ANAMNESIS
Anamnesis dapat diperoleh dengan
bertanya langsung pada pasien atau melalui keluarga pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis :
1. Identifikasi pasien
, misalnya : nama,umur, alamat, pekerjaan, dll.
2. Riwayat penyakit
yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam
anesthesia, antara lain :
- Penyakit alergi.
- Diabetes mellitus
- Penyakit paru kronik : asma bronchial, pneumonia, bronchitis.
- Penyakit jantung dan hipertensi (seperti infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis)
- Penyakit susunan saraf (seperti stroke, kejang, parese, plegi, dll)
- Penyakit hati.
- Penyakit ginjal.
- Penyakit ganguan perdarahan (riwayat perdarahan memanjang)
3. Riwayat obat-obat yang sedang
atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan intereaksi (potensiasi, sinergis, antagonis dll) dengan
obat-obat anestetik. Misalnya, , obat anti hipertensi , obat-obat antidiabetik,
antibiotik golongan aminoglikosida ,obat
penyakit jantung (seperti digitalis, diuretika), monoamino oxidase inhibitor,
bronkodilator.
Keputusan
untuk melanjutkan medikasi selama
periode sebelum anestesi tergantung dari
beratnya penyakit dasarnya. Biasanya obat-obatan yang dipakai pasien tetap
diteruskan tetapi mengalami perubahan dosis, diubah menjadi preparat dengan
masa kerja lebih singkat atau dihentikan untuk sementara waktu. Akan tetapi, secara umum dikatakan bahwa
medikasi dapat dilanjutkan sampai waktu untuk dilakukan pembedahan.
4. Alergi dan reaksi obat. Reaksi
alergi kadang-kadang salah diartikan oleh pasien dan kurangnya dokumentasi
sehingga tidak didapatkan keterangan yang
memadai. Beratnya berkisar dari asimptomatik hingga reaksi anfilaktik
yang mengancam kehidupan, akan tetapi seringkali alergi dilaporkan hanya karena
intoleransi obat-obatan, . Pada evaluasi
pre operatif dicatat seluruh reaksi obat dengan penjelasan tentang kemungkinan
terjadinya respon alergi yang serius., termasuk reaksi terhadap plester, sabun
iodine dan lateks. Jika respon alergi terlihat, obat penyebab tidak diberikan
lagi tanpa tes imunologik atau diberi
terapi awal dengan antihistamin, atau
kortikosteroid.
5. Riwayat operasi dan anestesi
yang pernah dialami diwaktu yang lalu , berapa kali dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami
komplilkasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca
bedah.
6. Riwayat keluarga. Riwayat anestesi yang merugikan
atau membayakan pada keluarga yang lain sebaiknya juga dieveluasi. Wanita
pada usia produktif sebaiknya ditanyakan
tentang kemungkinan mengandung. Pada kasus yang meragukan , pemeriksaan
kehamilan preoperative
merupakan suatu indikasi.
7. Riwayat sosial
yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti :
- Perokok berat (diatas 20 batang perhari) dapat mempersulit induksi anestesi karena merangasang batuk , sekresi jalan napas yang banyak, memicu atelektasis dan pneumenia pasca bedah. Rokok sebaiknya dihentikan minimal 24 jam sebelumnya untuk menghindari adanya CO dalam darah.
- Pecandu alcohol umumnya resisten terhadap obat- obat anestesi khususnya golongan barbiturat. Peminum alkohol dapat menderita sirosis hepatic.
- Meminum obat-obat penenang atau narkotik.
8. Makan minum
terakhir (khusus untuk operasi emergensi)
PEMERIKSAAN FISIK
Perhatian khusus dilakukan untuk
evaluasi jalan napas, jantung, paru-paru dan pemeriksaan neurologik . Jika ingin melaksanakan teknik anestesi
regional maka perlu dilakukan pemeriksaan extremitas dan punggung.
Pemeriksaan fisik
sebaiknya terdiri dari :
1 Keadaan umum : gelisah, takut, kesakitan, malnutrisi, obesitas.
2 Tanda-tanda
vital
- Tinggi dan berat badan perlu untuk penentuan dosis obat terapeutik dan pengeluaran urine yang adekuat selama operasi .
- Tekanan darah sebaiknya diukur dari kedua lengan dan tungkai (perbedaan bermakna mungkin memberikan gambaran mengenai penyakit aorta thoracic atau cabang-cabang besarnya).
- Denyut nadi pada saat istirahat dicatat ritmenya, perfusinya (berisi) dan jumlah denyutnya. Denyutan ini mungkin lambat pada pasien dengan pemberian beta blok dan cepat pada pasien dengan demam, regurgitasi aorta atau sepsis. Pasien yang cemas dan dehidrasi sering mempunyai denyut nadi yang cepat tetapi lemah.
- Respirasi diobservasi mengenai frekwensi pernapasannya , dalamnya dan pola pernapasannya selama istirahat.
- Suhu tubuh (Febris/ hipotermi).
- Visual Aanalog Scale (VAS). Skala untuk menilai tingkat nyeri
3 Kepala dan
leher
- Mata : anemis, ikteric, pupil (ukuran, isokor/anisokor, reflek cahaya)
- Hidung : polip, septum deviasi, perdarahan
- Gigi : gigi palsu, gigi goyang, gigi menonjol, lapisan tambahan pada gigi, kelainan ortodontik lainnya
- Mulut : Lidah pendek/besar, TMJ (buka mulut … jari), Pergerakan (baik/kurang baik), sikatrik, fraktur, trismus, dagu kecil
- Tonsil : ukuran (T1-T3), hiperemis, perdarahan
- Leher : ukuran (panjang/pendek), sikatrik, masa tumor, pergerakan leher (mobilitas sendi servical) pada fleksi ektensi dan ritasi, TMD, trakea (deviasi), karotik bruit, kelenjar getah bening.
- Dalam prediksi kesulitan intubasi sering di pakai 8T yaitu : Teet, Tongue, Temporo mandibula joint, Tonsil, Torticolis, Tiroid notch/TMD, Tumor, Trakea.
4. Thoraks
a. Prekordium. Auskultasi jantung mungkin ditemukan murmurs
(bising katup), irama gallop atau perikardial rub.
b. Paru-paru.
- Inspeksi : Bentuk dada (Barrel chest, pigeon chest, pectus excavatum, kifosis, skoliosis) Frekwensi (bradipnue/takipnue) Sifat pernafasan ( torakal, torako abdominal/abdominal torako), irama pernafasan (reguler/ireguler, cheyne stokes, biot), Sputum (purulen, pink frothy), Kelainan lain (stridor, hoarseness/serak, sindroma pancoas)
- Palpasi : Premitus (normal, mengeras, melemah)
- Auskulatasi : Bunyi nafas pokok ( vesikuler, bronchial, bronkovesikuler, amporik), bunyi nafas tambahan (ronchi kering/ wheezing, ronchi basah/rales, bunyi gesekan pleura, hippocrates succussion)
- Perkusi : sonor, hipersonor, pekak, redup
5. Abdomen.
Pristaltik
(kesan normal/meningkat/meenurun), Hati dan limpa (teraba/tidak, batas, ukuran,
per-mukaan), distensi, massa atau asites
(dapat menjadi predisposisi untuk regurgitasi).
6. Urogenitalia.
Kateter (terpasang/tidak), urin [volume : cukup
(0,5-1 cc/jam), anuria (< 20 cc/24 jam), oliguria (25 cc/jam atau 400
cc/24jam), Poliuria (> 2500 cc/24 jam)], kwalitas (BJ, sedimen), tanda tanda
sumbatan saluran kemih (seperti kolik renal).
7. Muskulo Skletal - Extremitas.
Edema tungkai, fraktur, gangguan neurologik /kelemahan otot (parese, paralisis,
neuropati perifer, distropi otot), perfusi
ke distal (perabaan hangat/dingin, cafilay refil time, keringat) , Clubbing
fingger, sianosis, anemia, dan deformitas, infeksi kutaneus (terutama rencana canulasi vaskuler atau blok
saraf regional)
PEMERIKSAAN
LABORATORIUM DAN UJI LAIN
Pemeriksaanlaboratorium ada 2 yaitu pemeriksaan rutin dan khusus
1. Pemeriksaan
laboratorium rutin :
- Darah : Hb, lekosit, hitung jenis lekosit, golongan darah, masa pembekuan, masa perdarahan.
- Foto toraks : terutama untuk bedah mayor, pasien diatas 60 thn, atau sesuai klinis.
- EKG : terutama untuk pasien berumur diatas 40 tahun atau sesuai klinis.
2.
Pemeriksaan khusus, dilakukan
bila ada riwayat atau indikasi, misalnya :
- EKG pada anak.
- Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru.
- Fungsi hati pada pasien ikterus.
- Fungsi ginjal pada pasien hipertensi.
- Analisa gas darah, elektrolit pada pasien ileus obstruksi atau bedah mayor.
- Untuk pemeriksaan khusus yang lebih mendalam, misalnya ekokardiografi atau kateterisasi jantung diperlukan konsulatasi dengan ahli-ahli bidang lain sehingga persiapan dan penilaian pasien dapat dilakukan lebih baik.
Tabel berikut ini merupakan suatu
petunjuk untuk menggunakan penilaian klinis dalam membuat permintaan
pemeriksaan laboratorium.
Kondisi
preoperative
|
Hb
|
Lekosit
|
PT / APTT
|
PLT / BT
|
Elektrolit
|
BUN / Creat
|
Gula darah
|
SGOT/ Al.Ph
|
X-ray
|
EKG
|
Preg
|
T/S
|
|
P
|
W
|
||||||||||||
Operasi dengan
perdarahan
|
X
|
X
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
X
|
Operasi tanpa
perdarahan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Neonatus
|
X
|
X
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
U m u r
< 4 0
|
|
X
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
U m u r
40 – 49
|
|
X
|
|
|
|
|
|
|
|
|
M
|
|
|
U m u r 50 – 64
|
|
X
|
|
|
|
|
|
|
|
|
X
|
|
|
U m u r > 65
|
X
|
X
|
|
|
|
|
X
|
X
|
|
+
|
X
|
|
|
Peny. Kardiovaskular
|
|
|
|
|
|
|
X
|
|
|
X
|
X
|
|
|
Penyakit Paru
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
X
|
X
|
|
|
K e g a n a s a n
|
X
|
X
|
*
|
*
|
|
|
|
|
|
X
|
|
|
|
Terapi
radiasi
|
|
|
X
|
|
|
|
|
|
|
X
|
X
|
|
|
Penyakit
hati
|
|
|
|
X
|
|
|
|
|
X
|
|
|
|
|
Terpapar hepatitis
|
|
|
|
|
|
|
|
|
X
|
|
|
|
|
Penyakit gInjal
|
X
|
X
|
|
|
|
X
|
X
|
|
|
|
|
|
|
Gangguan Perdarahan
|
|
|
|
X
|
X
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Diabetes
|
|
|
|
|
|
X
|
X
|
X
|
|
|
X
|
|
|
Merokok
|
X
|
X
|
|
|
|
|
|
|
|
X
|
|
|
|
Kehamilan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
X
|
|
Pemakaian diuretik
|
|
|
|
|
|
X
|
X
|
|
|
|
|
|
|
Pemakaian digoksin
|
|
|
|
|
|
X
|
X
|
|
|
|
X
|
|
|
Pemakaian steroid
|
|
|
|
|
|
X
|
|
X
|
|
|
|
|
|
Pemak. antikoagulan
|
X
|
X
|
|
X
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penyakit
S S P
|
|
|
X
|
|
|
X
|
X
|
X
|
|
|
X
|
|
|
Tidak semua penyakit termasuk dalam
table ini. Simbol : + mungkin dilakukan; * hanya untuk
leukemia; X dilakukan; M dilakukan hanya untuk pria.
PERENCANAAN ANESTESI.
Rencana
anestesi diperlukan untuk menyampaikan strategi penanganan anestesi
secara umum. Secara garis besar
komponen dari rencana anestesi adalah :
- Ringkasan tentang anamnesis pasien , dan dan hasil-hasil pemeriksaan fisik sehubungan dengan penatalaksanaan anastesi, buat dalam daftar masalah, satukan bersamaan dengan beberapa daftar masalah yang digunakan oleh dokter yang merawat.
- Perencanaan teknik anestesi yang akan digunakan termasuk tehnik-tehnik khusus (seperti intubasi fiberoptik, monitoring invasif ).
- Perencanaan penanganan nyeri post operasi bila perlu.
- Tindakan post operatif khusus jika terdapat indikasi (misalnya perawatan di ICU).
- Jika ada indikasi buat permintaan evaluasi medik lebih lanjut.
- Pernyataan tentang resiko-resiko yang ada , informed consent, dan pernyataan bahwa semua pertanyaan telah dijawab.
- Klasifikasi status fisik dan penilaian singkat.
MENENTUKAN PROGNOSIS
Pada kesimpulan evaluasi pre anestesi
setiap pasien ditentukan kalsifikasi status fisik menurut American Society of
Anestesiologist (ASA). Hal ini merupakan ukuran umum keadaan pasien.
Klasifikasi status fisik menurut ASA adalah sebagai berikut :
- ASA 1 : Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain penyakit yang akan dioperasi.
- ASA 2 : Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya diabetes mellitus yang terkontrol atau hipertensi ringan
- ASA 3 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit yang akan dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya diabetes mellitus yang tak terkontrol, asma bronkial, hipertensi tak terkontrol
- ASA 4 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya asma bronkial yang berat, koma diabetikum
- ASA 5 : Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi mungkin saja dapat menyelamatkan tapi risiko kematian tetap jauh lebih besar. Misalnya operasi pada pasien koma berat
- ASA 6 : Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang membutuhkan.
Untuk
operasi darurat, di belakang angka diberi huruf E (emergency) atau D (darurat), mis: operasi apendiks
diberi kode ASA 1 E
Pemeriksaan Tingkat Kesadaran
Tingkat
kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini harus dilakukan secara periodik untuk menulai
apakah keadaan penderita semakin membaik atau memburuk.
GCS terendah jumlahnya adalah 3 (koma dalam atau mati),
sementara yang tertinggi adalah 15 (sadar penuh). Dari
ketiga komponen GCS tersebut motorik merupakan komponen yang paling objektif.
Dan sebaiknnya penilaian untuk satu penderita senantiasa dilakukan oleh orang
yang sama. Untuk penderita dengan hematoma periorbita yang besar, penilaian
komponen mata harus disesuaikan dengan respon motorik. Demikian pula untuk
penderita yang afasia, atau terintubasi, konponen verbalnya harus disesuaikan
dengan respon motorik. Dan untuk itu perlu latihan dan pengalaman yang
berulang-ulang.
Sebagaimana
disebutkan oleh Plum dan Postner,
tingkat kesadaran tidak akan terganggu jika cedera hanya terbatas pada
satu hemisper saja, tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua hemisfer mulai
terlibat, atau jika ada proses patologis
akibat penekanan atau cedera pada batang otak.
Penilaian
GCS berdasarkan reaksi yang didapatkan sesuai dengan umur penderita.
Mata
|
≥
1 tahun
|
0
– 1 tahun
|
|
4
|
Membuka mata spontan
|
Membuka mata spontan
|
|
3
|
Membuka mata oleh perintah
|
Membuka mata oleh teriakan
|
|
2
|
Membuka mata oleh nyeri
|
Membuka mata oleh nyeri
|
|
1
|
Tidak membuka mata
|
Tidak membuka mata
|
|
Motorik
|
≥
1 tahun
|
0
– 1 tahun
|
|
6
|
Mengikuti perintah
|
Belum dapat dinilai
|
|
5
|
Melokalisasi nyeri
|
Melokalisasi nyeri
|
|
4
|
Menghindari nyeri
|
Menghindari nyeri
|
|
3
|
Fleksi Abnormal (dekortikasi)
|
Fleksi Abnormal (dekortikasi)
|
|
2
|
Ektensi abnormal (deserebrasi)
|
Ektensi abnormal (deserebrasi)
|
|
1
|
Tidak ada respon
|
Tidak ada respon
|
|
Verval
|
>5
tahun
|
2-5
tahun
|
0-2
tahun
|
5
|
Orientasi baik dan mampu
ber-komunikasi
|
Menyebutkan kata yang sesuai
|
Menagis kuat
|
4
|
Disorientasi tapi mampu
ber-komunikasi
|
Menyebutkan kata yang tidak sesuai
|
Menagis lemah
|
3
|
Menyebutkan kata-kata yang tidak
sesuai
|
Menagis dan menjerit
|
Kadang menagis / menjerit lemah
|
2
|
Mengeluarkan suara
|
Mengeluarkan suara lemah
|
Mengeluarkan suara lemah
|
1
|
Tidak ada respon
|
Tidak ada respon
|
Tidak ada respon
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar