Jumat, 30 Desember 2011

Anestesi Untuk Pembedahan Darurat

I. PERTIMBANGAN UMUM 
Perbedaan-perbedaan pokok dari anestesi untuk pembedahan elektif (terencana) dengan anestesi untuk pembedahan darurat adalah : 
  1. Bahaya aspirasi dari lambung yang berisi; 
  2. Gangguan-gangguan pernafasan, hemodinamik dan kesadaran yang tidak selalu dapat diperbaiki sampai optimal; 
  3. Terbatasnya waktu persiapan untuk mencari baseline data dan perbaikan fungsi tubuh. 
Penundaan pembedahan akan membahayakan jiwa atau menyebabkan kehilangan anggota badan.Seorang dokter anestesi hams memeriksa sendiri penderitadan berusaha memperoleh sebanyak mungkin informasi
tentang keadaan penderita dalam waktu pendek yang tersedia.

II. POLA KERJA PREOPERATIF
A. EVALUASI FUNGSI VITAL 

Segera dilakukan waktu penderita datang :
B — 1 : Breath = pernafasan
B — 2 : Bleed = hemodinamik
B — 3 : Brain = otak dan kesadaran
Pada kesempatan pertama dokter penerima penderita melakukan evaluasi cepat tanpa alat dengan pola sbb
(lihat skema 1)
Peranan dokter anestesi dalam fase ini jelas tidak dapat dielakkan lagi, karena ketrampilannya dalam bidang support nafas dan sirkulasi menjadi tumpuan keselamatan penderita. Stabilisasi fungsi pernafasan meliputi : terapi oksigen, nafas buatan, punksi pneumotoraks, intubasi endotrakheal atau krikotirotomi . Life support diberikan tanpa menggantungkan diri pada pemeriksaan-pemeriksaan rumit yang membuang-buang waktu. Time saving is life saving. Always err on the safe side. Terlewat satu punksi tensionpneumothorax tanpa menunggu X-photo dengan basil negatif, masih lebih baik dari pada terlewat
satu tension pneumothorax karena menunggu X-photo dengan basil penderita cardiac arrest.
 
B. STABILISASI HEMODINAMIK 
Bagian terbesar penderita bedah darurat mengalami gangguan hemodinamik berupa perdarahan atau fluid loss misalnya pada : peritonitis, ileus, diare, kombusio.
  1. Secara umum kehilangan darah 10% dari Estimated Blood Volume dapat ditolerir tanpa perubahan-perubahan yang serius (EBV dewasa 70 cc/kg BB, anakanak < 2 th 80 cc/kg BB). 1, 2 Kehilangan > 10% memerlukan penggantian berupa Ringer Laktat. Batas penggantian darah dengan Ringer Laktat adalah sampai kehilangan 20% EBV atau Hematokrit 28% atau Hemoglobin ± 8 gr%. 1,3,4 Jumlah cairan masuk harus 2-4 x jumlah perdarahan. Cara hemodilusi begini bukan untuk menggantikan tempat transfusi darah, tetapi untuk :
  • Tindakan sementara, sebelum darah datang. 
  • Mengurangi jumlah transfusi darah sejauh transpor oksigen masih memadai.
  • Menunda pemberian transfusi darah sampai saat yang lebih baik (misalnya : pemberian transfusi perlahanlahan/ postoperatif setelah penderita sadar, agar observasi lebih baik kalau-kalau terjadi reaksi transfusi).
  • Cairan Ringer Laktat mengembalikan sequestrasi/third space loss yang terjadi pada waktu perda-rahan/ shock.
    Jumlah darah yang hilang tidak selalu dapat diukur namun dengan melihat akibatnya pada tubuh 
    penderita, jumlah darah yang hilang dapat diperkirakan sbb. :
  • Preshock : kehilangan s/d 10%.
  • Shock ringan : kehilangan 10 - 20%. Tekanan darah turun, nadi naik, perfusi dingin, basah, pucat.
  • Shock sedang : kehilangan 20 - 30%. Tekanan darah turun sampai 70 mmHg. Nadi naik sampai diatas 140. Perfusi buruk, urine berhenti.
  • Shock berat : kehilangan lebih dari 35% : Tekanan darah sampai tak terukur, nadi sampai tak teraba.
   

    2. Untuk fluid lose pada kasus-kasus abdomen akut diberikan Ringer Laktat dengan pedoman 5,6
  • Berkurangnya volume cairan intersisial menyebabkan terjadinya tanda-tanda interssisial yaitu : turgor
  • kulit jelek, mata cekung, ubun-ubun cekung, selaput lendir kering.
  • Berkurangnya volume plasma menyebabkan terjadinya "tanda-tanda plasma" yaitu : takhikardia, oliguria,
  • hipotensi, shock.
Berdasarkan tanda-tanda itu maka perkiraan besarnya defisit adalah sebagai berikut :
  • Tanda-tanda intersisial minimal : defisit 4% dari berat badan.
  • Tanda-tanda intersisial dan tanda plasma sedang : defisit 7% dari berat badan.
  • Tanda-tanda intersisial dan plasma berat : defisit 10% dari berat badan.
  • Shock : defisit 15% dari berat badan.

Perkiraan defisit itu tidak harus tepat. Yang penting adalah berdasar perkiraan tersebut terapi mulai dapat dilakukan dan monitoring yang ketat keadaan penderita selama terapi dilakukan.
 
Cara terapi dan monitoring
  1. Apabila defisit berat berikan 20 ml/kg Ringer Laktat atau 0,9% NaCl cepat. Jika setelah itu shock belum dapat diatasi, ulangi lagi. Tujuan tindakan pertama ini adalah memulihkan volume darah/plasma dan mengatasi shock.
  2. Berikutnya dalam 8 jam pertama 50% dari defisit yang diperhitungkan diberikan. 16 jam berikutnya diberikan sisa 50% dari defisit. Setelah shock dapat diatasi, cairan maintenance dapat diberikan bersama-sama dengan terapi defisit. Cairan maintenance : dewasa 50 cc/kg BB dengan Natrium 2 - 4 mEq/lg BB; sisanya sebagai larutan dextrosa.
  3. Jika produksi urine sudah ada, kalau perlu dapat diberikan Kalum 1 - 2 mEq/kg dalam 24 - 36 jam.
  4. Adakan evaluasi keadaan penderita secara berkala tiap 4-6 jam.
  5. Sebagai tanda bahwa sirkulasi dan perfusi sudah baik adalah telapak tangan atau kaki hangat, merah dan kering (sebagai kebalikannya pada waktu defisit dingin, kelabu dan lembab).
  6. Bila dapat dipasang CVP kateter, maka dilakukan "5-2 fluid challenge. sampai hemodinamik terbaik dengan CVP yang optimal. Cara ini sangat bermanfaat pada kasus-kasus sulit (tua, sakit jantung dan sebagainya).(lihat skema 2)


C. PENCEGAHAN ASPIRASI
Meskipun lazimnya dianut puasa 6 jam, hal ini perlu diteliti dalam kaitan penyakit penderita. Puasa 6 jam tidak menjamin lambung kosong, karena adanya faktor-faktor penghambat peristaltik (nyeri, trauma, partus, narkotik.  Bila menunggu 6 jam justru memperberat penyakitnya, maka waktu menunggu harus diperpendek. Contoh : 
— Reposisi dislokasi panggul atau bahu yang menjadi lebih sukar karena edema.
— Infeksi pada luka terbuka dengan kontaminasi.
— Perdarahan ulang atau perdarahan yang memburuk bila ditunggu.
 
Tindakan-tindakan aktif lain untuk mencegah aspirasi hendaknya dilakukan dengan atau tanpa puasa 6 jam tersebut.
  1. Pengosongan lambung dengan tube gastrik no. 20 atau lebih besar, dihisap berkala, terakhir isap sebelum oksigenasi preoperasi lalu dicabut sebelum induksi: Boleh dipasang lagi bila intubasi sudah berhasil masuk dan cuff terpasang. Dengan pemberian nasal decongestant, Lidokain spray ke hidung dan lubrikan (KY) jelly yang water base, maka pemasangan tube nasogastrik tidak mengerikan penderita lagi. Prognosis aspirasi tergantung juga pada volume. Batas bahaya 0,5 - 0,6 cc/kg BB.9 ' 10 Pada penderita ileus obstruktif, cairan yang keluar bisa berliterliter
  2. Antasid magnesium trisilikat 15 cc akan berguna menetralisir sisa-sisa asam cairan lambung. Diberikan minimal 30 menit sebelum induksi. Pemberian rutin dilakukan pada kasus-kasus obstetrik.Antasida tidak akan menetralisir asam semua penderita sebab tergantung faktor-faktor mixing, volume cairan lambung, pH isi lambung. Dalam keraguan; pasang tube nasogastrik dulu, hisap sampai habis, beri antasida. pH dibawah 2,5 sangat buruk akibatnya pada paru-paru. Perlu dicatat bahwa benda benda padat tidak bisa keluar lewat tube nasogastrik, Benda padat juga berbahaya pada aspirasi. Antasida sendiri bisa menyebabkan pneumonitis jika teraspirasi. Namun sejauh ini Mg trisilikat menurut percobaan hewan Taylor Pryse Davies cukup aman, dan pengalaman kami juga menyokong pendapat ini. Simetidin tidak berguna karena obat ini hanya mengurangi produksi dan keasaman cairan lambung yang akan keluar.
D. PEMERIKSAAN LABORATORIK 
Dasar : hemoglobin, lekosit, toraks foto, ECG.
Pelengkap : v/d Bergh, SGOT, SGPT, BUN, kreatinin,elektrolit, gas darah.
Seperti lazimnya pada operasi elektif, indikasi pemeriksaan juga diubah sesuai kebutuhan dan indikasi. Seorang dewasa muda dengan fraktura kruris terbuka tanpa penyulit lain tentu tak perlu toraks foto dan ECG, gas darah dan sebagainya.
 
III. ANESTESI
1. PENCEGAHAN ASPIRASI
1,7,8
  • Posisi head down selama trakhea tidak di intubasi. Posisi head down juga setelah trakhea di intubasi, kecuali bila ada trauma kapitis atau kenaikan tekanan intrakranial.
  • Tube nasogastrik diisap bersih lalu dilepas sebelum induksi, dipasang kembali setelah intubasi dan cuff terpasang.
  • Siap suction yang kuat, bekerja baik dan kateter besar.
  • Induksi : head up crash intubation (40€) untuk tenaga yang sudah trampil intubasi. Penderita dengan trauma maksilofasial yang sukar jalan nafasnya dan berdarah terus menerus
  • jangan memakai cara ini.
Periode head up diusahakan sependek mungkin karena :
  • Jarang hemodinamiknya penderita mampu bertahan pada posisi securam ini. Perfusi otak sangat terganggu.
  • Tujuan utama adalah kenaikkan tekanan intragastrik oleh suksinilkolin (bisa mencapai 20 cm H2O).
Bila fasikulasi selesai; cepat periksa relaksasi rahang, cepat intubasi; pasang cuff; kembali head down; nafas buatan. Selama intubasi dan cuff belum terpasang, jangan berikan nafas buatan kecuali intubasi gagal, segera robah head down dan beri nafas buatan untuk mengatasi hipoksia.
Intubasi head down merupakan pilihan lainnya jika cara head up tidak dapat dilakukan. Ingat bila perlu penderita tidur miring dulu, baru ditelentangkan waktu akan laringoskopi.
Ada yang muntah dan aspirasi masif baik pada cara head down maupun head up. Tak satupun cara yang aspiration-proof.
Pada trauma maksilofasial atau kesulitan jalan nafas, pertimbangkan intubasi sadar. Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan farings, tetapi jangan kena plika vocalis. Diazepam 0,1- 0,2 mg/kg iv dapat diberikan untuk mengurangi stres penderita dan memudahkan intubasi.
 
2. OBAT DAN TEKNIK
A. Anestesi Umum
  • Oksigenasi 10 liter/menit selama minimal 3 menit.
  • Pentotal 3 - 5 mg/kg BB, suksinilkoline 1 - 2 mg/kg BB (jangan terlalu sedikit suksinilkolin). Kompresi krikoesofageal dilakukan saat ini. Bila terlalu pagi justru merangsang muntah.
  • Diazepam 0,2 mg/kg BB IV sebagai ganfi Pentotal bila tekanan  darah labil atau pada penderita asma bronkhiale.
  • Ketamin 1 - 2 mg/kg BB pada penderita dengan shock atau trauma status III asalkan tidak ada kenaikan tekanan intrakrapial.
Metode prekurarisasi dapat saja digunakan asal semua caracara tersebut diatas tidak dikurangi/diubah.
Hilangnya kesadaran akan disertai penurunan tonus simpatis dan hipotensi. Karena itu sedapat mungkin jangan mulai anestesi, bila volume replacement masih belum cukup.
Salah satu cara untuk menilai adalah tilt test (Methomy D,1968). Bila penderita head up 300 ; tensi turun >10 mmHg dan nadi naik, penderita masih hipovolemik, bahkan sampai 20% EBV.
Lidokain spray tidak dipakai untuk plika vokalis maupun trakhea, karena retleks protektif jalan nafas tidak boleh hilang. Kecuali pada pembedahan intrakranial.
Eter sebagai obat anestesi tunggal masih merupakan pilihan yang baik untuk operasi perut bagian bawah dan ortopedik. 
Halotan disertai suplement narkotik intra vena merupakan alternatif lain, dan merupakan obat pilihan untuk torakotomi bila hemodinamik mengizinkan. Karena halotan menyebabkan relaksasi uterus, hati-hati dengan bahaya hemorhagia  postpartum pada Sectio Cesaria, forceps ekstraksi dan lain-lain.
Ketamin selain untuk induksi juga dapat dipakai sebagai obat maintenance (IV 1⁄2 - 1 mg/kg BB tiap 10 - 15 menit). Merupakan pilihan yang baik pada keadaan dimana gangguan hemodinamik tidak dapat diatasi sebelum/selama pembedahan. Kecuali untuk penderita dengan kenaikkan tekanan intrakranial/kraniotomi, sebab ketamin menaikkan tekanan intrakranial.
N2 0 -- 0 2 dipakal hanya untuk kraniotomi, dengan suplement narkotik, pentotal atau diazepam, droperidol. Semua diberikan secara intra vena.
Untuk torakotomi mutlak dipakai O2 100%.
Relaksan dipakai dalam kombinasi dengan salah satu obat anestesi diatas. Dosisnya diatur agar tidak terjadi 100% blok supaya reversal nanti mudah. Semua kasus diberikan reversal. Prostigmin, Atropin dengan perbandingan 2 : 1 dalam satu semprit disuntikkan IV perlahan-lahan (2 - 3 menit).
Untuk kraniotomi diberikan suksinilkolin (100 mg IV pada orang dewasa), pada waktu kepala akan dibalut dan ekstubasi.
Nafas buatan diberikan perlahan-lahan, awasi kemungkinan regurgitasi (disini risiko aspirasi diletakkan dibawah risiko edema otak dan herniasi otak), bila perlu dipakai tube nasofarings.
Setelah nafas spontan kembali, reversal diberikan untuk
menghilangkan sisa relaksan. Siap suction yang kuat. Kecuali pada kraniotomi, maka semua ekstubasi dilakukan setelah penderita sadar/cukup sadar untuk menjaga jalan nafasnya dari aspirasi. Minimal bisa melakukan head lift selama 5 detik setelah muscle relaxant diberi antidote.
 
B. Anestesi Regional
Bila teknik telah dikuasai dengan baik, anestesi regional merupakan pilihan yang baik. Bila dilakukan tanpa sedasi, bahaya  aspirasi jauh berkurang. Flerniotomi scderhana (tenpa reseksi usus), fraktura kaki dan tangan seksio cesaria, apendektumi dapat dilakukan dengan blok.
Kontra indikasi cara ini adalah hemodinamik yang tidak stabil anemia berat dan ketidak pastian jenis dan lamanya prosedur pembedahan. Kenaikan tekanan intrakranial, hipertensi yang tidak diregulasi, dan kelainan anatomis tulang belakang juga merupakan kontra indikasi.
Brachial plexus block, axillary block dan intravenous regional dapat dipakai untuk operasi sampai setinggi 1⁄2 lengan atas.
Spinal subaraknoid atau epidural untuk perut dibawah umbilikus kebawah. Subarachnoid block tidak diberikan pada penderita yang akan dirawat jalan/segera dipulangkan karena resiko spinal headache. Demikian juga supra clavicular brachial  plexus block karena risiko pneumotoraks.
Untuk anestesi regional pilihan kami adalah Lidocain 1-2% untuk nerve block dan Lidokain 5% (Lidodex®) larutan hiperbarik untuk subaraknoid.
 
IV. KASUS-KASUS KHUSUS 
Penderita dengan penyakit-penyakit khusus sebagai penyulit dari masalah bedahnya sering juga dijumpai.
 
1. Penyakit jantung koroner :
  • Usahakan oxygen demand tidak meningkat oleh infeksi, gelisah, nyeri, eksitasi.
  • Usahakan perfusion pressure tidak berkurang/turun banyak (tekanan darah stabil seperti waktu sadar ± 10 - 20 mmHg).
  • ECG continuous monitoring. Awasi segmen ST, arah gelombang T dan timbulnya aritmia yang berbahaya.
  • Perubahan arah dari T atau ST merupakan tanda perfusi koroner yang memburuk. Chest lead V 5 memberi informasi yang baik untuk ini semua.
2. Penyakit jantung dekompensasi :
  • Usahakan depresi myocard seringan tnungkin dengan menghindari halotan konsentrasi tinggi.
  • Usahakan perfussion pressure tidak berkurang/turun banyak. Pada Mitral Stenosis yang sempit, takhikardia dapat mentrigger dekompensasi. Usahakan nadi senormal mungkin.
  • Pasanglah CVP kateter. Digitalisasi cepat preoperasi harus diusahakan.
3. Diabetes Mellitus :
  • Periksa kadar gula darah, korelasikan dengan reduksi urine yang sedang menetes dari kateter.
  • Pemberian dosis insulin hendaknya err on the low side. Hiperglikemia lebih aman daripada hipoglikemia. 
  • Kadar gula darah diusahakan 150 - 200 mg%. Jangan berusaha membuat "normal"
4. Asma Bronkhiale :
  • Anamnesis yang teliti tentang berapa berat sakitnya. berapa sering serangan, kapan terakhir serangan. obat apa yang biasa dipakai.
  • Beril Aminofilin IV. Kadang-kadang penambahan oradexon I ampul IV dapat banyak membantu.
  • Jangan intubasi sebelum refleks hiking. 
  • Pentotal suksinil kurang tepat disini. Kalau bisa, anestesi di dalamkan dengan halotan sampai refleks jalan nafas hiking, baru di intubasi.
  • Ekstubasi juga dilakukan scbeluin refleks timbul lagi.
  • Posisi head down.
REFERENSI
Eddy Rahardjo, Puger Rahardjo, Hardy Sulistyono. Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984

Tidak ada komentar:

Posting Komentar