Minggu, 30 Oktober 2011

Neurophysiologi dan Anestesia



Tekanan Perfusi Cerebral (CPP = Cerebral Perfution Pressure) adalah perbedaan antara Mean Arterial Pressure (MAP) dan Intra Cranial Pressure (ICP) atau Central Venous Pressure (CVP) atau mana yang lebih besar. 
Kurva Autoregulasi cerebral akan bergeser kekanan pada pasien dengan Hipertensi Arteri Kronik (Chronic arterial hypertension). 
Pengaruh luar yang sangat penting terhadap Cerebral Blood Flow (CBF) adalah Tekanan dari gas Resipasi terutama PaCO2. CBF sama dengan PaCO2 (20 – 80 mm Hg). Aliran darah akan berubah sekitar 1-2 ml/ 100g/ min dari setiap perubahan per mm Hg PaCO2. CBF berubah 5 - 7% pada setiap perubahan suhu 1º C. Hypothermia menurunkan Cerebral Metabolic Rate (CMR) dan CBF. 
Sedangkan Pyrexia akan menyebabkan sebaliknya. Perpindahan zat melalui Blood-Brain Barrier ditentukan oleh Ukurannya, Berat/Isi, kelarutan dalam lemak, dan derajat Protein Binding dalam darah. Blood Brain Barrier dapat berubah oleh Hipertensi berat, Tumor, Trauma, stroke, infeksi, Hypercapnia, hypoxia dan Kejang yang terus menerus. Rongga kranial mempunyai struktur yang rigid dengan total volume yang tetap, terdiri dari otak (80%), darah (12%), dan cairan cerebrospinal (8%). 
Setiap peningkatan dari satu komponent harus diikuti dengan penurunan dari komponen yang lainnya untuk mencegah timbulnya peningkatan tekanan intrakranial. Kecuali ketamin, semua obat intra vena mempunyai sedikit efek atau penurunan terhadap CMR dan CBF. 
Pada autoregulasi yang normal dan Blood-brain Barrier yang baik, Vasopressor meningkatkan CBF hanya jika MAP dibawah 50 – 60 mmHg. Atau diatas 150 – 160 mmHg. Otak sangat rentan terhadap trauma iskemik karena konsumsi oksigen yang cukup tinggi dan ketergantungan juga tinggi pada metabolisme glukosa. 
Hypotermia merupakan metoda protektif yang sangat efektif terhadap otak yang mengalami iskemi lokal atau menyeluruh. Dari data penelitian pada binatang dan manusia memperlihatkan bahwa barbiturat efektif untuk proteksi otak yang mengalami iskemik lokal.

METABOLISME CEREBRAL


  • Secara normal, otak bertanggung jawab terhadap 20% dari total kebutuhan oksigen tubuh.
  • Sebagian besar penggunaan oksigen cerebral (60%) untuk menghasilkan ATP untuk aktivitas listrik dari sel neuron dan sisanya (40%) untuk mempertahankan integritas seluler.
  • Cerebral Metabolic Rate (CMR) dinyatakan dengan oxygen consumption (CMRO2) à 3 - 3,8 mL/100 g/min (50 mL/min) pada orang dewasa.
  • CMRO2 terbanyak pada substantia gracia dari cortex cerebral.
  • Akibat penggunaan oksigen yang relatif tinggi dan tidak adanya cadangan oksigen yang signifikan, terhentinya perfusi cerebral biasanya menyebabkan
  • Jika aliran darah tidak kembali dalam beberapa menit (3-8’ di bawah kondisi pada umumnya), ATP yang tersimpan akan dilepaskan dan terjadi cedera seluler yang irreversibel.
  • Hippocampus dan cerebellum sangat sensitif terhadap cedera yang menyebabkan hipoksia.
  • Penggunaan glukosa oleh otak 5mg/100g/menit, 90% dimetabolisme secara aerob.
  • Secara normal CMRO2 sebanding dengan penggunaan glukosa.
  • Walaupun otak juga mengambil dan memetabolisme laktat, fungsi cerebral secara normal tergantung pada cadangan glukosa yang berkesinambungan.
  • ketidaksadaran dalam 10”, di mana tekanan O2 turun secara cepat di bawah 30 mmHg
  • Hipoglikemia akut yang terus menerus sama dengan penghancuran yang mengakibatkan hipoksia.
  • Sebaliknya, hiperglikemia dapat memperburuk cedera otak yang hipoksia secara luas dengan mempercepat asidosis dan cedera seluler; pengaruhnya terhadap iskemia fokal cerebral masih belum jelas.
  • CBF berubah tergantung pada aktivitas metabolik.
  • Diukur dengan suatu isotop gamma-emitting yaitu Xenon (133Xe) melalui injeksi sistemik, detektor diletakkan di sekitar otak untuk mengukur kecepatan kerusakan radioaktif, yang secara langsung sebanding dengan CBF.
  • Teknik baru : PET (Positron Emitting Tomography) juga mengukur CMR (untuk glukosa dan oksigen).
  • Penelitian : konfirmasi bahwa CBF regional sebanding dengan aktivitas metabolik dan dapat berubah dari 10 sampai 300 mL/100 g/min.
  • Meskipun CBF total 50 mL/100 g/min, pada substansia grasia didapatkan 80 mL/100 g/min, sedangkan pada substansia alba diperkirakan 20 mL/100 g/min.
CEREBRAL BLOOD FLOW 
  • CBF total pada dewasa 750 mL/100 g/min (15-20% dari cardiac output) 
  • Laju aliran rata-rata di bawah 20-25 mL/100 g/min biasanya berhubungan dengan kerusakan cerebral (tampak pada gambaran EEG).
  • CBF 15 dan 20 mL/100 g/min menghasilkan gambaran flat (isoelectric), sedangkan nilai CBF < 10 mL/100 g/min biasanya berhubungan dengan kerusakan otak yang irreversibel.
REGULATION OF CEREBRAL BLOOD FLOW
1.      Cerebral Perfusion Pressure
  • CPP adalah perbedaan antara MAP dan ICP (atau CVP, yang nilainya lebih besar). 
  • CPP dinyatakan dengan persamaan : CPP = MAP – ICP 
  • CPP normal 80-100 mmHg, CPP < 10 mmHg sangat tergantung pada MAP
  • Peningkatan sedang sampai berat ICP (>30 mmHg) dapat membahayakan CPP dan CBF, meskipun MAP normal. 
  • CPP < 50 mmHg menunjukkan perlambatan EEG,  CPP antara 25-40 mmHg menunjukkan gambaran flat,  tekanan perfusi terus menerus < 25 mmHg menyebabkan kerusakan otak irreversibel.
2.      Autoregulasi (1)
  • Seperti pada jantung dan ginjal, otak juga mempunyai kemampuan menghadapi perubahan tekanan darah dengan melakukan perubahan kecil pada aliran darah.
  • Vaskularisasi cerebral secara cepat (10-60”) menyesuaikan diri terhadap perubahan pada CPP, tetapi perubahan yang tiba-tiba pada MAP dapat menyebabkan perubahan sementara pada CBF meskipun autoregulasi intak.
  • Penurunan CPP menyebabkan vasodilatasi, peningkatan CPP menyebabkan vasokonstriksi, normal CBF konstan pada MAP 60 dan 160 mmHg.
  • Tekanan < 150-160 mmHg dapat merusak blood brain barrier  dan menyebabkan edema dan perdarahan cerebral. 
  • Terapi antihipertensi jangka panjang dapat memulihkan autoregulasi cerebral mendekati batas normal
  • Respons intrinsik sel otot polos dalam arteriol cerebral mengubah MAP
  • Kebutuhan metabolik cerebral menentukan tonus arteriol, saat kebutuhan jaringan melebihi aliran darah, pelepasan metabolit jaringan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran.
3.      Mekanisme extrinsik
a.      Tekanan Gas Respirasi
  • Faktor ekstrinsik yang paling penting mempengaruhi CBF adalah tekanan gas respirasi, terutama PaCO2. 
  • CBF berbanding langsung dengan PaCO2 antara tekanan 20 dan 80 mmHg  
  • Perubahan tekanan darah sekitar 1-2 mL/100 g/min per mmHg perubahan pada PaCO2 
  • Ion-ion tidak dapat melewati blood brain barrier secara baik, kecuali CO2, perubahan akut pada PaCO2  (bukan HCO3-) mempengaruhi CBF 
  • Hiperventilasi (PaCO2 < 20 mmHg) ditandai dengan bergesernya kurva disosiasi oksigen – hemoglobin ke kiri, dan perubahan CBF menyebabkan perubahan EEG. 
  • Perubahan PaO2 mengubah CBF ; Hyperoxia : penurunan minimal CBF (-10%), Hypoxemia berat : PaO2< 50 mmHg meningkatkan CBF
a.      Temperatur
  • Perubahan CBF 5-7% per 1oC, hipotermia menurunkan CMR dan CBF, sedangkan pireksia mempunyai efek kebalikannya
  • Pada 20oC gambaran EEG tampak isoelektrik, > 42oC aktivitas oksigen mulai menurun dan terjadi kerusakan sel.
b.      Viskositas
  • Faktor yang paling penting menentukan adalah hematokrit.
  • Penurunan hematokrit akan menurunkan viskositas dan memperbaiki CBF, yang juga menurunkan kapasitas pengikatan oksigen.
  • Peningkatan hematokrit à polisitemia à mengurangi CBF 
  • Pengangkutan oksigen cerebral yang optimal dapat terjadi pada hematokrit 30-34%
c.       Pengaruh otonom
  • Saraf intrakranial diinnervasi oleh simpatis (vasokonstriksi), parasimpatis (vasodilatasi), serabut nonkolinergik nonadrenergik ; serotonin dan peptida intestinal vasoaktif yang menjadi neurotransmitter
  • Stimulasi simpatis yang intens dapat menyebabkan vasokonstriksi , yang membatasi CBF.  
  • Innervasi otonom memegang peranan penting dalam spasme pembuluh darah cerebral mengiringi cedera otak dan stroke.
BLOOD BRAIN BARRIER
  • Pembuluh darah cerebral merupakan struktur yang khas dalam hubungan antara sel-sel endothelial vaskuler yang berdekatan; jarak antara lubang-lubang yang berdekatan tersebut yang dimaksud blood brain barrier.
  • Barrier lipid menyebabkan pengangkutan zat-zat yang larut dalam lemak, tetapi mengurangi pergerakan ion-ion atau berat molekul yang lebih besar.
  • Perubahan yang cepat dalam konsentrasi elektrolit plasma (dan osmolalitas) menghasilkan gradien osmotik sementara antara plasma dan otak.
  • Hipertonisitas plasma akut menyebabkan pergerakan air ke luar otak, hipotonisitas menyebabkan air masuk ke dalam otak; efek ini berlangsung sebentar dan ditandai oleh pergeseran cairan yang cepat dalam otak. 
  • Mannitol merupakan suatu larutan osmotik aktif yang tidak dapat melewati blood brain barrier, menyebabkan penurunan terus menerus kadar air dalam otak dan sering digunakan untuk menurunkan volume otak.
  • Pada kondisi tertentu, pergerakan air melewati blood brain barrier tergantung pada tekanan hidrostatik daripada gradien osmotik.

CEREBROSPINAL FLUID
  • CSF terdapat dalam ventrikel, sisterna, dan ruang subarachnoid di sekitar otak dan spinal cord.
  • Fungsi utama CSF : melindungi CNS terhadap trauma.
  • Sebagian besar dibentuk oleh plexus choroideus (terutama di ventrikel lateral), sebagian kecil dibentuk secara langsung oleh sel ependimal yang terdapat di lapisan ventrikel dan sejumlah kecil dari bocornya cairan ke dalam rongga perivaskuler sekeliling pembuluh cerebral (kebocoran pada blood brain barrier). 
  • Dewasa : produksi total CSF ± 21 mL/h (500 mL/d), volume total 150 mL. 
  • Aliran CSF : ventrikel lateral à ventrikel ketiga (melalui foramen interventrikuler / Monro) à ventrikel keempat (aquaductus Sylvius), à sisterna cerebellomedullary (sisterna magna) melalui foramen Magendie (median) dan foramen Luschka (lateral) à  ruang subarachnoid Sirkulasi sekitar otak dan spinal cord sebelum diabsorbsi 
  • Pembentukan CSF melibatkan sekresi aktif Na dalam plexuis choroideus dan menghasilkan cairan isotonis dengan plasma 
  • Carbonic anhydrase inhibitors (Acetazolamide), kortikosteroid, spironolakton, furosemide, isoflurane, dan vasokonstriktor menurunkan produksi CSF. 
  • Absorpsi CSF melibatkan translokasi cairan dari granulasi arachnoid menuju sinus venosus cerebral, terutama oleh perivaskuler dan protein interstitial yang kembali ke dalam darah.gambar
INTRACRANIAL PRESSURE
  • Ruangan cranial merupakan struktur yang rigid dengan volume total yang tetap, terdiri dari otak (80%), darah (12%), dan CSF (8%)
  • ICP : tekanan supratentorial CSF yang diukur dalam ventrikel lateral atau melalui cortex cerebral (normal : <= 10 mmHg)
  • Terdapat sedikit variasi tergantung pada tempat pengukuran, tetapi pada posisi berbaring lateral, tekanan CSF lumbal secara normal mendekati tekanan supratentorial. 
  • Intracranial compliance ditentukan dengan mengukur perubahan dalam ICP sebagai respons terhadap perubahan dalam volume intracranial 
  • Mekanisme kompensasi utama :
1.      Perpindahan awal CSF dari kompartemen cranial menuju spinal
2.      Peningkatan absorpsi CSF
3.      Penurunan produksi CSF
4.      Penurunan total CBV (terutama di vena)
  • Peningkatan tekanan darah dapat menurunkan CBV karena autoregulasi menyebabkan vasokonstriksi yang bertujuan mempertahankan CBF, dan sebaliknya. 
  • CBV diperkirakan meningkat 0.05 mL/100 g otak per 1 mmHg peningkatan PaCO2 
  • Peningkatan ICP secara terus menerus dapat mengakibatkan herniasi katastrofik otak, dan herniasi dapat terjadi di :
1.      Cingulate gyrus di bawah falx cerebri
2.      Uncinate gyrus melalui tentorium cerebelli
3.      Cerebellar tonsils melalui foramen magnum 
4.      Area yang lain di bawah defek pada skull (transcalvarial)

PENGARUH OBAT ANESTESI TERHADAP FISIOLOGI CEREBRAL
Pada umumnya obat anestesi mempunyai efek yang baik terhadap CNS dengan mengurangi aktivitas elektrik, metabolisme karbohidrat menurun, sedangkan penyimpanan energi dalam bentuk ATP, ADP, dan phosphokreatin meningkat.Penentuan efek obat-obat tersebut cukup sulit seiring dengan pemberian obat lain, stimulasi pembedahan, intracranial compliance, tekanan darah, dan tekanan CO2, contoh : hipokapnia atau pemberian Thiopental bolus sebelumnya dapat meningkatkan CBF dan ICP dimana hal ini biasa terjadi pada penggunaan Ketamine dan obat volatil.

PENGARUH OBAT INHALASI
  1. Obat Anestesi Volatil
a.      Cerebral Metabolic Rate
  • Halothane, enflurane, desflurane, sevoflurane, dan isoflurane menyebabkan penurunan CMR (tergantung dosis).
  • Isoflurane dan enflurane menyebabkan penurunan terbesar (50%), sedangkan halothane 25%.
  • Penurunan CMR tidak sama di seluruh bagian otak, isoflurane menurunkan CMR terutama di neocortex, enflurane dapat meningkatkan CMR pada aktivitas kejang yang nyata.

b.      Cerebral Blood Flow & Volume
  • Terjadi vasodilatasi cerebral dan gangguan autoregulasi tergantung pada dosis yang diberikan.
  • Halothane mempunyai pengaruh yang terbesar pada CBF, pada konsentrasi > 1% hampir meniadakan autoregulasi cerebral.
  • Pada keadaan yang equivalent antara MAC dan tekanan darah, halothane meningkatkan CBF sampai 200%, enflurane 40%, dan isofluran 20%; isoflurane meningkatkan aliran darah terutama di area subkortikal dan otak belakang.
  • Peningkatan CBV (10-12%) sebanding dengan peningkatan CBF, tetapi hubungan ini tidak bersifat linier.
  • Penambahan CBV dapat ditandai dengan meningkatnya ICP pada pasien dengan intracranial compliance yang menurun.
  • Hipokapnia mengurangi  CBV selama anestesi dengan isoflurane.

c.       Perubahan Cerebral Metabolic rate & Blood Flow
  • Luxury perfusion : gabungan antara penurunan kebutuhan metabolik neuronal dengan peningkatan CBF (metabolic supply), digunakan pada teknik hipotensi dengan isoflurane.
  • Circulatory steal phenomenon
  • Volatil meningkatkan aliran darah pada daerah normal otak, tetapi tidak pada area iskemik, di mana arteriole mengalami vasodilatasi maksimal.
  • Hasil akhir : redistribusi aliran darah dari area iskemik ke daerah yang normal.

d.      Perubahan Cairan Cerebrospinal
  • Volatil mempengaruhi pembentukan dan absorbsi CSF.
  • Enflurane : meningkatkan pembentukan CSF dan memperlambat absorbsi.
  • Halothane : menghalangi absorbsi CSF tetapi hanya minimal memperlambat pembentukan CSF.
  • Isoflurane : memfasilitasi absorbsi dan merupakan volatil yang berefek baik terhadap CSF.

e.      Tekanan intracranial
  • Pengaruh volatil terhadap ICP merupakan hasil perubahan yang cepat pada CBV, perubahan lambat pada gerakan CSF, dan tekanan arteriol CO2.
  • Isoflurane merupakan volatil pilihan pada pasien dengan penurunan intracranial compliance

f.        Aktivitas kejang
  • Pada dosis 1.5 – 2 MAC, enflurane menyebabkan gambaran kejang (aktivitas spike & wave) pada EEG.
  • Stimulasi auditory disebut memicu aktivitas tersebut.
  • Meskipun aktivitas spike juga terjadi sehubungan dengan pemberian isoflurane sebelum penghilangan elektrik, namun hal ini tidak mempercepat kejang

  1. Nitrous Oxide
  • Pada umumnya berefek ringan dan mudah dikendalikan dengan obat lain atau perubahan tekanan CO2.
  • Kombinasi dengan obat intravena mempunyai efek yang minimal terhadap CBF, laju metabolisme, dan ICP.
  • Penambahan volatil meningkatkan CBF lebih besar, sedangkan pemberian tunggal menyebabkan vasodilatasi cerebral ringan dan cenderung meningkatkan ICP.

  1. Obat Intravena
Obat Induksi
  • Kecuali Ketamine, semua obat intravena mempunyai efek yang kecil terhadap atau mengurangi CMR dan CBF.
  • Perubahan aliran darah pada umumnya sebanding dengan perubahan laju metabolisme.
  • Autoregulasi cerebral dan CO2 dipertahankan oleh semua obat secara bergantian.
  • Yaitu :
  Barbiturat.
  Opioid.
  Etomidat.
  Propofol.
  Benzodiazepin.
  Ketamin.

Barbiturat
  • Mempunyai 4 cara kerja utama :
  1. Hipnosis
  2. Depresi CMR
  3. Mengurangi CBF dengan meningkatkan CVR
  4. Antikonvulsan
  • Thiopental lebih sering digunakan sebagai obat induksi pada neuroanestesi.
  • Menurunkan CMR dan CBF sampai gambaran EEG isoelektrik (penurunan hampir 50%).
  • Merangsang vasokonstriksi cerebral yang terjadi di area normal, cenderung me-redistribusi aliran darah dari daerah normal ke daerah iskemik otak (Robinhood / reverse steal phenomenon).
  • Vaskularisasi cerebral pada area iskemik yang tersisa mengalami dilatasi maksimal dan hal ini tidak terpengaruh oleh barbiturat oleh karena terjadi paralisa vasomotor iskemik.
  • Mempermudah absorbsi CSF.
  • Resultan penurunan CSF volume, penurunan CBF dan CBV, sangat efektif pada ICP yang rendah.
  • Efek antikonvulsan menguntungkan pada pasien neurosurgical yang mempunyai resiko tinggi kejang.
  • Menghambat Na channels, mengurangi masuknya Ca intraselluler, membuang atau menekan pembentukan radikal bebas dan memperlambat edema cerebri akibat cedera otak iskemik.
  • Pemberian profilaksis efektif dalam mencegah cedera otak selama iskemik fokal.

Opioids
  • Mempunyai efek yang minimal terhadap CBF, CMR, ICP,
  • Bila PaCO2  meningkat (akibat depresi respirasi sekunder) à CBF, CMR, ICP meningkat.
  • Peningkatan ICP pada pasien dengan tumor intrakranial setelah pemberian sulfentanil
  • Penurunan tekanan darah signifikan dapat mempengaruhi CPP tanpa tergantung jenis opiodnya.
  • Dosis kecil alfentanil (< 50 µg/kg) menyebabkan fokus kejang pada pasien epilepsi.
  • Morphin mempunyai kelarutan yang rendah dalam lemak, penetrasi yang lambat, dan efek sedasi yang lebih panjang.
  • Akumulasi yang potensial terjadi pada normoperidine dan depresi jantung membatasi penggunaan meperidin.

Etomidate
  • Menurunkan CMR, CBF, dan ICP seperti Thiopental.
  • Penurunan CMR lebih banyak di cortex daripada brainstem; menurunkan produksi CSF dan meningkatkan absorbsinya.
  • Insidens yang tinggi terjadinya mioklonik saat induksi.
  • Pada dosis kecil dapat memicu fokus kejang pada pasien dengan epilepsi.

Propofol
  • Mengurangi CBF dan CMR seperti barbiturat dan etomidat, bermanfaat untuk menurunkan ICP.
  • Berhubungan dengan dystonia dan gerakan menyerupai chorea,
  • Signifikan sebagai antikonvulsan.
  • Waktu paruh eliminasi yang pendek, bermanfaat sebagai obat yang digunakan dalam neuroanestesi
  • Hipotensi dan depresi jantung yang berlebihan pada pasien geriatri atau yang tidak stabil, dapat membahayakan CPP.

Benzodiazepines
  • Menurunkan CBF dan CMR tetapi tidak lebih rendah dari barbiturat, etomidate, dan propofol.
  • Bermanfaat sebagai antikonvulsan.
  • Midazolam merupakan pilihan karena waktu paruhnya yang pendek.
  • Induksi dengan Midazolam menurunkan CPP pada pasien geriatri dan yang tidak stabil, dan memperpanjang kegawatan.

Ketamine
  • Menyebabkan dilatasi pada pembuluh darah cerebral, dan meningkatkan CBF (50-60%).
  • Menghambat absorbsi CSF tanpa mempengaruhi pembentukannya.
  • Peningkatan CBF, CBV, dan volume CSF dapat meningkatkan ICP pada pasien yang mengalami penurunan intracranial compliance.

  1. Anestetik Tambahan
  • Lidocaine intravena menurunkan CMR, CBF, dan ICP; menurunkan CBF (dengan meningkatkan CVR) tanpa menyebabkan efek hemodinamik lainnya yang signifikan.
  • Droperidol sangat kecil atau tidak menimbulkan efek pada metabolisme cerebral dan mengurangi aliran darah minimal.
  • Droperidol dan opioid digunakan sebagai teknik neuroleptik, droperidol dapat menimbulkan efek sedasi yang lebih lama.
  • Reverse opioid atau benzodiazepine dengan naloxone atau flumazenil dapat mengembalikan penurunan CBF dan CMR.

  1. Vasapresor
  • Meningkatkan CBF bila MAP di bawah 50-60 mmHg atau di atas 150-160 mmHg, dengan autoregulasi normal dan blood brain barrier yang intak.
  • Bila tidak ada autoregulasi, vasopressor meningkatkan CBF dengan mempengaruhi CPP.
  • β-Adrenergik, β1-receptor, β-adrenergik blokers, α2-adrenergik agonis
  • Peningkatan tekanan darah oleh obat-obatan dapat merusak blood brain barrier.

  1. Vasodilator
  • Menyebabkan vasodilatasi cerebral dan meningkatkan CBF bila tidak terjadi hipotensi.
  • Trimetaphan tidak menimbulkan efek pada CBF dan CBV, tetapi menyebabkan konstriksi pupil, sehingga mengganggu pemeriksaan neurologis.

  1. Neuromuscular Blocking Agents
  • Hipertensi dan pelepasan histamin pada vasodilatasi cerebral meningkatkan ICP, sedangkan hipotensi sistemik (dari pelepasan histamin atau blokade ganglion) menurunkan CPP.
  • Suksinilkolin meningkatkan ICP, namun minimal bila dosis Thiopental yang diberikan adequat dan dilakukan hiperventilasi saat induksi.
  • Pancuronium pada dosis tinggi à takikardi dan hipertensi.
  • Peningkatan ICP setelah pemberian obat pelemas otot merupakan respon hipertensif akibat anestesia ringan selama laringoskopi dan intubasi endotracheal.
  • Peningkatan akut ICP juga tampak bila terjadi hiperkapnia atau hipoksemia akibat apnea yang lama.

PATOFISIOLOGI ISKEMIA CEREBRAL
  • Otak merupakan organ yang mudah mengalami iskemik karena kebutuhan oksigen yang relatif tinggi dan sangat tergantung pada metabolisme aerobik glukosa.
  • Bila tekanan oksigen normal, aliran darah, dan suplai glukosa tidak dilanjutkan dalam 3-8 menit, penyimpanan ATP akan dilepaskan dan terjadi cedera neuronal yang irreversibel.
  • Selama iskemia,  penurunan K+ intraseluler  dan peningkatan Na+ intraseluler.
  • Peningkatan Ca++ intrasel yang terus menerus mengaktivasi lipase dan protease, yang dapat menyebabkan kerusakan struktur neuron.
  • Peningkatan FFA, siklooksigenase, dan lipoxygenase menyebabkan pembentukan prostaglandin dan leukotrien, yang merupakan mediator untuk terjadinya kerusakan sel.

STRATEGI MELINDUNGI OTAK
Iskemia
  • Iskemia pada otak : fokal (incomplete) dan global (complete).
  • Iskemia global : berhentinya sirkulasi secara menyeluruh seperti pada hipoksia global, penghentian perfusi akibat henti jantung, sedangkan hipoksia global akibat gagal napas berat, tenggelam, dan asfiksia.
  • Iskemia fokal : stroke embolik, hemoragik, dan atherosklerotic, seperti pada trauma tumpul, penetrasi, dan surgikal.
  • Usaha-usaha yang bertujuan untuk mencegah atau membatasi kerusakan jaringan neuron pada iskemia global dan fokal pada dasarnya sama.
  • Tujuan : mengoptimalisasikan CPP, menurunkan metabolisme (basal dan elektrik), dan menghambat mediator pada cedera seluler.

Hipotermia
  • Menurunkan kebutuhan basal dan elektrik di semua bagian otak.
  • Hipotermia yang berlangsung sampai 1 jam saat terjadi  henti sirkulasi total dapat menyebabkan kerusakan saraf.
  • Hipotermia ringan  (33-35oC) mempunyai efek protektif.

Obat-obat Anestesi
  • Barbiturat, etomidat, propofol, dan isofluran dapat menyebabkan aktivitas elektrik yang rendah pada otak.
  • Barbiturat dapat menyebabkan inverse steal, mengurangi edema cerebri dan masuknya calsium, menghambat pembentukan radikal bebas, dan menghambat sodium channel, sehingga efektif sebagai pelindung otak pada iskemia fokal.
  • Tidak ada obat anestesi yang dapat melindungi otak secara konsisten terhadap iskemia global.

Obat-obat Tambahan Khusus
  • Calcium channel bloker, nimodipine dan nicardipin bermanfaat dalam mengurangi cedera neuronal akibat stroke iskemik maupun hemoragik, karena kemampuan vasodilatasi-nya sehingga dapat memperbaiki CBF, tetapi tidak klinis neurologisnya.
  • Methylprednisolon dapat mengurangi defisit neurologis setelah cedera spinal cord, jika diberikan dalam 8 jam.
  • Non glucocorticoid steroid, tirilazad : memperbaiki status neurologis setelah perdarahan subarachnoid.
  • Acadesine : adenosine modulating agent, dapat menurunkan insidens stroke setelah operasi arteri koroner.
  • Magnesium, dexmedetomidine, dextromethorphan, NBQX, dan vitamin E juga terbukti bermanfaat

Pengukuran Umum
  • Mempertahankan CPP yang optimal sangat penting, tekanan darah arterial diusahakan normal atau meningkat ringan; peningkatan tekanan vena dan ICP harus dihindari.
  • Kapasitas pembawa oksigen dipertahankan dengan hematokrit minimal 30-34% dan tekanan oksigen arteri normal.
  • Hiperglikemia memperburuk cedera neurologis baik iskemia fokal maupun global, harus dihindari bila >180mg/dL.
  • Normokarbia dipertahankan karena hipokarbia menyebabkan vasokonstriksi cerebral yang memperburuk iskemia, sedangkan hiperkarbia menyebabkan steal phenomena (dengan fokal iskemia) atau asidosis intraseluler yang lebih buruk.

PENGARUH ANESTESI PADA MONITORING ELEKTROFISIOLOGI
1.  Monitoring Elektrofisiologi digunakan untuk menilai integritas fungsional dari CNS.
  • Monitoring EEG bermanfaat untuk menyimpulkan perfusi cerebral selama carotid endarterectomy dan mengawasi hipotensi seperti halnya kedalaman anestesi.
  • Aktivasi EEG : frekuensi tinggi dan voltase rendah à anestesi ringan dan stimulasi surgikal.
  • Depresi EEG : frekuensi rendah dan voltase tinggi à anestesi dalam atau bahaya cerebral.
  • Obat anestesi menghasilkan pattern biphasic.     
a.  Obat Anestesi Inhalasi
  • Halothane menghasilkan pattern biphasic, isoflurane : gambaran isoelektrik pada dosis klinis yang tinggi (1-2 MAC), desflurane dan enflurane : gambaran supresi yang mendadak pada dosis tinggi (> 1.2 dan > 1.5 MAC).
  • Gambaran spike dapat dilihat pada enfluran.

b.  Obat Intravena
  • Benzodiazepine, barbiturat, etomidat, dan propofol menghasilkan gambaran biphasic; opioid menghasilkan gambaran monophasic; Ketamin menghasilkan gambaran ritmik dengan amplitudo tinggi.
2.  Alat monitor yang sering digunakan pada Neurosurgery adalah EEG dan Evoked Potential
  • Somatosensory evoked potentials (SSEPs) merupakan tes integritas columna spinal dorsalis  dan cortex sensoris, yang bermanfaat selama reseksi tumor spinal, instrumentasi pada spinal, carotid endarterectomy, dan pembedahan aorta. 
  • Perfusi adekuat pada spinal cord selama pembedahan aorta mungkin lebih baik disimpulkan dengan motor evoked potentials.
  • Brainstem auditorik  EP : integritas N VIII dan lintasan auditorik di atas pons.
  • Visual EP : monitor nervus optikus dan brainstem atas selama reseksi tumor pituitary yang besar.
  • Interpretasi evoked potentials lebih kompleks daripada EEG.
a.  Obat Anestesi Inhalasi
  • Volatil menghasilkan efek yang paling besar pada evoked potentials, menyebabkan penurunan amplitudo gelombang dan meningkatkan aksi potensial.
  • Untuk memperkecil perubahan akibat obat anestesi, direkomendasikan pembatasan konsentrasi isoflurane dan enflurane sampai 0.5 MAC dan halothane sampai 1 MAC.
b.  Obat Anestesi Intravena
  • Mempunyai efek yang lebih rendah dari volatil pada evoke potential, namun pada dosis tinggi juga menurunkan amplitudo dan meningkatkan aksi potensial.
  • Barbiturat melindungi evoked potentials karena menghasilkan gambaran isoelektrik.
  • Etomidate dan Ketamin meningkatkan SSEP.
  • Opioid meningkatkan SSEP dan menurunkan amplitudo gelombang, sedangkan meperidine meningkatkan amplitudo

Minggu, 23 Oktober 2011

Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Asam Basa

Pendahuluan      
Manusia sebagai organisme multiseluler dikelilingi oleh lingkungan luar (milieu exterior) dan sel-selnya pun hidup dalam milieu interior yang berupa darah dan cairan tubuh lainnya. Cairan dalam tubuh, termasuk darah, meliputi lebih kurang 60% dari total berat badan laki-laki dewasa. Dalam cairan tubuh terlarut zat-zat makanan dan ion-ion yang diperlukan oleh sel untuk hidup, berkembang dan menjalankan tugasnya.

Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Semua pengaturan fisiologis untuk mempertahankan keadaan normal disebut homeostasis. Homeostasis ini bergantung pada kemampuan tubuh mempertahankan keseimbangan antara subtansi-subtansi yang ada di milieu interior.

Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ektrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.

Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion karbonat dalam urine sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengekskresikan ion hidrogen dan CO2, dan sistem dapar (buffer) kimi dalam cairan tubuh.

Komposisi Cairan Tubuh               

Telah disampaikan pada pendahuluan di atas bahwa cairan dalam tubuh meliputi lebih kurang 60% total berat badan laki-laki dewasa. Prosentase cairan tubuh ini bervariasi antara individu, sesuai dengan jenis kelamin dan umur individu tersebut. Pada wanita dewasa, cairan tubuh meliputi 50% dari total berat badan. Pada bayi dan anak-anak, prosentase ini relatif lebih besar dibandingkan orang dewasa dan lansia.

Cairan tubuh menempati kompartmen intrasel dan ekstrasel. 2/3 bagian dari cairan tubuh berada di dalam sel (cairan intrasel/CIS) dan 1/3 bagian berada di luar sel (cairan ekstrasel/CES). CES dibagi cairan intravaskuler atau plasma darah yang meliputi 20% CES atau 15% dari total berat badan; dan cairan intersisial yang mencapai 80% CES atau 5% dari total berat badan. Selain kedua kompatmen tersebut, ada kompartmen lain yang ditempati oleh cairan tubuh, yaitu cairan transel. Namun volumenya diabaikan karena kecil, yaitu cairan sendi, cairan otak, cairan perikard, liur pencernaan, dll. Ion Na+ dan Cl- terutama terdapat pada cairan ektrasel, sedangkan ion K+ di cairan intrasel. Anion protein tidak tampak dalam cairan intersisial karena jumlahnya paling sedikit dibandingkan dengan intrasel dan plasma.

Perbedaan komposisi cairan tubuh berbagai kompartmen terjadi karena adanya barier yang memisahkan mereka. Membran sel memisahkan cairan intrasel dengan cairan intersisial, sedangkan dinding kapiler memisahkan cairan intersisial dengan plasma. Dalam keadaan normal, terjadi keseimbangan susunan dan volume cairan antar kompartmen. Bila terjadi perubahan konsentrasi atau tekanan di salah satu kompartmen, maka akan terjadi perpindahan cairan atau ion antar kompartemen sehingga terjadi keseimbangan kembali.

Perpindahan Substansi Antar Kompartmen             

Setiap kompartmen dipisahkan oleh barier atau membran yang membatasi mereka. Setiap zat yang akan pindah harus dapat menembus barier atau membran tersebut. Bila substansi zat tersebut dapat melalui membran, maka membran tersebut permeabel terhadap zat tersebut. Jika tidak dapat menembusnya, maka membran tersebut tidak permeabel untuk substansi tersebut. Membran disebut semipermeable (permeabel selektif) bila beberapa partikel dapat melaluinya tetapi partikel lain tidak dapat menembusnya.

Perpindahan substansi melalui membran ada yang secara aktif atau pasif. Transport aktif membutuhkan energi, sedangkan transport pasif tidak membutuhkan energi.

Difusi         

Partikel (ion atau molekul) suatu substansi yang terlarut selalu bergerak dan cenderung menyebar dari daerah yang konsentrasinya tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah sehingga konsentrasi substansi partikel tersebut merata. Perpindahan partikel seperti ini disebut difusi. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju difusi ditentukan sesuai dengan hukum Fick (Fick’s law of diffusion). Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Peningkatan perbedaan konsentrasi substansi.
2. Peningkatan permeabilitas.
3. Peningkatan luas permukaan difusi.
4. Berat molekul substansi.
5. Jarak yang ditempuh untuk difusi.

Osmosis
Bila suatu substansi larut dalam air, konsentrasi air dalam larutan tersebut lebih rendah dibandingkan konsentrasi air dalam larutan air murni dengan volume yang sama. Hal ini karena tempat molekul air telah ditempati oleh molekul substansi tersebut. Jadi bila konsentrasi zat yang terlarut meningkatkan, konsentrasi air akan menurun.Bila suatu larutan dipisahkan oleh suatu membran yang semipermeabel dengan larutan yang volumenya sama namun berbeda konsentrasi zat terlarut, maka terjadi perpindahan air/zat pelarut dari larutan dengan konsentrasi zat terlarut lebih tinggi. Perpindahan seperti ini disebut dengan osmosis.

Filtrasi
Filtrasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara dua ruang yang dibatasi oleh membran. Cairan akan keluar dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Jumlah cairan yang keluar sebanding dengan besar perbedaan tekanan, luas permukaan membran dan permeabilitas membran. Tekanan yang mempengaruhi filtrasi ini disebut tekanan hidrostatik.

Transport aktif              

Transport aktif diperlukan untuk mengembalikan partikel yang telah berdifusi secara pasif dari daerah yang konsentrasinya rendah ke daerah yang konsentrasinya lebih tinggi. Perpindahan seperti ini membutuhkan energi (ATP) untuk melawan perbedaan konsentrasi. Contoh: Pompa Na-K.

Keseimbangan Cairan dan Elektrolit        

Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.

1. Pengaturan volume cairan ekstrasel.      

Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dengan menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma. Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.
  • Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake dan output) air. Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan lingkungan luarnya. Water turnover dibagi dalam: 1. eksternal fluid exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar; dan 2. Internal fluid exchange, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses filtrasi dan reabsorpsi di kapiler ginjal.
  • Memeperhatikan keseimbangan garam. Seperti halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama dengan keluarannya. Permasalahannya adalah seseorang hampir tidak pernah memeprthatikan jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya dan cenderung lebih dari kebutuhan. Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan dalam urine untuk mempertahankan keseimbangan garam.
Ginjal mengontrol jumlah garam yang dieksresi dengan cara:
  1. Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate (GFR).
  2. Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal

Jumlah Na+ yang direasorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+ meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri.Selain sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau hormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi leh sel atrium jantung jika mengalami distensi peningkatan volume plasma. Penurunan reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal meningkatkan eksresi urine sehingga mengembalikan volume darah kembali normal.

2. Pengaturan Osmolaritas cairan ekstrasel.             

Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu larutan. semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah).

Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menmbus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium menrupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menetukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini.
 

Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui:
  • Perubahan osmolaritas di nefron 
Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di dukstus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal (300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik.
Dinding tubulus ansa henle pars acenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsobsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresis (ADH).
  • Mekanisme haus dan peranan vasopresin (antidiuretic hormone/ADH)
Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (>280 mOsm) akan merangsang osmoreseptor di hypotalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypotalamus yang mensintesis vasopresin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. ikatan vasopresin dengan reseptornya di duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus koligen. Pembentukkan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urine yang terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dipertahankan.
selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypotalamus akibat peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di hypotalamus sehingga terbentuk perilaku untuk membatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal.

Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Sebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melalui baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus, osmoreseptor di hypotalamus, dan volume reseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ADH dengan meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka hormone atriopeptin (ANP) akan meningkatkan eksresi volume natrium dan air.

perubahan volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa keadaan.Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit di antaranya ialah umur, suhu lingkungan, diet, stres, dan penyakit.

Keseimbangan Asam-Basa        

Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan konsentrasi ion H bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4; pH darah arteri 7,45 dan darah vena 7,35. Jika pH <7,35>7,45 dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:
  1. Pembentukkan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H dan bikarbonat.
  2. Katabolisme zat organik
  3. Disosiasi asam organik pada metabolisme intermedia, misalnya pada metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini akan berdisosiasi melepaskan ion H.
Fluktuasi konsentrasi ion H dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel, antara lain:
  1. Perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan saraf pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.
  2. Mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh
  3. Mempengaruhi konsentrasi ion K

bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha mempertahankan ion H seperti nilai semula dengan cara:

  1. Mengaktifkan sistem dapar kimia
  2. Mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernafasan
  3. Mekasnisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan

Ada 4 sistem dapar:
  1. Dapar bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel terutama untuk perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat
  2. Dapar protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel
  3. Dapar hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asam karbonat
  4. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel.
sistem dapat kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementara. Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-paru yang berespon secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam darah akinat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernafasan, kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan menskresikan ion H dan menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan amonia.

Ketidakseimbangan Asam-Basa        

Ada 4 kategori ketidakseimbangan asam-basa, yaitu:
  1. Asidosis respiratori, disebabkan oleh retensi CO2 akibat hipoventilasi. Pembentukkan H2CO3 meningkat, dan disosiasi asam ini akan meningkatkan konsentrasi ion H.
  2. Alkalosis metabolik, disebabkan oleh kehilangan CO2 yang berlebihan akibat hiperventilasi. Pembentukan H2CO3 menurun sehingga pembentukkan ion H menurun.
  3. Asidosis metabolik, asidosis yang bukan disebabkan oleh gangguan ventilasi paru, diare akut, diabetes melitus, olahraga yang terlalu berat dan asidosis uremia akibat gagal ginjal akan menyebabkan penurunan kadar bikarbonat sehingga kadar ion H bebas meningkat.
  4. Alkalosis metabolik., terjadi penurunan kadar ion H dalam plasma karena defiensi asam non-karbonat. Akibatnya konsentrasi bikarbonat meningkat. Hal ini terjadi karena kehilangan ion H karena muntah-muntah dan minum obat-obat alkalis. Hilangnyaion H akan menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk menetralisir bikarbonat, sehingga kadar bikarbonat plasma meningkat.
Untuk mengkompensasi gangguan keseimbangan asam-basa tersebut, fungsi pernapasan dan ginjal sangat penting.

Kesimpulan      

Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garan dan mengontrol osmolaritas ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut. Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion bikarbonat dalam urine sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengeksresikan ion hidrogen dan CO2 dan sistem dapar (buffer) kimia dalam cairan tubuh.

REFERENSI

  1. Sherwood, Lauralee. (2004). Human Physiology: From cells to system. 5th ed. California: Brooks/Cole-Thomson Learning, Inc.
  2. Silverthorn, D.U. (2004). Human Physiology: An Integrated approach. 3th ed. San Fransisco: Pearson Education.