Senin, 02 Januari 2012

Penaganan Nyeri Paska Bedah


1.  PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri merupakan hal yang terpenting dalam penanganan nyeri pasca bedah karena dapat digunakan untuk :
  • Menilai intensitas nyeri pasien pasca bedah
  • Menentukan pilihan terapi bagi pasien pasca bedah
  • Menentukan efektifitas terapi nyeri pasca bedah yang telah diberikan.
 Hal–hal yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan penilaian nyeri pasca bedah :

  1. Penilaian nyeri perlu dilakukan dalam keadaan istirahat dan bergerak ( Rest and Movement pain )
  2. Penilaian nyeri perlu dilakukan sebelum dan sesudah terapi diberikan untuk melihat efektifitas terapi
  3. Penilaian di PACU atau ICU dapat dilakukan sesering mungkin sampai nyeri dapat dikelola dengan baik dan dipertahankan ( 15 – 30 menit pada awal pemberian dan dilanjutkan setiap 1 – 2 jam sampai intensitas nyeri telah menurun
  4. Penilaian nyeri di bangsal perlu dilakukan secara regular setiap 4 – 8 jam untuk melihat keberhasilan terapi yang  telah diberikan dan respon pasien terhadap terapi (efek samping dan komplikasi teknik penanganan nyeri )
  5. Nyeri dan respon pasien termasuk nyeri dan komplikasi perlu dicatat dalam form status APS untuk dijadikan acuan dalam penatalksanaan selanjutnya
  6. Keluarga pasien dapat berperan dalam penilaian nyeri terutama pada pasien khusus seperti anak-anak dan pasien geriatrik.


Beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai intensitas nyeri pasien pasca bedah
1.  Verbal Rating Scale
Pasien ditanyakan tentang intensitas nyeri yang dirasakan dengan skala “tidak nyeri” – “nyeri ringan“ – “ nyeri sedang“ – “nyeri hebat“ – “nyeri sangat hebat“ 

















Gambar 1. Verbal Rating Scale

2.  Numerical Rating Scale
Nyeri Paling  Hebat Pasien ditanyakan tentang intensitas nyeri yang dirasakan dengan menggunakan skala angka dari “0” sampai “10”  untuk menggamb arkan nyerinya dimana ‘0” berarti tidak nyeri sedangakan “10” berarti nyeri yang paling hebat


 Gambar 2. Numerical Rating Scale

3. Visual Analogue Score
Penilaian berupa garis lurus sepanjang 100 mm ( 10 cm ) dimana pasien diminta untuk menunjukkan letak intensitas nyeri pada suatu garis lurus yang dimulai dengan “ tanpa nyeri “ sampai pada akhir garis yang berarti “nyeri sangat hebat”

Gambar 3. Visual Analog Score

4. Wong-Baker Faces Pain Scale
Merupakan skala bergambar ekspresi wajah dari ekspresi senyum atau gembira sampai ekspresi menangis yang menunjukkan nyeri yang sangat hebat. Pasien dapat menentukan sendiri gambaran ekspresi dari skala untuk menggambarkan intensitas nyeri yang dialami.
 
 Gambar 4. Wong-Baker Faces Pain Scale


2.  EDUKASI PASIEN
Pemberian informasi kepada pasien tentang nyeri pasca bedah dan penanganannya akan memberikan dampak yang baik dalam penanganan nyeri, sehingga pasien dapat mempunyai harapan yang realistik tentang penanganan nyeri yang diberikan ( nyeri teratasi , bukan tanpa nyeri sama sekali ).
Informasi yang dapt diberikan termasuk :
  1. Pentingnya penanganan nyeri pasca bedah
  2. Metode – metode yang dapat dilakukan untuk penanganan nyeri pasca bedah
  3. Rutinitas penilaian nyeri
  4. Optimal intensitas nyeri yang dapat ditoleransi oleh pasien
  5. Partisipasi pasien dalam penanganan nyeri pasca bedahnya.

3.  PILIHAN TEKNIK PENANGANAN NYERI PASCA BEDAH
a.  BALANCED ANALGESIA
Balanced Analgesia (Multimodal  Analgesia) menggunakan dua atau lebih obat analgesia yang bekerja pada mekanisme yang berbeda untuk mendapatkan efek analgesia yang superior tanpa efek samping yang berarti bila dibandingkan dengan pemberian obat tunggal dengan dosis yang  besar. Beberapa contoh dari balanced analgesia adalah 1) Kombinasi opioid epidural dengan lokal anestetik epidural ; 2 ) kombinasi intravena opioid dengan NSAIDs yang mempunyai “sparing effect “ terhadap efek sistemik opioid.
Balanced analgesia sebaiknya menjadi pilihan pada penanganan nyeri pasca bedah bila memungkinkan sesuai dengan jenis operasi dan kondisi pasien. Parasetamol dan NSAIDs  menjadi obat utama pada nyeri pasca bedah dengan intensitas ringan sementara opioid dan atau teknik anestesi lokal dapat digunakan untuk intensitas nyeri sedang (moderate pain ).


  Tabel 2. Pilihan analgesik untuk nyeri pasca bedah
Non-opioid analgetik
Paracetamol
NSAIDs, including COX-2 inhibitors
Gabapentin, pregabalin
Opioid lemah
Codeine
Tramadol
Paracetamol combined with codeine or tramadol
Opioid kuat
Morphine
Fentanyl
Pethidine
Adjuvant
Ketamine
Clonidine


  Tabel 2.1. Morfin

Morfin
Pemberian
1. Intravena
2. Subkutan dengan infus kontinyu atau bolus intermit tent
3. Intramuskuler (tidak disarankan sehubungan dengan nyeri yang dapat ditimbulkan. 5-10mg tiap 3-4 jam).
Dosis :

IV/PCA
Bolus: 1-2 mg, lockout 5-15menit (umumnya 7 - 8 menit), tidak ada kecepatan basal
Subkutan
0,1 - 0,15 mg/kg tiap 4-6jam, yang berdasarkan atas hubungannya dengan skor nyeri  dan frekuensi nafas
Pemantauan
Skor nyeri, sedasi, frekuensi nafas, efek-efek samping
Keterangan
Efek-efek samping seperti mual, muntah sedasi dan apnu
Tidak ada lagi pemberian opioid atau sedative

  Tabel 2.2. Kodein
Kodein
Pemberian
Oral
Dosis :
3mg/kg/hari dikombinasi dengan paracetamol. Tablet kodein yang dibutuhkan minimal sebesar 30mg
Pemantauan
Skor nyeri, sedasi, efek-efek samping
Keterangan
Kerja analgetik tampaknya berdasarkan konversinya menjadi morfin, dimana tampak tidak memberi manfaat pada sejumlah kecil pasien sehubungan dengan tidak adanya enzim converting

  Tabel 2.3. Tramadol
Tramadol
Pemberian
1. Intravena : injeksikan dengan perlahan (risiko tinggi terjadinya mual-muntah)
2.  Intramuskuler
3.  Pemberian secara per-oral sesegera mungkin
Dosis :
50-100 mg tiap 6 jam, atau kontinyu 10 – 40 mg/jam
Pemantauan
Skor nyeri, sedasi, frekuensi nafas, efek-efek samping
Keterangan
Tramadol mengurangi reuptake serotonin dan norepinephrine dan merupakan agonis opioid lemah.
Sehubungan dengan efisiensi analgetiknya, 100mg tramadol sebanding dengan 5-15mg morfin.
Obat-obat sedatif dapat mengakibatkan efek additive

  Tabel 2.4. Kombinasi kodein + paracetamol
Kombinasi kodein + paracetamol
Pemberian
Oral
Dosis :
Paracetamol 500mg + kodein 30mg.
4x1g paracetamol/hari
Pemantauan
Skor nyeri, sedasi, efek-efek samping
Keterangan
Kerja analgetik tampaknya berdasarkan konversinya menjadi morfin

  Tabel 2.5. NSAIDs
NSAIDs
Pemberian
1. Intravena: pemberian harus dimulai setidaknya 30-60 menit sebelum pembedahan berakhir.
2.  Pemberian secara peroral dimulai sesegera mungkin
     Durasi: 3-5 hari.
Dosis :
1.  NSAIDs konvensional antara lain:
Ketorolac: 3x30-40mg/hari (hanya sediaan intravena)
Diclofenac: 2x75mg/hari
Ketoprofen: 4x50mg/hari
2.  NSAIDs selektif :
COX-2 inhibitor saat ini dapat digunakan untuk penatalaksanaan nyeri pasca bedah. Efeknya sebanding dengan ketorolac namun memiliki efek samping terhadap saluran cerna yang kecil.
Antara lain :
Parecoxib: 40mg dilanjutkan dengan 1-2 x 40mg/hari (sediaan iv) atau celecoxib: 200mg/hari.
Meskipun demikian, terdapat perbedapatan sehubu ngan dengan risiko kardiovaskuler yang dapat ditimbulkan pada pasien - pasien dengan atherosclerosis.
Pemantauan
Skor nyeri
Fungsi ginjal pada pasien dengan penyakit ginjal atau kardiovaskuler, pasien umur tua, atau pasien dengan riwayat episode hipotensi berat.
Efeksamping terhadap saluran cerna. NSAIDs non selektif dapat dikombinasikan dengan proton pump inhibitor (mis. Omeprasol) pada pasien dengan risiko gangguan saluran cerna.
Keterangan
Dapat ditambahkan sebagai premedikasi
Dapat digunakan bersama dengan paracetamol dan/atau opioid atau analgesia lokal-regional untuk penanganan nyeri sedang hingga berat.


  Beberapa kombinasi balans analgesia
  1. Pethidine 50mg dalam NSS 500ml drips intravena dalam 8 jam dikombinasikan dengan  NSAIDs intravena (parecoxib 2x40mg, ketorolac 3x30mg, metamizol 3x1g, deksketoprofen 3x50mg).
  2. Tramadol 100mg dalam NSS 500ml drips intravena dalam 8 jam dikombinasikan dengan  NSAIDs intravena (parecoxib 2x40mg, ketorolac 3x30mg, metamizol 3x1g, deksketoprofen 3x50mg).

b.  EPIDURAL ANALGESIA
Menggunakan teknik regional epidural dengan meletakkan kateter epidural dan memberikan obat – obat anestetik lokal, opioid dan adjuvant lainnya pada masa pasca bedah baik secara intermittent maupun kontinyu
Penentuan letak kateter epidural terutama ditentukan oleh jenis operasi dan insisi bedah dengan prinsip bahwa letak kateter epidural berada pada bagian tengah dari segmen dermatom insisi bedah.

          Tabel 3 Penentuan letak kateter epidural untuk penanganan nyeri pasca bedah
High to mid thoracic
(antara  T5-T8)
Bedah thoraks
Bedah abdomen atas (esophagectomy, gastric, open chole, pancreas)
Mid to Low thoracic
(antara  T8-T12)
Bedah abdomen bawah (colectomy)
Nephrectomy
Low thoracic to high lumbar
(antara T10 – T12)
Bedah abdomen bawah
Bedah pelvis (hysterectomy, radical prostectomy)
Lumbar
(antara L1 – L4)
Seluruh prosedur ekstremitas bawah
Bedah panggul

Beberapa regimen kombinasi anestetik lokal dan opioid dapat diberikan melalui kateter epidural  secara intermitten maupun kontinyu dengan menggunakan syringe pump.
Pemberian opioid terutama memperhatikan jenis opioid yang digunakan :
  • Opioid lipofilik : fentanyl, meperidine yang mempunyai onset kerja yang cepat namun terbatas dalam durasi kerja dan berefek segmental
  • Opioid hidrofilik : morphine yang mempunyai onset kerja yang lambat namun dengan durasi kerja yang panjang dan berefek pada dermatom yang lebih luas
Obat anestetik lokal yang digunakan adalah anestetik lokal kerja panjang seperti bupivacaine , levobupivacaine dan ropivacaine dengan pengenceran sampai konsentrasi 0.0625 % - 0.2 % yang tidak mempunyai pengaruh pada kemampuan motorik  otot.

  Tabel 4Beberapa kombinasi opioid–anestetik lokal untuk epidural pasca bedah  
Konsentrasi opioid
Konsentrasi anestetik local
Morphine 50 mcg/ml
Fentanyl 2-5mcg/ml
Meperidine 2mg/ml
Bupivacaine 0.0625 - 0.125 %
Levobupivacaine 0.0625 - 0.125 %
Ropivacaine 0.1 – 0.2 %

  Tabel 5. Regimen epidural untuk pemberian kontinyu
Kombinasi obat
Konsentrasi
Laju / jam
Dosis “breakthrough“
Peningkatan dosis pada saat breakthrough
Bupivacaine atau
Levo-bupivacaine
Fentanyl
0,0625 – 0,125 %
1 – 10 mcg/ml
0,1 – 0,15      ml/kg/jam
1 – 1,5 ml
Diulang setelah 10-15 mnt
1 ml
Bupivacaine atau Levo-Bupivacaine
Morphine
0,0625 – 0,125 %
0,01 –0,02 mg/ml
4 – 10 ml /jam
1 -2 ml
Diulang setelah 10-15 mnt
1 ml
Ropivacaine
Fentanyl
0,1 – 0,2 %
1 – 10 mcg/ml
0,1 – 0,15 ml/kg/jam
1 – 1,5 ml
Diulang setelah 10-15 mnt
1 ml
Ropivacaine
Morphine
0,1 – 0,2 %
0,01–0,02 mg/ml
4-10
ml/jam
1 – 2 ml
Diulang setelah 10-15 mnt
1 ml
Jika pasien mengalami efek samping berupa sedasi perlu dipertimbangkan mdosis maksimal opioid dalam sejam : morphine  < 0,5 mg/jam ,  fentanyl < 100 mcg/jam , pethidine < 20-25 mg/jam

  Tabel 6. Regimen epidural untuk pemberian intermittent
Kombinasi obat
Dosis pemberian
Interval pemberian
Bupivacaine atau Levobupivacaine  0,1 – 0,125 %
Fentanyl  20-30 mcg
6 – 10 ml

4 – 6 jam
Bupivacaine atau Levobupivacaine  0,1 – 0,125 %
Pethidine  20-30 mg
6 – 10 ml
6 – 8 jam
Bupivacaine atau Levobupivacaine  0,1 – 0,125 %
Morphine 1 - 4 mg *
6 – 10 ml
12 - 18 jam
*disesuaikan dengan umur pasien

Penatalaksanaan analgesia dan efek samping epidural analgesia
  1.     Analgesia inadekuat
  • Berikan  bolus dari syringe pump. Bila tidak menggunakan syringe pump pada pemberian intermittent maka berikan larutan lokal anestetik ditambah fentanyl 25 – 50 mcg melalui kateter epidural
  • Pertimbangkan untuk meningkatkan kecepatan infus continue atau meningkatkan konsentrasi bupivakain atau mengganti opioid ke yang lebih hidrofilik
  • Jika pasien tetap merasakan nyeri meskipun telah mendapatkan dosis awal , cek tempat insersi kateter epidural. Bila tampak baik maka berikan lagi bolus lagi atau menambahkan Fentanyl  50 mcg dalam NSS pada kateter daerah lumbal atau 25 – 50 mcg pada kateter  torakal. Bila analgesia tetap tidak adekuat maka lakukan tes kateter dengan anestesi lokal dengan lidokain 2% atau bupivacain 0,25% 4-5ml untuk kateter lumbal atau 2-3ml untuk kateter torakal. Antisipasi hipotensi yang mungkin terjadi.
  • Jika pasien hipotensi namun mengeluh nyeri maka berikan bolus opioid saja. Sementara pasien yang mengantuk (tanda-tanda sedasi) namun mengeluhkan nyeri maka berikan bolus hanya anestesi lokal.
  • Jika kateter tidak pada posisi yang benar dan kemungkinan berada di daerah subkutan, ganti kateter epidural atau berikan alternatif analgesia secara sistemik: pethidin, fentanyl, parecoxib, tramadol.

  2.   Efek Samping
 a.  Sedasi dan Depresi nafas
  • Perlu direspon dengan cepat bila terjadi efek sedasi. Hentikan syringe pump dan persiapkan alat-alat bantu nafas (ambu bag dengan masker) serta obat-obatan seperti naloxon. Sementara menunggu tim APS mintalah perawat untuk tetap berada di samping pasien, menggerakkan pasien dan meminta pasien untuk bernafas dalam. Observasi tanda vital dan penanganan jalan nafas dilakukan bila diperlukan.
  • Aspirasi kateter epidural untuk menyingkirkan kemungkinan migrasi ke intratekal atau intravaskular.
  • Bila terjadi perubahan status mental seperti kebingungan, singkirkan hipoksia ataupun hipotensi.
  • Jika pasien tertidur maka pikirkan kemungkinan terjadinya kelebihan dosis opioid perjam sehingga perlu dipikirkan untuk menurunkan laju infus atau konsentrasi opioid dalam larutan.
  • Bila terjadi depresi nafas ( < 8 x/mnt atau SpO2 < 92% ) maka dapat diberikan terapi suportif jalan nafas dan pernafasan disertai pemberian naloxon 1-2 mcg/kg secara pelan ( 1-2 menit )  dan dapat diulang setiap 3-5 menit sampai efek depresi nafas teratasi. Monitoring pasca pemberian nalokson perlu dilakukan mengingat efek kardiopulmonal yang mungkin terjadi ( ventricular takikardia dan udem paru )
b.  Gangguan motorik ekstremitas bawah
           i.  Hal ini biasanya berhubungan dengan perubahan letak kateter di dalam ruang epidural
  • Singkirkan kemungkinan migrasi intratekal
  • Tarik kateter 0,5-1cm
  • Jika rasa keram tetap ada maka turunkan konsentrasi anestesi lokal atau hentikan penggunaan anestesi lokal dalam larutan
         ii. Semua keluhan rasa keram perlu dicatat dan apakah penghentian anestesi lokal via epidural dapat mengurangi keram yang terjadi

c.   Pruritus
  • Berikan Benadryl 12,5-25mg/iv atau oral setiap 4 jam bila dibutuhkan. Obat ini dapat memberikan efek sedasi.
  • Jika Benadryl tidak efektif maka pertimbangkan memberikan naloxon dosis rendah secara drips 20-60mcg/jam.
  • Jika pasien tidak mengeluhkan nyeri namun mengeluhkan pruritus kurangi kecepatan infus 2ml dan nilai pasien kembali sebelum memberikan naloxon.
d.   Mual dan Muntah
  • Pemberian antiemetic (metoklopramid 10mg/iv, ondansetron 4mg/iv).
  • Pertimbangkan mengurangi dosis opioid setelah menyingkirkan penyebab lain, seperti hipotensi.
e.   Hipotensi
  • Menjamin hidrasi yang adekuat dan pengantian cairan bila diperlukan.
  • Penurunan tekanan darah 20% dari tekanan darah basal maka perlu disingkirkan penyebab lain selain efek anestetik lokal.
  • Penggunaan larutan opioid tunggal atau menurunkan konsentrasi anestetik lokal serta rehidrasi perlu dilakukan bila terjadi hipotensi akibat epidural analgesia.

          3.  Beberapa komplikasi epidural analgesia yang perlu diperhatikan
a.     Abses epidural
  • Menilai dan mengevaluasi daerah insersi kateter epidural setiap hari (sebaiknya tiap 8 jam) terhadap tanda-tanda terjadinya infeksi seperti nyeri, eritema, pembengkakan atau adanya darinase.
  • Menilai tiap perubahan motorik maupun sensorik tiap 4 jam termasuk didalamnya nyeri pungggung, demam, gangguan BAB dan BAK atau adanya kekakuan leher.
b.     Hematom epidural
  • Menilai dan mengevaluasi daerah insersi kateter epidural setiap hari (sebaiknya tiap 8 jam) terhadap adanya keluhan nyeri atau pembengkakan di daerah insersi tersebut.
  • Menilai tiap perubahan motorik maupun sensorik tiap 4 jam termasuk didalamnya timbulnya sensasi keram yang progresif, kelemahan, atau gangguan BAB dan BAK.
c.     Subdural puncture
  • Menilai peningkatan efek samping yang tiba-tiba dan progresif, seperti, hilangnya sensasi dan fungsi motorik dan hipotensi. Terjadi pada saat pemasangan kateter epidural.
d.     Migrasi kateter epidural ke ruang sub-arachnoid
  • Menilai adanya perubahan motorik, sensorik dan hemodinamik setelah pemberian dosis intermitten atau dosis kontinyu.
  • Pertimbangkan untuk menghentikan pemberian regimen epidural dan mengganti dengan analgesia sistemik.
e.     Migrasi kateter epidural ke intravaskular
  • Menilai adanya darah yang teraspirasi via kateter epidural
  • Menilai level nyeri dari pasien, dimana analgesia yang tidak adekuat dapat terjadi sehubungan dengan adanya sejumlah opioid yang masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
  • Menilai gejala-gejala intoksikasi anestetik lokal seperti pusing, hipotensi, agitasi atau bahkan kejang.
         
          4. Penghentian epidural analgesia
  1. Keputusan penghentian analgesia via epidural dilakukan oleh tim APS dengan melihat kondisi dan kebutuhan analgesia pasien
  2. Sebagian besar kateter epidural dipertahankan untuk 2 - 4 hari mengingat intensitas nyeri pasca bedah yang semakin menurun seiring jalannya penyembuhan, walaupun beberapa kasus dapat dipertahankan sampai 5 – 7 hari.
  3. Pertimbangkan untuk mempertahankan kateter epidural beberapa jam pada saat transisi dari analgesia epidural ke analgesia peroral atau intravena.

c.  BLOK SARAF PERIFER
Blok saraf perifer telah digunakan untuk penanganan nyeri pasca bedah untuk menurunkan kebutuhan opioid dan efek sampingnya. Blok saraf perifer juga dapat menghindari efek samping akibat blok neuroaksial (epidural-spinal) seperti epidural hematom, epidural abses, dan paraparesis.
 
  Tabel 7. Beberapa blok saraf untuk penanganan nyeri pasca bedah
Blok Saraf
Jenis Pembedahan
Ilioinguinal, iliohipogastrik, dan genitofemoral
Hernia inguinal dan femoral
Nervus dorsalis penis
Penis
Femoral
Femur bagian depan diatas lutut
Nervus kutaneus lateral
Femur bagian lateral
Ankle Blok (Sural nerve)
Kaki
Digital (ring block)
Jari-jari
Interkostal
Dinding dada atau abdomen

  Tabel 8. Beberapa blok pleksus saraf untuk penanganan nyeri pasca bedah
Blok Pleksus
Daerah analgesia
Pleksus brakhialis dengan pendekatan interskalenus
Lengan atas dan bahu
Pleksus brakhialis dengan pendekatan supraklavikular
Lengan dan siku
Pleksus brakhialis dengan pendekatan aksilar
Lengan bawah dan tangan

REFERENSI
  1. Stephan A. Schug and Philip Dodd ; Perioperative analgesia, Australia  Prescr 2004;27:152–4
  2. Susan L. Schroeder : Epidural Analgesia , University of Wisconsin, 2000
  3. Jose De Andrés, MD, PhD, Dr H B J Fischer, Postoperative Pain Management-Good Clinical Practice , by consultation of ESRA ( European Society of Regional Anestesia and Pain Therapy )
  4. American Society of Anaesthesiologists Task Force on Acute Pain Management. Practice guidelines for acute pain management in the perioperative setting. Anaesthesiology 2004;100:1573-1581
  5. Rom Stevens, M.D. et al  , Annual Meeting of the American Society of Regional Anesthesia, Seattle, WA, May 14-17, 1998
  6. George Shorten et al, Postoperative Pain Management : An evidence-based guide to practice, Saunders Elsevier, 2006 .

1 komentar: