BERBAGAI PROSEDUR PEMBEDAHAN PADA PASIEN
DENGAN INSUFISIENSI RENAL
Pasien dengan kegagalan ginjal dapat
membutuhkan berbagai prosedur pembedahan darurat atau elektif. Persiapan
preoperatif, tehnik pemantauan, penatalaksanaan anestesi, dan perawatan
post-operasi dari pasien-pasien ini sama pentingnya dengan mereka yang mendapatkan
transplantasi ginjal. Pasien-pasien ini, bagaimanapun juga, tidak seperti
pasien transplantasi, tidak memerlukan obat-obat imunosupresi.
Beberapa dari
prosedur-prosedur pembedahan ini dapat dilakukan dibawah pengaruh anestesi
lokal dengan perawatan anestesi yang terpantau. Oleh karena pemberian anestesi
regional, maka neuropati perifer harus disingkirkan. Waktu perdarahan, jumlah
platelet, kadar fibrinogen, waktu protrombin, dan waktu tromboplastin parsial
juga harus diperiksa. Anestesi spinal dengan bupivakain 0,75% pada pasien
dengan kegagalan ginjal kronis mungkin berhubungan dengan penyebaran cepat dari
penghambatan sensorik, level hambatan yang lebih tinggi, dan pemulihan yang
cepat dari penghambatan motorik.
BERBAGAI PROSEDUR UROGENITAL
Banyak pasien yang
menjalani prosedur pembedahan urologi baik orang tua maupun anak-anak. Oleh
karena pasien usia lanjut menderita penyakit-penyakit kardiovaskuler atau
pulmoner, prinsip utama anestesi pada pasien tersebut harus ditegaskan. Hal ini
mencakup menghindari terjadinya hipoksia, hipotensi, dan hipoventilasi.
Pemeliharaan jalan napas dan pemberian obat-obat secara lambat dan minimal
penting untuk penatalaksanaan anestesi pasien-pasien ini. Fluktuasi tekanan
darah tidak diharapkan dan harus diterapi sedemikian rupa, untuk menghindari
efek samping kardiovaskuler dan susunan saraf pusat.
PEMBEDAHAN RADIKAL PROSTAT ATAU GINJAL
Jika fungsi ginjal
terganggu oleh penyakit-penyakit urologik, seperti yang kebanyakan terjadi,
perhatian harus diberikan pada obat-obat yang mempunyai efek minimal pada
fisiologi ginjal. Efek anestetik diuraikan dalam Bab lain, dan pembahasan
teoretik ini seharusnya membentuk dasar untuk pemilihan praktis obat anestesi.
Pada pasien yang lebih
tua, biasanya terdapat emfisema. Karenanya, premedikasi dengan obat-obat
sedatif harus dibatasi. Disamping itu, masalah tumor renal atau pre-renal harus
diuraikan secara terpisah. Kista cenderung menginvasi ruang abdomen dan
mengakibatkan gangguan mekanis. Tekanan intra-abdomen dapat meningkat dan bisa
mengganggu aliran darah vena. Mobilisasi massa tumor menyebabkan dekompresi
cepat dengan bendungan splanknikus dan kolaps sirkulasi. Mobilisasi tumor harus
dilakukan dengan lambat, anestesi dalam harus dihindari, dan terapi vasopressor
harus segera tersedia.
Ukuran atau posisi tumor
dapat membatasi ventilasi. Secara spesifik, posisi ginjal lateral dan litotomi
mengganggu fisiologi sirkulasi dan respirasi dengan mengurangi aliran balik
vena dan kapasitas vital. Posisi yang berlebihan seharusnya hanya digunakan
untuk suatu bagian prosedur jika diperlukan. Pada pasien beresiko tinggi,
toleransi terhadap posisi harus diuji dengan pengukuran tekanan darah yang
frekuen. Titik tekanan harus dilindungi dengan bantalan lembut untuk
menghindari kerusakan saraf tepi, dan denyut nadi perifer yang menyertai
pengaturan posisi harus diperiksa. Trombosis vena dalam adalah komplikasi yang
sering terjadi pada pasien yang menjalani pembedahan genitourinaria. Anestesi
epidural dan pemakaian sepatu penekan dapat menurunkan insidens trombosis vena.
Repirasi harus dikontrol untuk menjaga CO2 end-tidal dalam batas normal.
Pasien yang menjalani
prostatektomi radikal atau nefrektomi total parsial dapat mengalami perdarahan
intraoperatif berat. Darah yang sejenis dan telah dicross-matched (dicocokkkan ulang) harus tersedia. Pada pasien
tertentu, transfusi darah autolog dan tehnik hemodilusi mengurangi reaksi
transfusi dan mengeliminasi transmisi penularan penyakit melalui darah.
Pengukuran tekanan darah langsung dan tekanan vena sentral mungkin diperlukan
guna pemantauan perubahan hemodinamik dan pergeseran cairan. Pasien usia lanjut
harus dipantau dengan ketat di ruang pemulihan untuk menghindari
ketidakstabilan hemodinamik dan depresi pernapasan. Pada beberapa pasien, foto
rontgen dada post-operasi dan EKG mungkin diperlukan. Pasien dalam kondisi
kritis perlu dipindahkan ke unit perawatan intensif rumah sakit.
SISTOSKOPI DAN RESEKSI TRANSURETRAL
Pelaksanaan prosedur
sistoskopi di ruangan yang digelapkan dapat menjadi problematis karena
observasi pasien mungkin terbatas. Jika digunakan anestesi umum, monitor rutin
harus digunakan, dan penerangan tidak langsung harus tersedia.
Larutan
Irigasi
Selama prosedur
sistoskopi, dan terutama selama prosedur reseksi transurethral (TURP), larutan
irigasi dengan tekanan yang ringan digunakan untuk mengembangkan uretra pars
prostatika dan untuk membersihkan lapangan pandang dengan membuang darah dan
jaringan reseksi. Larutan irigasi harus bersih, bening, non toksik, non ion,
dan isotonik. Selama pembedahan TURP, cairan irigasi dapat memasuki sistem
vaskular. Luas daerah yang dimasuki oleh cairan bergantung pada faktor-faktor
berikut: tekanan hidrostatik larutan irigasi, jumlah sinus yang terbuka, waktu
paparan, dan perdarahan vena yang berlebihan.
Berikut larutan irigasi
yang selama ini telah digunakan dalam sistoskopi dan TURP:
- Air suling (distilasi)
- Cytal: manitol 10% dan sorbitol
- Urea 0,9%
- Dekstrosa 4%
- Plavolex
- Glisin 1,5%
Masalah
yang Menyertai
Ahli anestesi dapat
menghadapi beberapa masalah yang menyertai TURP dan prosedur sistoskopi.
Masalah-masalah ini dibahas pada paragraf berikut ini.
Hemolisis
Intravaskular dengan Penggunaan Air Distilasi
Air telah digunakan
untuk irigasi selama prosedur sistoskopi transuretal. Meski demikian, hemolisis
intravaskular yang signifikan dapat timbul. Tekanan hidrostatik cairan yang
rendah (kurang dari 75 cm di atas pubis), pengosongan kandung kemih yang
sering, pembatasan waktu operasi hingga 1 jam, dan pembatasan diseksi pada
serat superfisial dari kapsul pembedahan dapat menurunkan jumlah hemolisis
intravaskular. Cairan isotonik atau isoosmotik menyingkirkan resiko hemolisis
intravaskular.
Hiperglikemia
Dengan dekstrosa 4
sampai 5%, kadar glukosa dapat meningkat hingga 100%. Keadaan ini berbahaya
bagi pasien diabetes.
Hipervolemia
Dilusional
Gambaran klinis absorbsi
cairan dan hipervolemia delusional seringkali disebut TURP syndrome. Mula-mula, waktu onset melambat saat anestesi
regional, spinal atau epidural daripada saat anestesi umum. Kegawatan TURP syndrome bergantung pada volume
cairan yang terabsorbsi ke dalam sirkulasi dari dasar prostat yang dibedah dan
jenis larutan yang digunakan untuk irigasi.
Tanpa menghiraukan jenis
larutan yang digunakan, volume yang besar, sebanyak 2000 ml dalam 1 jam, dapat
memasuki sirkulasi dan dapat menyebabkan overload
dan hemodilusi. Tehnik radioisotope telah menunjukkan bahwa, selama TURP
tunggal, 3 sampai 4 liter dapat diabsorbsi dan bisa menyebabkan edema paru non
kardial.
Gejala
Klinis
Manifestasi
pengabsorbsian cairan dalam jumlah besar beragam sesuai dengan jenis
anestesinya. Pada umumnya, terjadi gambaran hipertensi. Selama blok regional,
tetrad (empat serangkai) berikut muncul:
- Peningkatan tekanan darah sistolik dengan sedikit peningkatan pada tekanan darah diastolik;
- Perlambatan denyut nadi;
- Perubahan aktivitas sistem saraf dengan kekacauan mental, semikoma, gelisah, sakit kepala, mual; dan
- Kongesti paru dalam bentuk dispnea, sianosis, dan wheezing.
Saat anestesi umum,
berbagai gejala hipervolemia terlihat. Meski demikian, gejala SSP tidak
terlihat hingga pasien dibawa ke ruang pemulihan. Gejala-gejala respirasi
biasanya terselubung oleh ventilasi bantuan atau ventilasi terkontrol dan
oksigen konsentrasi tinggi yang digunakan selama anestesi. Gejala klinis
hipervolemia delusional seharusnya tidak
dikaitkan dengan hiperkarbia, anestesi ringan, efek obat, retensi panas, dan
abnormalitas endokrin. Distensi vena-vena leher, wheezing, suara napas yang kasar, dan gas darah arteri yang
abnormal adalah gejala-gejala awal dari kelebihan cairan yang berat. Jika
pasien mengalami kedaruratan akibat anestesi umum, mereka bisa mengantuk,
bingung, atau koma yang disebabkan oleh intoksikasi air pada otak dan
peningkatan ammonia akibat metabolisme glisin. Untuk mencegah intoksikasi air,
ketinggian larutan irigasi harus berada antara 60 dan 90 cm diatas letak
prostat. Tekanan vena sentral dan tekanan kapiler pulmoner harus dipantau.
Penggunaan anestesi spinal atau epidural dengan sedasi minimal dapat memudahkan
diagnosis awal kelebihan cairan.
Larutan
Glisin dan Toksisitas Potensialnya
Glisin adalah suatu asam
amino yang mempunyai banyak karakteristik transmitter penghambat susunan saraf
pusat. Tempat kerjanya adalah secara predominan pada batang otak dan saraf
spinal dan dihasilkan dari hiperpolarisasi membran post-sinaptik dengan
meningkatkan penghantaran klorida. Hal ini kontras dengan inhibitor asam
τ-aminobutirat (GABA) yang bekerja pada daerah korteks dan subkorteks. Pada
tingkat ini, glisin menyerupai benzodiazepin.
Larutan glisin 1,5%
diperkenalkan oleh Nesbit untuk
irigasi kandung kemih selama sistoskopi dan TURP. Sepertai halnya larutan lain
yang digunakan untuk irigasi dasar prostat, glisin diabsorbsi ke dalam
kompartemen vaskuler dan mengalami metabolisme
hepar. Glisin kemudian diuraikan dengan deaminasi oksidatif dan
membentuk 2 produk: ammonia dan oksalat. Hiperoksaluria juga dapat timbul.
Disamping kelebihan
cairan yang sederhana dan intoksikasi air, glisin dapat menyebabkan gangguan
susunan saraf pusat. Perubahan SSP mungkin berhubungan dengan metabolit glisin
tertentu seperti amonia atau glisin sendiri.
Gejala-gejala klinis
toksisitas amonia adalah depresi susunan saraf pusat dan somnolen post-operasi,
dan toksisitas amonia bisa timbul meskipun dilakukan koreksi terhadap
abnormalitas cairan dan elektrolit. Tanda dan gejala dimulai dengan mual,
diikuti oleh muntah dan kejang otot. Bingung, agitasi, konvulsi, stupor, dan
koma dapat timbul. Onset gejala dan koma timbul jika serum amonia dalam darah
mencapai kadar antara 11 hingga 35 nmol/L. Gejala-gejala biasanya timbul dengan
cepat, tetapi dapat tertunda paling lama 10 jam post-operasi.
Penanganan keadaan ini
sebagian besar bersifat simtomatik dan kadar amonia yang tinggi biasanya
dibersihkan dalam 24 hingga 48 jam. Penggunaan L-arginin menurunkan kadar puncak
amonia sejak timbulnya toksisitas, dan mempercepat kembalinya kadar amonia
darah hingga normal. Gangguan penglihatan dan kebutaan sementara telah
dilaporkan menyertai pemberian larutan irigasi glisin. Gangguan penglihatan
telah dikaitkan dengan peningkatan amonia dan bukan dengan edema serebral.
Hahn mengemukakan bahwa glisin 1,5% yang
tersedia dalam air yang mengandung etanol 2% memungkinkan seseorang untuk
mendeteksi adanya larutan irigasi yang terabsorbsi dan tingkatannya. Larutan
ini diproduksi secara komersial oleh Travenol
AB (Swedia) dan tersedia untuk
penggunaan klinis. Selama prosedur, pengujian etanol dalam udara ekspirasi
dipantau dengan alkoholmeter setiap 5 menit. Oleh karena konsentrasi etanol end-tidal berhubungan secara langsung
dengan kadar glisin serum, volume kumulatif larutan irigasi yang terabsorbsi
dapat diperkirakan.
Perubahan
Elektrolit
Hiponatremia
Hipervolemia dilusional
dan intoksikasi air menimbulkan hiponatremia dilusional. Peningkatan tekanan
hidrostatik intravaskular dan penurunan tekanan onkotik menimbulkan pergerakan
cairan massif ke dalam ruang interstitial. Aliran cairan ke dalam ruang
interstitial yang terus menerus seperti ini juga membawa jumlah natrium yang
signifikan dan menimbulkan hiponatremia. Jika konsentrasi natrium serum turun
dibawah 130mmol/L, kita dapat melihat gejala-gejala susunan saraf pusat akibat
hiponatremia: disorientasi, eksitasi, kejang otot, kejang fokal atau umum, dan
koma. EKG menampakkan kompleks QRS yang lebar dan depresi gelombang T.
Hipokalsemia
Banyak pasien yang
menjalani TURP seringkali diterapi dengan digitalis, antagonis kalsium, dan
β-bloker. Penurunan signifikan pada kalsium serum total dan seluruh ion kalsium
darah telah dilaporkan selama anestesi epidural dan hemodilusi. Perubahan kadar
kalsium serum pada pasien usia tua dapat menimbulkan perubahan fungsi jantung
atau penurunan efektivitas senyawa digitalis.
Hipotermia
Kehilangan panas selama
anestesi dan TURP adalah masalah yang lazim. Pada umumnya, kehilangan panas
preoperasi timbul lebih cepat pada pasien-pasien tua. Tentu saja, rata-rata 370
kJ dapat hilang dalam 1 jam pertama pembedahan. Larutan irigasi yang tetap
didinginkan atau pada temperatur ruangan mempermudah terjadinya hipotermia.
Tanpa memperhatikan tehnik anestesi, suhu ini dapat turun rata-rata 1o
hingga 1,5oC di akhir pembedahan. Meskipun demikian, kehilangan
panas lebih banyak terjadi pada anestesi umum. Pasien dengan hipotermia yang
nyata tampak menggigil, konsumsi oksigen meningkat, asidosis metabolik, dan aritmia
jantung. Hipotermia harus dicegah dan ditangani selama operasi dan masa
pemulihan. Dianjurkan penggunaan anestesi sistem setengah tertutup (semi-closed) beraliran rendah, selimut
penghangat, dan penghangatan cairan.
Perforasi
Organ
Perforasi organ dapat
timbul ke dalam ruang retzius atau ke dalam kavum peritoneum. Pada kejadian
pertama, nyeri abdomen bawah yang ringan adalah gejala utama. Iritabilitas
peritoneum, nyeri epigastrium, dan nyeri bahu menyertai perforasi organ.
Komplikasi ini dapat dikenali dengan mudah jika digunakan anestesi spinal.
Walau demikian, jika anestesi spinal lebih tinggi dari level sensorik T10, maka
diagnosis perforasi peritoneum terselubung. Pengembalian cairan irigasi yang
lambat dan distensi perut bawah juga dapat mengarahkan diagnosis perforasi
peritoneum.
Hiperrefleks
Otonom
Pasien kuadriplegia atau
paraplegia seringkali membutuhkan sistoskopi dan pengeluaran batu kandung kemih
yang berulang. Berdasarkan tingkat lesi spinal mereka dan derajat nyeri
sensoris, kelompok pasien ini dapat ditangani dengan perawatan anestesi yang
termonitor atau dengan anestesi spinal atau umum. Jika saraf spinal cedera di
atas T5, pasien-pasien ini dapat mengalami hiperrefleks otonom, yang
bermanifestasi sebagai hipertensi, bradikardi, disritmia jantung, dan
berkeringat. Sindrom hiperrefleks simpatis akut ini terjadi pada 66 hingga 85%
pasien kuadriplegia dan pada mereka dengan lesi saraf spinal yang tinggi akibat
gangguan dari jaras penghambat saraf spinal dan sentral. Hiperrefleks otonom menjadi
berat jika cedera saraf spinal diatas aliran keluar splanknikus. Pada pasien
dengan lesi spinal antara T5 dan T10, gejala klinisnya ringan. Sindrom
hiperrefleks simpatis harus ditangani segera dengan vasodilator langsung
seperti SNP, nitrogliserin, atau ganglion bloker kerja cepat trimetafan.
Septikemia
Selama sistoskopi, TURP,
atau manipulasi batu yang terinfeksi, beberapa pasien dapat mengalami
septikemia, demam, kedinginan, takikardi, dan hipotensi. Jika masalah-masalah
tersebut tidak ditangani, maka kondisi yang mengancam jiwa sehubungan dengan
septikemia dapat terjadi. Kondisi infeksius harus ditangani saat preoperasi
dengan terapi antibiotik spektrum luas untuk mencegah sindrom syok septik.
Disseminated
Intravascular Coagulopathy (DIC)
Beberapa pasien dapat
mengalami DIC syndrome akibat
hipervolemia dilusional, septikemia, atau gabungan kedua kondisi tersebut.
Konsultasi dengan ahli hematologi diperlukan guna penanganan yang tepat
terhadap sindrom ini. Hal ini dibahas mendetail pada Bab 13.
Kehilangan
Darah pada TURP
Pada umumnya, kehilangan
darah selama TURP bergantung pada vaskularitas kelenjar prostat, pengalaman dan
keterampilan dokter bedah, dan lamanya operasi. Lavin dan kawan-kawan telah memperlihatkan kehilangan darah yang
hampir konstan sebanyak 15 ml untuk setiap gram jaringan reseksi. Karena darah
diencerkan dengan larutan irigasi, maka sulit untuk menilai kehilangan darah
selama TURP. Penilaian visual terhadap darah yang hilang tidak akurat, dan
hipervolemia dilusional seringkali menyamarkan perubahan-perubahan hemodinamik
yang berhubungan dengan kehilangan darah. Transfusi darah mungkin diperlukan
setelah menilai derajat kehilangan darah, hemoglobin pasien, kondisi
hemodinamik, dan profil koagulasi.
Penelitian
Hemodinamik
Rata-rata seseorang
mulai merasakan penuhnya kandung kemih pada volume 300 sampai 400 ml. Saat ini
terjadi, kekuatan kontraksi detrusor maksimal berupa tekanan sebesar 50 sampai
60 cmH2O dan tekanan uretra mencapai 30 sampai 50 cmH2O.
Pemeriksaan sistometrik terhadap fungsi kandung kemih, pengendalian neurologik
dan elemen mekanis berkemih dapat dilakukan baik dengan CO2 ataupun
cairan salin pengembang di bawah pengaruh anestesi spinal. Setelah pemberian
anestesi spinal, ketika blok somatosensoris mencapai L5 atau lebih, analgesia
kandung kemih dan refleks berkemih hilang dalam 30 sampai 60 detik. Beberapa
pasien tetap merasakan tekanan tumpul yang biasanya hilang dalam 2 sampai 3
menit.
Ketika
level sensoris somatik mencapai T10 atau lebih, komponen aferen dari rangsangan
untuk defekasi, sensoris berkemih, dan volumter berkemih dihambat. Pada level
sensoris T10, kandung kemih mungkin mengembang melebihi kapasitas yang tercatat
sebelum pemberian anestesi spinal tanpa rasa tak nyaman. Tekanan uretra menurun
sekitar 50% dengan terjadinya paralisis kandung kemih.
Sekali blok motoris otot
skelet pulih dari anestesi spinal secara parsial, sedikit kekuatan detrusor
bisa kembali seperti yang terukur oleh sistometri. Dengan permulaan sensasi
somatik perifer dan respon terhadap tusukan jarum, timbulnya perasaan ingin
berkemih dan lintas aferen dari refleks berkemih dapat terlihat. Sekali sensasi
kandung kemih muncul, kekuatan penuh dari detrusor timbul, dan lintas eferen
refleks berkemih pulih dengan cepat.
OPERASI GENITALIA EKSTERNA
Anestesi untuk sirkumsisi, protesa penis,
dan orkidopeksi dapat dilakukan pada pasien dibawah pengaruh anestesi umum atau
blok spinal, kaudal, atau penis. Inervasi sensoris somatik penis diperantarai
oleh nervus dorsalis penis melalui nervus perineal dan pudendus ke saraf spinal
sacral posterior pada S2, S3, dan S4. Serat parasimpatis juga berjalan dari
serabut anterior sakral dengan nervus yang berasal dari pleksus pelvikus untuk
menginervasi pembuluh darah penis (dilator).
Anestesi kaudal
menghambat aliran parasimpatis sakral dari saraf spinal, seperti halnya
konduksi nervus somatik aferen. Selama penghambatan kaudal, fungsi kandung
kemih dan berkemih seringkali terganggu. Pasien yang mengalami hambatan nervus
dorsal memiliki insiden mual dan muntah post-operasi yang rendah dan dapat
kembali ke aktivitas normal di awal periode post-operasi. Pada anak-anak,
digunakan anestesi umum inhalasi diikuti baik oleh blok kaudal ataupun blok
nervus dorsal. Blok seperti ini memberikan peredaan nyeri post-operasi untuk 4
sampai 5 jam. Meski begitu, anestesi kaudal juga dapat menyebabkan penundaan
berkemih dan ketidakmampuan ereksi. Respon nyeri diperlihatkan pada neonatus,
dan sekarang ini merupakan praktek yang lebih disukai untuk memberikan analgesia
atau anestesi untuk sirkumsisi pada bayi baru lahir.
Penanganan
Priapismus
Ereksi penis adalah
fenomena refleks yang secara istimewa berhubungan dengan pola vaskuler dan
struktural dari penis. Darah dialirkan ke penis dari arteri pudendus interna
(cabang arteri hipogastrika), yang terdiri atas 3 pasang arteri penis: arteri
dorsal, arteri korporis, dan arteri spongiosus ventral. Arteri korporis
bertanggung jawab terhadap tumesensi korpus kavernosus. Pada dasarnya, aliran
darah lansung menuju anastomosis arteriovena yang terbuka ke dalam pleksus vena
dalam dan menjauhi korpus kavernosus yang menyerupai spon. Selama tumesensi,
hubungan-hubungan ini tertutup secara luas, dan darah mengalir ke dalam korpus.
Korpus penis terdiri dari jaringan yang menyerupai spon yang besar secara
potensial dan pada dasarnya mengandung sedikit darah.
Dengan stimulus fisik
dan psikis yang memadai, impuls aferen berjalan dari glans penis dan frenulum
melalui nervus dorsalis penis melewati nervus somatik pudendus menuju pusat
refleks ereksi pada saraf spinal sakral. Ereksi dimediasi oleh impuls eferen
parasimpatis dari pusat saraf sakral oleh serat yang berjalan di dalam nervus
pudendus yang berlaku sebagai jaras motorik. Impuls eferen terhadap penis
bekerja pada sitem vaskuler penis dan menghasilkan dilatasi arteri yang nyata.
Pengisian penuh penis
terjadi oleh aliran darah melalui arteri korpus penis ke dalam rangkaian cabang
arteri yang berputar-putar yang disebut pembuluh helisin pada percabangan
arteri, yang mengosongkan diri ke dalam korpus kavernosus. Ereksi pada dasarnya
dianggap sebagai suatu kegiatan arteri. Pada saat yang sama, drainase vena
berkurang dan dengan demikian memerangkap darah dan meningkatkan pengisian
penuh. Aliran balik vena yang berkurang berhubungan dengan vasokonstriksi dan
kompresi mekanis aliran vena oleh korpus yang terisi penuh. Pada saat distensi
dan kekakuan penis maksimal, tekanan korpus mencapai tingkatan sebagaimana yang
dicapai arteri karotid. Detumesensi bergantung pada pembukaan pintasan arteri
vena, dengan pengalihan aliran darah menjauhi korpus kavernosus dan dilatasi
pembuluh vena penis. Hal ini sebagian dimediasi oleh stimulasi simpatis.
Kadang-kadang, pasien
dimasukkan untuk pengobatan priapismus yang persisten dan nyeri, atau
pengobatan diperlukan jika terjadi turgesensi penis temporer selama prosedur
sistoskopi. Seperti yang diuraikan nanti, sejumlah tehnik untuk
detumesensi telah digunakan, namun
demikian, tidak satupun obat atau tehnik yang sepenuhnya efektif.
Anjuran
Pengobatan Turgesensi Penis
Pengobatan
berikut, secara tunggal atau kombinasi telah digunakan untuk penanganan
turgesensi penis:
- Ketamin.
- Inhalasi amil nitrat.
- Nitrogliserin intravena dengan efek biasanya kurang dari 2 menit.
- Pemakaian topikal pasta nitrogliserin 2% pada batang penis.
- Pemberian hidralazin intravena.
- Infus magnesium sulfat intravena.
- Pemberian dekstran 40 (200 sampai 400 ml) intravena
- Induksi hiponatremia dengan vasopressin D-arginin (ADH).
- Anestesi spinal rendah (hanya blok nervus sakral).
- Evakuasi bedah dari korpus.
PROSEDUR LASER
Laser, khususnya laser neodymium-YAG, meningkat penggunaannya
untuk menangani tumor kandung kemih dan lesi genitalia eksterna benigna dan
maligna lainnya. Dengan bergantung pada luas prosedur bedah dan kondisi pasien,
infiltrasi setempat obat anestesi lokal, blok epidural dan spinal, atau
anestesi umum dapat digunakan untuk penatalaksanaan anestesi untuk bedah laser.
Litotripsi
Litotripsi ultrasonik
perkutan dan litotripsi dengan gelombang kejut ekstrakorporis (extracorporeal shock wave lithotripsy
(ESWL)) telah digunakan untuk terapi batu saluran kemih. Penatalaksanaan
anestesi untuk prosedur-prosedur ini mencakup anestesi umum, blok epidural atau
spinal, dan blok regional.
LITOTRIPSI ULTRASONIK PERKUTAN
Dalam tehnik ini, pasien
ditempatkan pada posisi lateral dan sebuah nefroskop dimasukkan melalui suatu
insisi kecil pada panggul. Sebuah sandapan logam berlubang disisipkan melalui
nefroskop untuk mencapai kalkulus. Energi ultrasonik yang dihantarkan melalui
sandapan logam ini mematahkan batu ginjal atau batu uretra bagian atas. Batu
yang hancur kemudian dibilas keluar oleh irigasi larutan normal salin.
Komplikasi yang mungkin dari prosedur ini mencakup perforasi organ, rupture
diafragma, embolisme udara, hipotremia akut, hiperkalemia, dan hemolisis akut.
LITOTRIPSI DENGAN GELOMBANG KEJUT
EKSTRAKORPORIS (EKSTRACORPOREAL SHOCK
WAVE LITHOTRIPSY (ESWL))
ESWL adalah terapi batu
ginjal dan uretra yang terbaru dan non invasif yang digunakan secara luas.
Tehnik ini lebih unggul daripada pembedahan terbuka dan nefrolitotripsi
perkutan oleh karena mortalitas dan morbiditas yang lebih rendah, tingkat
keberhasilan yang lebih tinggi, biaya yang yeng lebih murah, dan waktu rawat
inap yang lebih singkat. Kebanyakan pasien kembali dapat melakukan aktivitas
normal dalam 24 jam setelah prosedur.
Penghancuran batu
saluran kemih dengan gelombang kejut energi tinggi pertama kali diperkenalkan
oleh insinyur Rusia pada tahun 1955. Setelah 25 tahun, perusahaan ruang angkasa
di Jerman (Dornier) mengembangkan
ESWL untuk penghancuran batu saluran kemih yang non invasif.
Tehnik ESWL mempunyai
tiga komponen utama. Komponen pertama adalah generator gelombang kejut, yang
bekerja dengan melepaskan letupan listrik menggunakan arus 18 hingga 24 kV (Gambar
24-1). Permulaan letupan menyebabkan transmisi gelombang tekanan tinggi yang
meradiasi secara bersama-sama dari titik fokal asal letupan. Sebuah logam
kuningan berbentuk elips digunakan untuk memantulkan gelombang tekanan yang
timbul kembali ke titik kedua dari logam elips (F2), membangkitkan
tenaga kejut maksimum (Gambar 24-2). Komponen kedua adalah sebuah x-ray image intensifier yang menempatkan
batu dalam aksis tiga dimensi untuk fokus F2. Komponen ketiga adalah
panel pengendali jarak jauh dengan bantuan komputer untuk memfokuskan batu
ginjal di pusat gelombang kejut energi tinggi (Gambar 24-3). Untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya aritmia jantung, generator gelombang kejut ESWL dipicu
oleh gelombang R dari EKG dan dihantarkan ke ginjal selama masa refrakter
miokard.
Dengan litotriptor
Dornier generasi tua, pasien dibenamkan di dalam bak air hingga mencapai
klavikula mereka pada temperatur 37oC. Batu dilokasikan oleh penajam
gambar dengan bantuan komputer dan kemudian dihancurkan oleh gelombang kejut
energi tinggi. Selama dan sesudah terapi, pasien dihidrasi, dan partikel kecil
yang tersisa dikeluarkan dalam urin. Karena sifat-sifat fisik dan densitas
akustik dari jaringan biologis dan organ padat abdomen serupa dengan hal
pembenaman air di dalam air memungkinkan gelombang kejut energi tinggi
ultrapendek mencapai batu saluran kemih tanpa merusak jaringan.
Litotripsi dengan
menggunakan litotriptor Dornier
generasi tua nyeri dan memerlukan anestesi umum atau epidural. Meski begitu,
dengan perkembangan teknologi, pemisah letupan terbaru dengan stimulus yang
berkurang nyerinya telah dikembangkan. Selain itu, alat piezoelektrik yang
menggunakan kristal keramik untuk menghasilkan gelombang kejut dari gelombang
ultrasonik, seperti litotriptor Siemens,
telah diperkenalkan untuk pengobatan batu ginjal. Alat-alat terbaru ini
memancarkan gelombang kejut dengan kekuatan yang lebih rendah daripada mesin
bak air generasi awal. Mesin terbaru juga menggunakan meja yang kering,
mengalirkan gelombang kejut melalui batal air, yang memungkinkan pasien
ditangani dengan anestesi minimal atau tanpa anestesi.
Tehnik
Anestesi
Anestesi umum, tehnik
anestesi regional (spinal atau epidural, blok, interkostal), sedasi intravena,
dan infiltrasi lokal pada daerah tempat masuk (gelombang kejut) telah digunakan
untuk ESWL. Banyak ahli anestesi memilih anestesi epidural kontinyu karena
beberapa pasien memerlukan sistoskopi dan manipulasi batu (saluran kemih)
sesaaat sebelum ESWL, dan kateter epidural yang ama dapat digunakan juga untuk
prosedur pembedahan. Selain itu, pasien dalam keadaan sadar dan secara
hemodinamik bisa lebih stabil selama pemindahan dari meja sistoskopi ke kursi
ESWL. Jika digunakan anestesi epidural, lokasi kateter harus ditutupi dengan
perban berperekat steril yang anti air untuk mencegah kemungkinan infeksi.
Dibutuhkan level sensorik T6. Karena penghambatan simpatis dibawah pengaruh
anestesi spinal lebih dalam dibanding anestesi epidural, dan karena anestesi
spinal dapat menyebabkan perubahan sirkulasi yang berat selama pengaturan
posisi, maka dipilihlah anestesi epidural.
Pasien yang menjalani
litotripsi dibawah pengaruh anestesi umum juga ditempatkan di sebuah kursi
litotripsi sebelum induksi anestesi atau dianestesi di meja sistoskopi untuk
menjalani sistoskopi dan penempatan stent
dan kemudian dipindahkan ke kursi litotripsi. Diikuti induksi anestesi dengan
thiopental atau propofol atau obat-obat hipnotik kerja singkat lainnya, trakea
diintubasi dengan pelumpuh otot intermediet. Ventilasi harus dikontrol untuk
menjaga CO2 end-tidal
tetap dalam batas normal. Volume tidal yang kecil dan laju pernapasan yang
lebih tinggi digunakan untuk meminimalkan pergerakan diafragma dan dan
pemindahan batu ginjal pada layar image
intensifier. Beberapa center
telah menganjurkan ventilator jet frekuensi tinggi atau ventilasi tekanan
tinggi frekuensi tinggi, dengan volume tidal 3 ml/kg dan laju pernapasan 80
kali/mnt dengan menggunakan mesin anestesi konvensional, sebagai cara untuk
menjaga batu tetap pada fokus. Anestesi dipertahankan dengan halotan, enfluran,
atau isofluran, dalam nitrat oksida dan oksigen. Oleh karena ESWL dipicu oleh
gelombang R pada rekaman EKG, maka bantalan EKG yang anti air diletakkan
sebagaimana mestinya pada dinding dada pasien untuk menghasilkan sinyal
gelombang R yang kuat dan mencegah luka bakar. Pulse oxymeter adalah keharusan,
dan harus digunakan sandapan telinga atau hidung untuk menghindari arus pendek
listrik dan gangguan gelombang. Stetoskop esofagus dengan sandapan suhu
dipasang untuk memantau suhu dan suara kardiopulmoner.
Anestesi
Epidural
Anestesi epidural lumbar
yang kontinyu memiliki banyak keuntungan dalam memberikan anestesi bagi ESWL.
Meski begitu, anestesi epidural lumbar relatif kurang dapat diandalkan dan
hasilnya abnormal jika diulangi. Diantara komplikasi-komplikasi yang sering
dikemukakan mencakup nyeri pada punggung dan bagian posterior paha selama
injeksi obat anestesi lokal saat pemberian ulang anestesi epidural. Seseorang
memiliki kesan bahwa, saat menginjeksikan larutan anestetik setelah kateter
berada di tempatnya, tahanan di dalam ruang epidural menurun. Aspirasi larutan
anestetik lokal yang mengandung darah dari kateter atau jarum epidural telah
diamati. Nyeri saat penginjeksian larutan anestetik secara langsung berhubungan
dengan kecepatan injeksi. Hal tersebut mungkin berhubungan dengan proses
peradangan, sebaliknya hematoma epidural dapat menjelaskan penurunan tahanan
ruang epidural. Penjelasan lain untuk kebanyakan masalah tersebut mungkin
berhubungan dengan efek gelombang kejut litotripter pada ruang epidural. Jalur
gelombang kejut tampaknya luas, seperti yang dibuktikan oleh distribusi
kelemahan dan memar-memar pada punggung pasien setelah ESWL. Beberapa gelombang
kejut tampaknya harus berjalan melalui ruang epidural. Energi gelombang kejut
seperti ini terhadap jaringan sekitarnya dapat sangat meningkat dengan adanya
ruang antara udara dan cairan. Jika pada pemberian anestesi epidural digunakan
tehnik loss of resistance (hilangnya
tahanan) dengan memasukkkan sedikit udara, kemudian keadaan diatur untuk
menimbulkan energi yang luar biasa langsung pada jaringan saraf. Gelembung
udara di dalam ruang epidural bisa menyebabkan kerusakan jaringan epidural
sebagaimana halnya penonjolan jaringan saraf. Tulisan Korbon mengemukakan bahwa
penginjeksian udara untuk identifikasi ruang epidural untuk dihindari.
Pemberian ulang anestesi
epidural dihubungkan dengan tingkat kegagalan yang signifikan, meningkat sampai
40 hingga 50%; 50% pasien lainnya dapat memperlihatkan masalah abnormal dan
komplikasi yang berhubungan dengan anestesi epidural.
Efek
pada Fungsi Organ
Anestesi, posisi
setengah duduk dengan kepala di atas, pembenaman dalam air, dan ESWL dapat
secara signifikan mempengaruhi sistem kardiovaskular, fungsi paru, dan ginjal.
Aritmia jantung, iskemia dan infark miokard, hipertensi dan hipotensi, cedera
serebrovaskular, dan hematoma subkapsul ginjal dan demarkasi regio kortimeduler telah dilaporkan setelah
ESWL. Behnia dan kawan-kawan, dengan menggunakan monitor cardiac output ultrasonik Doppler transesofageal, menunjukkan
penurunan cardiac output dengan
peningkatan mean arterial pressure
(tekanan arteri tengah) dan resistensi vaskuler sistemik yang bersamaan pada
pasien yang diberikan anestesi umum untuk menjalani ESWL. Perubahan-perubahan
hemodinamik yang menyertai ESWL ini tidak dimediasi oleh epinefrin atau
norepinefrin, tetapi mungkin diatur oleh sistem renin-angiotensin. Instabilitas
hemodinamik, hipertensi sistemik berat, dan edema paru telah dilaporkan setelah
ESWL pada pasien dengan riwayat tekanan darah tinggi dan penyediaan jantung
yang buruk. Pemantauan invasif melalui jalur arteri radial, pengukuran tekanan
vena sentral, penentuan tekanan kapiler arteri pulmoner dapat diindikasikan
pada pasien-pasien ini. Oleh karena kemungkinan perubahan hemodinamik,
perhatian ekstra harus diberikan saat memindahkan pasien masuk dan keluar dari
bak mandi dan kursi litotripsi.
Kaude dkk, dengan menggunakan MRI dan pengujian fungsi renal
radionuklida, memperlihatkan hilangnya diferensiasi kortikomeduler, hematoma
subkapsuler, dan gambaran obstruksi parenkim parsial setelah ESWL. Thomas dan
asistennya, dengan menggunakan kamera skintilasi τ kuantitatif, menunjukkan
penurunan funfsi ginjal dan aliran plasma ginjal terukur menyertai terapi ESWL.
Pengrusakan akut pada parenkim ginjal dan epitel tubular di regio korteks
ginjal diteruskan dengan perdarahan ke dalam glomerulus, tubulus, aparatus
jukstaglomeruler, dan interstitium 1 hingga 24 jam setelah ESWL telah
dilaporkan terjadi pada anjing. Hubungan langsung terlihat antara beratnya
perubahan-perubahan ini dan jumlah gelombang kejut yang digunakan. Hematoma
retroperitoneal berat yang membutuhkan transfusi juga telah dilaporkan
menyertai ESWL.
Perubahan
Suhu pada Pasien Selama ESWL
Baik hipertermi dan
hipotermi telah dilaporkan sebagai komplikasi ESWL dan dapat menyertai baik
anestesi epidural ataupun anestesi umum. Penyebab perubahan suhu berhubungan
dengan suhu air dimana pasien dibenamkan. Suhu yang dianjurkan adalah 35 sampai
37oC. Seringkali, suhu air didapatkan telah melebihi 40oC
atau dibawah 34oC. Pembenaman di dalam air, tentunya berhubungan
dengan konduksi panas yang jauh lebih cepat keluar dari tubuh pasien, atau ke
dalam tubuh dengan kecepatan 32 kali, saat melawan suhu udara. Bak air harus
selalu diuji oleh dokter anestesi dengan menggunakan tangannya. Hal ini harus
dilakukan apakah termometer pencatat di bak air itu sendiri tampak dalam kisaran
yang memadai atau tidak. Amat sering, air hangat yang dibiarkan mengalir menuju
bak bersuhu lebih tinggi daripada yang dikehendaki, dianggap bahwa panas akan
hilang oleh karena suhu ruangan. Pengukuran preventif yang kedua adalah untuk
mempertahankan suhu ruangan dimana
litotripsi dilakukan sekitar 80o hingga 85oC melebihi
suhu yang direkomendasikan pada ruangan operasi standar yaitu 72oC.
Suplemen
Penatalaksanaan Nyeri Selama ESWL: Anestesi Topikal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar