terbuka, bronkoskopi, kauterisasi jaringan yang terinfeksi) dan selama perawatan tube ET. Hindari atau minimalkan tindakan suction pada ET. Pemulihan : PACU harus tersendiri dan terdapat standar pencegahan TB. Jika tidak, pemulihan pasien dilakukan diruang operasi atau ICU. Tenaga kesehatan harus menggunakan pelindung pernafasan.
 
RESTRICTIVE LUNG DISEASE
A. Sue Carlisle, M.D., Ph.D.
Restrictive Lung Disease (RLD) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kumpulan gejala fisiologis yang ditandai dengan menurunnya kapasitats total dari paru-paru. RLD dapat disebabkan oleh bermacam-macam sebab intrinsik dimana daya pengembangan parenkhim paru menurun atau oleh faktor ekstrinsik yang berdampak pada dinding dada, pleura dan abdomen. Keadaan ini dapat disebabkan secara sendiri-sendiri atau bersamaan menghasilkan restrictive fisiologis. Perubahan instrinsik bisa permanen, seperti terjadinya fibrosis paru atau reversible seperti terjadinya edema paru atau pneumonia. Perubahan ekstrinsik dapat terjadi secara sekunder pada bermacam-macam keadaan termasuk kelemahan otot pernafasan, penebalan pleura, kiposkoliosis, chest wall scarring dan kegemukan. Sebagai tambahan beberapa tindakan seperti laparoskopik dimana dibutuhkan penurunan tekanan dalam cavum peritoneum, secara temporal dapat menyebabkan restrictive fisiologis. RLD juga sering terjadi obstructive lung disease (OLD) dan kombinasi keduanya dapat mempersulit diagnosa dan pengobatan.
  • Riwayat pasien yang diduga mengalami RLD harus ditanyakan dimana akan menyebabkan adanya penyakit paru instrinsik, penyakit neuromuskular dan penyakit tulang termasuk kiphoskoliosis, infeksi paru dan congestive heart failure. Gejalanya adalah penurunan toleransi kerja, dispnu saat bekerja, batuk atau kesukaran bernafas dalam. Evaluasi dini pada pasien RLD adalah observasi pola pernafasan. Pasien-pasien ini cenderung memiliki penurunan tidak volum dan peningkatan respiratory rate karena pola bernafas yang kurang baik serta perluasan system noncompliant. Pasien dengan deformitas skeletal, weaknesss, rales dan ronkhi harus ditindaki secara hati-hati. Obesitas adalah hal yang paling penting yang dapat menyebabkan RLD yang berat. Besarnya gejala dan tingkat toleransi terhatap latihan dapat menjadi acuan untuk evaluasi preoperative yang lebih lanjut.
  • Radiografi pada thorax berguna untuk evaluasi pada beberapa kasus RLD yang dalam pengobatan seperti edema paru, pneumonia dan pneumonia interstisial. Fungsi paru dapat dievaluasi dengan spirometer untuk mendeteksi penurunan volume paru dan adanya obstruksi serta restriktif fisiologis. Pada beberapa kasus, dalam beberapa studi tentang fungsi paru, kurva volume aliran udara diperlukan untuk menilai berat tidaknya RLD (lihat bagan). Total lung capacity dan diffusing capacity juga diperlukan. Pada beberapa kasus, nilai ABG preoperative berguna untuk prognosis postoperative apakah dibutuhkan tambahan ventilator setelah operasi. Pada kasus yang berat echo jantung atau kateterisasi jantung kanan preoperative berguna untuk mengevaluasi hipertensi pulmonal atau kegagalan ventrikel. Komponen reversible harus diobati sebelum tindakan pembedahan elektif.
  • Jika memungkinkan, pilihlah tekhnik anestesi yang tidak memerlukan sedasi yang luas atau ventilasi mekanik. Tekhnik regional dapat digunakan jika otot pernafasan tidak dapat dijamin. Pada beberapa kasus, diperlukan anestesi umum dan ventilasi mekanis. Monitoring intraoperative dilakukan dengan pulse oximeter dan arterial line untuk monitoring tekanan darah dan contoh gas darah. Pada kasus-kasus yang berat, adanya hipertensi pulmonal dan ventricular failure dilakukan pemasangan kateter pada arteri pulmonal (PA) atau transesopharingeal echo (TEE) untuk melihat perubahan pada tekanan arteri pulmonal dan fungsi ventrikel. Ventilasi pada beberapa ruang operasi tidak cukup untuk mempertahankan tekanan dan aliran ventilasi yang adekuat bagi pasien dengan compliance yang kurang. Jenis ventilator ICU dibutuhkan. Atur ventilator untuk menurunkan tidal volume dan meningkatkan frekwensi compliance pada pasien dengan daya compliance yang rendah. Tindakan ini atau tindakan dengan menggunakan ventilasi dengan tekanan yang dikontrol dapat menghindarkan masalah tekanan yang tinggi seperti barotrauma dan hemodinamik yang membahayakan. Hemodinamik yang membahayakan bisa terjadi karena cardiac output dan tekanan darah menurun atau menurunnya ventilasi.
  • Setelah operasi, pada pasien dapat diberikan pH normal dan oksigenasi yang adekuat untuk mempertahankan kemampuan tubuh. Jika dilakukan intubasi trachea, perhatikan meticulous uantuk mengontrol nyeri. Efeknya minimal terhadap alat pernafasan (mekanisme kompensasi pada pasien) dan lebih menguntungkan. Jika pasien tidak dapat mentoleransi ekstubasi, ventilasi, volume yang optimal, serta pulmonary toilet dan nutrisi yang baik, lakukan ventilasi non-infasif seperti tekanan udara positif bilevel.

SUMBER
  • Decision Making in Anesthesiologi, An Algorithmic Approach. Third edition; By Louis L. Bready Rhonda M. Mullins, Swan Helene Npprity, R. Brain Smith; Mosby Inc. 2000, page 86 – 105


Jumat, 20 Januari 2012

Krisis Hipertensi pada Pediatrik

Hipertensi tidak biasa dijumpai pada anak. Tekanan darah jarang diukur secara rutin pada anak yang tampak sehat-sehat saja, oleh karena itu maka hipertensi biasanya disertai gejala yang berlainan. Gejala nerologis tampak lebih nyata pada anak dibandingkan dewasa. Kemungkinan terdapat gejala sakit kepala hebat, disertai atau tidak disertai muntah, memberi kesan peningkatan tekanan intrakranial. Anak dapat pula mengalami kejang atau koma yang akut. Beberapa anak akan menunjukkan palsi fasial atau hemiplegia, dan pada bayi bisa disertai apnue.
 
Pengukuran tekanan darah
Mengukur tekanan darah pada anak bisa sulit dan kacau apabila tidak dilakukan dengan benar. Petunjuk-petunjuk ini hendaknya diperhatikan. Pergunakan manset ukuran terbesar yang sesuai dengan ukuran lengan atas. Manset yang terlalu kecil akan menunjukkan tekanan darah yang salah karena terlalu tinggi.
Nilai tekanan darah sistolik lebih dapat dipercaya daripada tekanan diastolik, oleh karena suara Korotkoff yang keempat tidak terdengar atau sampai nilai nol.
Apabila digunakan alat pengukur elektronik, hasilnya sering tidak meyakinkan, maka sebaiknya lakukan pemeriksaan ulang secara normal sebelum diadakan tindakan.
Peningkatan tekanan darah pada anak yang berontak, kesakitan atau berteriak, harus diulang lagi setelah keadaan anak tenang.
Apabila anak sangat kecil atau gelisah, penggunaan alat doppler mungkin menolong secara kasar, tekanan sistolik dapat pula diukur dengan cara palpasi.
Tekanan darah anak normal meningkat sesuai dengan umur, pembacaan harus dibandingkan dengan nilai normal yang sesuai umur anak. Apabila tekanan darah meningkat melebihi 95 percentile dan terus meningkat, maka pengobatan harus dimulai. Simptomatologi peningkatan tekanan darah meningkat pula dengan bertambahnya umur anak, dan diagnosis menjadi tidak sulit.

Pengobatan darurat
Pengobatan pendahuluan akan bergantung kepada keadaan klinik. Jalan napas, pernapasan dan sirkulasi, harus diperhatikan dan ditanggulangi seperti biasa.
Demikian pula dilaksanakan pemantauan status nerologik. Konvulsi biasanya dapat diatasi dengan diazepam, dan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial harus ditanggulangi sebagaimana mestinya.
Segera setelah resusitasi dilakukan, maka pengobatan hipertensi harus dimulai setelah berkonsultasi dengan ahli saraf anak atau kardiologi anak, karena penurunan tekanan darh yang terlalu cepat bisa berbahaya bagi anak.
Pemantauan tekanan darah, penglihatan dan pupil sangat penting pada saat ini oleh karena penurunan tekanan darah dapat menyebabkan infark dikepala nervus optikus. Setiap perubahan harus diikuti dengan peningkatan tekanan darah segera, dengan air garam fisiologis atau koloid. Kadang-kadang anak menderita
anuri, pemeriksaan fungsi ginjal, (kreatinin serum, urea dan elektrolit) harus dinilai secara tepat.
Beberapa obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah anak dapat dilihat pada Table 1
Tabel 1. Obat-obat yang digunakan pada hipertensi berat

Beberapa ahli mungkin menganjurkan pemberian nifedipin sebagi pengobatan sementara sebelum dipindah, anak harus tetap dipantau tekanan darahnya dan infus intravena harus dimulai.
Anak-anak ini harus dirawat didalam unit yang berpengalaman dalam penanggulangan hipertensi anak. Biasanya dipusat nefrologi anak atau kardiologi anak. Konsultasi yang memadai harus dilakukan sebelum pemindahan pasien.

REFERENSI
  1. Advanced Paediatric Life Support, the practical approach, British Med Journal Publication, 1997
  2. Byron YA and Mc Closky K . Evaluation, Stabilization and Transport of the Critically III Child Mosby, St Louis, 1992
  3. Chamedes L and Hazinski MF : Pediatric Advanced Life Support, American Heart Association and American Academy of Pediatrics, Emergency cardiovascular Care Program 1997 – 1999.
 
Sumber :
Kumpulan materi pelatihan resusitasi pediatrik tahap lanjut

Gangguan Irama Jantung pada Pediatrik

Gangguan irama jantung pada bayi dan anak merupakan kegawatan yang harus segera diatasi. Pada usia tersebut henti jantung primer sangat jarang terjadi. Henti jantung biasanya sekunder akibat hipoksia dan asidosis yang disebabkan oleh karena gangguan pada sistem pernapasan atau syok.
Karena itu pada bayi dan anak dengan gangguan irama jantung harus segera diperbaiki jalan napas, ventilasi yang efektif, oksigenasi yang adekuat dan stabilisasi hemodinamik.
 

Elektrokardiogram
Gambaran elektrokardiogram (EKG) adalah grafik yang menggambarkan proses depolarisasi dan repolarisasi miokard disetiap siklus jantung yang meliputi gelombang P, QRS dan T (Gambar 1).

Gambar 1. Gambar elektrokardiogram

Depolarisasi mulai dari nodus sinoatrial (SA) yang terletak pada pertemuan vena cava superior dengan atrium kanan dan melalui jaringan di atrium melalui jaras internodal menuju nodus atrioventrikel (AV) yang daya penjalarannya lebih lambat. Kemudian melalui berkas His (Bundle of His) akan cepat menyebabkan depolarisasi miokard ventrikel (Gambar 2).
Gambar 2. Sistem konduksi jantung 
Defleksi pertama pada rekaman EKG merupakan depolarisasi dari kedua atrium. Perlambatan rangsang terjadi di nodus AV dan waktu yang diperlukan untuk meneruskan rangsangan melalui berkas His disebut interval PR. Gelombang QRS merupakan depolarisasi miokard ventrikel. Karakteristik depolarisasi ventrikel padarekaman EKG adalah segmen ST dan gelombang T (Gambar 3)
Gambar 3. Hubungan anatomi sistem konduksi dengan EKG 

Denyut jantung normal ditentukan oleh usia dan tingkat aktivitas serta keadaan patologis seperti demam atau perdarahan. Terdapat variasi yang besar pada denyut jantung yang normal dan berkurang secara berangsur sesuai umur (Tabel 1). Keadaan klinis anak dan saat baru bangun tidur harus selalu dipertimbangkan, ketika hendak mengevaluasi denyut jantung. Bayi demam dengan fungsi kardiovaskular normal, denyut jantung bisa mencapai 200 kali permenit atau lebih. Keadaan ini sulit untuk dibedakan antara sinus takikardia dan takiaritmia (takikardia supraventrikular).

Pemantauan EKG
Gambaran EKG harus dipantau terus menerus pada anak dengan fungsi pernapasan atau kardiovaskular yang tidak stabil, termasuk anak dengan henti jantung paru yang lama.
EKG tidak bisa memberikan informasi keadaan kontraklitas miokard atau kualitas perfusi jaringan. Oleh karena itu penanganan harus didasarkan pada evaluasi klinis pasien dihubungkan dengan rekaman EKG.

Perangkat
Sistem pemantauan EKG terdiri dari layar dan takometer, frekuensi denyut jantung dapat diketahui dengan menghitung jarak interval R-R. Idealnya sistem ini dilengkapi dengan alat pencetak/perekam. Beberapa monitor juga mampu menyimpan data gangguan irama yang bisa diperlihatkan kembali dan dianalisis kemudian. Rangsangan EKG disalurkan dari pasien ke layar monitor melalui 3 kabel yang berwarna ditempelkan ke pasien dengan bantalan perekat sekali pakai atau elektroda logam. Keduanya tersedia dalam ukuran kecil untuk anak. Bantalan perekat yang besar untuk dewasa. Bila elektroda ditempatkan pada lokasi yang tepat akanmenghasilkan gambaran EKG yang baik dengan gelombang P yang jelas, takometer akan terangsang oleh gelombang R bukan oleh gelombang T .Elektroda harus ditempatkan di pinggir dada depan agar tidak mengganggukompresi dada sewaktu resusitasi jantung paru , dan tidak menggangu auskultasijantung (Gambar 4).

 Gambar 4. tempat pemasangan elektroda untuk monitoring


Artefak
Kita harus mengenal artefak yang umumnya terdeteksi pada rekaman EKG. Ada 4 jenis artefak yang sering dijumpai .
  1. Garis datar (mirip asistole) atau garis yang bergelombang (mirip fibirilasi kasar), disebabkan karena kabel atau elektroda yang terlepas.
  2. Gelombang T yang tinggi, oleh takometer dibaca sebagai gelombang R sehingga denyut jantung terhitung dua kali lipat dari sebenarnya.
  3. Tidak adanya gelombang P, karena penempatan elektroda yang tegak lurus terhadap aksis gelombang P.
  4. Gangguan / interferences perangkat elektrik di sekitarnya.
Artefak dapat menyulitkan interpretasi EKG. Penilaian klinis anak harus selalu diselaraskan dengan gambaran EKG sebelum pengobatan.

Irama abnormal
Prinsip pengobatan
Gangguan irama jantung pada anak harus segera mendapat penanganan bila disertai dengan penurunan curah jantung atau kecenderungan akan terjadi kolaps hemodinamik.
Curah jantung merupakan hasil dari perkalian isi sekuncup dan frekuensi denyut jantung. Penurunan curahjantung dapat disebabkan karena denyut jantung yang terlalu cepat dengan akibat tidak cukupnya pengisian darah pada waktu diastole yang selanjutnya akan menyebabkan isi sekuncup yang rendah, dan frekuensi jantung yang lambat.
Gangguan irama jantung yang spesifik memerlukan evaluasi akhli kardiologi anak. Tetapi gangguan irama jantung yang umum yang disertai dengan kolaps hemodinamik harus dapat dilakukan oleh setiap dokter.
Gangguan irama jantung dapat diklasifikasikan:
• Denyut nadi yang cepat = takiaritmia
• Denyut nadi yang lambat = bradiaritmia
• Tidak teraba denyut nadi = henti jantung (kolaps)
Irama yang lambat disertai dengan gangguan hemodinamik pada umumnya disebabkan oleh blok AV atau adanya penekanan terhadap nodus SA oleh karena
hipoksia dan asidosis. Pengobatan awal adalah memperbaiki jalan napas, ventilasi dan (golongan obat simpatomitetik)
Tidak teraba denyut nadi karena asistole, fibrilasi ventrikel, takikardia ventrikel tanpa denyut nadi atau aktivitas listrik tanpa denyut nadi seperti pada disosiasi elektromekanik.
 
Takiaritmia
Sinus takikardia
Sinus takikardia adalah denyut jantung melebihi nilai normal sesuai umur (Tabel 1).

Tabel 1. Denyut jantung normal pada anak

Penyebab sinus takikardia adalah demam, nyeri, kehilangan darah, sepsis, hipoksemia, dan syok.
Gambaran EKG pada sinus takikardia adalah (Gambar 5)
  • Denyut jantung lebih cepat dari denyut jantung normal sesuai usia
  • Iramanya teratur dengan gelombang P, gelombang P, QRS-T, dan lama QRS yang normal.
 
Gambar 5. Sinus takikardia pada anak demam (180 denyut permenit)

Pengobatan
Pengobatan ditujukan langsung terhadap penyebabnya.
 

Takikardia supraventrikular
Takikardia supraventrikular (SVT) ditandai dengan adanya perubahan frekuensi denyut jantung yang mendadak bertambah cepat. Walaupun SVT pada bayi dan anak umumnya masih dapat ditolerir, tetapi lambat laun dapat menyebabkan kolaps jantung dan akhirnya syok.
Gambaran EKG pada SVT (Gambar 6) adalah sebagai berikut:

  • Denyut jantung pada SVT tergantung umur anak. Pada bayi sekitar 240 kalipermenit atau lebih
  • Irama teratur kecuali adanya AV blok
  • Gelombang P sulit diidentifikasi terutama bila denyut jantung ventrikel cepat
  • Lama QRS normal (dibawah 0.08 detik) pada kebanyakan (90%) anak. SVT dengan konduksi aberasi (QRS yang lebar) sulit dibedakan dari takikardia ventrikel, tetapi bentuk seperti ini jarang dijumpai pada bayi dan anak.
  • Perubahan ST dan T merupakan tanda iskemik miokard bila takikardia menetap.

Gambar 6. gambaran SVT pada bayi (denyut jantung > 300 kali.menit)

Membedakan sinus takikardia yang ekstrim karena sepsis atau hipovolemik dengan SVT adalah sulit, keduanya bisa menyebabkan perfusi sistemik yang jelek, Beberapa hal yang membedakan antara sinus takikardia yang ekstrim dengan SVT antara lain adalah:
  1. Denyut jantung. Denyut jantung pada sinus takikardia selalu dibawah 200 kali/ min. sedangkan pada SVT pada bayi diatas 230 x/min.
  2. Gambaran EKG. Gelombang P sulit diidentifikasi pada sinus takikardia maupun SVT. Bila gelombang P dapat diidentifikasi, aksis dari gelombang P biasanya tidak normal pada SVT tetapi normal pada sinus takikardia.
  3. Variasi pada sinus takikardia kecepatan denyut dapat bervariasi tetapi pada SVT tidak. Biasanya SVT menghilang secara mendadak sedangkan pada sinus takikardia denyut jantung berkurang secara berangsur-angsur.
Pengobatan
Synchronized cardioversion
Direct current synchronized cardioversion merupakan pengobatan pilihan untuk pasien dengan takiaritmia yang disertai dengan gangguan kardiovaskular.
Dosis awal yang diberikan pertama kali 0,5 J/kg dan bila takiaritmia masih menetap dapat diulang dengan dosis dilipat gandakan. Jika tidak terjadi konversi ke irama sinus diagnosa SVT perlu ditinjau kembali, sinus takikardia biasanya akan menetap.
Prosedur melakukan synchronized cardioversion

  1. EKG dihubungkan ke defibrilator bila memakai alat tanpa monitor EKG langsung.
  2. Aktifkan sirkuit sinkron (adanya kedipan cahaya ditiap gelombang QRS dilayar monitor pada modul yang lama QRS harus berdiri tegak.
  3. Tombol harus ditekan dan dipertahankan sampai selesai syok (selama beberapa kompleks QRS).
Idealnya pada bayi dan anak harus diintubasi dengan ventilasi dan oksigen 100% sebelum kardioversi dan dipasang akses vaskular (vena atau intraosseus). Pemberian sedasi dan analgetika perlu dipertimbangkan, bila pasien disertai dengan syok kardioversi tidak boleh ditunda.
 
Adenosin.
Adenosin adalah obat pilihan pengobatan SVT pada bayi dan anak. Adenosin adalah suatu nukleosida endogen yang memblok transient AV blok.
Sementara untuk menghambat sirkuit reentery, termasuk jaringan junctional AV. Manfaat utama ednosin adalah waktu paruh yang singkat kurang dari 10 detik sehingga mengurangi efek samping dan relatif aman. Adenosin tidak berinteraksi dengan obat jantung lainnya dan bisa digunakan pada anak dengan sindrom Wolf Parkinson White dan gangguan irama lainnya. Pada bayi dengan SVT dan syok, pemakaian adenosin bisa diberikan sebelum kardioversi bila telah dipasang akses vaskular, tetapi kardioversi harus segera diberikan bila akses vaskular tidak ada / terpasang.
Dosis: 0,1 mg/kg bolus secara cepat dengan pemantauan EKG. Karena waktu paruhnya sangat cepat maka harus cepat dibilas dengan 2-3 mg garam fisiologis. Bila belum ada respons dapat diulang setiap 2 menit sampai dosis maksimum tidak melebihi 12 mg.
 
Verapamil.

Verapamil adalah anatagonis kalsium, efek antiaritmia verapamil melalui perlambatan konduksi dan pemanjangan masa refrakter di jaringan AV. Verapamil mempunyai efek inotropik negatif dan menyebabkan depresi miokard yang serius.
Telah dilaporkan bahwa pada pemberian verapamil dapat menyebabkan bradikardia, hipotensi dan asistole. Verapamil tidak boleh diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, gagal jantung ,dan anak yang telah mendapat obat golongan badrenergik.
Dosis verapamil : 0,1-0,2 mg/kg selama 10 menit kemudian dilanjutkan 5 μg/ kg/menit.


Takikardia ventrikular 
Takikardia ventrikular (VT) sangat jarang dijumpai pada anak. Denyut ventrikel bervariasi dari mendekati normal sampai diatas 400 kali permenit. Denyut ventrikel yang lambat dapat ditoleransi dengan baik, tetapi denyut ventrikel yang cepat akan mengurangi isi sekuncup, curah jantung serta cepat memburuk menjadi fibrilasi ventrikel.
Umumnya anak dengan VT mempunyai kelainan struktural jantung atau sindrom perpanjangan QT. Penyebab lainnya adalah hipoksemia, asidosi, gangguan elektrolit, keracunan obat seperti anti depresi golongan trisiklik. 
Gambaran EKG pada VT (Gambar 7) adalah sebagai berikut:
  • Denyut ventrikel minimal 120 kali permenit dan teratur
  • QRS lebar lebih dari 0,08 detik
  • Gelombang P tidak dapat diidentifikasi. Bila ada tidak berhubungan dengan QRS (disosiasi AV). Denyut melambat, depolarisasi atrium secara retrograde dengan perbandingan 1:1.
  • Gelombang T berlawanan arah dengan QRS
  • Mungkin sulit membedakan SVT dengan kondusi aberans dari VT. Untungnya SVT dengan konduksi aberans pada anak dijumpai sangat sedikit (dibawah 10%).

Gambar 7. Gambar EKG takikardia ventrikular


Pengobatan
VT tanpa teraba nadi ditanggulangi seperti fibrilasi ventrikel. Bila VT dengan tanda-tanda syok (curah jantung yang rendah, perfusi yang jelek) tetapi nadi teraba, dilakukan “synchronized cardioversion: Idealnya pasien telah diintubasi dengan pemberian oksigen 100%, ventilasi yang adekuat, pasang akses vaskular dengan sedasi dan analgesi yang adekuat.
Bila penyebab VT diketahui (misal gangguan elektrolit atau keracunan obat) harus diobati penyebabnya.
 
Lidokain. 
Digunakan untuk menaikkan ambang rangsang dari fibrilasi ventrikel dan menekan ektropik ventrikel paska kardioversi, jadi harus diberikan sebelum kardioversi jika terpasang akses vaskular dan obat tersedia. Dosis awal 1 mg/kg selama 2 menit dan dilanjutkan dengan drip 20-50 mg/kg/menit. Kardioversi pada anak tidak boleh ditunda pada anak yang tidak stabil dan drip lidokain harus ditinjau kembali setelah timbul sirkulasi spontan terutama bila penyebabnya adalah miokarditis atau kelainan struktur jantung.
Kadar lidokain yang berlebihan di dalam plasma dapat menekan miokard dan gangguan sirkulasi dengan gejala dari susunan saraf pusat berupa mengantuk, disoriantasi, dan kejang. Bila ada gangguan klirens lidokain seperti kegagalan jantung kongestif, dosisnya harus dikurangi maksimum 20 mg/kgBB/menit.
 
Bretylium tosylate
Tidak ada data mengenai penggunaan bretylium tosylate pada kelompok usia anak.
 
Bradiaritmia
Hipoksemia, hipotensi dan asidosis akan menganggu fungsi normal dari nodus SA dan nodus AV dan akan memperlambat konduksi melalui jaras (pathway) yang normal. Sinus bradikardia, henti nodus sinus dengan irama junctional yang lambat atau irama ventrikel escape dengan berbagai derajat AV blok sering dijumpai pada anak dengan gangguan irama terminal.
Gambaran EKG pada bradiaritmia adalah sebagai berikut :

  • Denyut jantung yang lambat
  • Gelombang P yang kadang-kadang sulit dinilai
  • Gelombang QRS yang normal atau memanjang.
Pengobatan
Bila resusitasi kardiopulmonal diperlukan maka evaluasi spesifik terhadap bradiaritmia tidak diperlukan. Bradikardia (frekuensi denyut jantung < 60 x/menit) pada bayi dan anak yang disertai dengan perfusi perifer yang buruk perlu mendapat penanganan walaupun dengan tekanan darah normal. Pemberian oksigen 100% dengan ventilasi yang adekuat, kompresi dada dan pemberian epinefrin serta atropin dapat dipakai seperlunya.
 
Epinefrin
Merupakan obat golongan inotropik derivat katekolamin yang menstimulasi reseptor a dan b. stimulasi b reseptor akan meningkatkan kontraksi miokard dan denyut jantung. Pemberian dosis awal epinefrin secara intravena atau intraoseus yang telah direkomendasikan untuk bradikardia simptomatik tidak respons dengan ventilasi dan pemberian oksigen 100% maka epinefrin diberikan dengan dosis 0,01 mg/kgBB dengan perbandingan 1: 10.000 (0,1 ml/kg). Dosis yang diberikan melalui endotrakeal tube 0,1 ml/kgBB dengan perbandingan 1: 1000 (0,1 ml/kg) yang diencerkan dengan 3-5 ml.


Atropin sulfat
Merupakan obat golongan para simptolitik yang dapat mempercepat sinus dan atau pacu jantung atrial dan mempercepat konduksi AV. Atropin sulfat hanya digunakan untuk penanganan bradikardia setelah ventilasi dan oksigenasi adekuat tidak memberikan respons. Umumnya bradikardia disebabkan karena hipoksemia.
Atropin juga digunakan untuk penanganan bradikardia karena refleks vagal selama intubasi bila oksigenasi baik. Walaupun digunakan untuk bradikardia dengan tanda syok secara klinis (perfusi yang jelek atau hipotensi), pada keadaan ini pemberian epinefrin lebih efektif. Bradikardia yang simptomatik dengan AV blok dapat diatasi dengan atropin.
Dosis vagolitik atropin yang dipakai adalah adalah 0,02 mg/kgBB, dosis minimal 0,1 mg dan dosis tunggal maksimal pada anak 0,5 mg . Atropin dapat diulang setelah 5 menit dengan pada anak 1,0 mg . Dosis intravena ini bisa juga diberikan melalui endotrakeal tube, walaupun penyerapan ke dalam sirkulasi melalui jalan ini tidak dapat dipercaya. Dosisnya 2 sampai 3 kali lebih tinggi dari dosis intravena.
Takikardia setelah pemberian atropin biasanya berupa sinus takikardia dan dapat ditoleransi dengan baik.
 
Henti nadi
Henti nadi adalah diagnosis klinis, tidak teraba nadi setelah henti napas. Bisa karena asistole, fibrilasi ventrikel atau aktivitas listrik tanpa denyut nadi (termasuk disosiasi elektromekanik).
 
Asistole
Henti nadi karena aktifitas listrik jantung perlu dikonfirmasikan secara klinis (henti nadi, henti pernapasan spontan, perfusi yang jelek) dimana garis yang datar bisa disebabkan oleh lepasnya lead EKG. Gambar EKG pada asitole (Gambar 8)
• Gambar datar di layar monitor EKG
• Gelombang P kadang-kadang terlihat
 
 Gambar 8. Gambar EKG pada asistole
 
Pengobatan
Dilakukan resusitasi

Fibrilasi ventrikel
Fibrilasi ventrikel disebabkan karena depolarisasi ventrikel yang kacau, tidak teratur karena getaran miokard tanpa kontraksi, tanpa sistole ventrikel sehingga nadi tidak teraba. VF adalah keadaan terminal yang tidak biasa dijumpai pada kelompok usia anak dan hanya 10% terjadi pada anak dengan gangguan irama terminal. Hasil resusitasi VF lebih baik daripada asistol atau disosiasi elektromekanikal.
Penanganan pertama pada bayi dan anak tanpa denyut nadi adalah ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dan dilakukan kompresi dada luar. Dilakukan defibrilasi bila VF dikonfirmasikan dilayar monitor EKG. Penanganan VT tanpa denyut nadi sama seperti VF.
Gambaran EKG pada fibrilasi ventrikel (Gambar 9)

  • Tidak bisa diidentifikasi gelombang P, QRS atau T
  • Gelombang VF yang kacau dan diklasifikasikan berdasarkan tingginya gelombang atas kasar atau halus.
Gambar 9. Gambaran EKG pada fibrilasi ventrikel kasar (Chaotic)
Pengobatan
Defibrilasi
Merupakan pengobatan definitif dari VF atau VT tanpa denyut nadi, tetapi defibrilasi tidak diindikasikan pada asistol. Ventilasi dengan oksigen 100% dan kompresi dada diteruskan sampai akan dilakukan defibrilasi. Idealnya telah dipasang akses vaskular, tetapi tidak sampai menunda tindakan defbrilasi untuk mendapatkan akses vaskular.
Defibrilasi adalah depolirsasi massa sel miokard kritis yang tidak dibatasi waktu (asinkron) sehingga terjadi depolarisasi spontan miokard yang teratur. Jika depolarisasi yang teratur tidak kembali ,VF akan berlanjut menjadi garis datar, pada saat ini tidak mungkin mengembalikan kegiatan aktifitas spontan jantung.
Berhasilnya defibrilasi memerlukan arus listrik yang cukup mencapai jantung. Aliran arus ini tergantung pada energi yang diberikan (Joule) dan tahanan transtoraks (Ohm) yang bisa menahan aliran arus. Bila tahanan transtoraks tinggi maka dibutuhan lebih banyak energi untuk mendapatkan arus yang cukup sehingga defibrilasi atau kardioversi berhasil. Faktor yang mempengaruhi tahanan transtoraks
adalah energi yang diberikan, ukuran elektroda, jumlah syok, interval antar syok, fase ventilasi, ukuran dada dan tekanan pedal elektroda.
 
Dosis energi
Dosis energi yang optimal untuk defibrilasi pada bayi dan anak belum didapatkan.Informasi yang ada tidak mendemonstrasikan hubungan dosis energi dengan berat badan. Dosis awal 2 J/kg BB sampai didapati data yang lebih lanjut. Untuk meminimalkan tahanan transtoraks, operator harus menekan kuat pedal elektroda
selama defibrilasi. Jika VF menetap setelah defibrilasi 2 J/kgBB, energi bisa dilipat gandakan 4 J/kg BB . Pada defibrilasi kedua jumlah arus yang mencapai jantung akan meningkat, karena tindakan pertama akan mengurangi tahanan transtoraks. Pada defibrilasi ketiga bila masih diperlukan tetap dengan energi 4 J/kgBB. Tiga kali syok harus dilakukan secepatnya dan berurutan.
VF yang menetap memerlukan pengobatan tambahan dengan epinefrin, lidokain atau bretylium dengan interval tiap dosis 30-60 detik setelah defibrilasi (4J/kgBB). Jika VF berhasil diterminasi tetapi berulang, dilakukan defibrilasi ulang dengan energi yang paling akhir.
 
Ukuran pedal
Ukuran pedal ditentukan oleh tahanan transtoraks, yang paling besar lebih merendahkan tahanan. Pedal yang sebaiknya ukuran yang paling besar sehingga memungkinkan kontak yang baik oleh seluruh permukaan pedal dengan jarak kedua yang baik. Pedal bayi (4,5 cm) digunakan sampai usia setahun atau berat badan diatas 10 kg.Pedal dewasa (8-13 cm) untuk anak diatas setahun atau berat badan diatas 10 kg.
 
Antar permukaan elektroda
Kulit merupakan penghambat antara elektroda pedal dan jantung, yang merendahkan tahanan antara permukaan (seperti krim atau pasta elektroda, bantuan busa yang dibasahi NaCl 0,9%) dapat direkomendasikan. Gel untuk sonografi tidak diperbolehkan. Bantalan yang ada alkohol berisiko luka bakar yang serius dan pedal tanpa perantara menyebabkan tahanan dada yang besar.
Perantara antar permukaan dari pedal yang satu (misalnya cairan NaCl 0,9% dan bantalan yang dibasahi NaCl 0,9%) tidak boleh kontak dengan elektroda lainnya karena bisa terjadi jembatan listrik. Bila ini terjadi ada sirkuit pendek yang jumlah arusnya tidak adekuat melintas kejantung. 
 
Posisi elektroda
Elektroda pedal ditempatkan sedemikian rupa sehingga jantung berada diantaranya. Posisi elektroda anteriorposterior dengan satu elektroda di depan dada diatas jantung dan satu lagi di belakang , secara teoritis lebih superior tetapi tidak praktis selama resusitasi jantung paru. Posisi elektroda standar, satu pedal ditempatkan didada kanan atas dibawah klavikula dan lainnya disebelah kiri dari puting susu
kiri di linea axilaris anterior. Posisi elektroda bayangan cermin untuk pasien dekstrokardia.
 
Keamanan
Defibrilasi berpotensi bahaya bagi operator dan orang sekitarnya yang kontak dengan arus listrik. Orang yang melakukan harus selalu memberitahukan akan dimulainya tindakan defibrilasi, sebelum tindakan defibrilasi orang yang menekan tombol defibrilator harus menyebutkan dengan jelas dan keras : setelah hitungan ketiga “saya bebas” satu “ saya bebas”, dst.
Operator mengecek kembali, memastikan tidak ada kontak dengan pasien termasuk tenaga medis yang melakukan ventilasi dengan kompresi.
Semua tangan harus menjauhi dari semua peralatan yang kontak dengan pasien termasuk endotrakeal tube, kantong ventilasi dan cairan intravena. Akhirnya operator menyebutkan tiga semua bebas dan melakukan defibrilasi.
 
Percobaan defibrilator
Pada bayi diperlukan dosis yang sangat kecil, energi yang disimpan dan energi yang dihasilkan oleh defibrilator mungkin jelas berbeda. Defibrilator perlu diperiksa secara periodik untuk keamanan dan ketepatan:
 
Urutan defibrilasi
Jika terlihat VF dilayar monitor :

  1. Ventilasi dengan oksigen 100% dan kompresi dada terus menerus tanpa henti
  2. Berikan perantara konduktif dipedal bayi (usia pasien dibawah atau sama dengan setahun) atau pedal dewasa (usia pasien diatas setahun)
  3. Hidupkan defibrilator, jangan aktifkan modus sinkron
  4. Tentukan dosis energi dan isi kapasitor
  5. Hentikan kompresi dada dan letakkan pedal pada posisi yang tepat didada.
  6. Memeriksa kembali irama jantung dilayar monitor
  7. Jauhkan orang sekitarnya jangan sampai ada kontak denganpasien, tempat tidur atau peralatan
  8. Tekan pedal yang kuat dan pada waktu bersamaan tekan tombol defibrilasi
  9. Evaluasi EKG
Disosiasi elektromekanik
Disosiasi elektromekanik (EMD) adalah aktivitas listrik tanpa denyut nadi, ditandai oleh adanya aktivitas listrik yang teratur di EKG tetapi curah jantung tidak adekuat dan nadi tidak teraba. Penyebabnya bisa hipoksemia, asidosis berat, hipovolemia, pneumotoraks dan tamponade pericardial. Penyebab lainnya hipokalemia, hipertermia dan keracunan obat (termasuk kelebihan dosis antidepresan trisiklik, penghambat b). hasil aktif dari EMD adalah jelek, kecuali penyebab spesifik cepat diidentifikasi dan ditangani. Kompresi dada, hiperventilasi dengan oksigen 100%, intubasi dan pemberian epinefrin dan sambil mencari penyebab EMD. 



“Pacing noninvasive” (melalui kulit)
Penggunaan “noninvasive transcutaneus pacing” sudah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu pada pasien dewasa dengan bradikardia dan asistol, sedangkan pengalaman pada anak sangat terbatas. Karena pacing ini sangat tidak menyenangkan maka hanya digunakan pada anak dengan bradikardia simptomatik yang berat yang refrakter terhadap bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut. Pacing melalui kulit tidak
efektif memperbaiki angka harapan hidup pada anak dengan henti jantung diluar rumah sakit.
Pacing noninvasive dengan unit eksternal pacing mempunyai dua elektroda besar yang bisa menempel. Bila berat badan anak dibawah 15 kg maka dipakai elektroda kecil atau sedang, diatas 15 kg dipakai elektroda dewasa.
Elektroda negatif ditempatkan didinding dada depan atas jantung dan elektroda positif belakang jantung. Bila tidak bisa dipunggung, elektroda positif ditempatkan didinding dada depan sebelah kanan bawah klavikula dan elektroda negatif pada sisi kiri dada sekitar ruang interkostal IV, diatas mid-aksilaris.
Penempatan elektroda negatif yang tepat tidak diperlukan sebaiknya ditempatkan dekat apeks dari jantung.
 
 
REFERENSI
  1. Cameides L and Hazinski MF. Pediatric advanced life support, AHA 1997-1999.
  2. Gillete; Garson. Pediatric arrhytmia: electrophysiology and pacing edisi ke 1 (WB. Saunders, Toronto 1990).
  3. Kugler JD; Danvord DA. Management of infants, children and adolescent with praxysmal supraventriculer trachycardia J. Peditr. 129:324-38.
  4. McLaughin GE; Schlein CL. Cardiac emergencies. Dalam Nichols DG, et all. Golden hour the handbook of advanced pediatric life support, edisi ke-2, hal 157-195. (Mosby, Toronto, 1991)
  5. Perry JC, Walsh EP. Diagnosis and management of cardiac arrhytmias. Dalam Chang AC , et all. Pediatric cardiac intensive care, edisi ke-1. Hal 461-480. (William & Wilkins) Baltimore 1998).
  6. Swedlow DB, Raphaely RC. Cardiovasculer problem in pediatric critical care, edisi ke-1. (Churchill Livingstone, New York, 1986).
  7. Shann F, Drug doses, edisi ke-10 (Victoria, Australia 1998).


Sumber :
Kumpulan materi pelatihan resusitasi pediatrik tahap lanjut