Sabtu, 21 Januari 2012

Anestesi dan Masalah Paru


ASMA
William R.Fuman,M.D
Asma didefinisikan sebagai obstruksi saluran nafas bawah yang rekuren, episodik dan reversible. Diantara episode-episode itu, fungsi paru pasien normal (atau agak normal). Diketahui pencetus dari reaksi saluran nafas pada pasien adalah allergen, proses infeksi atau stimulus fisik. Gejala pada pasien sangat bervariasi tetapi umumnya terjadi batuk, wheezing, nafas yang pendek dan exercional dyspnea.
  • Evaluasi klinis dimulai dengan menilai fungsi jalan nafas diantara episode-episode asma. Menentukan ada tidaknya gejala-gejala dan menentukan regimen pengobatan dibutuhkan untuk mencapai hasil ini. Jika pasien tidak bebas dari gejala-gejala, pikirkan kemungkinan bahwa pengobatan pada pasien asma tidak adekuat atau adanya keterlibatan proses lain (misalnya emfisema atau bronchitis kronik). Spirometer pre dan post penggunaan bronkodilator dapat dilakukan jika tersedia.
  • Putuskan, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik apakah pasien berada dalam keadaan dibawah standar. Jika pasien berada dalam keadaan standar, putuskan apakah keadaannya baik atau dapat berubah dengan farmakoterapi yang agresif.
  • Putuskan apakah pembedahan merupakan pilihan utama atau dapat ditunda dan dilakukan evaluasi serta terapi.
  • Pertama digunakan beta-adrenergic agonis dan kortikosteroid sistemik. Jika pasien tidak dapat menerimanya maka digunakan Albuterol inhaler dan Prednison oral selama 3-5 hari dengan dosis berangsur-angsur dikurangi. Penggunaan Theophyllin masih kontroversi dan sekarang tidak lagi digunakan untuk asma akut. Ipratropium bromida merupakan bahan inhalasi pilihan kedua yang kadang-kadang ditambahkan pada pengobatan dengan Albuterol. Reseptor antagonis leukotrien (misalnya Zafirlukast) adalah obat baru yang digunakan untuk terapi preventif pada penanganan asma. Jika terdapat infeksi paru atau bronkus maka digunakan antibiotika.
  • Jika prosedur mendesak dan gawat, albuterol secara nebulation dengan atau tanpa ipratropium merupakan pilihan terbaik untuk memperbaiki mekanisme pernapasan dan pertukaran udara. Pengobatan dimulai dengan penggunaan steroid intra vena sedini mungkin.
  • Bahan induksi yang paling disenangi untuk anstesi umum adalah propofol, ketamin intramuskular atau intravenosa, atau inhalasi halotan atau sevofluran. Bahan analgetik yang menyebabkan pelepasan histamin, induksi dan pelumpuh otot hasilnya tidak jelek dan lebih aman. Bahan anestetik volatile mengurangi bronkospasme dan biasanya merupakan bahan utama untuk maintenance pada anestesi umum serta pengobatan bronkospasme intraoperatif. Nitrogen oksida dihindari pemakaiannya (atau digunakan dengan konsentrasi lebih kurang 50%) jika diperkirakan terdapat obstruksi di daerah paru-paru. Jika diperlukan relaksan otot, pertimbangkan penggunaan anticholinesterase.. Obat antagonis muskarinik dapat menyebabkan bronkospasme.
  • Intubasi endotrakheal merupakan masalah pada asma. Kedalaman anestesi yang inadekuat dapat memperburuk bronkospasme, terutama jika terdapat rangsangan pada trakhea, carina atau bronkus oleh tube endotrakheal atau karena dingin, inhalasi gas kering. Efeknya dihambat oleh lidokain IV (1,5 mg/kg) pada saat anestesi yang dalam. Bahan lain adalah penggunaan lidokain spray topikal sebelum intubasi dan penggunaan atropin untuk memblok nervus vagus. Jangan lakukan hiperventilasi pada pasien; hal tersebut tidak diperlukan karena dapat menyebabkan barotrauma. Hipokarbia dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Ekstubasi merupakan pilihan tetapi hal ini biasanya tidak dibutuhkan.
  • Untuk menghindari penggunaan alat pada trachea, penggunaan anestesi umum dengan mask atau dengan laryngeal mask airway (LMA), anestesi lokal dan anesetsi regional perlu dipertimbangkan. Pemberian sedativ aman pada pasien asma, cocok digunakan secara IV dan neuraxial narcotik untuk mengobati nyeri.
 
PERIOPERATIV PADA WHEEZING
Deborah K. Rasch, M.d.
Ellen B. Duncan, M.D.

Wheezing (diambil dari kata Old Norse yang berarti “bunyi mendesis”) merupakan tanda yang kompleks yang dihadapi pada saat perawatan pasien perioperatif. Saat terjadi bronkospasme, wheezing akan menyertai terjadinya konstriksi bronkus (dan meningkat pada pasien yang di intubasi). Meskipun predominan terjadi pada saat ekspirasi, mungkin juga terdapat bunyi nafas yang pendek selama inspirasi. Bising pernafasan mirip dengan wheezing dan dapat dihubungkan dengan gangguan lain.
  • Wheezing pada saat preoperative, mengindikasikan satu atau lebih hal-hal dibawah ini : penyakit-penyakit brokospastik (asma, COPD, cystic fibrosis), penyakit jantung (Congestif Heart Failure [CHF], congenital heart disease dengan pembesaran arteri pulmonal dimana menyebabkan kompresi bronkus utama, vascular ring disekitar trachea); aspirasi; penyakit inflamasi atau infeksi (bronchitis kronis, pneumonia, infeksi virus pada anak). Wheezing bisa terjadi pada pasien dengan edema laring atau bagian lain pada bronkus dan jarang pada emboli paru. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis (gejala penekanan saluran nafas, toleransi terhadap exercise, respon terhadap bronkodilator, irama cardiac gallop, penggunaan diuretic guna penggolongan penyakit. Studi diagnostik masih diperlukan. Optimalkan fungsi kardiopulmonal, bronkodilator dan perbaikannpulmonary toilet pada penyakit bronkospastik ; penatalaksanaan medikasi dan diuretic pada CHF; dan penundaan tindakan elektiv sampai proses infeksi dihilangkan) sebelum pembedahan elektif.
  • Pengelolaan anestesi pada pasien asma termasuk intubasi (dan ekstubasi) sampai terjadi anestesi yang dalam (untuk menurunkan stimulasi vagal dan bronkokonstriksi). Pada pasien asma, oksibarbiturat kurang disukai karena menyebabkan pelepasan histamin dibandingkan barbiturat.Meskipun halothane lebih disenangi oleh beberapa ahli anestesi, semua bahan inhalasi secara kasar sama dengan bronkodilator. Bronkodilator ketamin sangat membantu.
  • Pengelolaan individual pada pasien jantung sesuai dengan lesi. Wheezing, walaupun pengelolaan hemodinamik tepat, dapat terjadi bronkospasme.
  • Pada pasien dimana tidak mendapatkan preoperative wheezing dan kemudian terjadi fase perpanjanga ekspirasi dan wheezing sesudah intubasi merupakan masalah diagnostik yang akut. Sekresi yang banyak pada saluran pernapasan atau tube endotrakheal dapat menyebabkan bising pada pernapasan dan dapat dihilangkan dengan suction.
  • Bronkospasme intraoperativ dapat disebabkan oleh pelepasan histamin karena obat (thiopental, curare, succinylcholine, morphine), anesthesia ringan, stimulasi parasimpatomimetik (adanya tube endotrakheal, rangsangan operasi), aspirasi, anafilaksis aktivitas obat beta-bloker. Anafilaksis menyebabkan hipotensi, vasodilatasi dan edema periorbital dan dapat disebabkan oleh beberapa obat tertentu. Pengobatan anafilaksis dengan dipenhydramin, 2 mg/kg; epinefrin, 3-5 g/kg IV; dan methylprednisolon 1-2 mg/kg IV.
  • Tebutaline 0,01 mg/kg subkutan; albuterol 0,1 mg/kg inhalasi; terbutaline 0,1 mg/kg inhalasi atau metaproterenol 5 mcg/kg inhalasi telah digunakan dan memberikan hasil yang memuaskan. Jika terjadi bronkospasme, dapat diberikan aminofilin 5-6 mg/kg IV, 20-30 menit, dan dimulai dengan infus aminofilin 0,4-0,9 mg/kg/jam (lihat table 1). Perhatikan disritmia ventricular. Jika pasien tidak respon terhadap pengobatan awal, dapat diberikan epinefrin IV.
Tabel 1. Penggunaan obat pada bronkospasme intraoperativ
 
CHRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE (COPD)
Michael A. Lyew, M.D.
Diane M. Peters-Koren, M.D.

COPD ditandai dengan kurangnya aliran udara ekspirasi yang persisten dengan meningkatnya residual volume dan function residual capacity. Resiko anestesi adalah : hipoksemia, hiperkarbia, bronkospasme dan peningkatan insiden Postoperative Pulmonary Complication (PPC), termasuk atelektasis, pneumonia dan gagal nafas.
  • Merokok adalah faktor predisposisi yang besar yang menyebabkan COPD, dimana sebagian besar diklasifikasikan dalam bronchitis kronis dan emfisema. Gabungan dari keduanya dapat terjadi. Penyebab minor dari emfisema adalah defisiensi homozygot a-1 antitripsin, dimana hal tersebut juga berperan sebagai penyebab sirhosis. Merokok lebih dari 20 pak/tahun, usia lanjut, obesitas, status ASA yang tinggi, serta operasi thorax dan upper abdominal merupakan co-faktor COPD untuk PPC. COPD dini dengan atau tanpa gejala, tes fungsi paru rutin (PFTs) tidak diperlukan, kecuali sebelum reseksi paru. Dispnu (terutama pada saat istirahat), batuk dan produksi sputum menandakan perlunya persiapan yang intensif, termasuk PFTs dasar dan pengukuran gas darah arteri.
  • Perbandingan FEV1/FVC menunjukkan beratnya COPD. Resiko PPC meningkat setelah pembedahan upper abdominal, jika pada preoperative nilai dari FEV1/FVC < 70%, FEV25-75%/FVC < 50%, FVC < 75%, dan MVV < 50%. Gagal nafas sering terjadi jika FEV1/FVC < 50% dan PaCO2 > 50 mmHg. Retensi CO2 sering terjadi jika FEV1/FVC < 35%. Perbaikan nilai aliran ekspirasi dan PaCO2 setelah pemberian bronkodilator menurunkan resiko PPC. Malnutrisi dan gangguan elektrolit perlu diperhatikan karena keduanya menyebabkan penurunan fungsi otot pernapasan. Selanjutnya dapat terjadi hipoksemia dan hiperkarbia menunjukan adanya polisitemia, hipertensi pulmonal dan cor-pulmonal. Pada COPD dini, foto thorax normal, tetapi dapat terlihat pembesaran paru pada emfisema dan blood diversion pada lobus atas serta kardiomegali pada bronchitis kronik.
  • Sebelum operasi elektif, fungsi paru harus optimal. Merokok harus dihentikan pada yang berat; untuk menurunkan level carboxyhemoglobin dibutuhkan 12-18 jam. Pengobatan penuh pada infeksi saluran nafas akut dan dilanjutkan dengan inhalasi bronkodilator serta obat anticholinergik. Jaga atau tingkatkan terapi steroid. Koreksi hipokalemi, tunjang gizi dan manuver ventilasi untuk meningkatkan cadangan nafas. Sediakan cadangan oksigen (O2) untuk memperbaiki hipertensi pulmonal. Pengobatan right ventricular failure dengan digoksin, diuretik dan vasodilator. Waktu yang inadekuat untuk mengoptimalkan keadaan sebelum operasi meningkatkan resiko PPC dan merupakan operasi yang emergensi.
  • Jenis pembedahan dan status fisik menentukan teknik anestesi dan tingkat monitoring. Blok spinal dan epidural lebih tinggi dari T6 menurunkan volume cadangan ekspirasi dan refleks batuk serta menghilangkan sekresi. Penggunaan sedative dibatasi karena efeknya terhadap depresi pernafasan. Bronkospasme saat dilakukan anestesi umum pada pasien dapat disebabkan oleh intubasi endotrakheal, rangsang nyeri dan pelepasan histamin karena obat. Nitrogen oksida dihindari jika terdapat bulla atau hipertensi pulmonal. Jaga pH normal arteri, tetapi tidak PaCO2 , pada pasien dengan retensi CO2 preoperative untuk menjaga kompensasi metabolik. Gradien antara CO2 tidal dan CO2 arteri bisa meningkat. CVP menggambarkan fungsi ventrikel kanan lebih baik daripada volume intravaskuler jika terdapat hipertensi pulmonal.
  • Hindari atau minimalkan bronkospasme selama keadaan gawat extubasi dalam keadaan tidak sadar atau sadar setelah profilaksis dengan lidokain IV atau inhalasi bronkodilator. Pasien-pasien seperti ini memiliki level PaCO2 yang rendah dan desaturasi oksigen pada analgesia epidural kemudian kontrol nyeri dengan opioid parenteral. Pengaturan FiO2 tergantung ventilasi pada hipoksia. Mobilisasi dini dan manuver ventilator merupakan anjuran. Hindari hidrasi yang berlebihan. CO2 yang berlebihan pada sepsis atau intake kalori yang berlebihan membutuhkan bantuan ventilasi. Kontrol ventilasi juga diperlukan pada tindakn di daerah thorax dan upper abdominal sampai fungsi paru diperbaiki.
 
CIGARETTE SMOKING
James Gilbert, M.D.
Kathryn R. Hamilton, M.D.

Diketahui, riwayat merokok meningkatkan insiden komplikasi pernapasan postoperative. Efek merokok adalah rusaknya mukosiliar, hipersekresi mucous, dan obstruksi jalan nafas. Hal ini meningkatkan sensitivitas bronchiolar sehingga terjadi bronkokonstriksi dan peningkatan resistensi jalan nafas dan pengurangan dinamik. Efek akut dari mengisap asam rokok adalah peningkatan level karbonmonoksida dan disosiasi kurva oxyhemoglobin pada leftward shift. Carboxyhemoglobin (CoHb) dapat meningkat sampai 8-10% pada perokok berat, yang berarti mengurangi kapasitas oksigen pembawa. Nikotin adalah agonis adrenergik yang meningkatkan heart rate, BP dan resistensi vaskuler perifer.
  • Adanya batuk produktif, sputum purulen atau penurunan FEV1 menandakan peningkatan resiko terhadap komplikasi pulmonal. Adanya beberapa faktor resiko atau kemungkinan adanya batuk pada intraoperatif atau postoperative dapat mengganggu jalannya operasi (misalnya operasi mata dan herniorrhaphy) memerlukan evaluasi yang lebih sebelum pembedahan.
  • Studi fungsi paru yang sederhana menyatakan adanya penurunan FEV1 dan peningkatan closing volume. Studi fungsi paru dilakukan dengan atau tanpa bronkodilator untuk mengevaluasi efek obat selama persiapan preoperative pada pasien. Diperlukan adanya ABGs, foto thorax dan EKG. Apabila beberapa tes hasilnya abnormal, jika lama operasi diperkirakan lebih dari 3 ½ jam atau jika lokasi operasi pada daerah upper abdominal atau thorax, pertimbangkan penundaan tindakan elektif untuk persiapan akan adanya efek pada paru yang luas.
  • Merokok harus dihentikan minimal 6-8 minggu sebelum operasi untuk mengurangi angka kesakitan pada postoperative pulmonal dan memperbaiki fungsi imun serta penyakit saluran nafas yang reversible. Merokok 48 jam sebelum operasi berdampak pulmonary toilet yang agresif, meskipun demikian, berhenti merokok lebih cepat sebelum operasi masih kontroversi. Namun, walaupun hanya beberapa hari tidak merokok, terjadi aktivitas perbaikan cilia dan 1-2 minggu tidak merokok secara signifikan menurunkan volume sputum dan reaktivitas saluran nafas. Waktu paruh yang singkat dari CoHb menurun setelah 12 jam tidak merokok.
  • Infiltasi lokal sebagai syarat untuk sedativ IV atau anestesi regional diperlukan, tetapi untuk anestesi umum tidak digunakan, hal ini penting untuk mempertahankan kelembaban yang adekuat, mempertahankan FRC dan cukup bermanfaat pada anestesi yang dalam untuk mengurangi reaktivitas jalan nafas. Preoperativ dengan menggunakan antikolinergik tidak bermanfaat. Pulmonary toilet yang aktif, termasuk perkusi dan vibrasi, diperlukan setelah extubasi, diikuti dengan tindakan suction pada jalan nafas selama tindakan operasi. Pengurangan FRC terjadi pada semua pasien yang dianestesi tetapi lebih banyak pada perokok. Walaupun penurunan SaO2 pada perokok memperlihatkan gejala yang asimptomatik, selama periode postoperative suplemen O2 harus ditransportasikan dan dipertahankan.
  • Siapkan analgetik postoperative dengan cara blok saraf atau analgetik epidural jika memungkinkan. Jika hal ini tidak mungkin atau kecil kemungkinannya untuk dilakukan, dosis analgetik IV secara titrasi yang berulangkali akan memberikan efek yang diinginkan; Hindari kombinasi beberapa obat sedatif kerja lama atau fenotiazin. Juga baik memilih analgetik yang kurang mengandung antitusive (misalnya obat nonsteroid antiinflamasi). Terapi preoperative pulmonal dilanjutkan sampai periode postoperative. Pertahankan hidrasi dan terapi O2 yang adekuat. Spirometer atau terapi fisik pada thorax (jika terjadi atelektasis atau infiltrat pada daerah tertentu), terapi bronkodilator dan mobilisasi dini untuk mengurangi komplikasi postoperative pulmonal.
 
INFEKSI SALURAN NAFAS ATAS
Alan R. Tait, Ph.D.
Paul R. Knight, M.D., Ph.D.

Resiko tindak anestesi pada pasien infeksi saluran nafas atas yang akut (ISPA) masih kontroversial. Studi menunjukkan bahwa hal tersebut kurang jelas. Walaupun beberapa studi mengatakan bahwa tindakan anestesi pada pasien dengan ISPA memiliki resiko terjadinya laringospasme, bronkospasme dan desaturasi pada postoperative, pendapat lain mengatakan bahwa pasien ISPA akut dan carries ISPA tanpa komplikasi, tidak menurunkan angka kesakitan.
  • Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menentukan apakah pasien sedang mengidap suatu proses infeksi atau tidak. Evaluasi pasien akan adanya demam, batuk, produksi sputum, dispnu dan letargi. Tentukan apakah gejala tersebut terjadi secara akut atau musiman. Shreiner dan kawan-kawan mengatakan bahwa sangat penting untuk memprediksikan kemungkinan yang akan terjadi. Thorax foto harus dipertimbangkan jika dipikirkan bahwa saluran nafas bawah ikut terlibat.
  • Perkiraan pembedahan yang urgency. Pembedahan yang nonurgency dengan adanya asma telah dinyatakan sebagai faktor yang paling sering mempengaruhi keputusan para ahli anestesi untuk menunda operasi elektif pada pasien dengan ISPA. Jika pembedahan urgent, pertimbangan tekhnik regional untuk menghindari manipulasi jalan nafas. Jika hal ini gagal atau tidak dapat dilakukan, alihkan pada anestesi umum dengan mempertimbangkan lamanya pasien puasa. Kelembaban dan hidrasi dapat menolong mobilisasi sekresi.
  • Jika pembedahan elektif, perkirakan kemungkinan infeksi. Dengan waktu yang singkat, hal ini tidaklah mudah; walaupun demikian, informasi bisa didapatkan dari data tentang riwayat dan pemeriksaan fisik pasien. Walaupun 95% pasien dengan gejala ISPA mendapatkan infeksi virus, beberapa pasien memperlihatkan sekresi atau sputum yang mukopurulen, demam, atau sepsis. Jika diduga infeksi bakteri, pasien harus diberikan antibiotik dan pembedahan harus ditunda paling kurang 4 minggu. Pasien dengan nasofaringitis berat, wheezing, demam lebih dari 38oC, batuk yang produktif atau flu atau gejala batuk yang disertai sesak nafas harus dijadwal ulang. Pasien tanpa infeksi, alergi, rhinitis vasomotor kronis atau penyakit-penyakit tingkatan sedang, tidak berkomplikasi, gejala “cold” akut dimana tidak terdapat sekresi dapat dilakukan pembedahan. Jika pasien – pasien ini akan dioperasi, pertimbangkan resiko dan keuntungan tindak operasi (misalnya operasi yang telah berulangkali ditunda, dan tidak diperlukannya pembedahan yang menambah resiko komplikasi pada pasien dengan ISPA). Jika perbandingan resiko dan keuntungan baik, operasi dapat dilakukan; jika tidak baik atau ragu-ragu, operasi ditunda paling kurang 4 minggu.
  • Jika tekhnik regional cocok, operasi dapat dilakukan. Jika dilakukan anestesi umum, gunakan mask jika memungkinkan. Jika biasa menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA), pertimbangkan penggunaannya untuk tindakan yang normalnya memerlukan intubasi tracheal. Antisialogoque dapat digunakan pada anak-anak untuk mengurangi stimulasi vagal pada manupulasi jalan nafas. Gunakan pulse oxymetri pada semua pasien.
  • Jika pasien telah diintubasi, suction trachea sebelum dilakukan extubasi. Lanjutkan pulse oxymetri selama pemindahan pasien dan dalam ruang pemulihan. Pasien dengan ISPA memperlihatkan tingkat saturasi terbesar selama masa pemulihan. Diperlukan penggunaan oksigen dengan menggunakan facemask.
 
TUBERCULOSIS ATAU SUSPEK TUBERCULOSIS  
Susan M. Ryan, Ph.D., M.D.
Peningkatan Tuberkulosa (TB) dan peningkatan resistensi terhadap antibiotik mendapat perhatian besar dalam kesehatan masyarakat. TB menyebar melalui inhalasi droplet nuclei; aerosol partikel kering, sisa-sisa yang ada diudara. Konsultasikan dengan spesialis penyakit infeksi untuk membantu diagnosa, pengobatan dan waktu operasi. Pegawai Rumah Sakit Departemen Kesehatan, National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), dan Center for Disease Control and Prevention (CDC) bermanfaat sebagai sumber informasi.
  • TB adalah penyakit paru primer. Diperlukan data tentang diagnosa, riwayat pengobatan dan gejala pada paru-paru, serta keterlibatan ekstrapulmonal (limfatik, CNS, ginjal dan sum-sum tulang). TB yang dini biasanya asimptomatik atau timbul dengan gejala yang tidak spesifik (anoreksia, fatique, kehilangan beratbadan, berkeringat pada malam hari). Selanjutnya dapat terjadi batuk yang produktif, hemoptisis dan nyeri pada dada. Takipnu, ronkhi, dan melemahnya bunyi pernafasan bisa terjadi. Jika ekstrapulmonal terlibat maka gejala yang paling sering terlihat adalah limfadenopati. Penemuan pada foto thorax tergantung pada tingkat dan kronisitas penyakit – Jika foto thorax abnormal maka dilihat foto sebelumnya. Pada TB primer terlihat infiltrat di lobus atas atau seperti infiltrat halus yang multiple. Limfadenopatui hilar atau efusi pleura bisa terjadi. Pada TB kronik, bisa terdapat bintik atau nodul pada apikal dan subapikal. Dahulu, pengobatan TB dimana terdapat granuloma adalah dengan apical scarring. Perhatikan adanya peningkatan leukosit dan anemia normositik normokrom. Pada TB pulmonal dapat terjadi hiponatremia dan meningitis TB disebabkan oleh syndrome of inappropriate secretion on antidiuretic hormone (SIADH).
  • Hilangkan infeksi TB yang aktif sebelum pembedahan yang tidak mendesak. Observasi penyebab TB jika ada dugaan adanya TB aktif. Jika foto thorax normal atau ada sedikit perubahan pada pasien yang asimptomatik, tidak ada tes yang direkomendasikan. Jika pada foto thorax diduga adanya TB aktif atau secara klinik diduga kuat pengobatan tidak adekuat, ambil tiga contoh sputum untuk smear basil tahan asam (BTA) dan kultur TB. Satu smear positif membantu diagnosa. Apabila BTA negatif, tindakan pencegahan dan pembedahan tergantung pada tingkatan penyakit dan kecurigaan TB yang tidak diobati. Jika BTA negatif, TB aktif tidak dapat disingkirkan (pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang memberikan gejala) dan dilakukan pengobatan serta penundaan tindakan pembedahan. PPD yang positif (tes penyaringan yang baik tetapi tidak pasti) dapat dicurigai adanya TB, tetapi PPD negatif (walaupun dengan kontrol) tidak dapat menyingkirkan adanya TB; Foto thorax dan analisa sputum lebih dipercaya. Pada pasien dengan HIV positif cenderung mendapatkan penyakit paru aktif dan melibatkan ekstrapulmonal. Pada pasien-pasien tersebut, tes PPD positif dengan ukuran 5 mm. Pada pasien dengan HIV positif yang berat, foto thorax bisa negatif untuk beberapa hari saat pasien terinfeksi dengan TB. Sebagai tambahan, BTA positif dihasilkan oleh beberapa mycobacteria; namun tetap diobati sebagai TB sampai hasil kultur didapatkan.
  • Pasien dengan HIV positif dan diduga TB adalah penduduk atau imigran dari daerah dengan prevalensi tinggi, penyalahguna obat, kontak TB, tunawisma, malnutrisi. Pikirkan diagnosa TB jika terjadi pneumonia pada pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang tidak respon terhadap antibiotik atau adanya kontak pada kasus yang aktif.
  • Observasi pernafasan sebagai pencegahan termasuk pasien yang diintubasi. Ruang khusus dengan tekanan ventilasi negatif dan 6-10 kali/jam perubahan udara, pencegahan gejala pada saluran nafas yang membahayakan dan masker atau alat bantu nafas untuk setiap orang yang masuk dalam ruangan. Tipe masker berguna untuk kesehatan kerja (HCW) dan alat bantu pernafasan yang diakui oleh NIOSH : fitted air-filtering mask, powered air purifying respirators (PAPR), atau respirator tekanan positif dengan tambahan udara. Selama pemindahan pasien ketempat lain, gunakan masker pada pasien. Jika pasien diintubasi dan dilakukan ventilasi, gunakan masker selama pemindahan pasien.
  • Jika pasien dengan BTA positif, dilakukan penundaan untuk pembedahan elektif dan tindak pengobatan selama 2 minggu dan tiga kali sputum negatif. Jika pasien BTA negatif tetapi kultur positif atau pasien dengan resiko tinggi, pasien dengan gejala TB, tindak pengobatan dilanjutkan minimal satu minggu sampai terjadi perubahan pada kondisi pasien. Kasus yang gawat memerlukan keputusan klinik, pengobatan yang memungkinkan selama sebelum pembedahan, dan tindak pencegahan di ruangan operasi.
  • TB diobati dengan kombinasi obat selama 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih. Masalah yang besar adalah terjadinya resistensi, dan terapi obat harus dilakukan secara hati-hati dan disesuaikan dengan sensitivitas. Respon terhadap terapi ditandai dengan berkurangnya bakteri, sputum dengan BTA negatif dan perubahan secara klinik. Pasien diperkirakan masih infeksius selama 2-3 minggu setelah pengobatan.
  • Ventilasi yang adekuat diruang operasi sangat penting. Dapat digunakan ventilator dengan tekanan negatif. Peralatan anestesi : gunakan alat-alat sekali pakai. Letakkan penyaring bakteri pada lubang pernafasan atau dengan menggunakan tube endotrakheal (ET) untuk mencegah kontaminasi. Atur tube ET dan kateter suction dengan cermat. Bersihkan mesin dan peralatan anestesi menggunakan larutan tuberkulosidal dan sterilkan jika memungkinkan. Ahli anestesi dan yang lainnya : menggunakan masker seperti biasanya, lindungi daerah steril. Sebagai tambahan perhatikan dan gunakan alat pelindung pernafasan untuk mencegah infeksi dari droplet. Satu masker dapat disiapkan . Respirator dengan katup ekshalasi, PAPR, respirator tekanan positif tidak melindungi daerah yang steril. Pembedahan dan prosedurnya : terdapat resiko tinggi terhadap kontaminasi selama dilakukan tindakan dimana cairan tubuh yang terinfeksi keluar (trakheostomi, thorakotomi, bipso paru terbuka, bronkoskopi, kauterisasi jaringan yang terinfeksi) dan selama perawatan tube ET. Hindari atau minimalkan tindakan suction pada ET. Pemulihan : PACU harus tersendiri dan terdapat standar pencegahan TB. Jika tidak, pemulihan pasien dilakukan diruang operasi atau ICU. Tenaga kesehatan harus menggunakan pelindung pernafasan.
 
RESTRICTIVE LUNG DISEASE
A. Sue Carlisle, M.D., Ph.D.
Restrictive Lung Disease (RLD) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kumpulan gejala fisiologis yang ditandai dengan menurunnya kapasitats total dari paru-paru. RLD dapat disebabkan oleh bermacam-macam sebab intrinsik dimana daya pengembangan parenkhim paru menurun atau oleh faktor ekstrinsik yang berdampak pada dinding dada, pleura dan abdomen. Keadaan ini dapat disebabkan secara sendiri-sendiri atau bersamaan menghasilkan restrictive fisiologis. Perubahan instrinsik bisa permanen, seperti terjadinya fibrosis paru atau reversible seperti terjadinya edema paru atau pneumonia. Perubahan ekstrinsik dapat terjadi secara sekunder pada bermacam-macam keadaan termasuk kelemahan otot pernafasan, penebalan pleura, kiposkoliosis, chest wall scarring dan kegemukan. Sebagai tambahan beberapa tindakan seperti laparoskopik dimana dibutuhkan penurunan tekanan dalam cavum peritoneum, secara temporal dapat menyebabkan restrictive fisiologis. RLD juga sering terjadi obstructive lung disease (OLD) dan kombinasi keduanya dapat mempersulit diagnosa dan pengobatan.
  • Riwayat pasien yang diduga mengalami RLD harus ditanyakan dimana akan menyebabkan adanya penyakit paru instrinsik, penyakit neuromuskular dan penyakit tulang termasuk kiphoskoliosis, infeksi paru dan congestive heart failure. Gejalanya adalah penurunan toleransi kerja, dispnu saat bekerja, batuk atau kesukaran bernafas dalam. Evaluasi dini pada pasien RLD adalah observasi pola pernafasan. Pasien-pasien ini cenderung memiliki penurunan tidak volum dan peningkatan respiratory rate karena pola bernafas yang kurang baik serta perluasan system noncompliant. Pasien dengan deformitas skeletal, weaknesss, rales dan ronkhi harus ditindaki secara hati-hati. Obesitas adalah hal yang paling penting yang dapat menyebabkan RLD yang berat. Besarnya gejala dan tingkat toleransi terhatap latihan dapat menjadi acuan untuk evaluasi preoperative yang lebih lanjut.
  • Radiografi pada thorax berguna untuk evaluasi pada beberapa kasus RLD yang dalam pengobatan seperti edema paru, pneumonia dan pneumonia interstisial. Fungsi paru dapat dievaluasi dengan spirometer untuk mendeteksi penurunan volume paru dan adanya obstruksi serta restriktif fisiologis. Pada beberapa kasus, dalam beberapa studi tentang fungsi paru, kurva volume aliran udara diperlukan untuk menilai berat tidaknya RLD (lihat bagan). Total lung capacity dan diffusing capacity juga diperlukan. Pada beberapa kasus, nilai ABG preoperative berguna untuk prognosis postoperative apakah dibutuhkan tambahan ventilator setelah operasi. Pada kasus yang berat echo jantung atau kateterisasi jantung kanan preoperative berguna untuk mengevaluasi hipertensi pulmonal atau kegagalan ventrikel. Komponen reversible harus diobati sebelum tindakan pembedahan elektif.
  • Jika memungkinkan, pilihlah tekhnik anestesi yang tidak memerlukan sedasi yang luas atau ventilasi mekanik. Tekhnik regional dapat digunakan jika otot pernafasan tidak dapat dijamin. Pada beberapa kasus, diperlukan anestesi umum dan ventilasi mekanis. Monitoring intraoperative dilakukan dengan pulse oximeter dan arterial line untuk monitoring tekanan darah dan contoh gas darah. Pada kasus-kasus yang berat, adanya hipertensi pulmonal dan ventricular failure dilakukan pemasangan kateter pada arteri pulmonal (PA) atau transesopharingeal echo (TEE) untuk melihat perubahan pada tekanan arteri pulmonal dan fungsi ventrikel. Ventilasi pada beberapa ruang operasi tidak cukup untuk mempertahankan tekanan dan aliran ventilasi yang adekuat bagi pasien dengan compliance yang kurang. Jenis ventilator ICU dibutuhkan. Atur ventilator untuk menurunkan tidal volume dan meningkatkan frekwensi compliance pada pasien dengan daya compliance yang rendah. Tindakan ini atau tindakan dengan menggunakan ventilasi dengan tekanan yang dikontrol dapat menghindarkan masalah tekanan yang tinggi seperti barotrauma dan hemodinamik yang membahayakan. Hemodinamik yang membahayakan bisa terjadi karena cardiac output dan tekanan darah menurun atau menurunnya ventilasi.
  • Setelah operasi, pada pasien dapat diberikan pH normal dan oksigenasi yang adekuat untuk mempertahankan kemampuan tubuh. Jika dilakukan intubasi trachea, perhatikan meticulous uantuk mengontrol nyeri. Efeknya minimal terhadap alat pernafasan (mekanisme kompensasi pada pasien) dan lebih menguntungkan. Jika pasien tidak dapat mentoleransi ekstubasi, ventilasi, volume yang optimal, serta pulmonary toilet dan nutrisi yang baik, lakukan ventilasi non-infasif seperti tekanan udara positif bilevel.

SUMBER
  • Decision Making in Anesthesiologi, An Algorithmic Approach. Third edition; By Louis L. Bready Rhonda M. Mullins, Swan Helene Npprity, R. Brain Smith; Mosby Inc. 2000, page 86 – 105


2 komentar: