Teknik
bedah rawat jalan dilakukan secara terpisah pertama kali tahun 1970 di
Amerika Serikat. Dengan berkembangnya bidang anestesi dan pembedahan
maka bedah rawat jalan juga mengalami kemajuan yang pesat, termasuk
bedah rawat jalan pasien dewasa. Jumlah operasi yang dilakukan dengan
teknik bedah rawat jalan juga terus meningkat. Pada tahun 1994, sekitar
66% operasi elektif di Amerika Serikat dilakukan dengan bedah rawat
jalan. Saat ini, Sekitar 70% pembedahan di Amerika Serikat telah
dilakukan dengan bedah rawat jalan.
Tujuan utama bedah
rawat jalan adalah terlaksananya prosedur pembedahan yang lebih efektif
dan lebih ekonomis sehingga memberi keuntungan terhadap pasien, rumah
sakit serta pihak yang membayar (third party payrs). Faktor
utama pemilihan teknik bedah rawat jalan adalah penekanan biaya tetapi
tetap mempertahankan kualitas pengobatan, sehingga morbiditas akibat
prosedur pembedahan ataupun karena penyakit sebelumnya tidak lebih besar
dibandingkan dengan pasien rawat inap.
Keuntungan
bagi pasien dengan teknik bedah rawat jalan ini adalah mengurangi
biaya, mengurangi waktu rawat sehingga waktu berpisah dengan keluarga
dan lingkungan menjadi lebih singkat, mengurangi waktu tunggu untuk
pembedahan, mengurangi resiko infeksi nosokomial rumah sakit, tidak
bergantung pada jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit
sehingga pasien lebih fleksibel dalam memilih jadwal operasi.
Dibandingkan dengan pasien rawat inap, pemeriksaan laboratorium
berkurang serta mengurangi kebutuhan obat pascabedah.
Hasil yang diharapkan pada penatalaksanaan anestesi (Value-based anesthesia care)
Meningkatnya keinginan untuk mewujudkan peningkatan outcome
pasien, efektifitas biaya, dan pembatasan sumberdaya memaksa ahli
anestesi untuk terus melakukan penilaian dan evaluasi terhadap cost-to-benefit
ratio pada setiap proses dalam tindakan anestesi. Menurut Orkin, para
konsumen layanan kesehatan mencari pelayanan yang berdasarkan nilai,
dimana outcome pasien yang terbaik dapat dicapai dengan biaya yang
rasional. Evaluasi yang objektif pada setiap proses dalam anestesi
(evaluasi prabedah, skrining laboratorium, pemilihan teknik dan agen
anestesi, efek pada outcome pasien, efek pada perawatan
pascabedah, dan pengaruh secara keseluruhan terhadap pelayanan
kesehatan) harus selalu dilakukan secara terintegrasi bila penyedia jasa
kesehatan tetap ingin mempertahankan nilai ekonomis dalam pelayanannya.
Pemilihan pasien
Keputusan
untuk menentukan apakah pasien layak untuk menjalani bedah rawat jalan
harus berdasarkan penilaian individual masing-masing pasien, yang
ditentukan oleh kombinasi dari beberapa faktor termasuk patient consideration, prosedur pembedahan, teknik anestesi, dan tingkat kemampuan dan kenyamanan ahli anestesi.
Lamanya
operasi bukan suatu kriteria untuk bedah rawat jalan, sebab hanya ada
sedikit hubungan antara lamanya anestesi dengan cepatnya pemulihan.
Penyelesaiannya adalah operasi yang lama harus diacarakan untuk operasi
yang paling pagi.
Penekanan
pada pertimbangan biaya dalam pembedahan menyebabkan peralihan dari
bedah rawat inap menjadi bedah rawat jalan meningkat tajam. Hal ini juga
berdampak pada perubahan dalam kriteria seleksi pasien bedah rawat
jalan dan dimasukkannya pasien dengan kondisi medis yang kompleks,
dimana pada masa lalu dinyatakan tidak fit untuk bedah rawat jalan. Isu
mengenai seleksi pasien makin membesar karena hanya sedikit data dan
penelitian mengenai kriteria dalam seleksi pasien ini. Pada awal
diperkenalkannya bedah rawat jalan hanya pasien dengan status ASA I dan
ASA II yang dipilih untuk prosedur bedah rawat jalan. Saat ini, pasien
yang digolongkan pada status ASA III dan ASA IV juga merupakan calon
operasi bedah rawat jalan asalkan penyakit sistemiknya dalam keadaan
stabil.
Penelitian
yang dilakukan Friedman tahun 2004 untuk menilai metode pemilihan
pasien pada bedah rawat jalan terkini serta mengidentifikasi kriteria
pemilihan pasien untuk bedah rawat jalan menunjukkan bahwa tingkat
keparahan kondisi medis masih berhubungan dengan opini ahli anestesi
untuk menerima atau menolak prosedur bedah rawat jalan. Dalam penelitian
tersebut tidak ditentukan jenis operasi khusus yang akan dilakukan.
Pada
kasus dimana terdapat gangguan jantung bedah rawat jalan dapat dilakukan
pada pasien dengan angina pectoris class II, CHF class I dan infark
miokard yang lebih dari 6 bulan, dengan catatan dalam keadaan gejala
ringan atau terkontrol. Begitu juga dengan kelainan katup yang
asimtomatis, dapat dilakukan bedah rawat jalan. IDDM dan Morbidly Obesity
(MO) tanpa penyakit sistemik bukan kontraindikasi untuk bedah rawat
jalan. Dalam survey ini juga didapatkan fakta bahwa sebagian besar ahli
anestesi setuju untuk melakukan bedah rawat jalan pada kasus suspek
Malignant Hyperthermia.
Kasus
yang ditolak oleh ahli anestesi untuk bedah rawat jalan dalam survey
tersebut termasuk Angina Pektoris class IV, CHF class IV dan severe MO
dengan co-morbidities. Pasien dengan Miokard Infark dalam 1-6
bulan sebelum operasi, CHF class III, MO dengan BMI 35-44 kg per meter
persegi dengan penyakit sistemik tidak termasuk kriteria pasien bedah
rawat jalan. Sleep apneu dengan anestesi regional serta sleep apneu dengan anestesi umum tanpa pemberian narkotik pascabedah dapat diterima sebagai calon bedah rawat jalan, kecuali sleep apneu dengan
anestesi regional dan anestesi umum yang disertai dengan pemberian
narkotik pascabedah. Pasien yang tidak ditemani orang dewasa yang
mendampingi tidak disetujui untuk bedah rawat jalan.
University
of Chicago Hospitals telah memisahkan beberapa kelompok pasien yang
tidak dapat dijadikan calon untuk bedah rawat jalan:
- Pasien dengan status fisik ASA III dan ASA IV yang unstable. Pasien dengan kondisi ini diskrining pada saat evaluasi prabedah oleh ahli anestesi, kemudian dirujuk kepada konsultan medis terkait dan bersama dengan penatalaksanaan oleh ahli bedah, setelah itu baru direncanakan untuk operasi setelah kondisinya stabil.
- Malignant Hyperpyrexia. Termasuk pasien dengan riwayat malignant hyperpyrexia ataupun suspek malignant hyperpyrexia. Tetapi sebagian rumah sakit tetap melakukan bedah rawat jalan pada kondisi ini.
- Terapi Monoamine Oxidase Inhibitors (MAO). Karena instabilitas hemodinamik yang berhubungan dengan tatalaksana anestesi pada pasien yang sedang dalam terapi MAO, obat tersebut dihentikan minimal 2 minggu sebelum operasi.
- Obesitas Morbid kompleks / Sleep Apneu kompleks. Walaupun pasien dengan riwayat sleep apneu atau dengan morbidly obese tanpa penyakit sistemik merupakan calon bedah rawat jalan, rawat inap dan observasi pascabedah dilakukan pada pasien morbidly obese dengan disertai gangguan jantung, paru-paru, hepar, atau ginjal serta pasien dengan riwayat sleep apneu kompleks.
- Ketagihan obat-obatan akut. Karena peningkatan respon kardiovaskular ketika agen anestetik diberikan pada seseorang yang ketergantungan obat-obatan.
- Kesulitan psikososial. Pasien yang menolak untuk dilakukan operasi dengan teknik bedah rawat jalan tidak dapat dipaksa. Pasien yang telah menjalani pembedahan rawat jalan harus dalam pengawasan orang dewasa yang bertanggung jawab terhadapnya.
Evaluasi prabedah
Setiap
fasilitas bedah rawat jalan harus mengembangkan metode skrining prabedah
sebelum hari operasi. Dalam bedah rawat jalan ahli anestesi adalah
orang yang terlibat langsung pada perawatan dan tatalaksana pasien,
meyakinkan pasien diskrining dan dievaluasi secara tepat. Juga harus
mengingatkan pasien tentang jadwal datang ke rumah sakit, restriksi
makanan (puasa), pakaian yang harus dipakai, transportasi ke rumah
sakit, maupun kebutuhan perawatan anggota keluarga lain yang
ditinggalkan serta harus ada orang dewasa yang mengantar pulang ke rumah
dari rumah sakit setelah selesai operasi.
Disamping
untuk mengurangi rasa cemas pasien, evaluasi prabedah yang dilakukan
ahli anestesi juga bertujuan untuk mengidentifikasi potensi masalah
medis, mencari etiologinya, dan bila perlu melakukan koreksi yang tepat.
Dengan demikian dapat mengurangi pembatalan serta komplikasi bedah
rawat jalan.1
Saat ini terdapat berbagai cara untuk melakukan evaluasi dan skrining pasien bedah rawat jalan, seperti:
- Pasien datang ke fasilitas bedah rawat jalan sebelum hari operasi.
- Pasien datang ke kantor ahli anestesi sebelum hari operasi
- Wawancara melalui telepon.
- Meneliti hasil pemeriksaan medis/data medis pasien
- Visite dan pemeriksaan prabedah pada pagi hari sebelum pembedahan
- Pengumpulan informasi pasien dengan bantuan komputer (computer assisted information gathering).
Computer Assisted Information Gathering
Saat ini telah banyak tersedia tools
dan media komputer yang bermanfaat untuk evaluasi prabedah yang sangat
membantu ahli anestesi dalam melakukan evaluasi prabedah.
HealthQuiz
Plus 2 adalah sebuah program komputer yang simpel dengan koneksi
internet atau telepon untuk evaluasi prabedah. Program ini dikembangkan
oleh Michael F. Roizen, MD di University of Chicago. Program ini hanya
terdiri 4 pilihan (yes, no, not sure, dan next question).
Pertanyaan-pertanyaan dalam program HelathQuiz Plus 2 ditampilkan dalam
format yang sederhana dan mudah dimengerti. Pasien diberikan sebuah
nomor rahasia (PIN) yang hanya diketahui oleh dokter dan pasien
bersangkutan. Data yang telah disimpan hanya dapat diakses oleh dokter
yang telah memiliki PIN khusus, dan dapat ditransfer langsung ke
komputer utama, di fax atau email ke komputer bagian penjadwalan kamar
operasi atau ke ahli bedah. Dengan demikian kebutuhan kertas untuk
menyimpan data tidak lagi dibutuhkan. Dan jika dokter telah menggunakan
sistem komputerisasi dalam penyimpanan data maka kebutuhan sekretaris
untuk menginput data dapat ditiadakan.
Sistem
ini dapat dihubungkan dengan printer. Untuk keperluan tertentu dokter
dapat mencetak data yang penting seperti alergi terhadap bahan tertentu,
kesulitan atau permasalahan pada tindakan anestesi sebelumnya,
gejala-gejala pasien, serta saran untuk pemeriksaan laboratorium
prabedah. Rekomendasi untuk pemeriksaan prabedah tersedia setelah semua
pertanyaan dalam HealthQuiz Plus 2 dijawab oleh pasien.
Keuntungan
lain adalah pasien dapat menerima sistem ini, pasien lebih antusias
berpartisipasi dalam menilai kesehatannya, dan hasil dapat dicetak serta
dipegang oleh pasien bersangkutan sebagai bahan informasi bagi mereka.
Program HealthQuiz Plus 2 dapat diakses melalui internet dengan sistem small pay per use, atau melalui jaringan telepon, atau dengan lisensi pada fasilitas rumah sakit.
Evaluasi
prabedah pada Thomas Jefferson University Hospital di Philadelphia saat
ini juga telah dilakukan dengan sistem komputer. Sistem yang
dikembangkan disini bernama JeffSprint. Dalam sistem ini bebas dipilih
cara drop-down list, check boxes, dan mouse-click.
Pemakaian teknologi ini telah meningkatkan efisiensi penggunaan
sumberdaya rumah sakit, sehingga lebih banyak pasien yang bisa dikelola
tiap harinya.
Walter Maurer dan Raymond Borkowski dari Cleveland Clinic telah merintis penggunaan HealthQuest System
pada Cleveland Clinic dan beberapa fasilitas jaringannya. Sistem
skrining dan evaluasi prabedah ini dapat digunakan diberbagai tempat,
termasuk rumah sakit, pusat bedah rawat jalan, dan juga kantor ahli
bedah. Implementasi serta penerimaan yang luas dari sistem ini telah
meningkatkan efisiensi evaluasi prabedah serta kepuasan pasien secara
dramatis. Selama periode 3 tahun hampir sebagian pasien tidak perlu
mengunjungi klinik sebelum tindakan pembedahan. Prosedur yang tidak
perlu dalam evaluasi dan skrining prabedah juga dapat dihilangkan. Hal
ini dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan pasien.
Persiapan pasien
Persiapan
pasien yang matang dalam bedah rawat jalan perlu dilakukan agar
tercapai kondisi yang optimal bagi pasien yang akan menjalani operasi.
Restriksi makanan dan minuman sebelum operasi bedah rawat jalan:
- Untuk menurunkan risiko pneumonitis dan obstruksi jalan napas akibat aspirasi isi lambung, pasien secara rutin diminta tidak makan makanan padat 6-8 jam sebelum operasi. Atau puasa setelah tengah malam (bila operasi dilakukan pagi hari) yang harus disampaikan secara lisan dan tertulis.
- Kebutuhan untuk melarang minum cairan pada periode prabedah (sampai 2 jam sebelum induksi anestesi) masih dievaluasi, karena:
a. Minum cairan jernih tidak meningkatkan volume cairan lambung pada saat induksi anestesi.
b. Aman minum air sampai 150 ml pada saat minum obat.
c. Salah satu keuntungan mengizinkan minum kopi pada peminum kopi adalah menurunnya
kejadian sakit kepala setelah operasi.
Pemberian obat-obatan yang biasa dipakai pasien sebelum operasi:
- Obat-obat anti hipertensi tetap diminum sampai hari operasi. Obat-obat untuk merubah perasaan seperti fluoxetin, trisiklik anti depresan, mono-amine oxidase inhibitor, dan lithium dapat terus diberikan tetapi harus diwaspadai untuk kemungkinan terjadinya interaksi obat-obatan. Pemberian aspirin dapat terus dilakukan terutama bila resiko perdarahan pada operasi minimal. Pada operasi besar/risiko perdarahan besar aspirin dihentikan mulai 7 hari prabedah.
- Pemeriksaan EKG perlu dilakukan pada pasien umur lebih dari 40 tahun atau bila ada indikasi.
- Bila pada pemeriksaan ditemukan masalah medis, sebaiknya operasi ditangguhkan dan pasien dievaluasi kembali.
Persiapan pada hari operasi
Pasien
harus diperiksa ulang oleh ahli anestesi karena bisa terjadi
perubahan-perubahan yang mendadak misalnya infeksi saluran napas bagian
atas atau apakah pasien melaksanakan semua instruksi untuk puasa, adanya
teman yang mengantar dan menerangkan prosedur anestesi serta
penandatanganan surat izin operasi. Kanula intravena dipasang untuk
pemberian obat anestesi nantinya serta pemberian cairan bila diperlukan.
Premedikasi
pasien bedah rawat jalan tidak jauh berbeda dengan pasien yang dirawat
sehingga tetap diberikan obat-obat premedikasi untuk anti cemas, nyeri
pascabedah, mual muntah serta untuk menurunkan risiko pneumonitis bila
terjadi aspirasi isi lambung selama pembedahan. Kebanyakan obat
premedikasi tidak memperlambat pemulihan bila diberikan dalam dosis yang
tepat. Benzodiazepin adalah obat yang paling sering digunakan untuk
menurunkan kecemasan dan memberikan sedasi untuk pasien bedah rawat
jalan. Adanya amnesia setelah premedikasi dengan benzodiazepin harus
diperhatikan walaupun tidak ada penelitian yang melaporkan adanya
amnesia retrograd.
Opioid
mungkin digunakan prabedah untuk menimbulkan efek sedasi, mengendalikan
hipertensi selama intubasi, dan untuk menurunkan nyeri setelah operasi.
Keefektifan opioid dalam menghilangkan kecemasan masih kontroversi.
Masalah yang dihubungkan dengan penggunaan opioid adalah hipoventilasi,
gatal-gatal, mual dan muntah, yang sangat tidak diinginkan pada pasien
bedah rawat jalan. Propofol kadang-kadang digunakan untuk sedasi sebelum
induksi anestesi dengan dosis 0,7 mg/kgbb intravena.
Kehilangan
cairan akibat puasa 6-8 jam tidak menjadi masalah, sehingga tidak perlu
dilakukan koreksi cairan yang hilang akibat puasa. Pemasangan kateter
intravena hanya untuk pemberian obat-obatan saja. Kebutuhan untuk
pemberian cairan operasi pasien bedah rawat jalan masih kontrovesial.
Untuk operasi yang sangat singkat seperti miringotomi mungkin tidak
diperlukan pemberian cairan dengan pengecualian bila puasanya lama atau
tidak mampu minum segera setelah operasi selesai dan bangun penuh.
Pasien
yang akan menjalani bedah rawat jalan mungkin mempunyai risiko aspirasi
isi lambung, walaupun risiko ini tidak lebih besar daripada pasien yang
dirawat. Bisa dipertimbangkan pemberian obat-obat profilaksis untuk
pasien-pasien tertentu misalnya dengan hiatus hernia, obesitas, atau
parturien. Obat-obat profilaksis untuk mencegah aspirasi adalah:
- H2 receptor antagonist: cimetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin
- Substitusi benzimidazol: omeprazol
- Antasida non partikel: sodium sitrat
- Obat-obat gastrokinetik: metoclopramid
Pemeriksaan laboratorium sebagai skrining
Kepercayaan yang salah sebelumnya mengenai pemeriksaan laboratorium untuk skrining prabedah adalah “shotgun labs” merupakan
yang terbaik untuk pasien dan dokter. Namun saat ini program bedah
rawat jalan secara kontinyu memperbaiki substansi pemeriksaan
laboratorium untuk skrining pasien. Kebanyakan pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan tidak memberikan kontribusi yang menguntungkan terhadap
tatalaksana perioperatif pasien. Walaupun pemeriksaan laboratorium dapat
membantu optimalisasi kondisi prabedah pasien ketika suatu penyakit
terdeteksi, tetapi terdapat beberapa hal yang yang merupakan
kekurangannya, yaitu:
- Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut sering kali tidak bisa mengungkap kondisi patologi penyakit
- Nilai abnormal yang kadang terungkap tidak penting dalam memperbaiki pengelolaan serta outcome pasien.
- Tidak efisien untuk skrining suatu penyakit yang tidak terdeteksi pada anamnesa dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan baik dan tepat.
- Nilai abnormal yang didapatkan melalui pemeriksaan laboratorium sering tidak di follow up dengan tepat
- Nilai false positif pemeriksaan laboratorium akan meningkatkan kecemasan pasien, meningkatkan penundaan operasi serta biaya, dilakukannya pemeriksaan-pemeriksaan serta terapi yang lebih invasiv yang bersifat traumatik pada pasien.
Blue Cross/Blue Shield
memperkirakan sekitar 30 triliun dolar telah dikeluarkan untuk
pemeriksaan prabedah di Amerika Serikat tahun 1984, mereka yakin sekitar
12-18 triliun dolar tiap tahun dapat disimpan bila hanya pemeriksaan
prabedah yang tepat yang dilakukan.
Banyak
fasilitas saat ini membatasi pemeriksaan-pemeriksaan prabedah
berdasarkan tindakan operasi dan usia pasien, terdapatnya penyakit
penyerta, serta riwayat pengobatan. Roizen menyarankan untuk dilakukan
seminimal mungkin pemeriksaan laboratorium skrining prabedah pada pasien
sehat, tetapi pada pasien dengan baseline disease yang signifikan
(hipertensi, CAD, diabetes) memerlukan pemeriksaan lanjutan (EKG,
elektrolit, rontgen torak). Pertimbangan usia tidak mengharuskan
dilakukan pemeriksaan tambahan lanjutan. Hasil penelitian Schein dan
kawan-kawan pada pasien geriatri yang akan dilakukan operasi katarak
dengan lokal anestesi dan sedasi tidak didapatkan perbedaan yang
signifikan terhadap safety pembedahan antara kelompok yang
dilakukan pemeriksaan prabedah rutin geriatri (EKG, elektrolit, BUN,
kreatinin, glukosa) dan kelompok yang tidak dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan tersebut.
Sampai
saat ini, Illinois Ambulatory Surgical Treatment Act menyarankan
pemeriksaan standar hemoglobin atau hematokrit dan urinalisis pada semua
pasien yang akan dilakukan bedah rawat jalan.
Pemilihan teknik anestesi
Pemilihan
suatu teknik anestesi didasarkan pada kondisi kesehatan pasien,
prosedur pembedahan serta keinginan dan permintaan pasien, bila
memungkinkan. Dalam bedah rawat jalan terdapat beberapa teknik anestesi
yang dapat dipilih:
- Anestesi umum
- Anestesi regional, dengan atau tanpa sedasi
- Monitored Anestesi Care (MAC), anestesi lokal yang disertai dengan sedasi, ahli anestesi memonitor tanda vital serta fungsi tubuh pasien
- Anestesi lokal, mungkin tidak disertai oleh ahli anestesi dalam tim pembedahan
Ahli
anestesi akan mendiskusikan resiko dan keuntungan masing-masing teknik
dengan pasien, dan berdasarkan informasi yang dikumpulkan ahli anestesi
pada waktu skrining dan evaluasi prabedah pilihan anestesi yang terbaik
akan didiskusikan dengan pasien. Teknik anestesi yang optimal pada bedah
rawat jalan harus memenuhi kriteria:
- Menciptakan kondisi pembedahan yang prima.
- Pemulihan yang cepat (rapid recovery).
- Tidak ada efek samping pascabedah.
- Kepuasan pasien.
Disamping
itu, teknik anestesi yang dipakai harus mengambil peran dalam
peningkatan kualitas serta penurunan biaya, meningkatkan efisiensi
penggunaan kamar operasi, serta pemulangan pasien yang lebih cepat tanpa
efek samping.
Belakangan, penggunaan Monitored Anesthesia Care
(MAC) lebih dipilih oleh banyak ahli anestesi sebagai alternatif dari
anestesi umum dan anestesi regional pada bedah rawat jalan.
Dikenalkannya obat-obat anestesi yang lebih rapid dan shorter-acting seperti volatile anestesi
(desfluran dan sevofluran), analgetik opioid (remifentanil) dan pelemas
otot (rapacuronium) memberi peluang bagi ahli anestesi untuk lebih
konsisten mencapai kondisi pemulihan yang lebih ideal setelah tindakan
anestesi umum.
Induksi anestesi sering dilakukan dengan propofol. Propofol menjadi drug of choice
pada anestesi bedah rawat jalan. Setelah bolus saat induksi konsentrasi
propofol menurun secara cepat dalam plasma. Propofol juga memiliki
klirens metabolik yang cepat, sekitar 10x lebih cepat dibanding
thiopental. Rasa sakit akibat suntikan dapat dikurangi dengan pemakaian
vena besar atau didahului maupun dicampur pemberiannya dengan lidokain.
Propofol juga sering dipakai untuk maintenance anestesi. Pemakaian propofol sebagai maintenance mengurangi insidensi PONV bila dibandingkan dengan maintenance
anestesi dengan inhalasi. Etomidat juga sering dipakai pada induksi
bedah rawat jalan dengan dosis 0,3 mg/kgbb. Masalah nyeri akibat
etomidat sekarang dapat dikurangi dengan mengganti pelarut etomidat
dengan trigliserida rantai sedang, sedangkan masalah mioklonus dapat
diatasi dengan pemberian fentanil, sufentanil sebelum induksi anestesi.
Sevofluran dengan sifat tidak iritatif terhadap saluran napas dan solubility
yang rendah dapat digunakan sebagai induksi inhalasi yang cepat dan
aman. Insidensi kejadian komplikasi respirasi sangat rendah sedangkan
kualitas induksinya sama baik bahkan lebih dibandingkan halotan.6
Sevofluran
dan desfluran merupakan 2 obat anestesi inhalasi yang baru
diperkenalkan dan sangat berguna pada anestesi bedah rawat jalan. Kedua
obat ini dieliminasi dengan cepat dan menghasilkan recovery
yang cepat dari anestesi. Kedalaman anestesi dengan kedua obat ini lebih
terkendali. Kekurangannya, obat ini lebih mahal dibanding obat anestesi
inhalasi lainnya. Tidak seperti sevofluran, desfluran tidak dapat
dipergunakan untuk induksi inhalasi karena bersifat iritatif terhadap
saluran napas.
Pemberian pelemas otot yang bersifat intermediate atau short acting non-depolarizing
lebih disukai daripada suksinil kolin karena kemungkinan adanya
mialgia, malignant hipertermi, dan hiperkalemia. Walau demikian,
suksinil kolin memberikan onset yang paling cepat dan terutama digunakan
bila ada risiko aspirasi isi lambung. Reversal pelemas otot
non-depolarisasi harus diberikan bila ada keraguan bahwa masih ada efek
relaksasi otot. Tetapi harus diingat bahwa pemberian prostigmin dapat
meningkatkan kejadian muntah.
Opioid
yang sering digunakan adalah fentanil untuk tambahan analgesi selama
anestesi. Bila tersedia lebih baik remifentanil karena memiliki lama
kerja yang lebih singkat dibanding fentanil dan tidak memiliki efek
kumulatif.
Walaupun pertimbangan pada anestesi bedah rawat jalan harus dicapai rapid recovery dan cost effectiveness menyebabkan penggunaan obat anestesi dibatasi, kejadian awareness dan recall
pada bedah rawat jalan dengan anestesi umum tidak meningkat dibanding
bedah rawat inap, dengan dosis dan tatalaksana anestesi yang sama.
Tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa anestesi regional lebih aman daripada
anestesi umum. Anestesi regional yang biasa dipakai untuk bedah rawat
jalan adalah spinal anestesi, epidural anestesi, caudal anestesi, blok
saraf tepi, regional anestesi intravena dan infiltrasi.
Faktor utama yang menyebabkan keterlambatan pemindahan pasien (discharge)
dengan anestesi spinal sebelumnya adalah pemulihan dari residual
blokade motorik, efek simpatolitik dari blok subarakhnoid, berperan
dalam delayed ambulation serta void inability. Efek samping ini dapat diminimalisasi dengan pemakaian teknik spinal anestesi mini-dose lidocaine fentanyl,
lidokain dosis lebih kecil (15-30 mg) atau bupivakain (3-6 mg)
dikombinasi dengan opioid (fentanil 12,5-25 µg atau sufentanil 5-10 µg)
menghasilkan efek pemulihan motorik dan bladder function lebih cepat dibanding dosis konvensional anestesi lokal tunggal. Teknik ini mampu meningkatkan cost-effectiveness
pada bedah rawat jalan. Tetapi, efek samping seperti pruritus dan
nausea akan meningkat dengan penggunaan fentanil walaupun dalam dosis
kecil pada blok subarakhnoid. Permasalahan lain dari spinal anestesi
termasuk back pain, PDPH, dan transient radicular irritation karena lidokain.
Kombinasi antara low cost dan kepuasan pasien yang menggambarkan kualitas terbaik dari prosedur anestesi mungkin dapat dicapai dengan teknik Monitored Anesthesia Care (MAC)
dengan syarat anestesi pada prosedur pembedahan tersebut dapat dicapai
dengan teknik ini (seperti bedah superficial dan prosedur endoskopi).
Perkembangan dalam teknik sedasi dan analgesi untuk melengkapi anestesi
lokal infiltrasi telah meningkatkan penggunaan teknik MAC dalam
pembedahan. Kepuasan pasien dengan teknik MAC juga berhubungan dengan
efektifitas terhadap pengendalian nyeri dan tidak adanya efek samping
pascabedah yang umum terjadi pada teknik anestesi spinal atau anestesi
umum. Keberhasilan teknik MAC bukan hanya tergantung dari ahli anestesi
tetapi juga kemampuan ahli bedah dalam melakukan infiltrasi lokal yang
efektif serta gentle handling terhadap jaringan tubuh selama introperatif. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa teknik MAC lebih cost-effective daripada anestesi spinal atau anestesi umum.
Konsep Fast-track anesthesia
Konsep
fast-track dalam pembedahan pertama kali diperkenalkan pada awal tahun
1990. Dengan konsep ini maka pasien dapat pulang lebih cepat dari rumah
sakit dan melakukan aktifitas normalnya setelah menjalani operasi.
Prinsip utama pada fast-track anesthesia adalah pasien tidak
melewati PACU (fase I recovery), pasien langsung dipindahkan dari kamar
operasi menuju ruang pemulihan fase 2 (fase II recovery). Fast-track anesthesia
tumbuh karena kebutuhan untuk pengendalian biaya kesehatan, tetapi
keuntungan paradigma ini lebih besar daripada hanya pengurangan biaya
perawatan, termasuk juga outcome dan kepuasan pasien. Meningkatnya penggunaan teknik bedah minimally invasive, perkembangan
obat-obat baru termasuk yang mula kerjanya cepat, durasi kerja lebih
cepat, obat-obatan analgesik dan pelemas otot merupakan bagian dalam
perkembangan fast-track anesthesia.
Keuntungan fast-track anesthesia:
- Pemulihan cepat
- Mengurangi lama tinggal di rumah sakit
- Mengurangi kebutuhan monitoring dan lembar observasi
- Mengizinkan pasien kembali dengan cepat ke lingkungan yang lebih menyenangkan
- Mengurangi biaya perawatan di ruang pemulihan
Kerugian fast-track anesthesia:
- Kehilangan pendapatan rumah sakit
- Meningkatnya risiko komplikasi pascabedah
- Diperlukan training perawat
- Meningkatnya kerja perawat di ruang pemulihan fase 2
- Memerlukan pemulihan yang tepat dari anestesi.
Sebuah kriteria untuk menentukan apakah pasien layak untuk fast-track anesthesia telah dibuat, karena penggunaan Modified Aldrete Score yang biasa digunakan sebagai kriteria discharge
pasien dari PACU tidak adekuat digunakan pada pasien bedah rawat jalan
terutama dengan anestesi umum karena tidak mencakup komplikasi yang
biasa terjadi di PACU (seperti: nyeri, mual, dan muntah). Didalam sistem
skoring tersebut pasien yang layak untuk fast-track adalah pasien dengan nilai dari semua kriteria >12 dan tidak ada nilai 0. Fast-track scoring system baru
ini memiliki kelebihan dibanding modified Aldrete’s scoring system
dalam penilaian kelayakan pasien bedah rawat jalan untuk bypassing PACU setelah menjalani bedah rawat jalan dengan anestesi umum.
Tabel 1. Fast Track Criteria yang diusulkan untuk menentukan pasien dapat ditransfer langsung dari kamar bedah ke ruang pemulihan fase II.
Kesadaran
|
Nilai
|
Sadar penuh
|
2
|
Respon terhadap rangsang minimal
|
1
|
Respon hanya bila dirangsang fisik
|
0
|
Aktifitas fisik
|
|
Mampu menggerakan semua anggota gerak sesuai perintah
|
2
|
Ada kelemahan pada bagian anggota gerak
|
1
|
Tidak mampu menggerakkan semua anggota gerak
|
0
|
Stabilitas hemodinamik
|
|
Tekanan darah, ± 15% dari nilai MAP awal
|
2
|
Tekanan darah, 15%–30% dari nilai MAP awal
|
1
|
Tekanan darah, > 30% dari nilai MAP awal
|
0
|
Stabilitas respirasi
|
|
Mampu bernafas dalam
|
2
|
Takipneu tapi mampu batuk
|
1
|
Dispneu dan tidak mampu batuk
|
0
|
Saturasi oksigen
|
|
Saturasi > 90% dengan udara bebas
|
2
|
Saturasi > 90% dengan bantuan oksigen via nasal canul
|
1
|
Saturasi < 90% dengan oksigen tambahan
|
0
|
Nyeri pascabedah
|
|
Tidak ada atau minimal
|
2
|
Nyeri sedang sampai berat dengan tambahan analgetik IV
|
1
|
Nyeri berat yang menetap
|
0
|
Muntah pascabedah
|
|
Tidak ada atau mual minimal tanpa muntah
|
2
|
Muntah kadang-kadang
|
1
|
Muntah sering dengan derajat sedang sampai berat
|
0
|
Nilai total
|
14
|
Penggunaan
teknik anestesi yang berhubungan dengan rapid recovery akan
menghasilkan lebih sedikit pasien yang tetap tersedasi dalam pada fase
awal pascabedah, mengurangi resiko obstruksi jalan napas dan gangguan
kardiorespiratori, dan menurunkan intervensi perawat. Dengan menurunnya
intervensi dari perawat pada fase awal pascabedah ini maka tenaga
perawat dapat dikurangi pada ruang pemulihan, sehingga penghematan biaya
dapat dilakukan.
Penggunaan analgetik non opioid (anestesi lokal, ketamin, NSAID, COX-2 inhibitor, asetaminofen) serta anti emetik (droperidol, metoclopramid, 5-HT3 antagonist,
dexametason) secara preemptif akan mengurangi efek samping pascabedah
dan mempercepat kedua fase pemulihan setelah bedah rawat jalan.
Ahli anestesi memiliki peran penting dalam konsep fast-track dengan pendekatan perioperative medical care.
Peranan ahli anestesi tersebut yaitu melalui tindakan dalam pemilihan
pengobatan prabedah, obat dan teknik anestesi, penggunaan obat
profilaksis untuk meminimalisasi efek samping, serta pemberian
obat-obatan untuk memelihara fungsi organ selama dan setelah operasi.
Keputusan ahli anestesi sebagai seorang pengelola perioperatif sangat
penting bagi tim pembedahan untuk mencapai kesuksesan program fast-track dalam pembedahan.
Pemulihan (Recovery)
Pemulihan adalah suatu proses yang secara tradisional dibagi atas 3 bagian yang saling tumpang tindih yaitu early recovery, intermediate recovery, dan late recovery. Early recovery
dimulai dari dihentikannya obat anestesi supaya pasien bangun,
kembalinya refleks proteksi jalan napas, dan dimulainya aktifitas
motorik. Intermediate recovery bila sudah mencapai kriteria untuk dapat dipulangkan ke rumah. Late recovery mulai dari dipulangkan sampai pulihnya fungsi fisiologis ke keadaan seperti sebelum pembedahan.
- Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktifitas motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna kulit. Total skor maksimalnya 10. Penggunaan pulse oksimetri dapat menolong lebih akuratnya indikator oksigenasi, dan diusulkanlah suatu modifikasi skoring aldrete yang mengganti kriteria warna pada Aldrete skor dengan SpO2 pada modifikasi sistem skoring Aldrete.
Table 2. Modified Aldrete Scoring System
Aktifitas: mampu menggerakkan ekstremitas
|
|
4 ekstremitas
|
2
|
2 ekstremitias
|
1
|
0 ekstremitias
|
0
|
Respirasi
|
|
Mampu nafas dalam dan batuk
|
2
|
Dispneu atau nafas terbats
|
1
|
Apneu
|
0
|
Sirkulasi
|
|
BP 6 ± 20 mmHg dari nilai sebelum anestesi
|
2
|
BP 6 ± 20–50 mmHg dari nilai sebelum anestesi
|
1
|
BP 6 ± 50 mmHg dari nilai sebelum anestesi
|
0
|
Kesadaran
|
|
Sadar penuh
|
2
|
Respon bila dipanggil
|
1
|
Tidak ada respon
|
0
|
Saturasi oksigen
|
|
Saturasi oksigen > 92% dengan udara bebas
|
2
|
Saturasi oksigen > 90% dengan bantuan oksigen tambahan
|
1
|
Saturasi oksigen < 90% walaupun dengan oksigen tambahan
|
0
|
Tersediannya
obat-obatan anestesi yang lebih cepat onset serta lebih pendek
durasinya (seperti propofol, sevofluran, desfluran, dan remifentanil)
membuka jalan untuk pemulihan yang lebih cepat setelah anestesi umum,
penggunaan analgetik preemtif non opioid (seperti anestesi lokal,
ketamin, NSAID, COX-2 inhibitors, ibuprofen, dan parasetamol) serta antiemetik (seperti droperidol, metoklopramid, 5-HT3 antagonist, dan deksametason) akan mengurangi efek samping pascabedah serta akan mempercepat pemulihan pada early dan late recovery pada bedah rawat jalan.
Kemajuan teknik bedah rawat jalan telah melahirkan suatu konsep baru yaitu fast-track yang menyebabkan pasien tidak harus melewati PACU untuk menjalani fase I recovery. Dengan teknik fast-track
pasien dari kamar bedah langsung di pindahkan ke ruang pemulihan fase
II tanpa melalui PACU, sehingga biaya di PACU tidak ada, yang berarti
akan menekan biaya sehingga akan menguntungkan pasien. Kriteria yang
dipakai untuk fast-track ini berbeda dengan modifikasi sistem
Aldrete (tabel 1). Sistem skoring ini mempertimbangkan faktor nyeri dan
muntah, suatu efek samping yang sering terjadi di PACU.
Pemulangan (Discharge)
Program
bedah rawat jalan yang sukses tergantung pada pemulangan pasien yang
tepat waktu setelah anestesi. Beberapa kriteria yang telah dibuat untuk
menentukan kesiapan pasien untuk dipulangkan seperti Guidelines for Safe Discharge After Ambulatory Surgery dan PADSS (Post Anesthesia Disharge Scoring System).
PADSS merupakan suatu sistem skoring yang secara objektif menilai
kondisi pasien untuk dipulangkan. Modifikasi PADSS dibuat karena dalam
kriteria PADSS terdapat ketentuan mampu minum pascabedah, dimana
ketentuan minum pascabedah tidak lagi dimasukkan kedalam protokol
kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan pada pasien tertentu. Modifikasi PADSS berdasarkan 5 kriteria, yaitu:
- Tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, temperature)
- Ambulasi
- Mual/muntah
- Nyeri
- Perdarahan akibat pembedahan
Bila skor mencapai ≥ 9, pasien cukup aman untuk dipulangkan ke rumah.
Tabel 3. Modified PADSS
1. Tanda vital
|
2 = sekitar 20% dari nilai prabedah
|
1 = 20 – 40% dari nilai prabedah
|
0 = 40% dari nilai prabedah
|
2. Pergerakan
|
2 = mampu berdiri/tidak ada pusing
|
1 = dengan bantuan
|
0 = tidak ada pergerakan/pusing
|
3. Mual/muntah
|
2 = minimal
|
1 = sedang
|
0 = berat
|
4. Nyeri
|
2 = minimal
|
1 = sedang
|
0 = berat
|
5. Perdarahan
|
2 = minimal
|
1 = sedang
|
0 = berat
|
Total nilai 10. Bila nilai ≥ 9 pasien dinyatakan bisa dipulangkan
|
Tuntutan bahwa pasien harus kencing/voiding
memperlambat pemulangan pasien. Pasien bedah rawat jalan yang tidak
berisiko terhadap retensi urin aman untuk dipulangkan sebelum mereka
mampu untuk kencing. Faktor resiko terjadinya retensi urin pascabedah
termasuk:
- Riwayat retensi urin pascabedah
- Anestesi spinal/epidural
- Pembedahan pelvis/urologi
- Kateterisasi perioperatif
Retensi
urin pascabedah dapat disebabkan inhibisi refleks kencing akibat
manipulasi bedah, pemberian cairan yang berlebihan sehingga menyebabkan
distensi kandung kemih, nyeri, kecemasan, efek sisa dari anestesi spinal
atau epidural.
Menunggu
pasien untuk bisa minum tanpa terjadi muntah juga memperlambat
pemulangan pasien. Penelitian mengenai masalah ini membuktikan bahwa
tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap kejadian PONV pada
pasien yang telah memiliki toleransi untuk minum dengan yang tidak
sebelum pasien dipulangkan.
Pemulangan pasien setelah anestesi regional
Sejumlah
teknik anestesi regional dapat dipakai untuk bedah rawat jalan, mulai
dari anestesi spinal sampai ke blok ekstremitas. Pasien yang dilakukan
anestesi regional mempunyai kriteria pemulangan yang sama dengan pasien
yang di anestesi umum.
Anestesi
regional memiliki keuntungan dan masalah pada bedah rawat jalan.
Pemulangan pasien dengan regional anestesi lebih cepat daripada anestesi
umum. Kejadian PONV, dizziness, dan nyeri yang biasa terjadi pada anestesi umum lebih rendah pada anestesi regional.
Anestesi spinal merupakan teknik yang simpel dan reliable dipergunakan secara luas saat ini. Karena short-acting
lidokain sering dipakai pada bedah rawat jalan untuk anestesi spinal.
Masalahnya lidokain yang dipakai untuk spinal anestesi dapat menyebabkan
kejadian TRI (Transient Radicular Irritation). Namun masalah ini dapat dikurangi dengan metode spinal mini-dose,
yaitu mencampur lidokain dosis kecil dengan opioid (contohnya lidokain
15-30 mg dengan fentanil 12,5-25 µg). Kejadian PDPH (Post Dural Punctre
Headache) akibat spinal juga menjadi masalah pada bedah rawat jalan.
Penggunaan jarum spinal yang lebih kecil (no. 29) dan jenis pencil point akan mengurangi kejadian tersebut.
Sebelum
pemulangan pasien bedah rawat jalan dengan anestesi spinal harus yakin
bahwa blok sensorik, motorik, dan simpatik telah mengalami regresi.
Kriteria yang dapat dipakai untuk menilai hal tersebut termasuk: sensasi
normal perianal (S4-5), fleksi plantar, propriosepsi pada ibu jari
kaki.
Faktor yang memperlambat pemulangan pasien
Beberapa
faktor dapat menjadi penyebab lambatnya waktu pemulangan pasien.
Meningkatnya umur dihubungkan dengan lambatnya pemulihan, suatu
perbedaan umur 10 tahun dihubungkan dengan 2% perubahan lama tinggal.
Operasi THT, strabismus, congestive heart failure merupakan prediktor prabedah yang penting untuk lambatnya pemulangan.
Sebuah studi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemulangan pasien dewasa pada bedah rawat jalan adalah:
- Perawat pada ruang pemulihan fase II, merupakan faktor paling penting dalam menentukan waktu pemulangan setelah bedah rawat jalan dengan anestesi umum. Pelatihan perawat yang adekuat, standarisasi tugas perawat, umpan balik yang positif, insentif untuk meningkatkan efisiensi, akan membawa pengaruh besar dalam menurunkan waktu pemulangan pasien.
- Orang dewasa pendamping pasien.
- Pengaruh anestesi termasuk pengelolaan nyeri, mual dan muntah serta drowsiness. Pemilihan teknik dan obat-obatan anestesi juga mempunyai pengaruh besar dalam menurunkan waktu pemulangan yang disesuaikan dengan jenis operasi dan jenis kelamin pasien.
Penanganan komplikasi pascabedah
Pengelolaan nyeri
Penanganan
yang tidak adekuat terhadap komplikasi pascabedah seperti nyeri dan
PONV akan memperlambat waktu pemulangan pasien pada bedah rawat jalan.
Kemajuan dalam pengendalian nyeri pascabedah akan mempercepat
normalisasi kualitas dan fungsi kehidupan yang biasanya didapatkan
setelah berminggu-minggu setelah operasi elektif. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkatan nyeri pada bedah rawat jalan antara lain jenis
pembedahan dan anestesi, analgetik yang diberikan saat anestesi, faktor
demografi pasien, riwayat analgetik (toleransi analgetik), serta respon
emosional dan fisiologi terhadap nyeri itu sendiri. Pengelolaan nyeri
pascabedah harus dimulai intraoperatif atau idealnya saat prabedah untuk
menjamin pemulihan yang bebas nyeri.
Penggunaan
analgetik opioid pada perioperatif berhubungan dengan kejadian
toleransi opioid akut dan hiperalgesia, hipoventilasi, sedasi, mual dan
muntah, retensi urin, dan ileus yang akan memperlambat waktu kepulangan
pasien dari rumah sakit serta menambah biaya pengobatan.
Analgesi
multimodal yang dikembangkan sekarang ini melibatkan penggunaan lebih
dari satu macam penanganan nyeri guna mendapatkan efek sinergis
analgetik dalam upaya menurunkan efek samping yang berhubungan dengan
penggunaan opioid. Teknik multimodal analgesi ini terbukti mampu
meningkatkan pemulihan serta outcome pasien setelah bedah rawat jalan dan telah menjadi standar dalam pelaksanaan prosedur fast-track.
Mengingat banyaknya efek
samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid sebagai analgetik
maka ketertarikan terhadap penggunaan NSAID yang poten (seperti
diklofenak, ketorolak) menjadi meningkat, yang terbukti efektif
menurunkan kebutuhan obat analgetik oral opioid-containing pada
bedah rawat jalan. Obat analgetik non steroid oral yang lebih murah
(seperti ibuprofen, naproxen) dapat diterima sebagai alternatif
pengganti fentanil dan obat NSAID non selektif parenteral jika diberikan
sebagai preemtif. Penambahan ketamin dosis rendah (75-150 µg/kgbb) pada
analgetik multimodal akan meningkatkan kerja analgetik pascabedah serta
functional outcome setelah operasi orthopedi. Pada bedah rawat
jalan nyeri sudah harus terkontrol dengan analgetik oral (seperti
parasetamol, ibuprofen, parasetamol dengan codein) sebelum pasien
dipulangkan. Ibuprofen 800 mg menghasilkan efek analgetik yang lebih
baik dibanding parasetamol 800 mg dengan codein 60 mg bila diberikan
setiap 8 jam selama 3 hari setelah bedah rawat jalan. Penggunaan
ibuprofen secara signifikan juga jarang menyebabkan konstipasi, yang
biasa terjadi setelah pemberian codein.
Karena
penggunaan NSAID yang non selektif (seperti ketorolak) berpengaruh
terhadap perdarahan karena mengganggu aggregasi platelet, premedikasi
dengan COX-2 inhibitor (seperti celecoxib, rofecoxib, valdecoxib,
parecoxib) menjadi makin popular karena tidak berpengaruh terhadap
fungsi aggregasi platelet. Pada penggunaan rutin, premedikasi oral
dengan rofecoxib 50 mg, celecoxib 400 mg, atau valdecoxib 40 mg
merupakan pendekatan yang sederhana dan cost-effective dalam
meningkatkan pengendalian nyeri serta mempersingkat waktu pemulangan
pasien pada bedah rawat jalan.
Idealnya,
analgetik non opioid multiple (seperti NSAID, parasetamol, COX-2
inhibitor) dapat dikombinasikan untuk mencapai pengelolaan nyeri yang
optimal, serta mungkin tanpa penggunaan opioid.
Pemakaian
anestesi lokal sebagai analgetik intraoperatif pada MAC juga pada
anestesi umum dan anestesi spinal memberikan efek analgesi yang yang
sangat baik pada awal pemulihan serta pemulangan pasien. Bahkan
infiltrasi lokal pada luka/bekas jahitan meningkatkan analgesi
pascabedah setelah operasi abdominal bawah, ektremitas, dan pembedahan
laparoskopi.
Teknik
analgesi non farmakologi seperti elektroanalgesia (transcutaneus
electrical nerve stimulation/TENS), akupunktur, serta percutaneus
neuromodulation therapy juga dapat dipergunakan sebagai tambahan dalam
pengelolaan nyeri pada bedah rawat jalan.
Optimalisasi
pengelolaan nyeri sangat diperlukan untuk memaksimalkan keuntungan
bedah rawat jalan bagi pasien serta penyedia jasa kesehatan. Obat
analgetik serta teknik pengelolaan nyeri non farmakologi yang aman,
simpel, serta lebih murah sangat diperlukan dalam pengendalian nyeri
yang cost-effective pada bedah rawat jalan.
Pengelolaan PONV
Post Operative Nausea and Vomiting
(PONV) masih merupakan masalah yang umum pada bedah rawat jalan, dan
kejadiannya 20-30% setelah pemberian anestesi umum dan dilaporkan masih
terjadi pada 35% pasien setelah dipulangkan kerumah, sehingga mencegah
PONV merupakan prioritas bagi pasien.
Society for Ambulatory Anesthesia/SAMBA mengeluarkan pedoman pengelolaan PONV. Faktor resiko kejadian PONV pada dewasa termasuk:
- Faktor resiko yang berasal dari pasien: wanita, tidak merokok, riwayat PONV sebelumnya, dan mabuk perjalanan.
- Faktor resiko anestesi: penggunaan volatile anestesi, pemakaian N2O, penggunaan opioid intraoperatif serta pascabedah.
- Faktor pembedahan: lamanya pembedahan (setiap penambahan 30 menit durasi pembedahan akan meningkatkan resiko PONV 60%, sehingga resiko PONV 10% akan meningkat menjadi 16% setelah 30 menit), jenis pembedahan (laparoskopi, laparotomi, operasi payudara, strabismus, bedah plastic, maxillofacial, operasi ginekologi, abdomen, neurology, operasi mata, serta operasi urologi).
Apfel
dkk. Menyederhanakan faktor resiko PONV pada pasien dewasa dengan
membuat suatu sistem skoring yang terdiri dari 4 kategori yaitu: wanita,
tidak merokok, riwayat PONV dan penggunaan opioid pascabedah. Bila 0,
1, 2, 3, atau 4 faktor tersebut ada maka kejadian PONV adalah sekitar
10%, 20%, 40%, 60%, atau 80%. Strategi untuk mengurangi resiko PONV
adalah:
- Menghindari pemakaian anestesi umum, dengan menggunakan anestesi regional.
- Penggunaan propofol untuk induksi serta rumatan anestesi.
- Menghindari pemakaian N2O.
- Menghindari pemakaian obat anestesi volatil
- Meminimalkan pemakaian opioid intraoperatif dan pascabedah.
- Meminimalkan pemakaian prostigmin
- Pemberian cairan yang adekuat.
Antiemetik yang digunakan sebagai profilaksis PONV pada pasien dewasa termasuk :
- 5-hydroxytryptamine (5-HT3) antagonist (seperti ondansetron, dolasetron, granisetron, dan tropisetron)
- Steroid (seperti deksametason)
- Phenothiazines (prometazin dan proklorperazin)
- Penylethylamine (efedrin)
- Butyrophenones (droperidol, haloperidol)
- Antihistamin (dimenhidrinat)
- Antikolinergik (skopolamin transdermal)
Obat-obat antiemetik ini direkomendasikan pada pasien dengan tingkat resiko moderat sampai resiko tinggi terhadap PONV.
Tabel 4. Dosis serta waktu pemberian obat antiemetik profilaksis
Obat
|
dosis
|
waktu
|
Dexamethasone
|
4–5 mg IV
|
At induction
|
Dimenhydrinate
|
1 mg/kg IV
|
End of surgery
|
Dolasetron
|
12.5 mg IV
|
End of surgery
|
Droperidol
|
0.625–1.25 mg IV
|
End of surgery
|
Ephedrine
|
0.5 mg/kg IM
|
End of surgery
|
Granisetron
|
0.35–1.5 mg IV
|
End of surgery
|
Haloperidol
|
0.5–2 mg IM/IV
|
End of surgery
|
Prochlorperazine
|
5–10 mg IM/IV
|
End of surgery
|
Promethazineb
|
6.25–25 mg IV
|
At induction
|
Ondansetron
|
4 mg IV
|
End of surgery
|
Scopolamine
|
Transdermal patch
|
Prior evening or 4 h
before surgery
|
Tropisetron
|
2 mg IV
|
End of surgery
|
Kombinasi
lebih dari satu jenis profilaksis (multimodal) direkomendasikan pada
pasien yang beresiko sedang sampai tinggi terjadinya PONV, dimana
terdapat 2 atau lebih faktor resiko. Dalam kombinasi tersebut harus
terdiri dari obat dengan mekanisme kerja yang berbeda-beda. Strategi
multimodal juga termasuk penggunaan propofol dan teknik analgesi
berbasis anestesi lokal, pemberian cairan yang adekuat, serta
meminimalkan penggunaan opioid selama perioperatif.
Penggunaan antiemetik profilaksis non farmakologi (akupunktur, transcutaneous electrical nerve stimulation, acupoint stimulation, dan acupressure) juga memperlihatkan hasil yang efektif dalam pengelolaan PONV.
Jika PONV
terjadi pascabedah, antiemetik yang diberikan sebagai terapi harus
dengan farmakologi yang berbeda dari antiemetik profilaksis yang telah
diberikan, antiemetik yang direkomendasikan adalah antagonis 5-HT3,
terbukti adekuat pada terapi PONV. Dosis antagonis 5-HT3 yang digunakan
untuk terapi lebih kecil dibanding dosis profilaksis: ondansetron 1,0
mg, dolasetron 12,5 mg, granisetron 0,1 mg, dan tropisetron 0,5 mg.
Alternatif terapi lain adalah dexametason 2-4 mg, droperidol 0,625 mg
IV, atau prometazin 6,25-12,5 mg IV. Propofol 20 mg dapat juga dipakai
sebagai rescue therapy PONV pada pasien yang masih berada di PACU, sama efektifnya dengan ondansetron.
Kejadian
mual muntah setelah pasien dipulangkan juga cukup tinggi, 17% mengalami
mual dan 8% mengalami muntah setelah pasien dipulangkan pada bedah rawat
jalan. Untuk profilaksis kejadian ini dapat diberikan ondansetron 4 mg
atau deksametason 4-10 mg. Sebuah penelitian memperlihatkan bahwa
pencegahan mual muntah setelah pemulangan cukup efektif dengan pemberian
ondansetron disintegrating tablet/ ODT, acupoint stimulation,
dan skopolamin transdermal. Ondansetron ODT terbukti secara signifikan
mengurangi kejadian mual muntah setelah pemulangan pasien dan
meningkatkan kepuasan pasien terhadap pengelolaan PONV pada bedah rawat
jalan. Dosis ondasetron ODT yang digunakan sama dengan ondansetron
tablet oral biasa, 8 mg.
Penatalaksanaan setelah pasien pulang dari rumah sakit
Pasien
bedah rawat jalan harus disertai orang dewasa yang bertanggung jawab
membawanya pulang dan menjaganya dirumah karena akan mengurangi kejadian
adanya efek yang tidak diinginkan, meningkatkan kenyamanan pasien.
Dianjurkan pasien harus diberikan instruksi tertulis tentang prosedur
diet, obat, aktifitas, dan nomor telepon bila ada kejadian emergensi.
Pasien secara rutin diminta untuk tidak minum alkohol, menyetir, membuat
keputusan penting dalam 24 jam.
Komplikasi
pascabedah harus sudah tertangani sebelum pasien dipulangkan.
Pengelolaan nyeri harus optimal dan analgetik peroral idealnya mampu
memberikan analgesi yang adekuat setelah pasien dipulangkan. Strategi
multimodal dalam pengelolaan nyeri memberikan hasil yang efektif dalam
meningkatkan outcome pasien. Mual dan muntah setelah pasien dipulangkan dapat dicegah dengan pemberian ondansetron ODT. Untuk
hasil maksimal dalam penanganan mual dan muntah setelah pemulangan
pasien, pencegahan mual muntah dengan obat antiemetik profilaksis
sebelumnya harus efektif untuk mencegah kejadian PONV termasuk penerapan
multimodal antiemetik khususnya pada pasien yang mempunyai resiko cukup
tinggi terjadinya PONV. Faktor kenyamanan pasien merupakan salah satu
tujuan utama bedah rawat jalan. Faktor yang menentukan kenyamanan pasien
adalah keramahan personil kamar bedah, diskusi ahli bedah dengan pasien
tentang apa yang ditemukan saat pembedahan, pengelolaan PONV dan nyeri
pascabedah, pemasangan jalur vena yang adekuat, dan menghindari
keterlambatan.
Kesimpulan
- Kemajuan dalam bidang anestesi dan teknik pembedahan menyebabkan teknik bedah rawat jalan berkembang pesat, jumlah pasien bedah rawat jalan juga terus mengalami peningkatan.
- Peranan ahli anestesi dalam pengelolaan perioperatif sangat penting dalam tim bedah rawat jalan dalam mencapai keberhasilan teknik bedah rawat jalan.
- Evaluasi pada setiap proses dalam anestesi pada bedah rawat jalan (evaluasi prabedah, skrining laboratorium, pemilihan obat dan teknik anestesi, efek pada outcome pasien, efek pada perawatan pascabedah, serta pengaruh secara keseluruhan terhadap pelayanan) melahirkan kontroversi-kontroversi dalam rangka mencari strategi terbaik untuk meningkatkan kualitas bedah rawat jalan agar lebih cost-effectiveness, aman, serta tetap menjaga kualitas pelayanan sehingga menjamin kepuasan pasien.
- Pendekatan multimodal serta penggunaan obat-obat dan teknik non farmakologi yang lebih aman, sederhana, dan lebih cost effective dalam pengelolaan komplikasi pascabedah (nyeri dan mual muntah) akan memaksimalkan keuntungan teknik bedah rawat jalan serta outcome pasien yang lebih baik.
REFERENSI
- Apfelbaum JL. Current controversies in adult outpatient anesthesia. ASA, 2005.
- Bisri T. Seri Buku Literasi Anestesiologi: Ambulatory anesthesia. 2007.
- Friedman Z, Chung F, Wong DT. Ambulatory surgery adult patient selection criteria-a survey of canadian anesthesiologists. Can J Anesth 2004; 51(5): 437-43.
- White PF. Update on ambulatory anesthesia. Can J Anesth 2005; 52(6): 1-10.
- White PF. Ambulatory anesthesia advances into the new millenium. Anesth Analg 2000; 90: 1234-35.
- McCarthy DE. Outpatient anesthesia. Jax-Medicine Journal 1998.
- Gupta A, Stierer T, Zuckerman R, Sakima N, Parker SD, Fleisher LA. Comparison of recovery profile after ambulatory anesthesia with propofol, isoflurane, sevoflurane and desflurane:a systematic review. Anesth Analg 2004; 98: 632-41.
- Wennervirta J, Ranta SO, Hynynen M. Awareness and recall in outpatient anesthesia. Anesth Analg 2002; 95: 72-77.
- White PF, Kehlet H, Neal JM, Schricker T, Carr DB, Carli F, et al. The role of the anesthesiologist in fast-track surgery: from multimodal analgesia to perioperative medical care. Anesth Analg 2007; 104: 1380-96.
- White PF, Song D. New criteria for fast-tracking after outpatient anesthesia: A comparison with the modified aldrete’s scoring system. Anesth Analg 1999; 88: 1069-72.
- Marshall SI, Chung F. Discharge criteria and complications after ambulatory surgery. Anesth Analg 1999; 88: 508-17.
- Pavlin DJ, Rapp SE, Polissar NL, Malmgren JA, Koerschgen M, Keyes A. Factors affecting discharge time in adult outpatient. Anesth Analg 1998; 87: 816-26.
- Pavlin DJ, Chen C, Penaloza DA, Polissar NL, Buckley FP. Pain as a factor complicating recovery and discharge after ambulatory surgery. Anesth Analg 2002; 95: 627-34.
- Raeder JC, Steine S, Vatsgar TT. Oral ibuprofen versus paracetamol plus codeine for analgesia after ambulatory surgery. Anesth analg 2001; 92: 1470-72.
- White PF. The role of non-opioid analgesic techniques in the management of pain after ambulatory surgery. Anesth Analg 2002; 94: 577-85.
- Gan TJ, Meyer TA, Apfel CC, Chung F, Davis PJ, Habib AS, et al. Society for ambulatory anesthesia guidelines for the management of postoperative nausea and vomiting. Anesth Analg 2007; 105: 1615–28.
- Gan TJ, Franiak R, Reeves J. Ondansetron orally disintegrating tablet versus placebo for the prevention of postdischarge nausea and vomiting after ambulatory surgery. Anesth Analg 2002; 94: 1199–1200.
Are you in need of finance? we give out guarantee cash at 3% interest rate. Contact us on any kind of finance now: financialserviceoffer876@gmail.com whatsapp Number +918929509036 Dr James Eric Finance Pvt Ltd
BalasHapus