PENDAHULUAN
Luka bakar menjadi masalah oleh
karena angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penanganan dan perawatan luka
bakar (khususnya luka bakar berat) memerlukan perawatan yang kompleks dan masih
merupakan tantangan tersendiri karena angka morbiditas dan mortalitas yang
cukup tinggi.1 Di Amerika dilaporkan sekitar 2 – 3 juta penderita setiap
tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5 – 6 ribu kematian per tahun. Di
Indonesia sampai saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita
luka bakar dan jumlah angka kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar
RSCM Jakarta, pada tahun 1998 dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang
dirawat, 62 % dari jumlah tersebut merupakan luka bakar derajat II – III( >
40 %) dengan angka kematian 37,38%. Angka ini lebih kurang sama dengan tahun
berikutnnya, di tahun 1999 jumlah kasus
yang dirawat adalah 88 kasus, 75 % dari jumlah tersebut merupakan luka bakar
derajat II – III dan dengan angka kematian > 40 %dengan masa rawat
terpanjang antara 32 – 38 hari.1,2
Dari unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya
didapatkan data bahwa kematian umumnya terjadi pada luka bakar dengan luas
lebih dari 50% atau pada luka bakar yang disertai cedera pada saluran napas. 2
Kematian umumnya terjadi pada 7 hari pertama masa
perawatan (masalah jangka pendek). Sementara sisa kasus yang bertahan hidup
menghadapi masalah tersendiri, antara lain lamanya masa perawatan yang berkisar
antara 40– 14 hari hari rawat dan dengan penyulit yang timbul (masalah jangka
panjang).1, 2
Kasus luka bakar merupakan suatu
bentuk cedera berat yang memerlukan penatalaksanaan sebaik-baiknya sejak awal.
Peran masyarakat yang berhadapan langsung serta pertolongan petugas yang
menerima kasus ini pertama kali sangat
menentukan perjalanan penyakit ini selanjutnya.1
Pada umumnya pasien luka bakar
datang akan mengalami ancaman gangguan airway
(jalan napas), breathing (mekanisme bernapas), dan gangguan circulation
(sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa
saat setelah terjadi trauma, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran napas
akibat cedera inhalasi dalam 48 – 72 jam pascatrauma. Cedera inhalasi merupakan
penyebab kematian utama penderita pada fase akut.2
Pada fase ini dapat terjadi pula gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan
elektrolit akibat cedera termal/panas yang berdampak sistemik. Pada luka bakar
berat atau mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti
dengan ekstravasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskular
ke jaringan interstisial dan mengakibatkan terjadinya hipovolemik intravaskular
dan edema interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu
sehingga sirkulasi ke bagian distal terhambat yang akhirnya menyebabkan
gangguan perfusi sel atau jaringan atau organ (syok). Syok yang timbul harus
segera diatasi dengan melakukan resusitasi cairan. Adanya syok yang bersifat
hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang masih berkaitan
dengan instabilitas sirkulasi.2
PENILAIAN
LUKA BAKAR
1.
Derajat Kedalaman Luka Bakar
Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar
tergantung pada derajat panas sumber, penyebab, dan lamanya kontak dengan tubuh
penderita. Pembagiannya terdiri atas 3 tingkat atau derajat, yakni: 2, 13
1. Luka bakar derajat I
Kerusakan
terbatas pada lapisan epidermis (superficial),2, 9, 11 kulit
hiperemik berupa eritem, tidak dijumpai bula, dan terasa nyeri dengan
intensitas ringan – sedang karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu singkat (beberapa hari) tanpa
pengobatan khusus.2
2. Luka bakar derajat II
Kerusakan
meliputi epidermis dan sebagian dermis, 2, 9 berupa
reaksi inflamasi disertai proses eksudasi dan terdapat bula. Luka ini
menimbulkan nyeri sedang – berat karena terangsangnya nosiseptor dan
tereksposnya ujung saraf bebas akibat kerusakan jaringan dermis yang berguna
sebagai pelindung.2 Luka ini dibedakan atas dua
bagian, yaitu:
- Derajat II dangkal/superficial (IIA) : Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari dermis. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea masih banyak. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk sikatriks.
- Derajat II dalam/deep (IIB) : Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa-sisa jaringan epitel tinggal sedikit. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama dan disertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.
3. Luka bakar derajat III
Kerusakan
meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai mencapai
jaringan subkutan, otot, dan tulang.2, 9 Organ
kulit mengalami kerusakan dan tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai
bula. Kulit yang terbakar berwarna abu-abu sampai berwarna hitam kering. Terjadi
koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar. Sensasi
hilang dan tidak dijumpai rasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik rusak. 2
Namun
umumnya luka bakar derajat III merupakan bagian sentral dengan area luka bakar
derajat II di sekitarnya yang sangat nyeri. Penyembuhan terjadi lama karena
tidak terjadi epitelisasi spontan.2
2. Luas Luka Bakar
Ada tiga metode yang
umum digunakan dari perkiraan luas daerah luka bakar, dan masing-masing metode
memiliki peran dalam keadaan yang berbeda. Eritema tidak boleh disertakan
ketika menghitung luas daeran yang terbakar. 9, 11
Adapun metode tersebut yaitu, yaitu:
Luas
permukaan palmar (Palmar surface)
Permukaan tangan pasien (termasukjari) kira-kira 0,8% dari total luas permukaan tubuh. Permukaan palmardapat digunakan untuk memperkirakan luka
bakar yang relatif
kecil (<15%
dari total
luas permukaan)
atau luka
bakar yang sangat
luas (> 85%). Untuk luka
bakar berukuran
sedang, metode
ini tidak akurat.2,9, 14
Rumus 9 (Wallace rule of nine) untuk orang dewasa
Metode ini sangat baik, dan umumnnya dipakai
dalam memperkirakan persentase luas permukaan luka bakar (total body surface area - TBSA). Cara perkiraan sangat cepat untuk
perkiraan luka bakar sedang sampai berat pada orang dewasa. Wallace membagi tubuh
atas bagian-bagian 9% atau kelipatan dari 9 yang dikenal dengan rule of nine
atau rule of Wallace. Luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang dan
bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri,
tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya
1% adalah daerah genitalia.2, 9, 11, 13, 14, 15
Gambar 4. Rumus 9 (Wallace rule of
nine)
untuk orang dewasa
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena
luas relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan
kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil
berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak. 2, 9, 13
Gambar 5. Perbandingan estimasi dari luasnya daerah terbakar pada anak-anak
dan dewasa.9, 13
Metode Lund dan Browder
Metode ini, jika digunakan dengan benar, merupakan metode paling akurat. Metode ini mengkompensasi variasi tubuh bentuk dengan usia sehingga dapat memberikan penilaian yang daerah luka bakar yang akurat pada
anak-anak.9, 14
Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan
luas permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan
dengan usia:
Pada anak di bawah
usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan lengan persentasenya
sama dengan dewasa.
Untuk tiap
pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan turunkan
persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.
Tabel 2. Lund and Browder chart illustrating the method for
calculating the percentage of body surface area affected by burns in children.
Kulit berpigmen biasanya sulit untuk dinilai, dan dalam kasus seperti ini mungkin perlu
untuk menyingkirkan semua lapisan epidermis longgar untuk menghitung ukuran luka bakar.9
Sangatlah penting untuk
menilai semua bagian tubuh yang terkena luka bakar. Selama penilaian, lingkungan harus tetap hangat. 9 Tutup permukaan yang
terpapar luka bakar ini berguna untuk emncegah kehilangan panas dan mengurangi
resiko infeksi.13 Penutupan
luka bakar juga sangat perlu sebab dengan adanya aliran udara di atas permukaan
luka bakar akan memperberat nyeri.13
Pada pasien ini dalam mengitung luas permukaan luka bakar sebagai dasar
resusitasi cairan digunakan Rumus 9 (Wallace rule of
nine). Hal ini dikarenakan metode ini sangat baik, dan umumnnya banyak
digunakan oleh praklinisi. Selain itu cara perkiraannya juga sangat cepat untuk
memperkirakan luas luka bakar pada pasien dengan luka bakar sedang sampai berat
pada orang dewasa.
3.
Berat
Ringannya Luka Bakar 2
Kriteria berat ringannya luka bakar menurut American Burn Association ialah:
1. Luka
bakar ringan
a. Luka
bakar derajat II < 15% pada orang dewasa
b. Luka
bakar derajat II < 10% pada anak-anak
c. Luka
bakar derajat III < 2%
2. Luka bakar sedang
a. Luka
bakar derajat II 15% – 25% pada orang dewasa
b. Luka
bakar derajat II 10% – 20% pada anak-anak
c. Luka
bakar derajat III < 10%
3.
Luka bakar berat (mayor burn) 2, 13
a. Luka
bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa
b. Luka
bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak
c. Luka
bakar derajat III 10% atau lebih
d. Luka
bakar mengenai wajah, telinga, mata, dan genitalia/perineum
e. Luka
bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain
Berdasarkan kritieria diatas
dimana pasien memiliki luka bakar derajat II dengan luas luka bakar ± 70 %,
maka pasien termasuk dalam kriteria luka bakar berat (mayor burn).
TRAUMA
INHALASI
1 Patofisiologi
Trauma panas langsung yang disebabkan akibat menghirup udara
panas dengan suhu (150 ° C atau lebih tinggi) biasanya mengakibatkan luka bakar
di orofaring, wajah, dan saluran nafas bagian atas (di atas pita suara). Bahkan
udara dengan panas berlebih dengan cepat didinginkan sebelum mencapai saluran
pernafasan bawah karena efisiensi pertukaran panas luar biasa di orofaring dan
nasopharing.4
Panas dan bahan kimia dalam asap menghasilkan cedera langsung
pada mukosa saluran nafas, mengakibatkan edema, eritema, dan ulserasi. 4,
13, 14 Meskipun terjadi perubahan mukosa namun perubahan anatomis mungkin
timbul beberapa saat setelah luka bakar, perubahan fisiologis tidak akan timbul
sampai terjadinya edema yang cukup secara klinis mengganggu patensi jalan napas
atas. Ini tidak mungkin terjadi selama 12 sampai 18 jam. 4
Dalam beberapa keadaan
makin diperburuk oleh keracunan carbon moniksida (CO). Keracunan ini
dapat menyebabkan rasa mual, muntah , sakit kepala sampai gangguan mental,
kejang dan kematian tergangtung dari
level karboksihemoglobin dalam darah penderita.13, 14
Pemberian cairan dengan volume besar yang diperlukan untuk penanganan
luka bakar, dan perlepasan mediator dari kulit yang terbakar, sebagian
bertanggung jawab memperberat cedera. Oksidan dari asap dan dari sel-sel
inflamasi merupakan penyebab utama cedera. 4
2. Tahapan Klinis
Perjalanan
klinis pasien dengan
cedera inhalasi dibagi
menjadi tiga tahap:
5
a.
Tahap Pertama
Insufisiensi
paru akut - Pasien
dengan cedera paru berat akan menunjukkan
insufisiensi paru akut dalam 0-36 jam setelah
cedera dengan asfiksia,
keracunan karbon monoksida, bronkospasme,
obstruksi saluran napas atas dan kerusakan
parenkim.
b.
Tahap Kedua
Edema
paru - Tahap kedua ini terjadi pada
5-30% pasien, biasanya
48-96 jam setelah
terbakar.
c. Tahap Ketiga
Bronchopneumonia
- Muncul
di 15-60% dari
jumlah pasien dengan laporan angka kematian 50-86%. Bronchopneumonia
biasanya terjadi 3-10
hari setelah luka bakar, sering berkaitan dengan dahak lendir
yang banyak yang terbentuk di cabang tracheobronchial.
Pneumonia muncul dalam
beberapa hari pertama biasanya karena spesies staphylococcus
resisten penisilin, dan setelah 3-4 hari, terjadi
perunahan flora pada luka bakar luka
ini tercermin dalam
gambaran pada paru-paru
spesies gram negatif, terutama spesies Pseudomonas.
3
Diagnosa
Deteksi
dini cedera bronkopulmonalis
sangat penting dalam meningkatkan kelangsungan hidup setelah dicurigai adanya trauma inhalasi.5
Tanda
Klinis : Adanya
riwayat paparan asap di ruang tertutup
(pasien dengan stupor
atau sadar)5, 13, 14
Temuan Fisik:
luka bakar wajah / hangus pada bulu hidung
/ bronchorrhea /
dahak dengan jelaga (Spooty sputum), teumuan auskultasi (whezing atau
rales).5, 13, 14
Laju
pernafasan yang cepat di indikasikan akibat terjadinya kerusakan saluran nafas
bawah yang di pengaruhi oleh edema yang terjadi kemudian atau bisa juga
diindikasikan akibat inhalasi asap dengan keracunan metabolik.14
Temuan laboratorium:
hipoksemia dan /
atau peningkatan kadar karbon monoksida 5, 13
4
Metode
Diagnostik
Chest
X-ray kurang membantu dan merupakan metode yang kurang sensitif karena pasien masuk
sangat jarang ditemukan abnormal dan mungkin
masih tetap normal selama tujuh hari
kedepan setelah luka bakar.5, 14
Metode
diagnostik standar pada setiap pasien luka bakar adalah bronkoskopi untuk cedera saluran nafas bagian atas.5, 14 Temuan positif adalah: edema
jalan napas, peradangan, nekrosis
mukosa, adanya jelaga pada
saluran nafas, jaringan yang luruh, material karbon pada jalan napas. Semua pasien yang memiliki tanda
klinis cedera inhalasi yang
tercantum di atas harus menjalani bronkoskopi baik
melalui endotrakeal tube atau transnasal dengan sedasi
untuk menentukan adanya cedera inhalasi.5
Untuk menentukan
cedera parenkim metode
yang paling spesifik adalah 133 Xe lung
scanning, metode ini melibatkan injeksi intravena
gas xenon radioaktif
diikuti oleh serial chest
scintiphotograms. Teknik ini mengidentifikasi daerah
udara yang terperangkap dari obstruksi jalan nafas parsial atau total
dengan gambaran daerah yang menunjukkan menurun laju gas di alveolar. Selain itu tes
fungsi paru dapat dilakukan dan dapat
menunjukkan peningkatan resistensi
dan penurunan aliran
pada mereka yang abnormal dengan 133 scan Xe.5
5
Penanganan
Perawatan umum
Penanganan dari cedera inhalasi harus mulai segera mungkin dengan pemberian oksigen 100% melalui masker wajah atau kanul hidung. Hal ini membantu reverse efek dari keracunan CO dan juga membantu dalam bersihannya.5,
14 Oksigen 100% menurunkan waktu paruhnya dari 250 menjadi kurang dari 50 menit. 5
COHb levelCOHb level |
Symtoms
|
0 - 10%
10-20%
20-30%
30-40%
40-50% >
50%
|
Minimal (normal level in heavy smokers)
Nausea, headache
Drowsiness, lethargy
Confusion, agitation
Coma, respiratory depression Death
|
COHb = Carboxyhaemoglobin
Pemeliharaan jalan napas sangat
penting. Jika adanya bukti awal
edema saluran napas bagian atas timbul, intubasi dini
diperlukan karena edema saluran udara bagian atas biasanya meningkat selama 8-12 h. Intubasi
propilaktik tanpa indikasi yang baik tidak mesti dilakukan. Metode intubasi harus dilakukan
sesuai dengan yang dianggap familier oleh intubator; baik rute hidung maupun mulut. Kadang-kadang, cedera sekitar wajah dan leher
memungkinkan resiko edema pada saluran napas, sehingga teknik intubasi standar dengan pelumpuh mungkin tidak aman. Dalam beberapa situasi, awake nasotracheal
intubasi atau intubasi serat optik, lebih disukai oleh beberapa personil yang berpengalaman.5
Pengunaan suxsamethonium dapat
menyebabkan hiperkalemia akut, hal ini dikarenakan migrasi ektra-junctional
reseptor asetilkolin. Penggunaannya aman
dalam beberapa jam pertama, akan tetapi tidak boleh digunakan untuk 12 bulan
kemudian.14
Criteria
|
Nilai
|
PaO2 (mm Hg)
PaCO2 (mm Hg)
P/F ratio Respiratory/ventilatory failure Upper airway edema
|
< 60
> 50 (acutely)
< 200
Impending
Severe
|
Menurut Shehan secara klinis
indikasi untuk intubasi adalah : 10
- Visualisasi secara langsung didapatkan eritema atau pembengkakan oropharing.
- Perubahan suara dengan batuk yang kasar atau suara serak.
- Stridor, tachypnoe atau dyspnoea
Beberapa studi klinis telah menunjukkan bahwa edema paru tidak dapat
dicegah dengan restriksi cairan. Walaupun overhidrasi dapat
menyebabkan edema paru, tetapi hidrasi yang tidak cukup dapat meningkatkan keparahan cedera
paru dengan squestrasi sel polymorphonuclear yang
mengarah pada peningkatan
mortalitas. Pada studi
hewan dan study klinis,
menunjukkan bahwa resusitasi cairan sudah cukup
jika indeks jantung
normal atau urin
output dapat dipertahankan. Dalam hal ini mungkin diperlukan volume cairan
yang lebih banyak ( 2cc/kg /% TBSA luka bakar) dari
yang dibutuhkan untuk luka bakar
dengan ukuran yang sama tanpa trauma inhalasi.5
Antibiotik profilaksis untuk trauma inhalasi
tidak dianjurkan, tetapi jelas diindikasikan untuk infeksi paru-paru yang didokumentasikan
(sebagai terapeutik).5, 13, 14 Pilihan
empiris untuk pengobatan
pneumonia adalah hasil kultur sebelumnnya dimana harus mencakup jenis methicillin-resisten Staphylococcus aureus pada beberapa hari pertama setelah luka
bakar (ini berkembang dalam minggu pertama setelah luka bakar) dan organisme
gram negatif (terutama
Pseudomonas atau Klebsiella) yang
umumnya terjadi satu
minggu setelah luka bakar. Pemberian antibiotik
sistemik didasarkan pada monitoring serial dari kultur sputum, bronkial washing, atau aspirasi transtraheal.5
Pada pemberian
kortikosteroid, dalam beberapa studi
klinis dan percobaan pada hewan didapatkan peningkatan angka
kematian dan pada bronkopneumonia menunjukkan terjadinnya
pembentukan abses yang lebih luas,
sehingga penggunaan kortikosteroid masih merupakan suatu
kontraindikasi.5, 14
Table 5. Kriteria Ekstubasi 5
Criteria Value
PaO2/FiO2
(P/F) ratio > 250
Maximum
inspiratory pressure (MIP) (cm H2O) > 60
Spontaneous
tidal volume (ml/kg) > 5-7
Spontaneous
vital capacity (ml/kg) > 15-20
Maximum
voluntary ventilation > present twice the minute
Audible
leak around the ET tube with cuff deflated volume
PATOFISIOLOGI
SYOK LUKA BAKAR
Cedera termal
memberikan efek sirkulasi sistemik dan manajemen hemodinamik merupakan
penatalaksanaan yang utama. Setelah cedera termal yang masif maka akan terjadi
syok akibat hipovolemik intravaskuler, dan pada sebagian besar kasus dapat
terjadi depresi miokard. Perubahan ini mengakibatkan penurunan curah jantung.
Respon tubuh terhadap turunnya curah jantung akan menimbulkan reflek
peningkatan tahanan vaskuler sistemik sebagai suatu usaha untuk mempertahankan
tekanan darah arteri. Namun begitu, jika status turunnya curah jantung ini dan
tingginnya tahanan perifer vaskuler yang akan menetap, maka akan menyebabkan
terjadinnya hipoperfusi jaringan. Hal ini terutaman terjadi pada sirkulasi
splanknik yang sering kali sebagai hasil kompensasi untuk memepertahankan
perfusiorgan vital seperti otak dan jantung. 3
Walaupun
patifisiologi syok luka bakar tidak sepenuhnya dimengerti, beberapa penelitian
yang penting telah dilakukan. Tanda dari syok luka bakar adalah peningkatan
yang jelas pada permeabilitas vaskular baik pada jaringan yang terbakar maupun
tidak terbakar. Eksudasi cairan yang kaya protein pada kompartemen
intravaskular kedalam interstitial mengakibatkan hipovolemia intravaskular dan
akumulasi cairan interstitial yang masif. Aliran linfe kutaneus meningkat
secara praktis pada periode segera setelah luka bakar dan tetap tinggi selama
hampir 48 jam. Namun begitu akumulasi cairan yang progresive yang berasal dari
cairan intravaskuler kedalam interstitial akan menyebabkan peningkatan aliran
linfatik. Hal utama yang berhubungan dengan penyimpangan cairan dalam jumlah
yang besar adalah semua komponen dari hukum starling. Perubahan yang spesifik
termasuk : 3
- Peningkatan permeabilitas koefesien mikrovaskuler (K) yang disebabkan oleh pelepasan mediator lokal dan sistemik seperti bradikinin, histamin, platelet activating factor dan leukotrien. Peningkatan pemeabilitas vaskular melibatkan tidak hanya cairan dan elektrolit tetapi juga plasma kolid. Pada jaringan yang terbakar, peningkatan permeabilitas vaskular secara nyata sebagai akibat desrupsi endotelial.
- Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (Pc) akibat dilatasi mikrovaskular. Hal ini disebabkan karena produksi oksida nitrit dan vasodilator prostaglandin yang menyebabkan peningkatan aliran darah pada tempat terjadinnya luka bakar sama seperti daerah yang tidak terkena trauma terpapar mediator infalamasi.
- Penurunan tekanan hidrostatik interstitial (Pi). Walaupun penyebab nyata terjadinnya tekanan negatif pada pasien luka bakar belum bisa di mengerti, penomena ini telah dilaporkan pada beberapa penelitian. Lund, dkk mengatakan bahwa tekanan negatif interstisial pada jaringan luka bakar disebabkan oleh degradasi kolagen
- Menurunkan tekanan onkotik intra vaskular (Ï€c) diakibatkan oleh kebocoran protein dari ruang intravaskular.
- Peningkatan relatif tekanan onkotik interstitial (Ï€i) disebabkan oleh pergerakan cairan yang kaya akan protein dari ruang intravaskular ke ruang interstisial.
Kebocoran cairan dan protein
kedalam ruang interstitial sering kali menyebabkan hilangnya lapisan
interstitial yang ditandai dengan peningkatan aliran limfe. Efek yang nyata
dari perubahan tersebut adalah perkembangan edema yang masiv selama 12 – 24 jam
setelah trauma termal yang disertai dengan hilangnnya volume cairan
intravaskular. Perkembangan edema yang progresive ini sangat tergantung pada
kecukupan volume resusitasi karena pemberian cairan akan berdampak pada
perkembangan terjadinnya edema.3
Hipotensi yang dihubungkan dengan
trauma luka bakar juga mempunyai peranan dalam menyebabkan depresi miokard.
Respon inflamasi akibat trauma termal menyebabkan pelepasan Tumor Necrosis Factor (TNF-α),
Interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin dalam jumlah yang besar. Mediator TNF-α
dan beberapa faktor yang tidak dikenal dianggap berperan dalam menyebabkan
depresi fungsi miokard. Hipotensi disebabkan oleh deplesi volume intravaskular
dan depresi miokard akan menginduksi suatu reflek yang akan meningkatkan resistensi
pembuluh darah sistemik. Semua faktor ini menyebabkan penurunan curah jantung
dan penurunan perfusi jaringan jika pasien tidak diresusitasi secara optimal.
Jika pasien dapat bertahan pada stadium awal luka bakar dan sudah teresusitasi
secara edekwat, tingkat hiperdinamik sirkulasi pasien masih berkembang kurang
lebih 3 sampai 4 hari setelah trauma. Respon hiperdinamik sirkulasi ini dipicu
oleh reaksi inflamasi akibat adanya kerusakan jaringan yang besar akibat luka
bakar. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya SIRS ( Sistemic Imflammatory
Response Syndrome) yang ditandai dengan takikardi, menurunnya resistensi
pembuluh darah sistemik dan peningkatan curah jantung.3
SIRS merupakan suatu tanda tanda
yang bersifat berat yang ditandai dengan takikardi, takipnue, demam, hingga
hipotensi yang bersifat refrakter. Dan hal ini merupakan suatu bentuk syok dan
disfungsi multi organ yang bersifat berat. Pada pasien dengan cedera termal,
sebagian besar penyebab SIRS adalah luka bakar itu sendiri. SIRS yang disertai
dengan infeksi juga sering terjadi. Resusitasi yang tertunda atau tidak adekwat
merupakan faktor independent untuk resiko berkembangnnya SIRS.3
RESUSITASI
PASIEN LUKA BAKAR
Pasien luka bakar memerlukan
resusitasi volume cairan yang besar segera setelah trauma. Resusitasi cairan
yang tertunda atau yang tidak adekwat merupakan faktor resiko yang independent
terhadap tingkat kematian pada pasien dengan luka bakar yang berat diatas.
Tujuan dari resusitasi pasien luka bakar adalah untuk tetap menjaga perfusi
jaringan dan meminimalkan edema interstitial. Idealnya sedikit cairan
dibutuhkan untuk menjaga perfusi jaringan perlu diberikan. Pemberian volume
cairan seharusnya secara terus menerus di titrasi untuk menghindari terjadinnya
resusitasi yang kurang atau yang berlebihan. Ketika resusitasi cairan pada
pasien luka bakar ditingkatkan, volume cairan yang besar ditunjukkan untuk
menjaga perfusi jaringan. Akan tetapi resusitasi cairan yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinnya edema dan terjadinya sindroma kompartement pada daerah
abdomen dan ekstremitas. Mengitip dari Pruitt, “ Paru paru dan kompartement
jaringan akan dikorbankan untuk meningkatkan fungsi ginjal, yang bermanifestasi
sebagi edema post resusitasi, kebutuhan fasciotomi pada ektremitas bawah yang
tidak terbakar, dan kejadian strong kompartement pada abdomen”.3
Sampai saat ini, belum ada
kesepakatan tentang jenis cairan yang harus digunakan untuk resusitasi luka
bakar. Pada kenyataannya setiap jenis cairan mempunyai keuntungan dan kerugian
masing masing pada berbagai macam kondisi. Akan tetapi yang paling penting
adalah apaun jenis cairan yang diberikan, volume cairan dan garam yang adekwat
harus diberikan untuk menjada perfusi jaringan dan memperbaiki homeostatis.3
Beberapa protokol resusitasi
menggunakan kombinasi kristaloid, koloid, dan cairan hipertonik, telah
dikembangkan (Tabel 6). Resusitasi cairan isotonik kristaloid di
gunakan pada sebagian pusat penanganan luka bakar dan umumnnya merupakan hasil
resusitasi yang adekwat. Buffer cairan kristaloid seperti ringer laktat
merupakan cairan yang paling popular untuk resusitasi sampai saat ini. Formula
resusitasi yang klasik di modifikasi oleh Brooke dan Parkland. Formula
modifikasi dari Brooke di kembangkan dari formula Evans dan Brooke yang
menyarankan pemberian 2 ml/ kg / % dari total tubuh yang terkena luka bakar
selama 24 jam pertama dan merupakan jenis formula pertama yang berdasarkan
persentase total permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Formula Brooke
merupakan modifikasi dari formula Evans yang mengandung persentase kristaloid
yang relatif lebih besar di bandingkan koloid pada formula Evans. Modifikasi
formula Brooke murni menggunakan cairan kristaloid. Konsep terbaru yang
dikembangkan oleh Baxter dan Shires menghasilkan perkembangan 4 ml /kg / % luas
permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Setengan dari volume cairan resusitasi
diberikan pada 8 jam pertama dan setengahnya lagi di berikan pada 16 jam
berikutnnya setelah trauma. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa formula ini
merupakan suatu penuntun yang sederhana untuk terapi cairan di mana pasien
harus di monitor secara ketat untuk mengoptimalisasi resusitasi syoks akibat
luka bakar. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa kebutuhan cairan terutama
untuk pasien dengan area luka bakar yang luas sering di prediksi dengan
menggunakan rumus Parkland.3
Kristaloid merupakan cairan yang
paling sering digukan untuk resusitasi syok akibat luka bakar. Sampai saat ini
tidak ada studi prosfektif yang dapat memperlihatkan bahwa koloid atau salin
hipertonik memiliki mamfaat yang lebih dibandingkan kristaloid isotonik dalam
hal resusitasi pasien pasien luka bakar. Selain itu kriataloid isotonik lebih
murah dibandingkan koloid, meskipun kerugian penggunaan kristaloid memerlukan
volume yang realtif lebih besar untuk resusitasi syok akibat luka bakar dan
berpotensi menyebabkan terjadinnya edema jaringan. Ada kemungkinan hal ini
terjadi akibat resusitasi yang berlebihan jika pasien tidak dimonitor ketat.
Penumpukan cairan ini terjadi terutama pada ruang interstitial. Kebanyakan
studi tidak memperlihatkan insiden edema paru pada pasien yang menerima
resusitasi dengan kristaloid. Kolm dkk, baru-baru ini mengkomfirmasi bahwa
kebanyakan pasien-pasien luka bakar tidak memperlihatkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah paru setelah luka bakar dan edema paru jarang
terjadi selama tekanan pengisian intravaskuler dipertahankan dalam batas
normal. Komplikasi potensial yang lain akibat resusitasi kristaloid yang
berlebihan adalah hipoalbuminemia dan ketidak seimbangan elektrolit. Perubahan
ini belum memperlihatkan hubungan secara signifikan dengan tingkat morbiditas
dan mortalitas.3
Tabel 6 . Formula untuk
perkiraan resusitasi luka bakar pada orang dewasa.3
Formula Kristaloid Koloid
Formula Kristaloid
Modifikasi
Brooke RL 2
ml/kg/% luka bakar
Parkland RL
4 ml/kg/% luka bakar
Formula
kristaloid + koloid
Evans NaCl 1 ml/kg/% luka bakar 1 ml/kg/% luka bakar
Brooke RL
1,5 ml/kg/% luka bakar 0,5
ml/kg
Slater RL
2 ltr / 24 jam FFP
75ml/kg/24 jam
Demling Dektran
dalam saline - FFP
0,5-1ml/kg/% luka
2 ml/kg/jam Bakar
RL (jaga urin
output)
Formula hipertonik
Monafo
(salin hipertonik) 250 mEq
sodium / ltr
(1-2 ml/kg/% luka bakar)
Warden RL
+ 50 mEq NaHCO3
(Modifikasi
hipertonik) (4 ml/kg/%
luka bakar/8 jam pertama)
RL (jaga urin autput/ 8 jam kedua)
RL + Albumin
(jaga urin autput/ 8 jam ketiga)
b. Koloid
Secara teoritis koloid memberikan
keuntungan yang lebih dalam menjaga volume intravaskular dengan volume yang
lebih sedikit dengan waktu yang lebih pendek dibandingkan kristaloid. Pada
pasien dengan endotel yang intak koloid lebih bertahan lama dibandingkan
kristaloid dalam kompartemen intravaskular. Protein plasma memegang peranan
yang penting dalam dalam mempertahankan volume vaskular dengan memberikan
tekanan koloidosmotik yang berlawanan
dengan tekanan hidrostatik intravaskular.3
Meskipun demikian pada pasien luka
bakar memperlihatkan penigkatan vermianilitas vaskular terhadap cairan
elektrolit dan kolid sehingga menyebabkan para peneliti mempertanyakan
penggunaan koloid pada 8-24 jam pertama setelah luka bakar. Akibat peningkatan
permeabilitas vaskular yang diobservasi pada luka bakar, koloid mungkin saja
tidak bertahan lebih lama dalam sirkulasi di bandingkan dengan kristaloid.
Lebih lanjut beberapa ahli merasa khawatir jika aliran koloid ke interstitial
dapat memperburuk edema.3
Meskipun demikian tingkat dan
durasi permeabilitas vaskuler terhadap protein plasma belum sepenuhnnya jelas
dan sangat tergantung pada beratnya luka bakar.
Kemudian, beberapa pendekatan empiris terhadap penggunaan koloid pada
resusitasi syok luka bakar setelah dibuat beberapa ahli menganjurkan untuk
menghindari penggunaan koloid dalam 28 jam pertama setelah trauma luka bakar.
Mereke berpendapat bahwa koloid belum menunjukkan adanya keuntungan
dibandingkan kristaloid dalam resusitasi akibat syok luka bakar dan dapat
memperburuk edema. Yang lain menganjurkan penggunaan koloid protein pada 8-12
jam pertama setelah luka bakar, sedangkan kelompok ke tiga mennganjurkan
penggunaan koloid protein selama resusitasi syok luka bakar. Semua pendekatan
tadi masih bersifat tidak jelas karena tidak ada bukti ilmiah yang kuat yang
mendukung pendekatan manapun. Studi terhadap binatang menunjukkanbahwa koloid
yang diberikan dalam 8 jam pertama setelah luka bakar secara signifikan
menurunkan kebutuhan cairan total. Beberapa peneliti yang menunjukkan pemberian
albumin pada 6-8 jam pertama setelah luka bakar tidak meningkatkan insiden
komplikasi pulmoner. Meski demikian, resusitasi koloid dalam 24 jam pertama
setelah luka bakar tidak menimbulkan adanya perbaikan out-come bila dibandingkan
dengan resusitasi kristaloid. Lebih lanjut, meta-analisis terbaru menunjukkan
bahwa mortalitas yang lebih tinggi pada pasien luka bakar yang menerima albumin
sebagai protokol resusitasi awal dengan 2,4 resiko relatif mortalitas dibanding
dengan pasien yang hanya mendapatkan kristaloid. Meski demikian, meta-analisis
ini diragukan metodeloginnya. Secara
keseluruhan konsensus dinyatakan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk
menentukan apakah pemberian albumin dalam resusitasi luka bakar menguntungkan
atau merugikan. Oleh karena biaya yang lebih besar dan keuntungan yang sedikit,
koloid tidak digunakan secara rutin di Amerika serikat untuk resusitasi awal
pada pasien luka bakar. Namun demikian, banyak yang tetap melakukan pemberian
albumin sebagai bagian dari protokol resusitasi luka bakar. Hal ini sangat
jelas pada populasi anak-anak dimana kadar protein plasma menurun secara cepat
setelah luka bakar.3
c. Cairan
hipertonik
Penggunaan salin hipertonik baik
sendiri maupun bersama sama dengan koloid setelah dianjurkan oleh beberapa
praktisi untuk resusitasi awal pada pasien luka bakar. Salah satu keuntungan
dari cairan hipertonik adalah mengurangi kebutuhan volume untuk mencapai
tingkat yang sama dengan cairan isotonik. Secara teoritis pengurangan volume
dari koloid yang dibutuhkan ini akan mengurangi resiko terjadinya resiko edema
paru dan edema jaringan yang dapat mengurangi insiden intubasi trakeal. Cairan
salin hipertonik telah memperlihatkan ekspansi volume intravaskular dengan
jalan memindahkan cairan dari intra selular dan kompartemen interstisial.
Bagaimanapun ekspansi intravaskular ini bersifat sementara. Beberapa peneliti
telah memperlihatkan besarnya total cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi
tidak akan berkurang bila digunakan cairan hipertonik pada awal luka bakar.3
Walupun semua keuntungan cairan
hipertonik yang digunakan untuk resusitasi luka bakar perlu dipertimbangkan,
cairan hipertonik mungkin berguna pada suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu
termasuk keadan dimana sulit untuk menggunakan volume cairan yang besar dan
pada pasien dengan penyakit penyerta yang mempunyai resiko untuk terjadinnya
gagal jantung. Bagaimanapun tidak ada kesepakatan yang menyatakan cairan
hipertonik mana yang paling menguntungkan. Beberapa penelitian telah
mempelajari cairan hipertonik salin dan hipertonik laktat salin. Terdapat suatu
studi yang memperlihatkan tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada pasien yang
menerima laktat salin hipertonik di bandingkan pasien yang menerima cairan
isotonik. Pada beberapa kasus, koloid telah dikombinasi dengan cairan
hipertonik pada resusitasi luka bakar. Griswold dkk, melaporkan penambahan
volume pada pasien yang menerima albumin dan fresh frozen plasma yang digabungkan dengan cairan salin
hipertonik, dan Jelenko dkk melaporkan berkurangnya insiden eskriotomi,
pengurangan hari penggunaan vetilator, dan berkurangnya volume cairan yang di butuhkan pada pasien
yang menerima kombinasi albumin dan salin hipertonik di bandingkan pasien yang
hanya menerima cairan kristaloid isotonik. Akan tetapi Gun dkk, tidak
memperhatikan volume cairan saat memberikan fresh
frozen plasma yang digabungkan dengan cairan salin hipertonik.3
Kekhawatiran utama dalam penambahan
cairan salin hipertonik adalah berkembangnya hipernatremia. Konsentrasi natrium
serum lebih dari 160 mEq/L telah dilaporkan terjadinnya pada 40% - 50 % pasien
yang menerima saline hiper tonik untuk resusitasi luka bakar. Huang dkk,
melaporkan beberapa kasus kematian yang berhubungan dengan teknik resusitasi
ini. Karena berpotensinnya terjadi gangguan elektrolit yang berat dan
sedikitnnya bukti yang menunjukkan bahwa resusitasi dengan hipertonik akan
meningkatkan tingkat mortalitas, cairan garam isotonik digunakan pada sebagian
besar pusat resusitasi luka bakar. Secara keseluruhan cairan hipertonik hanya
digunakan oleh para ahli yang mempunyai pengalaman menggunakannya, karena
adanya beberapa resiko dan komplikasi.
Rekomendasi-rekomendasi
Rekomendasi :
Kristaloid saat ini merupakan cairan yang terpilih dan paling sering digunakan
untuk resusitasi cairan awal pada penderita luka bakar (level IB).3
Rasional
: Sebagian besar studi tidak memperlihatkan peningkatan insiden edema paru pada
pasien yang mendapatkan cairan kristaloid. Holm dkk, dalam penelitiannya
mengemukakan bahwa sebagian besar pasien luka bakar tidak memperlihatkan
peningkatan permeabilitas kapiler paru setelah trauma dan insiden edema paru
jarang terjadi sepanjang tekanan pengisian intravaskular dipertahankan dalam
batas normal. Berdasarkan tinjauan sistematik oleh Schierhout dan Roberts dari
26 RCTs dengan 1622 pasien yang mendapatkan koloid atau kristaloid,
mortalitas adalah outcome utama yang
dinilai. Hasil yang didapatkan adalah mortalitas pada pasien yang mendapat
cairan koloid lebih besar 4 % di banding yang mendapat kristaloid (95% CI
0-8%).3
Rekomendasi
: Cairan koloid dan atau cairan hipertonik sebaiknya dihindari dalam 24 jam
pertama setelah trauma luka bakar (level II B).3
Rasional
: Koloid tidak memperlihatkan keuntungan dibanding kristaloid pada awal
resusitasi cairan pada penderita luka bakar dan bahkan memperburuk edema formation pada awal-awal
terjadinnya luka bakar. Hal ini oleh karena selama 8-24 jam setelah luka bakar
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga koloid mengalami influks
masuk kedalam interstitium sehingga memperburuk edema. Studi meta-analisis
terakhir memperlihatkan mortalitas lebih tinggi pada pasien yang mendapatkan
albumin sebagai bagian resusitasi awal dengan 2,4 kali resiko relatif
mortalitas di banding yang mendapatkan kristaloid.3
Rekomendasi
: Cairan koloid dan atau cairan hipertonik (salin) mengurangi kebutuhan cairan
total dan memperbaiki performa jantung pada luka bakar (level I B).3
Rasional
: Cairan hipertonik memperlihatkan daya ekspansi volume intravaskular dengan
memobilisasi cairan dari kompartemen intraseluler dan interstitial serta
mengurangi disfungsi kontraksi jantung yang berkaitan dengan luka bakar.3
Formula resusitasi
Banyak formula telah dirancang untuk menentukan jumlah cairan
yang tepat
untuk diberikankan pada pasien luka bakar, dan semuanya berasal dari studi eksperimental tentang patofisiologi syok pada luka bakar. 15
untuk diberikankan pada pasien luka bakar, dan semuanya berasal dari studi eksperimental tentang patofisiologi syok pada luka bakar. 15
Kebanyakan unit luka bakar umumnnya menggunakan formua Parkland atau yang mirip dengannya.15
.Formula Parkland yang menggunakan
larutan kristaloid Ringer Laktat (RL) 4 cc/kg/% luka bakar. Setengah nya
diberikan dalam 8 jam pertama dan sisanya diberikan dalam 16 jam kemudian.1,
3, 9, 13, 15 Formula
Ini merupakan pedoman untuk resusitasi langsung dari jumlah cairan yang
diperlukan untuk mempertahankan perfusi yang memadai.15
Selain dari
jumlah cairan diatas, pada anak-anak
menerima cairan pemeliharaan dengan
pertitungan perjam nya:9
·
4 ml / kg untuk 10 kg pertama dari berat badan, ditambah.
·
2 ml / kg untuk 10 kg kedua dari berat badan, ditambah.
·
1 ml / kg untuk
berat badan >
20 kg.
Adapun target
resusitasi (End poits)9
pada formula ini adalah
·
Urine output 0,5-1,0 ml / kg / jam pada
orang dewasa
·
Urine output dari 1,0-1,5 ml / kg / jam pada
anak-anak
Contoh kasus resusitasi luka bakar berdasarkan Parkland Formula 9
Regimen
resusitasi cairan untuk dewasa
Seorang laki-laki muda 25 tahun dengan berat 70 kg dengan luka
bakar 30 % datang jam 4 sore. Pasien
terbakar jam 3 sore.
1) Total
cairan yang diberikan untuk 24 jam pertama
4
ml×(30% total burn surface area)×(70 kg) = 8400 ml dalam 24 jam
2) Setengahnya diberikan dalam 8 jam pertama, Setangahnya lagi diberikan dalam 16 jam selanjutnnya.
Akan diberikan 4200 ml selama 0 - 8 jam dan 4200 ml selama 8 - 24 jam.
3) Kurangi cairan yang yang diterima
dari jumlah yang diperlukan
untuk 8 jam
Pertama
Pasien
telah menerima 1000 ml cairan
dari pelayanan Emergensi sehingga dia membutuhkan 3200
ml dalam 8 jam pertama sesudah cedera.
4) Perhitungan kecepatan infus perjam untuk 8 jam pertama
Bagilah jumlah cairan pada point (3)
dengan sisa waktu
sampai 8 setelah pasien terbakar
Kebakaran terjadi pada pukul 3 siang, jadi 8 jam kedepan jatuh pada pukul 11 malam. Sekarang pukul 4 siang, jadi
dibutuhkan 3200
ml selama 7 jam kedepan:
3200 / 7 = 457 ml/jam dari jam 4 siang
sampai jam 11 malam.
5) Perhitingan kecapatan infus perjam untuk 16 jam selanjutnnya.
Bagi jumlah cairan point (2) dengan 16
jam untuk mendapatkan kecaparan cairan infus
Dibutuhkan 4200 ml dalam 16 jam:
4200/16 = 262.5 ml/jam dari jam 11 malam sampai jam 3 siang
hari berikutnnya.
Pemeliharan
cairan yang dibutuhkan untuk anak
Anak
24 kg yang
mendapatkan resusitasi cairan luka bakar yang diikuti pemberian maintenen cairan sebagai berikut:
4 ml/kg/jam
untuk 10 kg pertama
dari berat badan= 40 ml/jam
ditambah
2 ml/kg/jam
untuk 10 kg berikutnnya
dari berat badan = 20 ml/jam
ditambah
1 ml/kg/jam
untuk 4 kg selanjutnnya
dari berat badan= 1×4 kg = 4 ml/jam
Total = 64 ml/jam
MONITORING RESUSITASI
Setiap pasien luka bakar
mempunyai reaksi yang berbeda-beda dan juga memerlukan dukungan
cairan dalam jumlah yang juga bervariasi. Berbagai faktor dapat mempengaruhi respon pasien pada saat resusitasi seperti usia, kedalaman luka bakar, trauma inhalasi yang
bersamaan, dan penyakit
penyerta. Jika klinisi menggunakan sebuah endpoint dari resusitasi yang handal dan akurat dalam mengukur kecukupan perfusi seluler, maka mereka akan tahu kapan harus''menghentikan'' terapi cairan yang agresif serta dapat menghindari masalah over-resusitasi. 7
1. Tradisional endpoints.
Marker tradisional keberhasilan resusitasi seperti tekanan darah dan nadi dapat normal karena merupakan bagian kompensasi syok serta tidak dapat mendeteksi
hipoperfusi selular yang tersembunyi. Pengukuran noninvasif dari tekanan darah mungkin sulit di nilai karena adanya edema
jaringan.Takikardi mungkin juga akibat dari nyeri dan kecemasan, yang umum terjadi pada pasien luka bakar dan oleh karena itu merupakan marker yang kurang dapat dipercaya akibat dari hipovolemia.
Secara tradisional, urine output telah digunakan sebagai pemandu resusitasi. Urine output mencerminkan keadaan perfusi ginjal, yang sensitif terhadap
penurunan cardiac output dan hipovolemik. The American Burn Association menyarankankan bahwa kecapatan cairan infus harus dititrasi untuk mendapatkan urin output 0,5-1,0 ml / kg
/ jam pada orang dewasa, Dengan munculnya
kompartemen sindrom, beberapa klinisi luka bakar yang berpengalaman mulai dapat menerima urin output
yang lebih lebih rendah sebagai endpoint resusitasi. Namun, ada beberapa penelitian yang telah menunjukkan nilai output urin
per jam dapat menggambarkan perfusi yang cukup memadai. Tetapi, terdapat
pula banyak studi yang menyoroti kegagalan
penilaian urin output dalam menilai kecukupan perfusi global. Karena keterbatasan
marker tradisional dalam hal resusitasi inilah,
sehingga telah menimbulkan banyak minat untuk menggunakan metode yang lebih
maju dalam pemantauan endpoint resusitasi. 7
2. Advanced hemodinamik monitoring
Pada tahun 1996, sebuah survei penggunaan monitoring
kardiovaskuler invasif pada
pasien dengan luka bakar lebih dari 30% TBSA menunjukkan
bahwa 55% dari unit luka bakar di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia
dan Selandia Baru menggunakan monitoring tekanan vena sentral (CVP) pada lebih
dari separuh pasien mereka. Hanya 8% dari unit tersebut yang menggunakan
kateter arteri pulmonari pada lebih dari
separuh pasien mereka, dan jumlah ini mungkin makin menurun sampai saat ini. Kateter arteri pulmonalis telah di
kaitkan dengan sejumlah komplikasi, dan pulmonary
artery occlusion pressure (PAOP) juga telah terbukti sebagai marker preload yang tidak dapat diandalkan. 7
Intrathoracic blood volume (ITBV) adalah total kombinasi volume jantung kanan, jantung kiri, dan volume darah
paru yang diukur pada akhir diastolik. ITBV telah terbukti
berkorelasi erat dengan cardiac output. Holm dkk, baru-baru
ini meneliti efek dari monitoring intensif ITBV pada resusitasi luka
bakar dengan syok. Pengukuran hemodinamik dibuat menggunakan sistem COLD system (Pulsion Medical Systems), yang
memanfaatkan kateter vena sentral standart
dan thermistor-tipped fibreoptic catheter yang dimasukkan ke
dalam arteri femoralis. Pasien yang menerima
resusitasi yang di pandu dengan ITBV menerima cairan lebih banyak secara
signifikan dalam 24 jam pertama setelah terbakar dibandingkan
dengan mereka yang diresustasi menurut formula Parkland. Tidak ada
perbedaan yang signifikan pada ITBV, cardiac output, tingkat serum lactate,
mortalitas atau morbiditas diantara kedua kelompok. Holm dkk. Juga menunjukkan
bahwa walaupun terapi cairan agresif telah dilakukan, hipoperfusi yang
tersembunyi kemungkinan masih bisa terjadi. Sebaliknya,
Arlati dkk. Target resusitasi cairan telah dapat dicapai dengan pemberian
cairan yang lebih sedikit, kurangnya pembentukan edema, dan kejadian disfungsi
organ yang lebih rendah melalui pendekatan dengan intrathoracic blood volume-guided dan cardiac output-guided dibandingkan dengan melalui
pendekatan formula Parkland.7
Monitoring doppler
oesophageal memberikan relatif noninvasif perkiraan preload jantung dengan mengukur aliran
darah aorta yang turun dalam
aorta torakal. Corrected flow time (FTc), jika digunakan dengan tepat dapat menilai
respon kardiovaskular terhadap fluid
challenge. Penggunaan doppler oesophageal pada periode perioperatif sebagai guided manajemen cairan pasien yang
menjalani operasi besar telah memperbaiki outcome
dan penurunan angka lama perawatan di rumah sakit. Yamamoto dkk, baru-baru ini
mengevaluasi penggunaan doppler esofageal
pada empat pasien dengan luka bakar yang luas, dan menemukan bahwa pengukuran cardiac index dengan menggunakan Doppler esofageal berkorelasi baik
dengan yang diperoleh dari kateter arteri pulmonalis. Penempatan kateter vena sentral secara teknis sulit
silit dilakukan pada pasien burn-luka akibat edema dan kerusakan jaringan,
sehingga penggunaan Doppler esofageal sangat
menguntungan dalam situasi begini. Studi menunjukkan adanya peningkatkan outcome dengan menggunakan Doppler esofagus pada pasien luka bakar. 7
menguntungan dalam situasi begini. Studi menunjukkan adanya peningkatkan outcome dengan menggunakan Doppler esofagus pada pasien luka bakar. 7
3. Subcutaneous tissue gas tensions
Venkatesh,
dkk. Baru-baru mengukur tegangan gas jaringan subkutan pada pasien luka bakar dengan menggunakan tabung silastic yang dimasukkan
ke dalam jaringan subkutan dari kulit yang terbakar dan kulit yang tidak
terbakar. Meskipun indeks normal baik sirkulasi sistemik dan oksigenasi selama periode resusitasi,
ketegangan gas jaringan subkutan pada kulit yang terbakar dan kulit yang tidak
terbakar memburuk secara signifikan, hal ini
menunjukkan penurunan oksigenasi jaringan secara signifikan. Penulis
menunjukkan perubahan ketegangan gas pada
jaringan memburuk akibat berkembang edema serta diperburuk dengan pemberian
cairan. Monitoring jaringan subkutan mungkin
memiliki peran dalam mendeteksi deteksi dini edema luka bakar dan juga sebagai
penuntun resusitasi cairan pada pasien luka bakar di masa depan.7
4. Peralatan berbasis optik.
Peralatan monitoring jaringan berbasis optik telah digunakan
pada pasien trauma dengan luka parah yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa
meskipun pengangkutan oksigen ke jaringan sudah adekwat, tetapi penggunaan
oksigen di tingkat selular
masih tetap terganggu. Saturasi oksigen jaringan
yang diukur dengan menggunakan Near-infrared spectroscopy (NIRS) telah
menunjukkan hasil sebagai akses dasar
yang baik (good as base axcess)
dalam mengidentifikasi pasien trauma yang
berisiko berkembang menjadi MODS.
Hal ini merupakan potensi besar yang sangat
berguna sebagai alat monitoring endpoint,
tetapi penelitian lebih lanjut tentang penggunaannya pada pasien luka bakar
masih diperlukan.7
NYERI
AKUT PADA LUKA BAKAR
Setelah luka bakar, pasien akan mendapatkan sejumlah tindakan
yang mungkin menyakitkan. Hal ini
termasuk pemindahan dari kebakaran, resusitas,
transportasi ke rumah sakit, dan prosedur yang urgensi, seperti akses intravena, kontrol jalan napas, pemasangan kateter
uretra, radiografi, escharotomies, dan transportasi ke unit luka bakar
atau unit perawatan intensif. Manajemen Nyeri merupakan
isu yang penting selama tindakan. Nyeri pasien bisa berat atau yang
mengejutkan bisa ringan, namun tingkat keparahan nyeri jarang yang dicatat. Persepsi nyeri pada pasien juga dapat dipengaruhi oleh alkohol, penggunaan
obat-obatan, atau penyebab lainnya seperti perubahan tingkat kesadaran, (bisa
akibat inhalasi asap, hipoksia, atau hipotensi). 12
Manajemen
nyeri luka bakar sulit di laksanakankan, sebelum dilakukan pemeriksaan formal dan stabilisasi pada pasien. Oleh karena itu rekomendasi
berdasarkan pengamatan dan pengalaman klinis. Langkah-langkah
sederhana, seperti cooling, menutupi permukaan luka bakar dan immobilisasi
pasien, mungkin sudah cukup memadai.12, Penutupan luka bakar sangat
perlu sebab dengan adanya aliran udara di atas permukaan luka bakar akan
memperberat nyeri.13
Pendinginan lokal, walau bagaimanapun, tidak bisa
mencegah pengembangan hiperalgesia pada manusia. Setelah personil yang tepat dan terlatih telah tersedia, di
suatu tempat atau setibanya di rumah sakit, pemberian opioid parenteral
merupakan bentuk analgesia yang paling sering digunakan untuk semua pasien
dengan luka bakar walaupun yang paling sepele.12
Pemberian opioid harus diberikan melalui rute intravena.
Pemberian melalui rute intramuskular atau subkutan tidak dapat diandalkan, terutama bila disertai dengan hipovolemia dan vasokonstriksi. Terlepas dari jenis opioid yang dipilih, titrasi
dosis kecil bolus intravena merupakan cara yang
paling efektif untuk menghilangkan rasa sakit. Setelah kontrol nyeri diperoleh, infusion atau Patient-Controlled Analgesia (PCA) biasa
di gunakan.12
Opioid
Opioid intravena tetap
menjadi metode
yang paling populer
dalam mengurangi
nyeri pada luka bakar. Morfin telah banyak diteliti dan digunakan dalam
hal ini. Secara farmakokinetik, metabolit
aktif dari morfin pada prinsipnya tidak berbeda
secara signifikan
antara pasien dengan dan tampa luka
bakar, sehingga dapat digunakan dosis yang
sama. Pada
umum dibandingkan dengan
opioid lain, morfin
memiliki sifat
sedatif dan antitusif, hal ini tergantung pada
metode pemberian,
morfin memiliki durasi yang relatif
panjang. Metabolit morfin, terutama
morfin-6-glukuronat, memainkan
peran aktif dalam
analgesia, terutama
ketika morfin digunakan untuk
periode lama.
Morfin biasanya digunakan dengan PCA untuk
penanganan nyeri
luka bakar. Kelemahannya PCA
sangat bergantung pada kemampuan pasien dalam menggunakan
peralatan. Infus dengan kecepatan tetap telah digunakan pasca
operasi pada pasien dengan luka bakar tetapi kelihatannya ketika timbulnya rasa sakit yang hebat, metode ini hanya dapat
memberikan tingkat analgesia
yang rendah.12
Opioid lain yang lebih umum
digunakan dalam anestesi telah dapat digunakan dalam prosedur penanganan nyeri. Onset yang cepat, meningkatnnya kelarutan dalam lemak, dan kemudahan dalam titrasi membuat
obat ini mempunyai keuntungan yang potensial, meskipun
potensi depresi pernafasan masih menjadi suatu kekhawatiran. PCA fentanyl telah digunakan untuk menagani nyeri pasca operasi pada luka bakar dan juga telah berhasil
digunakan melalui rute intranasal pada pasien anak. Remifentanil, dengan masa kerja yang sangat cepat, telah digunakan selama pembedahan luka bakar, dan mungkin layak digunakan
ini di luar ruang operasi, meskipun keamanan obat ini dalam penggunaannya masih perlu di teliti lagi.12
potensi depresi pernafasan masih menjadi suatu kekhawatiran. PCA fentanyl telah digunakan untuk menagani nyeri pasca operasi pada luka bakar dan juga telah berhasil
digunakan melalui rute intranasal pada pasien anak. Remifentanil, dengan masa kerja yang sangat cepat, telah digunakan selama pembedahan luka bakar, dan mungkin layak digunakan
ini di luar ruang operasi, meskipun keamanan obat ini dalam penggunaannya masih perlu di teliti lagi.12
Pemberian
pethidine (meperidin) telah dapat dilakukan dengan menggunakan PCA,
tapi yang menjadi masalah adalah dengan norpethidine (normeperidine) yang bisa berakibat mudah terjadi toksisitas, terutama pada dosis tinggi, penggunaan jangka panjang, atau pasien dengan gangguan ginjal.12
tapi yang menjadi masalah adalah dengan norpethidine (normeperidine) yang bisa berakibat mudah terjadi toksisitas, terutama pada dosis tinggi, penggunaan jangka panjang, atau pasien dengan gangguan ginjal.12
Obat lain,
seperti benzodiazepines, dapat digunakan dalam kombinasi dengan opioid untuk
mengurangi kecemasan yang berat, namun kombinasi ini berisiko terjadinya depresi pernapasan yang lebih
besar. Lorazepam, yang dikombinasikan dengan morfin, telah memperlihatkan
peningkatkan analgesia pada pasien yang dengan nyeri yang
lebih hebat. Meskipun penggunaan opioid untuk penanganan nyari pada luka bakar telah
meluas, tetapi ketergantungan opioid secara psikologis tidak terjadi hal ini
sebagai konsekuensi dari pengobatan nyeri pada luka bakar, walaupun
ketergantungan fisik dapat terjadi. Opioid juga secarateori sering dikaitkan dengan depresi dari fungsi kekebalan tubuh dan dalam satu studi retrospektif penggunaan opioid dihubungkan dengan peningkatan risiko infeksi pada pasien dengan luka bakar. 12
ketergantungan fisik dapat terjadi. Opioid juga secarateori sering dikaitkan dengan depresi dari fungsi kekebalan tubuh dan dalam satu studi retrospektif penggunaan opioid dihubungkan dengan peningkatan risiko infeksi pada pasien dengan luka bakar. 12
Nonopioid Analgesia
Berbagai obat
nonopioid telah diteliti untuk menangani nyeri pada luka bakar. Pada salah satu
pusat studi luka bakar telah dilakukan pengamatan dimana opioid tidak
digunakan, kemudian didapatkan bahwa
pengurangan nyeri diperoleh dengan menggunakan nonopioids adalah serupa
dengan yang diperoleh dengan menggunakan opioids. Di samping itu, ada
keengganan untuk memberikan opioid kepada pasien usia lanjut dengan luka bakar
karena berakibat pada peningkatan risiko efek samping.12
Non Steroid anti-inflamatory Drugs (NSAIDs) telah berhasil digunakan untuk menangani nyeri atau
mengurangi penggunaan opioid dalam berbagai
kondisi nyeri akut. Penggunaan secara
parenteral obat NSAIDs, seperti ketorolac, seperti yang telah dijelaskan
dapat diberikan untuk menangani luka bakar. Penggunaan ketorolac dalam hubungannya
dengan manfaat lainnya berupa efek anti-inflamasi yang
diperlukan pada luka bakar perlu diperhatikan. Pasien luka bakar biasanya selalu berhadapan dengan hipovolemia atau gangguan ginjal sehingga
penggunaan NSAID pada pasien luka bakar telah
dikaitkan dengan memburuk fungsi ginjal. Kecemasan juga dapat
menyebabkan atau memperburuk ulserasi gastrointestinal sehingga penggunaan NSAID pada pasien luka bakar harus
dibatasi. Meskipun potensi risiko gastrointestinal lebih rendah
dibandingkan dengan obat siklooksigenase-2-selektif
inhibitor, tetapi obat-obatan ini memiliki resiko terhadap kardiovaskuler
dan ginjal yang signifikan. Sehingga,
penggunaan keterolak sebagai analgesik pada pasien luka bakar harus dipertimbangkan untung dan ruginya
serta mampaat klinisnya secara potensial.12
Secara Eksperimental nyeri luka bakar dapat dikurangi dengan
menggunakan antagonis NMDA seperti ketamin. Tetapi sayangnya, dosis tinggi dari
ketamin sering dikaitkan dengan efek samping yang tidak menyenangkan, seperti
halusinasi dan dysphoria. Ketamine
dosis rendah mungkin efektif sebagai analgesik dan dapat mengurangi kebutuhan
opioid. Ini adalah pilihan yang menarik sebagai
Ketamine yang bekerja pada reseptor NMDA telah terbukti mengurangi
sensitisasi sentral dan pengembangan hiperalgesia
sekunder dari nyeri neuropatik pada model hewan. Pengalaman dalam
beberapa percobaan kecil dan seri kasus yang lebih besar telah memberikan bukti bahwa Ketamine efektif dan
aman untuk pengelolaan nyeri pada pasien luka bakar.12
NUTRISI
Pasien dengan
luka bakar mayor membutuhkan nutrisi yang baik untuk menghindari kehilanagan
masa tubuh yang berlebihan dan mencegah kelemahan yang akan terjadi. Dukungan
nutrisi yang segera diindikasikan
untuk mengatur "stress respon"
berat karena akan terjadinya katabolisme. Dukungan nutrisi juga diindikasikan untuk pasien yang sudah mengalami kekurangan gizi. Tingkat dukungan nutrisi harus
disesuaikan dengan ukuran luka
bakar. Pemberian protein, kalori
dan mikronutrisi harus ditingkatkan
sesuai kebutuhan sebelum terjadinnya komplikasi yang
akan menyebabkan terjadinnya kehilangan berat badan, dan
perkembangan ke arah protein energy malnutrition.4
Dalam memberikan dukungan nutrisi ,
maka harus di nilai beberpapa hal yaitu : kebutuhan energi (kalori), kebutuhan
protein, kebutuhan cairan, kebutuhan mikronutrien, dan nutrient mix.4
Untuk
menilai kebutuhan energi (kalori) pada umumnya digunakan rumus Harris-Benedict untuk menghitung Basal Energy Expenditure (BEE). Adapun rumus tersebut adalah: 4
Wanita : BEE = 655,1 + [9,56 x BB] + [1,85 x TB] - [4.68 x U]
Laki-laki : BEE = 66,47 + [13,75 x BB] + [5,0 x TB] - [6.76 x U]
Ket
: BB: Berat badan (dalam kg), TB:
Tinggi Badan (dalam cm),
U : Umur (dalam tahun)
U : Umur (dalam tahun)
BEE
: Basal Energy Expenditure
Untuk menghitung kebutuhan total
energi = (BEE) X stress faktors.
Adapun Stress faktor untuk luka bakar berat (Severe burn) adalah 2,0.4
Pada pasien luka bakar rata tata memerlukan protein 1,2 sampai 2 gr / kg / hari, sementara untuk luka bakar mayor (major burn) membutuhkan protein
sebanyak 1,5 – 2 gr/kg/hari. Pemberian kandungan protein lebih dari 2 gr/kg/hari tidak akan meningkatkan sintesis protein lebih jauh
lagi dan protein tersebut hanya digunakan untuk kalori.2
Karbohidrat
merupakan bahan bakar yang lebih disukai untuk sebagian besar jaringan,
tetapi harus ada batas yang jelas dalam jumlah penggunaan karbohidrat, terutama pada
pasien dengan luka bakar hypermetabolic atau septik. Kelebihan
karbohidrat hanya akan menyebabkan pembentukan
lemak, yang akan membutuhkan
energi yang lebih besar dalam proses
memproduksinya. Selain itu peningkatan karbonhidrat akan mengarah ke
pada peningkatan produksi karbon dioksida.4 Untuk
mencegah hal itu terjadi maka dibutuhkanlah suatu nutrient mix. Secara optimum komposisi pencampuran makronutrien (macronutrient mix) adalah sebagai
berikut; karbonhidrat 55-60 %, lemak 20-25 %, protein 20-25 %.2
Pemberian makanan enteral
berdasarkan beberapa study telah menunjukan dapat melindungi usus dari tranlocation toksis dan mikroorganisme, yang juga dapat
mengurangi angka kejadian sepsis.14
REFERENSI
- Moenadjat RY. Luka bakar pengetahuan klinis praktis.Cet 1. Jakarta: Farmedia ; 2000
- Tim Bantuan Medis 110 [Online]. 2011 Feb 10 [cite 2011 Nov 14]; Available from : URL: http://www.tbm110.org/artikel-medis/manajemen-luka-bakar.
- Arif SK. Panduan tatalaksana terapi cairan perioperatif: terapi cairan pada luka bakar berat. Jakarta : PP IDSAI; 2010. p. 193-205.
- Burnsurgery.org: Educating the burn care professionals worldwide [Online]. [cite 2011 Feb 10]; [10 screens]. Available from: URL: http://www.burnsurgery.org/
- Wolf S, Herndon DN. Burn care. Texas (USA): Landes Bioscience; 1999. p. 245-261.
- Shehan Hettiaratchy, Peter Dziewulski. ABC of burns. BMJ 2004;328:1366–8 BMJ 2004;328:1555–7
- Tricklebank S. Modern trends in fluid therapy for burns. Department of Anaesthesia, Queen Victoria Hospital, UK. Burns Journal 2008 Sep 4; 35: 757-767.
- Mlcak RP, Suman OE, Herndon DN. Respiratory management of inhalation injury. Burns Journal 2006 Jul 26; 33: 2-13.
- Hettiaratchy s, Papini R. Initial management of a major burn: II—assessment and resuscitation, BMJ 2004;329:101–3.
- Hettiaratchy s, Papini R. Initial management of a major burn: I—overview, BMJ 2004;328:555–7.
- Wood F, Hei LE, Crompton D, Sweeney M, Rosenthal D, Maitz P. Burns – assessment and triage. Australian Rural Doctor. 2006 Jun 19; 17-20.
- Kinsella J, Rae CP. Clinical pain management – acut pain. In : Macintyre PE, editor. Akut pain management in burns. 2nd rd. London: Hodder & Stoughton Limited ; 2008. p.399-405.
- Rab H. Agenda gawat darurat (Critical Care) : pengetasan kritis pada intergumenter- luka bakar. Bandung : PT. Alumni; 1998. p.963-973.
- Allman KG, Mclndoe AK, Wilson IH. Emergencies in anesthesia. New York: Oxford University Press; 2006. p.334-337.
- Gallagher JJ, Herdon DN. Controversy in inhalation injury and burn resuscitation. Emergency Medicine & Critical Care Review,2007;1-3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar