Selasa, 15 Februari 2011

Jangan menagis dinda

Sampai sekarang aku tak mengerti, mengapa wanita begitu mudahnya menitikkan air mata. Lihat sinetron sedih, mewek. Dengar curhat sahabat, mewek. Ada yang lagi bahagia, mewek juga. Aahh… aku sama sekali tak paham Saat sedih dan bahagia tetap aja mewek. Seperti saat ini, sepulang kerja dengan kondisi yang capek sekali, mendapati istriku sesenggukan di tempat tidur. Sudah kutanya kenapa, masih saja dia menangis dan tak kunjung berhenti. Apa hanya gara gara aku tak merespon ceritanya tentang tetangga sebelah yang sedang bahagia karena punya anggota baru dalam keluarga? Ah… sepertinya bukan itu. Istriku tahu kalau aku kecapekan sehingga aku hanya diam saja. Masa hanya gara gara itu sih dia menangis?
Ah… masa bodoh! Aku capek. Aku kerja cari uang juga untuk dia. Saatnya sekarang aku harus istirahat. Cerita tentang tetangga sebelah bisa diteruskan besok. Ini sudah jam sepuluh malam. Aku langsung ngacir ke kamar mandi, menyegarkan badan. Selesai mandi kemudian balik lagi ke kamar dan tiba-tiba…. Lho, kok? Tangis nya semakin menjadi jadi?
“Ada apa sih Dinda?” Sungutku mulai naik. Aku sama sekali tak paham apa maksudnya. Segera kuambil bantal dan melenggang ke ruang tamu. ‘Tidur di sofa aja lebih aman’ pikirku.
‘Tega banget sih sama istri? Dia uda setia nungguin kamu pulang kerja, masakin masakan kesukaanmu, menyiapkan keperluanmu setiap hari? Masa kamu perlakukan dia seperti itu?’ Nuraniku berkata.
Plis deh… Aku juga capek… Seharian kerja dan sekarang waktunya istirahat. Kalau dipikir pikir lebih lelah aku kan? Mestinya dia harus mengerti dong…. Sisi hatiku menenangkan pergulatan emosiku.
Tanpa kusadar aku sudah ada di alam mimpi. Entah mendengkur atau tidak aku tak tahu. Yang jelas aku sangat capek dan butuh istirahat. Saking nyenyaknya tidurku tak sadar aku terbangun agak kesiangan. Meskipun telat subuhku, tetap kuusahakan untuk sholat. Ah… kenapa istriku tak membangunkanku?
“Masak apa Din?” tanyaku berusaha mencairkan suasana
Istriku hanya diam saja.
“Sarapan sudah siap di meja tuh…. Pagi ini aku enggak masak.”
Aneh! Sejak kapan dia sebut ‘aku’? Selalu dia panggil dirinya sendiri dengan sebutan ‘dinda’?
“Masih marah nih? Ntar malam nyesel lho….” Godaku.
Masih juga tak ada respon. Ya sudah… lebih baik segera sarapan dan langsung cabut ke kantor. Daripada jadi darah tinggi? Lagian aku harus mengejar target bulan ini kalau tak ingin bonusku hilang.
“Dinda…. Hallooow… Assalamu’alaikum…”kataku sambil terus melaju ke kantor.

**********
Malam itu aku pulang sedikit larut. Kulihat istriku sudah tidur. Aku memegang kunci ganda, karena kalau istriku sudah mengantuk tak perlu menungguku. Aku membuka pintu kamar pelan pelan, jangan sampai istriku terbangun.
Segera kubersihkan badan dan menikmati mie goreng yang kubeli di dekat kantor. Perutku lapar sekali, mungkin cacing di perutku sudah berteriak teriak minta jatah. Kubuka mie gorengku yang sudah mulai dingin. Hmm… nyam… nyam… Uenak tenan… Ketika sudah tinggal sendok terakhir tiba-tiba….
“Mas… Dinda minta!”
Haduuh… mie ku tinggal sesendok lagi. Apa pantas kutawarkan padanya? Tiba tiba dia menggeleng.
“Beliin lagi….” Rajuknya
Apa? Udah jam sebelas nih. Jarak rumah ke kantor lumayan jauhlah… lagian aku udah ngantuk banget.
“Besok aja ya, mas capek banget nih. Gimana kalo masak martabak mie seperti biasanya. Mas yang buatin. Pake telor dua deh…”
“Nggak mau!” jawabnya mantab.
Huh! Sebel! Dasar wanita! Manja! Kekanakan! Segala umpatan bersliweran dalam otakku. Dengan terpaksa aku berangkat juga.
 
Satu jam 
kemudian….
“Nih… mie nya….” Kataku menyerahkan sebungkus mie yang mulai dingin
“Udah gag selera…. Taruh aja di meja.” Jawab istriku sambil kemudian masuk ke kamar.
Huh!! Kalau saja tak mengingat istriku yang sudah menemaniku dua tahun ini, sudah kulempar bungkusan ini dihadapannya. Sabar… sabar…
“Din… mie nya gak dimakan? Enak lho…”
Tak ada jawaban.
Segera kutengok di dalam kamar dan kulihat pundaknya naik turun. Ya ampuunn… nangis lagi… nangis lagi….
“Kok nangis sih? Udah dibeliin jauh jauh…”
Tangis istriku semakin keras. Masya Allah…. Sementara aku sudah letih sekali. Tak lama kemudian akupun terlelap.

*********
Aku terbangun jam enam kurang seperempat. Gelagapan, segera ngacir ke kamar mandi. Wah, bakalan telat nih. Kulihat dinda masih tidur membelakangiku. Mungkin dia tadi habis subuh tidur lagi. Tapi kenapa tak membangunkanku?
“Dinda… udah siang nih. Mas mau berangkat. Baju Mas belum disetrika ya?”
Tak ada jawaban dari bibirnya sedikitpun. Jangankan jawaban, senyum pun tidak. Tiba tiba dia berdiri dan keluar kamar kemudian menyetel televisi. Ah… tumben tumbenan pagi pagi gini dinda menyalakan televisi.
Sudahlah… daripada tambah telat, kupakai saja pakaian kusut bekas kemarin. Toh yang malu dia juga. Kucari cari kaos kakiku, ternyata belum dicuci juga.
Ih… bodo amat. Sapa sih yang lihat dekilnya kaos kakiku?
Segera aku melesat ke kantor daripada telat. Tak ada ciuman mesra, tak ada ciuman tangan seperti biasanya. Tangis dinda semakin meninggalkan tanda tanya besar bagiku. Entah kenapa sekarang dikit dikit nangis, kalau tak menangis pasti ngambek.
Saat istirahat siang, ku curhatkan permasalahanku pada Pak Udin selaku bos ku dikantor. “Orang yang paling baik diantara kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya dan aku adalah orang yang paling baik diantara kamu terhadap istriku,” Sabda Nabi Muhammad Saw.
Kalimat Pak Udin terngiang ngiang di telingaku, membuat ingatanku tak bisa lepas dari dinda. Ah, istriku…. Sedang apa kau di rumah sekarang? Teringat akan diri ini yang tak pernah membantu urusan rumah. Sedangkan Rasulullah saja sering menjahit bajunya sendiri. Aku? Hiddih… mencuci piring bekas makanku saja tak pernah kulakukan. Aku bertekad, pulang nanti akan membahagiakan istriku.
Tak sabar rasanya ingin bertemu belahan jiwaku. Sebelum sampai rumah kusempatkan mampir ke toko bunga membeli serangkai mawar yang indah. Hmm… romantis nih… Ya, aku ingin berdamai dengan Dindaku. Meskipun aku tak merasa ada pertikaian diantara kami. Oh… betapa rindunya aku akan senyumnya.
Sampai di rumah….
“Dinda… Dinda sayang…” Kupanggil panggil istriku.
Kemana ya, kok tak ada jawaban? Biasanya sore begini dia sudah menungguiku pulang sambil membaca buku di teras depan. Dinda? Engkau dimana? Aku mulai cemas. Jangan jangan… Kutelusuri semua ruangan di rumah kami yang kecil. Tak mungkin dia tak mendengar panggilanku. Oh… mungkin membeli sesuatu di warung, hiburku. Aku menghampiri meja makan untuk melihat ada makanan tidak. Biasanya istriku membuat kue atau apalah sebagai teman minum sore. Mataku tertuju pada secarik kertas diatas meja. Sebuah surat.
“… Din pulang mas. Maaf, Din lagi kurang enak badan. Lebih baik Din dekat sama ibu, daripada ngrepotin mas. Mas kan sibuk banget. Maafkan Din ya, nggak pamit dulu sama mas.”
Aku lunglai. Pupus harapanku. Mengapa engkau pulang disaat aku ingin membahagiakanmu? Kulihat ada amplop di bawah kertas surat tadi. Segera kubuka amplop itu. Tertulis hasil test urine laboratorium. Hah?! Mataku membelalak. Dindaku… dindaku… ha… hamil…
Alhamdulillah, aku meloncat kegirangan. Tanpa ba-bi-bu lagi aku segera kupacu motor bututku untuk menjemput istriku yang cantik jelita. Maafkan mas yang selalu marah padamu, cuek tak memperhatikanmu. Ternyata kehamilanmu membuat perasaanmu menjadi sangat peka sehingga engkau sering tersinggung dan menangis. Oh… Dinda… permata hatiku, maafkan mas ya sayang…. Mas janji, tak ada tangis lagi. Mulai sekarang mas akan bikin kamu senang. Jangan menangis lagi ya Din…. 
^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar