Kamis, 29 Desember 2011

Anestesi pada Diabetes Mellitus


PENDAHULUAN 
Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli anestesi dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus akan mengalami pembiusan dan pembedahan. Karena faktor penyulit inilah mereka lebih banyak memerlukan pembedahan dari pada orang lain.1,2,3 
Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi, insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gangguan persendian jaringan kolagen (keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi granulosit yang inadekuat Oleh karena itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada evaluasi preoperatif dan penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi preoperatif yang optimal.1,4,5,6 
Ada tiga komplikasi akut DM yang mengancam jiwa, yaitu ketoasidosis dabetik, koma non ketotik hipenosmolor dan hipoglikomia. Penurunan aklifitas insulin meningkatkan katabolisme asam lemak bebas menghasilkan benda keton (asetoasetat dan β hidroksibutirat).
Akumulasi asam-asam organik berakibat timbulnya asidosis metabolik anion-gab yang disebut kotoasidosis diabetik. Kotoasidosis diabelik dapat diketahui dengan asidosis laktat. Dimana asidosis laktat pada plasma terjadi peningkatan laktat (>6 mmol/L) dan tidak terdapat aseton dalam urine dan plasma. Ketoasidosis alkoholik dapat dibedakan dengan ketoasidosis diabetik dari adanya riwayat baru saja mongkonsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak (pesta minum) yang terjadi pada pasien non diabetik dengan kadar glukosa rendah atau sedikit meningkat.
Manifestasi klinik dari ketoasidosis adalah dyspnue (uji kompensasi untuk asidosis metabolik), nyeri perut yang menyerupai kolik abdomen, mual dan muntah, dan perubahan sensoris. Penalalaksanaan kotoasidosis diabetik tergantung pada koreksi hiperglikemia (yang mana jarang melebihi 500 mg/dl), penurunan kalium total tubuh, dan dehidrasi diinfus dengan insulin, natrium dan cairan isotonis.
Pertentangan akan terjadi antara kebutuhan biaya untuk mengurangi lama rawat inap dan penanganan perioperatif pasien diabetes mellitus yang tergantung pada periode stabilisasi preoperatif. Kontrol gula darah yang lebih baik pada penderita yang akan mengalami pembedahan mayor menunjukkan perbaikan morbiditas dan mortalitas perioperatif. Pencegahan hipoglikemia dan hiperglikemia tidak sesuai lagi untuk perkembangan pengetahuan saat ini. Sementara terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang penanganan pasien yang akan mengalami tindakan mayor, untuk bedah minor sendiri masih terdapat banyak dilema. Dalam keadaan bagaimana kasus anestesi dan bedah sehari dapat dikerjakan? Apakah waktu masuk pada saat hari pembedahan menambah risiko pada pasien? Jika ada, pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk menilai sfetem kardiovaskuler penderita asimptomatis yang akan dilakukan pembedahan mayor Patut disayangkan, hanya terdapat sedikit data yang memberikan Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ire. Pemahaman patofisiologi dan kepentingan dari penelitian terbaru akan memperbaiki perawatan perioperatif pasien yang akan mengalami pembedahan.7 
Dalam tinjauan kepustakaan ini akan dibahas tentang patofisiologi diabetes mellitus serta penatalaksanaan persiapan operasi.

DEFINISI 
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.8,9 
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.7 
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika kadar   glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik, pemeriksaan harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika nilainya tetap di atas    batas ini. ADA    menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0  mmol/L (110 dan 126 mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma  sewaktu > 11,1 mmol/L atau 200 mg/dl (darah vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga   didiagnosis bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes toleransi glukosa  oral memberikan .hasil pada batas diabetes.7

KLASIFIKAS 1 5 7 8 9                      
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.
  • Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan biasanya retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan Istitah insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan dewasa muda. Defisiensi insulin terjadi karena produksi yang rendah yang disebabkan oleh adanya destruka sel-sel pembuat insulin melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu   memerlukan insulin sebagai pengobatannya   dan   cenderung   untuk   mengalami   ketoasidosis   jika   insulin   dihentikan pemberiannya.
  • Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan defisiensi insilin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung mengalami ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita ini kadang cukup dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti diabetes oral dan jarang sekali memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres atau infeksi berat.       

PATOFISIOLOGI 
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total pankreas. Besarnya pulau-pulau Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah 50m. sedangkan yang terbesar 300 m. Terbanyak adalah yang besarnya antara 100 dan 225 m. Jumlah semua pulau Langerhans di pankreas diperkirakan antara 100.000 dan 2.500.00. Pulau-pulau Langerhans paling kurang tersusun atas tiga jenis sel : sel-sel a memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, sel-sel d yang mensekresi insulin , dan sel-sel d yang membuat somatostatin. Pertama insulin disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik dan kemudian dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel b. Sejumlah besar insulin, normalnya kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus berlangsung dengan rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur utama pelepasan insulin. Stimulator lain dari pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormon-hormon gastrointestinal (gastrin, sekretin, cholecystokinin-pancreozymin, dan enteroglucagon), dan asetilkolin. Epinefrin dan. norepinefrin menghambat pelepasan insulin dengan merangsang reseptor a adrenergik dan merangsang pelepasan insulin pada reseptor  b adrenergik.5,9 
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam lemak bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam otot. Hiperglikemia terjadi karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk menandingi meningkatnya kebutuhan insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan mengubah asam amino dan asam lemak bebas membentuk glukosa dan benda keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam timbulnya gejala ketoasidosis. Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang hati untuk mengubah asam lemak bebas menjadi benda keton. Hipotesis terjadinya tipe I dihubungkan dengan infeksi virus yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger factor pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes mellitus. Virus-virus yang dianggap mempunyai pengaruh adalah : virus coxsackie B, virus encephalamiokardias, mumps, rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan virus hepatftis.4,6,7,9 
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya dengan faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini kadang diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena kegemukan.

Dianggap bahwa kegemukan akan :
  • Mengurangi jumlah reseptor insulin di sel target                         
  • Menyebabkan resistensi terhadap insulin karena perubahan pada post reseptor                  
              - Transport glukosa berkurang 
              - Menghalangi metabolisme glukosa intraseluler
  • Menimbulkan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap defek seluler, berupa:      
               -   Bertambahnya penimbunan lemak
               -   Bertambah masuknya energi ke dalam tubuh
               -   Komposisi diet (terutama banyak makanan lemak)
               -   Inaktivasi lemak

Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol dianggap menambah risiko terjadinya pankreatitis.4,9 
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan iskemik renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia arterial dan  penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua penderita yang dilakukan -pembedahan dan terutama penderita tipe I men punyai risiko komplikasi pasca operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada pasien non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada keadaan defisiensi insulin relatif. Defisiensi ini berkembang dari kombinasi antara menurunnya sekresi insulin dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi insulin dihasilkan dari meningkatnya sekresi katekolamin, kortisol dan growth hormone dan melibatkan perubahan dari ikatan post-reseptor dari insulin dan selanjutnya penurunan dari transport glukosa transmembran.6,7,9

DIAGNOSIS 
Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat hiperglikemia seperti pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan, gangguan kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati, retinopati, nefropati).9,10 
Diagnosis diabetes dapat ditegakkan metafii 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan dengan mudah oleh dokter di bagian emergensi (Jinat tabef).14

TABEL I : KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS
  • Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k). Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan. Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir, atau
  • Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi glukosa oral >= 200 mg/dl.
  • Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi metabolik akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemik- hiperosmolar-nonketotik), kriteria ini harus dikonfirmasi dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda. Penilaian yang ketiga (tes toleransi glukosa oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan klinis rutin.

Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade kehidupan. Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai diagnosis banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis, hemokromatosis, feokromositoma dan hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan primer metabolisme lemak seperti hiperlipidemia primer dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat sekunder. Semua penderita hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan hipertrigliseridemia.

EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISME 
Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 m/kg) sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)1,6,11

FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES 
Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah 4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung. Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:
  1. Sepsis
  2. Neuropati autonomik
  3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer)
  4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar1,7
Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi tegak berdiri).1,6,7 
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan yang pasti. Pasien  dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih.5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya sindrom ini terjadi pada sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar lainnya. Ketidak mampuan untuk mengekstensikan kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi. Akan tetapi dari suatu penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang dilakukan transplantasi ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi sedang sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat kesulitan intubasi ringan sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes. Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang disebabkan oleh mikroangiopari progresif. Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi non enzimatik protein. 'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.1,5,6,7,8

PENILAIAN PRABEDAH 
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus . Pasien dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.1,5,6,7,8,12.

PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM 
Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan pengawasan status diabetesnya.4 
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum terbukti.4.7 
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.7 
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.6,7 
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien cukup memuaskan  karena   kurang   pengaruhnya   terhadap   peningkatan   hormon ;
pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat menghambat pelepasan  insulin  dalam  merespon  hiperglikemia,   tetapi  tidak sama |pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran
tak nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah.4,6,7 
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal W tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.7 
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.4,7

TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM 
Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor a-adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parstal.7 
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik. Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.5,6,7

KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF
Tujuan pokok adalah :
  1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.
  2. Memberikan    kecukupan   karbohidrat   untuk    mencegah   metabolisme    katabolik   dan ketoasidosis.
  3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.
 Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Apakah terapi insulin perlu diberikan pada perioperatif? Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan. Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula darah dan glikosuria.1,2,9
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi seperti di bawah :
  1. Gula darah puasa > 180 mg/dl
  2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%                                                                      
  3. Lama pembedahan lebih 2 jam              
Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam 2 sampai 3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol metabolik   yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan. Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB.  Dua pertiga dosis insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis dengan pembedahan.6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling sering :t digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:

  • Tabel:   Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada pasien DM



Pemberian secara bolus

Infus kontinyu

Preoperatif

D5W (1,5 ml/kg/jam)
NPH insulin (1/2 dosis biasa pagi hari) (NPH=neutral protamine Hagedorn)

D5W (1 ml/kg/jam) Regular insulin Unit/jam = Glukosa plasma : 150

Intraoperattf

Regular   insulin   (berdasarkan   sliding scale)

Sama dengan preoperatif

Pascaoperatif

Sama dengan intraoperatif

Sama dengan preoperatif


Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien yang normalnya mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150 mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum pembedahan bersama-sama dengan infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien mengalami hipoglikemia (<100 mg/dl). Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl) diobati dengan RI intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada orang dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat bahwa dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien dalam keadaan katabolik (sepsis, hipertermi).6,8
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus secara kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih tepat dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam 250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus Roizen):

                                Gukosa plasma (mg/dl)
Unit perjam =  ————————————        
                 150
                                        atau
                    Glukosa plasma (mg/dl)
Unit per jam =  ————————————
                                                100     
pada pemakaian steroid,  obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi

Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin menyebabkan pergeseran kalium intraselular.6,8
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama. Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra vena. Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:
  1. Campur 50 mRI kedalam 500cc 0,9%Nacl.
  2. Infuskan dengan larutan 0,5-1 m/jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).
  3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di bawah ini :

Kadar gula darah

mmol (mg/dl)

Kebutuhan insulin

              4,4                       ( 80 )
Matikan pompa, beri glukosa IV
4,4 - 6,6

( 80 - 120 )

Kurangi insulin menjadi 0,2 - 0,7 u/jam
6,6-9,9
(120 - 180)
teruskan insulin 0,5 - 1 m/jam
9,9 - 13,2
(180 - 240) .
Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5 m/jam
> 13,75
(>250)
Laju insulin 1,5 m/jam atau lebih

Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan terapi sesuai sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10  KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:
 
Kadar gula

Infus insulin

< 150 mg/dl

5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl

10 cc/jam (2 unit/jam)

250 - 300 mg/dl

15 cc/jam (3 unit/jam)

300 - 400 mg/dl

20 cc/jam (4 unit/jam)


PERAWATAN PASCA BEDAH 
Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien stabil dan pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah pemberian subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan.15 
Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca bedah terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskar., atau disrimia, maka perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya infark miokard.2,15

PENATALAKSANAAN PADA KASUS PEMBEDAHAN DARURAT 
Keadaan yang jarang tetapi mungkin dijumpai adalah keadaan darurat yaitu pembedahan yang harus dilakukan pada penderita dibetes mellitus dengan ketoasidosis. Dalam keadaan seperti ini bila memungkinkan maka pembedahan ditunda beberapa jam. Waktu yang sangat terbatas ini digunakan untuk memeriksa, mengoreksi keseimbangan cairan, asam basa dan etektrofit yang merupakan keadaan yang mengancam jiwa sebelum pembedahan diJakukan. Bila waktu penundaan cukup maka dapat dilakukan koreksi ketoasklosis secara tuntas, namun koreksi defisit cairan dan ketidakseimbangan dektrolit bermakna dapat dicapai dalam beberapa jam. Penderita harus segera di evaluasi secara lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan gula darah, aseton, elektrolit dan analisa gas darah. Kemudian dilakukan koreksi dehidrasi dengan Nacl 0,9% dengan kecepatan 250 - 1000 cc/jam, apabila kadar gula darah mencapai 250 mg/dl cairan diganti dengan yang mengandung glukosa. Berikan RI bolus 5-10 unit kemudian dilanjutkan dengan infus 50 unit dalam 500 cc Nacl dimulai dengan 2-8 unit/jam atau 20 - 80 cc/jam, sebagai patokan mengatur kecepatan infus dengan rumus kadar gula darah terakhir dibagi 150 atau 100 bila penderita memakai steroid, overweight atau ada infeksi. Dilakukan pengukuran kadar gula darah serial tiap 2-3 jam pemantauan yang penting ialah analisa gas darah dan elektrolit. Tetesan dapat diatur dengan mempertahankan kadar gula darah antara 120 - 250 mg/dl.1,2,3,9 
Penggunaan terapi bikarbonat pada ketoasidosis merupakan hal yang kontroversial. Meskipun pH kurang dari 7,1 dapat mengganggu fungsi miokard, koreksi cepat asidosis dengan bikarbonat dapat menimbulkan peningkatan C02, karena itu koreksi asidosis yang terlalu cepat tidak dianjurkan.1,2,3

 
REFERENSI
  1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine Disease   in A Practice of Anesthesia, 6th ed, Edward Arnold, 1996: 995-1004.
  2. Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients  in Text Book of Trauma Anesthesia ang Critical Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.
  3. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus   Anestesia-Operasi   dalam Buku Naskah Lengkap Konas III IDSAI, 1992: 209-218.
  4. William J, Fenderl.  Diseases of the Endocrine System  in Anesthesia and Common Diseases, 2nd ed, Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215.
  5. Roizen MF. Anesthetic Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed. Anesthesia, 4th ed, Churchill Livingstone, 1994: 903-1014.
  6. Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed. Perioperative Care, 1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.
  7. McAnulty GR,   Robertshaw  HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of Patients  with Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London, 2000: 80-90.
  8. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-655.
  9. Haznam  MW. Pankreas Endokrin dalam  Endokrinologi,  Percetakan Angkasa Offset, Bandung, 1991: 36-106.
  10. Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994: 611-623.
  11. Zaloga Gary P. Endocrine Consultation   in Clinical Anesthesia Practice, WB Saunders, 1994: 185-209.
  12. Litt L, Roizen MF. Endocrine and Renal Function in Risk and Outcome in Anesthesia, JB Lippincott, 1988: 111-125.
  13. Roizen MF. Endocrine Abnormalities and Anesthesia, Renal Disfunction dan Diabetes, IARS Review Course Lecture, 19%: 104-113.
  14. Rush MD, Winslett S, Wisdom KD. Endocrine Emergencies in Tintinalli, Kelen, Stapezynski ed. Emergency Medicine, 5th ed, Me Graw Hill, 1998: 1355.
  15. Arauz C, Raskin P. Surgery and Anesthesia   in Lebovitz HE ed. Therapy for Diabetes Mellitus and Related Disorder, American Diabetes Association Inc, Virginia, 1991: 147-

 Bonus ....................... 
                            DAFTAR SEDIAN INSULIN DI INDONESIA
Kandungan
Nama Patent
Onset
Peak
Durasi
Short & Rapid Acting
Insulin aspart

15-20 mnt
1-3 jam
3-5 jam
Insulin lispro

15 mnt
0,5-1,5 jam
3-5 jam
Regular (Soluble, neutral)
Atrapid HM, Humulin R
0,5-0,7 jam
1,5-4 jam
5-8 jam
Intermediate Acting
Lante (Insulin Zn susp)
Monotard HM
1,2-5 jam
6-12 jam
18-24 jam
NPH (Isophane Insulin)
Humulin N, Isulatard HM
1-1,5 jam
6-12 jam
18-24 jam
Long Acting
Insulin gargine
Lantus
2-5 jam
-
24 jam
Lainnya
Pencampuran 30 % regular insulin & 70 % NPH
Mixtard 30 HM
Humulin 30/70
Sampai
30 mnt

24 jam

FAKTOR RESIKO DM
1.  Infeksi & sepsis : fungsi leukosit terganggu,  dan bila gula darah < 250 mg/dl fungsi leukosit pulih
2.  Neuropatik otonom
-   Hipotensi ortostatis (Penurunan TD > 30 mmHg pada perubanhan posisi tegak berdiri)
-   Hipotensi berat setelah pemberian anestesi
-   Penurunan respon Heart Rate terhadap atropin dan propanolol
-   Respon abnormal hipoksia yang dapat menyebabkan pasien meninggal mendadak
-   Hipotermia intra operatif
-   Nyeri berkurang pada pasien dengan Myocard iskemik (Sailent Myocard Iscemic)
-   Nerogenic Bladder  yang dapat menyebabkan retensi urin
-   Gastroparesis menyebabkan resiko aspirasi, cegah dengan pemberian metroclopamid untuk mempercepat pengosongan lambung.
-   Keringat berkurang
-   Inpotensi
3.  Gangguan ginjal
-   Mikroalbuminuria – proteinuria
-   Gangguan GFR – Kreatinin menigkat
-   Penurunan GFR menyebabkan hipertensi ringan
-   Stenosis arteri renalis (sklerotik) menyebabkan hipertensi berat / hipertensi tiba-tiba
-   Gagal Ginjal
4.  Diuresis hipoosmolar, pasien mudah terjadi dehidrasi
5. Stift Join Sindrome , timbul kekakuan sendi atlantooccipitalis yang dapat menyebabkan kesulitan melakukan tindakan intibasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar