Minggu, 18 September 2011

Anestesi Inhalasi

PENDAHULUAN
Nitrous oksida (N2O), kloroform, dan eter adalah agen pembiusan umum pertama yang diterima secara universal. Etil klorida, etilen, dan siklopropan kemudian menyusul, dengan zat yang terakhir cukup digemari pada saat itu karena induksinya yang singkat dan pemulihannya yang cepat tanpa disertai delirium. Sayang sekali sebagian besar agen-agen anestetik yang telah disebutkan tadi telah ditarik dari pasaran.
Sebagai contoh, eter sudah tidak digunakan secara luas karena mudah tersulut api dan berisiko mengakibatkan kerusakan hepar. Di samping itu, eter juga mempunyai beberapa kerugian yang tidak disenangi para anestetis seperti berbau menyengat dan menimbulkan sekresi bronkus berlebih. Kloroform juga kini dihindari karena toksik terhadap jantung dan hepar. Etil klorida, etilen, dan siklopropan pun tidak lagi digunakan sebagai anestetik, baik karena toksik ataupun mudah terbakar.
Metoksifluran dan enfluran termasuk agen anestetik generasi baru yang sempat digunakan bertahun-tahun tetapi jarang digunakan lagi karena toksisitas dan efikasinya. Metoksifluran adalah anestetik inhalasi yang paling poten, tetapi induksi dan pemulihannya relatif lambat. Lebih lanjut, sebagian metoksifluran dimetabolisme oleh sitokrom P-450 menghasilkan florida bebas (F), asam oksalat, dan bebrapa komponen lain yang bersifat nefrotoksik. Sementara itu, enfluran mengurangi kontraksi myokardial dan meningkatkan sekresi likuor serebrospinal (CSF). Selama anestesia, enfluran menginduksi perubahan elektroensefalograf yang dapat berprogresi pada pola spike-and-wave yang biasa ditemukan pada kejang tonik-klonik. Oleh karena itulah, dewasa ini baik metoksifluran maupun enfluran penggunaannya telah dibatasi.
Dengan ditariknya berbagai zat anestetik dari peredaran seperti yang dikemukakan di atas, kini terdapat lima agen inhalasi yang masih digunakan dalam praktik anestesi yakni nitrous oksida, halotan, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Anestetik inhalasi paling banyak dipakai untuk induksi pada pediatri yang mana sulit dimulai dengan jalur intravena. Di sisi lain, bagi pasien dewasa biasanya dokter anestesi lebih menyukai induksi cepat dengan agen intravena. Meskipun demikian, sevofluran masih menjadi obat induksi pilihan untuk pasien dewasa, mengingat baunya tidak menyengat dan onsetnya segera. Selain induksi, agen inhalasi juga sering digunakan dalam praktik anestesiologi untuk rumatan.
Studi mengenai kaitan antara dosis obat, konsentrasi jaringan, dan waktu kerja obat disebut sebagai farmakokinetik (bagaimana tubuh memengaruhi obat); sedangkan studi mengenai mekanisme aksi obat, termasuk respons toksik, disebut farmakodinamik (bagaimana obat memengaruhi tubuh). Setelah penjelasan secara umum tentang farmakokinetik dan dinamik anestetik inhalasi, akan dibahas farmakologi klinis dari masing-masing agen.
 
A.   Farmakokinetik Anestesi Inhalasi
Meskipun mekanisme aksi anestetik inhalasi masih belum diketahui secara pasti, para ahli mengasumsikan bahwa efek anestesia diperoleh dari konsentrasi terapetik di sistem saraf pusat. Sesuai dengan gambar berikut, terdapat beberapa langkah yang diperlukan zat anestetik inhalasi mulai dari vaporisasi di mesin anestesi hingga terdeposisi di jaringan otak.

Gambar 1. Perjalanan gas anestetik inhalasi dari mesin anestesia ke otak

Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Inspiratori (FI)
Gas segar yang keluar dari mesin anestesia bercampur dengan gas di sirkuit pernapasan sebelum dihirup oleh pasien. Oleh karena itu, pasien tidak serta-merta mendapatkan konsentrasi yang sesuai dengan pengaturan di vaporiser. Komposisi aktual campuran gas yang diinspirasi dipengaruhi oleh laju aliran gas segar, volume dalam sirkuit pernapasan, dan absorpsi mesin anestesia. Agen inhalasi yang terhirup akan semakin dekat dengan konsentrasi yang keluar dari mesin anestesia apabila laju aliran gas segar tinggi, volume sirkuit napas sedikit, dan absorpsi mesin rendah. Secara klinis, atribut-atribut demikian ditampilkan sebagai kecepatan induksi dan pemulihan.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Alveolar (FA)
Terdapat tiga faktor yang menentukan konsentrasi alveolar, yakni ambilan, ventilasi, dan konsentrasi.
Ambilan. Jika tidak ada ambilan (uptake) zat anestetik oleh tubuh, konsentrasi alveolar (FA) akan segera mencapai konsentrasi inspiratori (FI). Karena agen inhalasi diambil oleh sirkulasi pulmoner selama induksi, konsentrasi alveolar berkisar di bawah konsentrasi inspiratori (FA/FI < 1). Semakin besar ambilan, semakin lambat peningkatan konsentrasi alveolar dan semakin rendah pula rasio FA:FI.
Karena konsentrasi suatu gas sebanding dengan tekanan parsialnya, maka tekanan parsial gas anestetik di alveolus juga lambat peningkatannya. Tekanan parsial alveolar ini penting karena turut menentukan tekanan parsial agen anestetik tersebut di darah dan lebih lanjut di otak. Kembali lagi, tekanan parsial gas anestetik di otak secara langsung memengaruhi konsentrasi zat di jaringan otak, yang menentukan efek klinis pada pasien. Jadi, semakin besar ambilan agen anestetik, semakin besar pula perbedaan antara konsentrasi alveolar dengan konsentrasi inspiratori, dan semakin lambat kecepatan induksi.
Terdapat tiga hal yang dapat memengaruhi ambilan anestetik: solubilitas dalam darah, aliran darah alveolar, dan perbedaan tekanan parsial antara udara alveolar dan darah vena.
Zat yang insolubel seperti nitrous oksida diambil oleh darah lebih lambat daripada zat yang solubel seperti halotan. Akibatnya, konsentrasi alveolar nitrous oksida meningkat lebih cepat daripada halotan, dan induksinya lebih cepat. Solubilitas relatif dari anestetik dalam udara, darah, dan jaringan diekspresikan dalam koefisien partisi, seperti tampak pada tabel di atas. Masing-masing koefisien adalah rasio konsentrasi gas anestetik di dua medium saat terjadi kesetimbangan.

       Tabel 1. Koefisien parsial anestetik inhalasi pada 37°C
Anestetik
Darah/Udara
Otak/Darah
Otot/Darah
Lemak/Darah
Nitrous oksida
0.47
1.1
1.2
2.3
Halotan
2.4
2.9
3.5
60
Isofluran
1.4
2.6
4.0
45
Desfluran
0.42
1.3
2.0
27
Sevofluran
0.65
1.7
3.1
48

Faktor lain yang ikut memengaruhi ambilan adalah aliran darah alveolar, yang kurang lebih sama dengan curah jantung. Seiring dengan meningkatnya curah jantung, ambilan anestetik turut meningkat, dan peningkatan tekanan parsial alveolar semakin melambat, dan induksi menjadi lebih lambat. Pengaruh mengubah curah jantung kurang bermakna untuk anestetik insolubel, mengingat yang dapat terdifusi ke darah alveolar memang sedikit, baik aliran darah di sana lebih deras ataupun lebih tenang. Keadaan curah jantung yang sedikit merupakan berisiko mengakibatkan overdosis dengan anestetik sobulel, karena peningkatan konsentrasi alveolar yang terlalu cepat. Bahkan halotan, yang mempunyai efek depresi myokardial, apabila kadar alveolarnya lebih dari yang diharapkan akan semakin menurunkan curah jantung dan menciptakan umpan balik positif yang membahayakan pasien.
Satu faktor lagi yang memengaruhi ambilan anestetik oleh sirkulasi pulmoner adalah perbedaan tekanan parsial antara gas alveolar dan darah vena. Gradien ini bergantung pada ambilan oleh jaringan. Transfer anestetik dari darah ke jaringan ditentukan oleh tiga faktor yang analog dengan ambilan sistemik, yakni solubilitas agen di jaringan (koefisien partisi jaringan/darah seperti pada tabel halaman sebelumnya), aliran darah jaringan, dan perbedaan tekanan parsial antara darah arterial dengan jaringan.
Jaringan dapat digolongkan menjadi empat grup berdasarkan perfusi dan solubili-tasnya. Grup tinggi vaskularisasi (otak, jantung, liver, ginjal, dan organ endokrin) adalah yang pertama mengambil anestetik dalam jumlah yang signifikan. Grup otot (kulit dan otot) tidak mempunyai perfusi sebaik grup yang pertama, sehingga ambilannya lebih pelan. Kapasitasnya pun lebih besar; ambilan oleh grup kedua ini berlangsung dalam beberapa jam. Berlanjut ke grup berikutnya, perfusi di grup lemak kurang lebih sama dengan grup otot; tetapi solubilitas anestetik pada grup lemak yang luar biasa sekaligus volume jaringan yang relatif besar menghasilkan kapasitas total yang memerlukan beberapa hari untuk diisi. Grup terakhir beranggotakan jaringan perfusi minimal dengan vaskularisasi rendah (tulang, ligamen, gigi, rambut, dan kartilago) hampir tidak memberi kontribusi terhadap ambilan anestetik.

 Tabel 2. Klasifikasi jaringan berdasarkan perfusi dan solubilitas
Karakteristik
Vessel Rich
Otot
Lemak
Vessel Poor
Persentase berat badan
10
50
20
20
Persentase curah jantung
75
19
6
0
Perfusi (mL/min/100 g)
75
3
3
0
Solubilitas relatif
1
1
20
0

 Diagram 1. Laju peningkatan konsentrasi alveolar anestetik inhalasi

Ambilan anestesi meng-hasilkan kurva konsentrasi alveolar per waktu yang khas untuk masing-masing anestetik (diagram 1). Bentuk dari setiap grafik tersebut ditentukan oleh ambilan jaringan sesuai dengan grupnya (diagram 2). Mula-mula konsentrasi alveolar meningkat tajam oleh karena pengisian alveolar melalui ventilasi. Peningkatan tersebut kemudian melambat seiring dengan ambilan jaringan, terutama oleh grup kaya vaskuler dan grup otot, hingga mencapai kapasitas totalnya.
 
Diagram 2. Pengaruh ambilan jaringan terhadap peningkatan tekanan parsial alveolar

Ventilasi. Penurunan tekanan parsial alveolar oleh ambilan jaringan, seperti tampak pada diagram 2, dapat kembali ditingkatkan dengan ventilasi. Dengan kata lain, memberikan anestetik secara konstan dapat menstabilisasi konsentrasi alveolar. Meningkatkan ventilasi secara langsung akan meningkatkan rasio FA:FI untuk anestetik solubel. Berlawanan dengan agen inhalasi yang mendepresi curah jantung, anestetik yang mendepresi ventilasi (misalnya halotan) akan menurunkan laju peningkatan konsentrasi alveolar dan justru menghasilkan umpan balik negatif.
Konsentrasi. Efek ambilan juga dapat dikurangi dengan peningkatan konsentrasi inspirasi (FI). Menariknya, meningkatkan konsentrasi inspirasi tidak hanya meningkatkan konsentrasi alveolar, tetapi juga laju peningkatan tersebut (dengan kata lain meningkatkan FA:FI). Secara khusus, konsentrasi membawa dua fenomena yang disebut efek konsentrasi (concentration effect). Mungkin agak membingungkan, fenomena yang pertama adalah efek pengonsentrasian (concentrating effect). Misalkan 50% dari gas anestetik diambil oleh sirkulasi pulmoner, maka konsentrasi inspiratori sebesar 20% (20 bagian anestetik per 100 bagian gas) akan menghasilkan konsentrasi alveolar sebesar 11% (10 bagian anestetik tersisa dari total 90 bagian gas). Di sisi lain, jika konsentrasi inspirasi ditingkatkan menjadi 80% (80 bagian anestetik per 100 bagian gas), konsentrasi alveolar menjadi 67% (40 bagian anestetik tersisa dari volume 60 bagian gas). Melihat dua sampel tersebut, konsentrasi inspiratori yang lebih tinggi akan menghasilkan konsentrasi alveolar yang lebih tinggi secara disproporsional. Di contoh tadi, peningkatan 4 kali konsentrasi inspiratori akan menghasilkan 6 kali konsentrasi alveolar.
Fenomena yang kedua adalah efek aliran teraugmentasi (augmented inflow effect). Meneruskan contoh di atas, untuk mencegah kolapsnya alveoli, 10 bagian anestetik yang diabsorpsi oleh sirkulasi pulmoner harus digantikan oleh gas campuran dengan konsentrasi inspirasi 20%. Dengan demikian, konsentrasi alveolar menjadi 12% (10+2 bagian anestetik dari total 100 bagian gas). Lebih kontras, setelah absorpsi 50% anestetik dari gas 80% yang diinspirasi, perlu penggantian sebanyak 40 bagian menggunakan gas 80% pula. Dalam kasus ini akan diperoleh konsentrasi alveolar meningkat dari 67% menjadi 72% (40+32 bagian anestetik dari total volume 100 bagian gas).
Kedua fenomena yang termasuk efek konsentrasi di atas lebih dirasakan pada penggunaan nitrous oksida daripada agen inhalasi lainnya, karena anestetik tersebut dapat digunakan dalam konsentrasi yang jauh lebih tinggi. Sebagai tambahan, konsentrasi nitrous oksida yang tinggi akan teraugmentasi tidak hanya dipengaruhi oleh ambilan agen itu sendiri, melainkan juga oleh konsentrasi anestetik inhalasi lainnya. Fenomena yang satu ini disebut efek gas kedua (second gas effect) yang secara klinis tidak terlalu bermakna.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Arterial (Fa)
Hanya terdapat satu faktor yang memengaruhi konsentrasi arterial secara bermakna, yakni ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Normalnya, tekanan parsial anestetik di alveoli diasumsikan sama dengan darah arteri. Akan tetapi kenyataannya tekanan parsial arterial secara konstan kurang dari yang diperkirakan. Alasan di balik kejanggalan ini adalah pencampuran di darah vena, ruang rugi alveolar, dan distribusi gas di alveoli yang tidak merata. Lebih lanjut, adanya ketidakseimbangan ventilasi-perfusi akan semakin meningkatkan perbedaan konsentrasi alveolar dengan arterial. Ketidakseimbangan ini dapat diasumsikan sebagai restriksi: meningkatkan tekanan di depan restriksi, menurunkan tekanan di belakang restriksi, dan mengurangi aliran di restriksi itu sendiri.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Eleminasi
Pemulihan pascaanestesia bergantung pada penurunan konsentrasi anestetik di jaringan otak. Anestetik dapat dieleminasi dengan biotransformasi, kehilangan transkutaneus, atau ekshalasi. Biotransformasi biasanya tidak terlalu berkontribusi terhadap penurunan tekanan parsial alveolar. Pengaruh terbesar metode ini adalah pada eleminasi anestetik solubel yang mengalami metabolisme ekstensif seperti metoksifluran. Biotransformasi halotan yang lebih tinggi daripada isofluran mengakibatkan eleminasi halotan lebih cepat daripada isofluran. Beberapa isoenzim sitokrom P-450 terutama CYP 2EI tampak memegang peran penting dalam eleminasi beberapa agen anestetik inhalasi. Sementara itu, difusi transkutaneus juga terhitung tidak terlalu signifikan.
Rute terpenting dalam eleminasi anestetik inhalasi adalah ekshalasi melalui alveolus. Banyak faktor yang mempercepat induksi rupanya juga mempercepat eleminasi: rebreathing, tingginya aliran gas segar, rendahnya volume sirkuit, rendahnya absorpsi oleh sirkuit dan mesin anestesia, rendahnya solubilitas, tingginya aliran darah serebral, dan besarnya ventilasi. Eleminasi nitrous oksida sangat cepat sedemikian sehingga oksigen dan CO2 alveolar menjadi terdilusi; akibatnya terjadi hipoksia difusi. Risiko demikian dicegah dengan administrasi oksigen 100% selama 5–10 menit setelah menghentikan nitrous oksida. Laju pemulihan biasanya lebih cepat daripada induksi karena jaringan yang belum mencapai kesetimbangan akan terus mengambil anestetik dari darah hingga tekanan parsial alveolar menjadi lebih rendah daripada tekanan parsial jaringan. Lebih konkret, jaringan lemak akan terus mengambil anestetik dan mempercepat pemulihan hingga tekanan parsial di sana sama atau lebih tinggi daripada di alveoli. Redistribusi demikian tidak terjadi setelah anestesia yang sudah berlangsung lama; jadi kecepatan pemulihan juga dipengaruhi oleh durasi anestesia.


B.   Farmakodinamik Anestesi Inhalasi
Teori-teori mengenai Mekanisme Kerja Anestetik Inhalasi
Anestesia umum adalah keadaan fisiologis yang sengaja disimpangkan, ditandai dengan kehilangan kesadaran secara reversibel, analgesia seluruh tubuh, amnesia, dan sedikit relaksasi otot. Zat-zat yang dapat menghasilkan keadaan anestesia umum sangat beragam mulai dari elemen inert (xenon), substansi organik sederhana (nitrous oksida), hidrokarbon terhalogenasi (halotan), dan struktur irganik kompleks (barbiturat). Teori yang dapat menyatukan mekanisme kerja anestetik harus dapat mengakomodasi diversitas struktur yang telah tergambarkan tadi. Pada kenyataannya, berbagai agen mungkin menghasilkan anestesia melalui metodenya masing-masing.
Diduga kuat tidak terdapat satu situs aksi makroskopik bersama antara semua agen inhalasi. Area spesifik otak dipengaruhi oleh berbagai macam anestetik termasuk reticular activating system (RAS), korteks serebral, nukleus kaudatus, korteks olfaktorius, dan hipokampus. Anestetik juga menekan transmisi eksitatori pada medula spinalis, terutama di interneuron kornu dorsalis yang berperan dalam menyampaikan impuls nyeri. Aspek anestesia yang berbeda mungkin dilatarbelakangi oleh mekanisme yang berbeda pula. Misalnya, ketidaksadaran dan amnesia mungkin dimediasi oleh aksi anestetik di korteks, sementara supresi nyeri mungkin berkaitan dengan struktur subkortikal seperti medula spinalis atau batang otak. Suatu studi mencit bahkan menunjukkan bahwa pengangkatan korteks serebral tidak mengubah potensi anestetik!
Pada level mikroskopik, transmisi sinaptik lebih sensitif terhadap anestesia umum daripada konduksi aksonal. Hipotesis ini beranggapan bahwa semua agen inhalasi mempunyai suatu mekanisme yang sama di tingkat molekuler. Hal ini didukung oleh observasi di mana potensi agen-agen inhalasi berkorelasi secara langsung dengan solubilitasnya dalam lemak (aturan Meyer–Overton). Implikasinya, anestesia dihasilkan oleh kinerja molekul anestetik di suatu situs lipofilik tertentu. Relasi antara potensi anestetik dan solubilitasnya dalam lemak secara kasar dapat dilihat pada diagram 3.
 
Diagram 3. Relasi potensi anestetik inhalasi dengan solubilitasnya dalam lemak

Membran neuron mengandung situs hidrofobik beragam di bilayer fosfolipidnya. Ikatan anestetik di situs tersebut dapat memperluas bilayer melebihi jumlah kritisnya dan mengganggu fungsi membran; hal ini tertuang sebagai hipotesis volume kritis. Meskipun tampaknya terlalu disimplifikasikan, teori ini dapat menjelaskan fenomena reversal anestesia akibat peningkatan tekanan: laboratorium mencit yang terekspos tekanan hidrostatik yang meningkat ternyata resisten terhadap anestetik. Kemungkinan tekanan tersebut menggantikan sejumlah molekul di membran neuron, sehingga meningkatkan jumlah anestetik yang diperlukan untuk memberikan efek. Anestesia umum dapat muncul akibat alterasi satu atau beberapa sistem seluler seperti kanal ion, fungsi perantau kedua, atau reseptor neurotransmiter terutama GABA.

Konsentrasi Alveolar Minimum

Agen
MAC%
Nitrous oksida
105
Halotan
0.75
Isofluran
1.2
Desfluran
6.0
Sevofluran
2.0
Konsentrasi alveolar minimum atau minimum alveolar concentration (MAC) anestetik inhalasi adalah konsentrasi alveolar yang dapat menghambat gerakan pada 50% pasien terhadap stimulus standar seperti insisi bedah. MAC merupakan ukuran yang berguna karena merefleksikan tekanan parsial anestetik di otak, sehingga dapat membandingkan secara langsung potensi setiap anestetik sekaligus memberikan standar baku untuk penelitian. Meskipun demikian, nilai MAC tetap saja hanya merupakan angka statistikal belaka pada saat menangani pasien; masing-masing pasien merupakan individu yang unik dan oleh karena itu memerlukan pendekatan yang bersifat individual pula, misalnya pada saat menentukan dosis induksi.

C.   Farmakologi Klinik Anestesi Inhalasi
Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, lebih berat dari udara, serta tidak mudah terbakar dan meledak (kecuali jika dikombinasikan dengan zat anestetik yang mudah terbakar seperti eter). Gas ini dapat disimpan dalam bentuk cair dalam tekanan tertentu, serta relatif lebih murah dibanding agen anestetik inhalasi lain.
Efek terhadap Sistem Organ
Efek terhadap kardiovaskular dapat dijelaskan melalui tendensinya dalam menstimulasi sistem simpatis. Meski secara in vitro gas ini mendepresikan kontraktilitas otot jantung, namun secara in vivo tekanan darah arteri, curah jantung, serta frekuensi nadi tidak mengalami perubahan atau hanya terjadi sedikit peningkatan karena adanya stimulasi katekolamin, sehingga peredaran darah tidak terganggu (kecuali pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau hipovolemik berat).
Efek terhadap respirasi dari gas ini adalah peningkatan laju napas (takipnea) dan penurunan volume tidal akibat stimulasi Sistem Saraf Pusat (SSP). N2O dapat menyebabkan berkurangnya respons pernapasan terhadap CO2 meski hanya diberikan dalam jumlah kecil, sehingga dapat berdampak serius di ruang pemulihan (pasien jadi lebih lama dalam keadaan tidak sadar).
Efek terhadap SSP adalah peningkatan aliran darah serebral yang berakibat pada sedikit peningkatan tekanan intrakranial (TIK). N2O juga meningkatkan konsumsi oksigen serebral. Efek terhadap neuromuskular tidak seperti agen anestetik inhalasi lain, di mana N2O tidak menghasilkan efek relaksasi otot, malah dalam konsentrasi tinggi pada ruangan hiperbarik, N2O menyebabkan rigiditas otot skeletal.
Efek terhadap ginjal adalah penurunan aliran darah renal (dengan meningkatkan resistensi vaskular renal) yang berujung pada penurunan laju filtrasi glomerulus dan jumlah urin. Efek terhadap hepar adalah penurunan aliran darah hepatik (namun dalam jumlah yang lebih ringan dibandingkan dengan agen inhalasi lain). Efek terhadap gastrointestinal adalah adalanya mual muntah pascaoperasi, yang diduga akibat aktivasi dari chemoreceptor trigger zone dan pusat muntah di medula. Efek ini dapat muncul pada anestesi yang lama.
Biotransformasi dan Toksisitas
N2O sukar larut dalam darah, dan merupakan anestetik yang kurang kuat sehingga kini hanya dipakai sebagai adjuvan atau pembawa anestetik inhalasi lain karena kesukarlarutannya ini berguna dalam meningkatkan tekanan parsial sehingga induksi dapat lebih cepat (setelah induksi dicapai, tekanan parsial diturunkan untuk mempertahankan anestesia). Dengan perbandingan N2O:O2 = 85:15, induksi cepat dicapai tapi tidak boleh terlalu lama karena bisa mengakibatkan hipoksia (bisa dicegah dengan pemberian O2 100% setelah N2O dihentikan). Efek relaksasi otot yang dihasilkan kurang baik sehingga dibutuhkan obat pelumpuh otot. N2O dieksresikan dalam bentuk utuh melalui paru-[aru dan sebagian kecil melalui kulit.
Dengan secara ireversibel mengoksidasi atom kobalt pada vitamin B12, N2O menginhibisi enzim yang tergantung pada vitamin B12, seperti metionin sintetase yang penting untuk pembentukan myelin, serta thimidilar sintetase yang penting untuk sintesis DNA. Pemberian yang lama dari gas ini akan menghasilkan depresi sumsum tulang (anemia megaloblastik) bahkan defisiensi neurologis (neuropati perifer). Oleh karena efek teratogeniknya, N2O tidak diberikan untuk pasien yang sedang hamil (terbukti pada hewan coba, belum diketahui efeknya pada manusia).
Interaksi Obat
Kombinasinya dengan agen anestetik inhalasi lain dapat menurunkan MAC agen inhalasi tersebut sampai 50%, contohnya halotan dari 0,75% menjadi 0,29% atau enfluran dari 1,68% menjadi 0,6%.

Halotan
Merupakan alkana terhalogenisasi dengan ikatan karbon-florida sehingga bersifat tidak mudah terbakar atau meledak (meski dicampur oksigen). Halotan berbentuk cairan tidak berwarna dan berbau enak. Botol berwarna amber dan pengawet timol berguna untuk menghambat dekomposisi oksidatif spontan. Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, di mana induksi dan tahapan anestesia dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik dihentikan. Gas ini merupakan agen anestestik inhalasi paling murah, dan karena keamanannya hingga kini tetap digunakan di dunia.
Efek terhadap Sistem Organ
2 MAC dari halotan menghasilkan 50% penurunan tekanan darah dan curah jantung. Halotan dapat secara langsung menghambat otot jantung dan otot polos pembuluh darah serta menurunkan aktivitas saraf simpatis. Penurunan tekanan darah terjadi akibat depresi langsung pada miokard dan penghambatan refleks baroreseptor terhadap hipotensi, meski respons simpatoadrenal tidak dihambat oleh halotan (sehingga peningkatan PCO2 atau rangsangan pembedahan tetap memicu respons simpatis). Makin dalam anestesia, makin jelas turunnya kontraksi miokard, curah jantung, tekanan darah, dan resistensi perifer. Efek bradikardi disebabkan aktivitas vagal yang meningkat. Automatisitas miokard akibat halotan diperkuat oleh pemberian agonis adrenergik (epinefrin) yang menyebabkan aritmia jantung. Efek vasodilatasi yang dihasilkan pada pembuluh darah otot rangka dan otak dapat meningkatkan aliran darah.
Efek terhadap respirasi adalah pernapasan cepat dan dangkal. Peningkatan laju napas ini tidak cukup untuk mengimbangi penurunan volume tidal, sehingga ventilasi alveolar turun dan PaCO2. Depresi napas ini diduga akibat depresi medula (sentral) dan disfungsi otot interkostal (perifer). Halotan diduga juga sebagai bronkodilator poten, di mana dapat mencegah bronkospasme pada asma, menghambat salivasi dan fungsi mukosiliar, dengan relaksasi otot maseter yang cukup baik (sehingga intubasi mudah dilakukan), namun dapat mengakibatkan hipoksia pascaoperasi dan atelektasis. Efek bronkodilatasi ini bahkan tidak dihambat oleh propanolol.
Dengan mendilatasi pembuluh darah serebral, halotan menurunkan resistensi vaskular serebral dan meningkatkan aliran darah otak, sehingga ICP meningkat, namun aktivitas serebrum berkurang (gambaran EEG melambat dan kebutuhan O2 yang berkurang). Efek terhadap neuromuskular adalah relaksasi otot skeletal dan meningkatkan kemampuan agen pelumpuh otot nondepolarisasi, serta memicu hipertermia malignan.
Efek terhadap ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi glomerulus, dan jumlah urin, semua ini diakibatkan oleh penurunan tekanan darah arteri dan curah jantung. Efek terhadap hati adalah penurunan aliran darah hepatik, bahkan dapat menyebabkan vasospasme arteri hepatik. Selain itu, metabolisme dan klirens dari beberapa obat (fentanil, fenitoin, verapamil) jadi terganggu.
Biotransformasi dan Toksisitas
Eksresi halotan utamanya melalui paru, hanya 20% yang dimetabolisme dalam tubuh untuk dibuang melalui urin dalam bentuk asam trifluoroasetat, trifluoroetanol, dan bromida. Halotan dioksidasi di hati oleh isozim sitokrom P-450 menjadi metabolit utamanya, asam trifluoroasetat. Metabolisme ini dapat dihambat dengan pemberian disulfiram. Bromida, metabolit oksidatif lain, diduga menjadi penyebab perubahan status mental pascaanestesi. Disfungsi hepatik pascaoperasi dapat disebabkan oleh: hepatitis viral, perfusi hepatik yang terganggu, penyakit hati yang mendasari, hipoksia hepatosit, dan sebagainya. Penggunaan berulang dari halotan dapat menyebabkan nekrosis hati sentrolobular dengan gejala anoreksia, mual muntah, kadang kemerahan pada kulit disertai eosinofilia.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Halotan dikontraindikasikan pada pasien dengan disfungsi hati, atau pernah mendapat halotan sebelumnya. Halotan sebaiknya digunakan secara hati-hati pada pasien dengan massa intrakranial (kemungkinan adanya peningkatan TIK). Efek depresi miokard oleh halotan dapat dieksaserbasi oleh agen penghambat adrenergik (seperti propanolol) dan agen penghambat kanal ion kalsium (seperti verapamil). Penggunaannya bersama dengan antidepresan dan inhibitor monoamin oksidase (MAO-I) dihubungkan dengan fluktuasi tekanan darah dan aritmia. Kombinasi halotan dan aminofilin berakibat aritmia ventrikel.

Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Memiliki struktur kimia yang mirip dengan enfluran, isofluran berbeda secara farmakologis dengan enfluran. Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat intravena untuk mempercepat induksi. Tanda untuk mengamati kedalaman anestesia adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan frekuensi denyut jantung.
Efek terhadap Sistem Organ
Secara in vivo, isofluran menyebabkan depresi kardiak minimal, curah jantung dijaga dengan peningkatan frekuensi nadi. Stimulasi adrenergik meningkatkan aliran darah otot, menurunkan resistensi vaskular sistemik,dan menurunkan tekanan darah arteri (karena vasodilatasi). Dilatasi juga terjadi pada pembuluh darah koroner sehingga dipandang lebih aman untuk pasien dengan penyakit jantung (dibanding halotan atau enfluran), namun ternyata dapat menyebabkan iskemia miokard akibat coronary steal (pemindahan aliran darah dari area dengan perfusi buruk ke area yang perfusinya baik).
Efek terhadap respirasi serupa dengan semua agen anestetik inhalasi lain, yakni depresi napas dan menekan respons ventilasi terhadap hipoksia, selain itu juga berperan sebagai bronkodilator. Isofluran juga memicu refleks saluran napas yang menyebabkan hipersekresi, batuk, dan spasme laring yang lebih kuat dibanding enfluran. Isofluran juga mengganggu fungsi mukosilia sehingga dengan anestesi lama dapat menyebabkan penumpukan mukus di saluran napas.
Efek terhadap SSP adalah saat konsentrasi lebih besar dari 1 MAC, isofluran dapat meningkatkan TIK, namun menurunkan kebutuhan oksigen. Efek terhadap neuromuskular adalah merelaksasi otot skeletal serta meningkatkan efek pelumpuh otot depolarisasi maupun nondepolarisasi lebih baik dibandingkan enfluran. Efek terhadap ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi glomerulus, dan jumlah urin. Efek terhadap hati adalah menurunkan aliran darah hepatik total (arteri hepatik dan vena porta), fungsi hati tidak terganggu.
Biotransformasi dan Toksisitas
Isofluran dimetabolisme menjadi asam trifluoroasetat, dan meski kadar fluorida serum meningkat, kadarnya masih di bawah batas yang merusak sel. Belum pernah dilaporkan adanya gangguan fungsi ginjal dan hati sesudah penggunaan isofluran. Penggunaannya tidak dianjurkan untuk wanita hamil karena dapat merelaksasi otot polos uterus (perdarahan persalinan). Penurunan kewaspadaan mental terjadi 2-3 jam sesudah anestesia, tapi tidak terjadi mual muntah pascaoperasi.

Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat absorben dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar menguap, dibutuhkan vaporiser khusus untuk desfluran. Dengan struktur yang mirip isofluran, hanya saja atom klorin pada isofluran diganti oleh fluorin pada desfluran, sehingga kelarutan desfluran lebih rendah (mendekati N2O) dengan potensi yang juga lebih rendah sehingga memberikan induksi dan pemulihan yang lebih cepat dibandingkan isofluran (5-10 menit setelah obat dihentikan, pasien sudah respons terhadap rangsang verbal). Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah singkat atau bedah rawat jalan. Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi. Desfluran bersifat ¼ kali lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten dibanding N2O.
Efek terhadap Sistem Organ
Efek terhadap kardiovaskular desfluran mirip dengan isofluran, hanya saja tidak seperti isofluran, desfluran tidak meningkatkan aliran darah arteri koroner. Efek terhadap respirasi adalah penurunan volume tidak dan peningkatan laju napas. Secara keseluruhan terdapat penurunan ventilasi alveolar sehingga terjadi peningkatan PaCO2. Efek terhadap SSP adalah vasodilatasi pembuluh darah serebral, sehingga terjadi peningkatan TIK, serta penurunan konsumsi oksigen oleh otak. Tidak ada laporan nefrotoksik akibat desfluran, begitu juga dengan fungsi hati.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Desfluran memiliki kontraindikasi berupa hipovolemik berat, hipertermia malignan, dan hipertensi intrakranial. Desfluran juga dapat meningkatkan kerja obat pelumpuh otot nondepolarisasi sama halnya seperti isofluran.

Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin. Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai dalam 1-3 menit.
Efek terhadap Sistem Organ
Sevofluran dapat menurunkan kontraktilitas miokard, namun bersifat ringan. Resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arterial secara ringan juga mengalami penurunan, namun lebih sedikit dibandingkan isofluran atau desfluran. Belum ada laporan mengenai coronary steal oleh karena sevofluran. Agen inhalasi ini dapat mengakibatkan depresi napas, serta bersifat bronkodilator. Efek terhadap SSP adalah peningkatan TIK, meski beberapa riset menunjukkan adanya penurunan aliran darah serebral. Kebutuhan otak akan oksigen juga mengalami penurunan. Efeknya terhadap neuromuskular adalah relaksasi otot yang adekuat sehingga membantu dilakukannya intubasi pada anak setelah induksi inhalasi. Terhadap ginjal, sevofluran menurunkan aliran darah renal dalam jumlah sedikit, sedangkan terhadap hati, sevofluran menurunkan aliran vena porta tapi meningkatkan aliran arteri hepatik, sehingga menjaga aliran darah dan oksigen untuk hati.
Biotransformasi dan Toksisitas
Enzim P-450 memetabolisme sevofluran. Soda lime dapat mendegradasi sevofluran menjadi produk akhir yang nefrotoksik. Meski kebanyakan riset tidak menghubungkan sevofluran dengan gangguan fungsi ginjal pascaoperasi, beberapa ahli tidak menyarankan pemberian sevofluran pada pasien dengan disfungsi ginjal. Sevofluran juga dapat didegradasi menjadi hidrogen fluorida oleh logam pada peralatan pabrik, proses pemaketannya dalam botol kaca, dan faktor lingkungan, di mana hidrogen fluorida ini dapat menyebabkan luka bakar akibat asam jika terkontak dengan mukosa respiratori. Untuk meminimalisasi hal ini, ditambahkan air dalam proses pengolahan sevofluran dan pemaketannya menggunakan kontainer plastik khusus.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Sevofluran dikontraindikasikan pada hipovolemik berat, hipertermia maligna, dan hipertensi intrakranial. Sevofluran juga sama seperti agen anestetik inhalasi lainnya, dapat meningkatkan kerja pelumpuh otot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar