Sabtu, 24 Desember 2011

Nyeri dan Penatalaksanaannya

DEFINISI NYERI 1
Menurut The International Association for the Study of Pain(IASP) tahun 1979, yang diajukan oleh Merskey, seorang psikiater sebagai berikut: “Painis the unpleasant sensory and emotional experience,associated with actual or potensial tissue damage or described in term of such damage” (Nyeri adalah rasa inderawi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi rusak atau sesuatu yang tergambarkan seperti itu).
Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian antara lain:
  1. Nyeri adalah perasaan inderawi yang tidak menyenangkan, artinya unsur utama yang harus ada untuk disebut nyeri, adalah rasa tidak menyenangkan.
  2. Nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, artinya persepsi nyeri seseorang ditentukan oleh pengalamannya dan status emosionalnya. Persepsi nyeri sangat bersifat pribadi dan subjektif. Oleh karena itulah maka, suatu rangsang yang sama dapat dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda, bahkan suatu rangsang yang sama dapat dirasakan berbeda oleh satu orang karena keadaan emosionalnya yang berbeda.
  3. Nyeri terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain associated with actual tissue damage). Nyeri ini disebut sebagai nyeri akut (acute pain) yang diharapkan menghilang seiraima dengan proses penyembuhannya.
  4. Nyeri dapat juga terjadi oleh suatu rangsang yang cukup kuat (rangsang noksius), yang berpotensi merusak jaringan. Nyeri ini disebut nyeri fisiologik (physiological pain), fungsinya untuk membangkitkan refleks proteksi guna mencegah terjadinya kerusakan jaringan lebih lanjut.
  5. Nyeri dapat juga terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan, tetapi tergambarkan seolah-olah terdapat kerusakan jaringan yang hebat (pain described in term such damage). Nyeri yang terakhir ini justru timbul setelah penyembuhan usai, dan jika berlangsung lebih dari 3 bulan digolongkan sebagai nyeri kronik (chronic pain).
MEKANISME NYERI 1
Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri, sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektro fisiologik yang secara kolektif disebut nosisepsi (nociception). Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada suatu nosisepsi, yakni:
  1. Proses Transduksi (transduction), merupakan proses di mana suatu rangsang nyeri (noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktifitas listrik, yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve endings). Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik, suhu, ataupun kimia.
  2. Proses Transmisi (transmission), dimaksudkan sebagai perambatan rangsang melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi.
  3. Proses Modulasi (modulation), adalah proses di mana terjadi interaksi antara sistem analgesilk endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Jadi merupakan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang. Analgesik endogen ini meliputi endorfin, serotonin, dan noradrenalin yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri pada kornu posterior. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup atau terbuka dalam menyalurkan asupan nyeri. Peristiwa terbuka dan tertutupnya pintu gerbang tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat pribadi dan subjektif pada setiap orang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya,pendidikan, atensi, serta makna atau arti dari suatu rangsang.
  4. Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
  Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf Aδ yang bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat). Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut Aδ hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan serabut C, peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebgai polymodal nociceptors. Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut Aδ di presinaps adalah asam glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang merupakan polipeptida. Hal ini menjadi penting sehubungan dengan mekanisme nyeri pascabedah. Selama pembedahan trauma pembedahan merupakan stimulus noksius yang akan diterima dan dihantar oleh kedua saraf tersebut, sedangkan pascabedah (proses inflamasi) merupakan rangsang noksius yang hanya diterima dan dihantar oleh  serabut C. Dengan kata lain nyeri pascabedah akan didominasi oleh serabut C.
                      

Sensitisasi Perifer

 Kerusakan jaringan akibat suatu pembedahan selain akan menyebabkan terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.
  Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya suatu soup yang mengandung mediator inflamasi seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan  sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas

Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti enzim siklooksigenase.

Sensitisasi Sentral
Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut Aδ dan serabut C. Keduanya disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan  signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri. Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai sensitisasi sentral atau wind up. Wind-up” ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang kaku tetapi seperti plastik, artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.



Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini telah diketahui bahwa  suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit disembuhkan
Perubahan lain yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan sensitisasi sentral adalah:
  • Pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif.
  • Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang.  
  • Ketiga, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang  secara normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif.
Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf  perifer pada ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri. Jika secara fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious  dengan neuron-neuron  yang secara normal menerima input nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.
Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri. Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer. Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme “wind-up dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian antagonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opioid  bila diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekstrometorfan juga merupakan penyekat reseptor NMDA.



Gambar , dikutip dari Cousin MJ, Power I, Smith G.


Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak sel saraf itu sendiri.
Perubahan yang digambarkan diatas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian,  obat-obat yang dapat menghambat produksi dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri.
Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya “wind-up”. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri pascabedah adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar pengelolaan nyeri pascabedah adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat NSAID (COX1 atau COX2), sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral.

KLASIFIKASI NYERI

1.  Nyeri Akut
Menurut Federation of State Medical Boards of the United States; acute pain is the normal, predicted physiological response to an adverse chemical, thermal or mechanical stimulus, associated with surgery trauma and acute illness. (Nyeri akut adalah respon fisiologik normal yang diramalkan terhadap rangsang kimiawi, panas atau mekanik menyusul suatu pembedahan, trauma, dan penyakit akut). Ciri khas suatu nyeri akut adalah nyeri yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang nyata dan akan hilang seirama dengan proses penyembuhannya.1

Dikenal 3 macam nyeri akut yaitu :2
  1. Nyeri somatik luar / cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit, subkutis, mukosa. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar), contoh :  terkena ujung pisau atau gunting
  2. Nyeri somatik dalam / deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari otot rangka,tulang, sendi, jaringan ikat, pembuluh  darah, tendon dan syaraf. Nyeri menyebar dan lebih lama dari pada nyeri somatik luar,  contoh : sprain sendi
  3. Nyeri visceral, yaitu nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam, stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen, cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan.
Prototipe dari nyeri akut adalah nyeri pascabedah. Analgesia balans merupakan teknik penaganan nyeri pasca bedah yang sangat ideal dan efektif sebab dapat menghasilkan pain free dan stress free. Analgesia balans adalah suatu teknik pengelolaan nyeri pascabedah yang menggunakan pendekatan multimodal di mana, mekanisme nyeri dihambat atau ditekan pada setiap tahap pada proses nosisepsi (transduksi, transmisi dan modulasi). Jadi nyeri dihambat pada tiga tempat secara bersamaan, sehingga terjadi hambatan yang bersifat sinergik. 1

2. Nyeri Kronik 1
  The International Association for Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri kronik sebagai “pain that persists beyond normal tissue healing time, which is assumed to be three months” (nyeri kronik adalah nyeri yang menetap melampaui waktu penyembuhan normal yakni 3 bulan).
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nyeri kronik adalah nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas. Oleh karena itu nyeri kronik biasa disebut sebagai chronic non malignant pain. Dikenal tiga macam bentuk nyeri kronik yakni:
  1. Nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai, misalnya complex regional pain syndrom yang dahulu dikenal sebagai reflex symphathetic dystrophy, post herpetic neuralgia, phantom pain,neurophatic pain, dan lain-lain.
  2. Nyeri yang timbul tanpa penyebab yang jelas, misalnya nyeri pinggang bawah (low back pain), sakit kepala, dan lain-lain.
  3. Nyeri yang didasari atas kondisi kronik, misalnya osteoartheritis atau reumathoid arthritis, dan lainlain. Sangat subjektif dan dipengaruhi oleh kelakuan, kebiasaan dan lain-lain.
3. Nyeri Kanker 1
Dibandingkan dengan nyeri akut atau nyeri kronik, maka masalah nyeri kanker jauh lebih rumit. Hal itu disebabkan karena nyeri kanker tidak saja bersumber dari faktor fisik akibat adanya kerusakan jaringan, tetapi juga diperberat oleh faktor nonfisik berupa faktor psikologis, sosial budaya dan spiritual, yang secara keseluruhan disebut NYERI TOTAL. Dengan kata lain, NYERI TOTAL dibentuk oleh berbagai unsur yakni, biopsikososio-kulturo-spiritual. Oleh karena itu, pengelolaan nyeri kanker yang baik membutuhkan pendekatan multidisplin yang melibatkan sernua disiplin ilmu yang terkait. Bahkan lebih dari itu, anggota keluarga penderita pun harus dilibatkan utamanya dalam perawatan yang tidak kurang pentingnya.
Nyeri kanker dapat dibagi atas 2 kategori :
a.  Nyeri Organik:
  • Nyeri nosiseptif : Nyeri somatik (kulit, otot, tulang dan jaringan lunak) dan  Nyeri visceral (organ thoraks dan abdomen)
  • Nyeri  non nosiseptif : Nyeri neuropatik (deafferentiation pain) akibat adanya penekanan dan kerusakan jaringan saraf.
b. Nyeri Pysikologik

Menurut WHO, dikenal sebagai three step ladder, yang pemberiannya harus : by the mouth, by the clock, by the ladder. Dimulai dari step ladder I, diikuti step II dan III

Analgesik Nonopioid
  • Usual analgesics : Aspirin, Acetominophen
  • NSAIDs ( Non-selective COX Inhibitors ):Ibuprofen, Ketoprofen, Naproxen, Diclofenac Sodium, Indomethacin, Ketorolac, Piroxicam, Mefenamic acid.
  • NSAIDs ( Selective COX-2 Inhibitors ): Celecoxib, Parecoxib, Rofecoxib, etc.

Opioids untuk Moderate Pain
  • Weak Opioid : Codein (biasanya digunakan sebagai  antitussive, Konstipasi merupakan efek yang sering terjadi)
Opioids untuk Severe Pain
  • Morphine-Like Agonist :  Morphine, Levorphanol, Codein, Hydromorphine, Methadone, Oxycodone, Fentanyl transdermal, Meperidine
  • Partial Agonist  : Buprenorphine
  • Mixed Agonist – Antagonist : Pentazocine, Nalbuphine, Butorphanol
 Obat Adjuvant
  • Corticosteroids    : Dexamethasone, Prednison
  • Anticonvulsant     : Carbamazepine, Gabapentin, etc
  • Antidepressant     : Amytriptiline, Doxepine
  • Neuroleptics        : Methotrimeprazine
  • Antihistamines     : Hydroxyzine
  • Local anesthetic/antiarrhytmics : Lidocaine
  • Psycho-stimulans : Dextroamphetamine
  • Laxatives : Bisacodyl, Lactulose, etc
  • Antiemetics : Droperidol, Metoclopropamide, etc
Formula in RSWS
·  Moderate pain
Acetaminophen/Aspirin                                      500 mg
Codein                                                                  20 mg
Dulcolax                                                                ¼ tab
     mf pulv dtd XXX
     6 dd I cap
     06.00                              18.00
     10.00                              22.00
     14.00                              02.00

+  adjuvant
    
·  Severe pain
MST                                   5 - 10 mg
        2 dd I tab
Celebrex                         100–200 mg
        2 dd I cap

   06.00      18.00




+  adjuvant

NYERI NEROPATI / NYERI KRONIK
Klasifikasi 3
Berdasarkan Letak Nyeri
  1. Nyeri Neuropatik Perifer. Pada nyeri neuropatik perifer Letak lesi di sistem perifer, mulai dari saraf tepi, ganglion radiks dorsalis sampai ke radiks dorsalis.  Contoh: Diabetik Periferal Neuropati (DPN), Post Herpetik Neuralgia (PHN), Trigeminal neuralgia, CRPS tipe I, CRPS tipe II.
  2. Nyeri Neuropatik Sentral. Letak lesi dari medula spinalis sampai ke korteks Contoh: Nyeri post stroke, Multiple Sclerosis, Nyeri post trauma medula spinalis
 
Berdasarkan waktu terjadinya
  1. Nyeri Neuropatik Akut. Nyeri yang dialami kurang dari 3 bulan. Contoh Neuralgia herpetika, Acute Inflammatory Demyelinating Neurophaty.
  2. Nyeri Neuropatik Kronik. Nyeri yang dialami lebih dari 3 bulan.Nyeri neuropatik kronis juga dibedakan menjadi:
       a. Malignan (nyeri keganasan, post operasi, post radioterapi, post chemoterapi )
       b. Non Malignan (neuropati diabetika, Carpal Tunnel Syndrome, neuropati toksis, avulsi pleksus, 
           trauma medula spinalis, neuralgia post herpes)

Berdasarkan Etiologi
1.  Saraf Perifer
•  Trauma: neuropati jebakan, kausalgia, nyeri perut, nyeri post torakotomi
•  Mononeuropati: Diabetes, invasi saraf/ pleksus oleh keganasan, Iradiasi pleksus, penyakit jaringan ikat (Systemic Lupus Erytematosus, poliartritis nodusa)
•  Polineuropati: Diabetes, alkohol, nutrisi, amiloid, penyakit Fabry, isoniasid, idiopatik. 
2. Radiks dan ganglion : Diskus (prolaps) arakhnoiditis, avulsi radiks, rizotomi operatif, neuralgia post herpes, trigeminal neuralgia, kompresi tumor.
3. Medula Spinalis : Transeksi total, hemiseksi, kontusio atau kompresio, hematomieli, pembedahan, syringomieli, multiple sclerosis, Arteri-Vena Malformasi, Defisiensi Vit B12, mielitis sifilik.
4.  Batang Otak : Sindroma Wallenberg, Tumor, Syringobulbi, Multiple Sclerosis, Tuberkuloma.
5.  Talamus Infark :  hemoragik, tumor, lesi bedah pada nukleus sensorik utama.
6.  Korteks / Sub korteks Infark : Arteri-Vena Malformasi, Truma dan tumor.

Berdasarkan asalnya:
1.  Nyeri nosiseptif (nociceptive pain)
Nyeri perifer. Asal : kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dll → nyeri akut, letaknya lebih terlokalisasi.
Nyeri visceral / central. Lebih dalam, lebih sulit dilokalisasikan letaknya.
2.  Nyeri neuropatik

Etiologi
Penyebab nyeri neuropatik yang paling sering : 4
Nyeri neuropatik perifer
  • Poliradikuloneuropati demielinasi inflamasi akut dan kronik
  • Polineuropati alkoholik
  • Polineuropati oleh karena kemoterapi
  • Sindrom nyeri regional kompleks (complex regional pain syndrome)
  • Neuropati jebakan (misalnya, carpal tunnel syndrome)
  • Neuropati sensoris oleh karena HIV
  • Neuralgia iatrogenik (misalnya, nyeri post mastektomi atau nyeri post thorakotomi)
  • Neuropati sensoris idiopatik
  • Kompresi atau infiltrasi saraf oleh tumor
  • Neuropati oleh karena defisiensi nutrisional
  • Neuropati diabetik
  • Phnatom limb pain
  • Neuralgia post herpetik
  • Pleksopati post radiasi
  • Radikulopati (servikal, thorakal, atau lumbosakral)
  • Neuropati oleh karena paparan toksik
  • Neuralgia trigeminus (Tic Doulorex)
  • Neuralgia post traumatik
Nyeri neuropatik sentral
  • Mielopati kompresif dengan stenosis spinalis
  • Mielopati HIV
  • Multiple sclerosis
  • Penyakit Parkinson
  • Mielopati post iskemik
  • Mielopati post radiasi
  • Nyeri post stroke
  • Nyeri post trauma korda spinalis
  • Siringomielia
Penatalaksanaan 6
Hampir sebagian besar nyeri neuropatik tidak berespon terhadap NSAID dan analgesik opioid. Terapi utamanya adalah the tricyclic antidepressants (TCA's), antikonvulsan dan systemic local anesthetics. Agen farmakologi yang lain: corticosteroids, topical therapy dengan substance P depletors, autonomic drugs dan NMDA receptor antagonist.  Obat-obatan yang banyak digunakan sebagai terapi nyeri neuropati adalah anti depresan trisiklik dan anti konvulsan karbamasepin.
Terapi Farmaka
1.  Anti depresan
Dari berbagai jenis anti depresan, yang paling sering digunakan untuk terapi nyeri neuropati adalah golongan trisiklik, seperti amitriptilin, imipramin, maprotilin, desipramin. Mekanisme kerja anti depresan trisiklik (TCA) terutama mampu memodulasi transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE). Anti depresan trisiklik menghambat pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan noradrenalin oleh reseptor presineptik. Disamping itu, anti depresan trisiklik juga menurunkan jumlah reseptor 5-HT (autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu meningkatkan konsentrasi 5-HT dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin juga meningkatkan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi aktivitas adenilsiklasi. Penurunan aktivitas adenilsiklasi ini akan mengurangi siklik adenosum monofosfat dan mengurangi pembukaan Si-Na. Penurunan Si-Na yang membuka berarti depolarisasi menurun dan nyeri berkurang.
2.  Anti konvulsan
Seperti diketahui nyeri neuropati timbul karena adanya aktifitas abnormal dari sistem saraf dan antikonvulsan mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral. Nyeri neuropati dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat menyebabkan nyeri spontan dan paroksismal. Reseptor NMDA dalam influks Ca2+ sangat berperan dalam proses kejadian wind-up pada nyeri neuropati. Prinsip pengobatan adalah penghentian proses hiperaktivitas terutama dengan blok Si-Na atau pencegahan sensitisasi sentral dan peningkatan inhibisi.
·    Karbamasepin dan Okskarbasepin
Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium channels (VSSC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi dari neuron.
·    Lamotrigin
Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui VSCC, merubah atau mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari neuron presinaptik, meningkatkan konsentrasi GABA di otak. Khusus untuk nyeri neuropati penderita HIV, digunakan lamotrigin sampai dosis 300 mg perhari. Efek samping utama adalah skin rash, terutama bila dosis ditingkatkan dengan cepat.
·    Gabapentin
Akhir-akhir ini, penggunaan gabapentin untuk nyeri neuropati cukup populer mengingat efek yang cukup baik dengan efek samping minimal. Khusus mengenai gabapentin, telah banyak publikasi mengenai obat ini diantaranya untuk nyeri neuropati diabetika, nyeri pasca herpes, nyeri neuropati sehubungan dengan infeksi HIV, nyeri neuropati sehubungan dengan kanker dan nyeri neuropati deafferentasi. Gabapentin mempunyai kemampuan untuk masuk kedalam sel untuk berinteraksi dengan reseptor α2β yang merupakan subunit dari Ca2+-channel.

Terapi Blok Transmisi
  1. Irreversibel, yaitu operasi dan destruksi saraf.
  2. Reversibel, yaitu injeksi anestesi lokal
Terapi Alternatif
  1. Stimulator
  2. Akupuntur
  3. Hipnosis
  4. Psikologi
ISTILAH-ISTILAH YANG BERKAITAN KHUSUS DENGAN NYERI
  • Nyeri Neuropatik : Nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer sistem saraf.
  • Nyeri Neuropati : Berbeda dari nyeri nosiseptif, Nyeri biasanya bertahan lebih lama dan merupakan proses input sensorik yang abnormal oleh sistem saraf perifer atau CNS. Biasanya lebih sulit diobati. Mekanismenya mungkin karena dinamika alami pada sistem saraf. Pasien mungkin akan mengalami: rasa terbakar, tingling, shock like, shooting, hyperalgesia atau allodynia.
  • Nyeri Neurogenik : Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi , disfungsi atau gangguan sementara primer pada sistem saraf pusat atau perifer.
  • Neuralgia : Nyeri pada daerah distribusi saraf.
  • Neuritis : Inflamasi pada sistem saraf. 
  • Neuropati : Gangguan fungsi atau perubahan patologis pada saraf.
  - Jika mengenai 1 saraf disebut mononeuropati
  - Pada beberapa saraf disebut mononeuropati multipleks
  - Bersifat difus dan bilateral disebut polineuropati
  • Alodinia : Nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri.
  • Hiperalgesia : Respon yang berlebihan terhadap stimulus yang secara normal menimbulkan nyeri.
  • Hiperestesia : Meningkatnya sensitivitas terhadap stimulus, tidak termasuk didalamnya sensasi khusus (indera lain).
  • Hiperpatia : Sindroma dengan nyeri bercirikan reaksi nyeri abnormal terhadap stimulus, khususnya terhadap stimulus berulang, seperti pada peninggian nilai ambang.
  • Disestesia : Sensasi abnormal yang tidak menyenangkan, baik bersifat spontan maupun dengan pencetus.
  • Parestesia : Sensasi abnormal, baik bersifats pontan maupun dengan pencetus.
  • Analgesia :Tidak adanya respon nyeri terhadap stimulus yang dalam keadaan normal menimbulkan nyeri.
  • Hipoalgesia : Berkurangnya respon nyeri terhadap stimulus yang dalam keadaan normal menimbulkan nyeri.
  • Anestesia : Hilangnya sensitivitas terhadap stimulus tidak termasuk sensasi khusus (indera lain).
  • Hipoestesia :Menurunnya sensitivitas terhadap stimulus, kecuali sensasi khusus (indera lain).
  • Anestesia Dolorosa : Nyeri pada area atau regio yang semestinya bersifat anestetik.
  • Kausalgia : Sindroma yang timbul pada lesi saraf pasca trauma yang ditandai nyeri seperti terbakar, alodinia, hiperpatia yang menetap, seringkali bercampur dengan disfungsi vasomotor serta sudomotor dan kemudian diikuti oleh gangguan trofik.
  • Nyeri Sentral : Nyeri yang didahului atau disebabkan atau disfungsi primer pada sistem saraf pusat.
  • Nyeri Neuropatik Perifer : Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer sistem saraf perifer.
  • Nosiseptor : Serabut syaraf yang mentransmisikan nyeri.
  • Non-nosiseptor : Serabut syaraf yang biasanya tidak mentransmisikan nyeri.
  • System nosiseptif : System yang teribat dalam transmisi dan persepsi terhadap nyeri.
  • Stimulus Noksius : Stimulus yang menimbulkan kerusakan terhadap jaringan tubuh normal.
  • Nilai Ambang Nyeri : Intensitas stimulus terkecil yang dapat dirasakan sebagai nyeri.
  • Tingkat Toleransi Nyeri : Tingkat nyeri terbesar (intensitas maksimum) yang mampu ditoleransi/ditahan subyek.
  • Trigger Point : Titik dalam satu area tertentu pada otot dan/ atau fasianya yang menimbulkan pola nyeri menjalar yang khas, dapat berupa kesemutan atau baal sebagai reaksi terhadap tekanan yang agak lama.
  • Tender Point : Nyeri lokal yang timbul pada otot, ligamentum, tendo atau jaringan periosteum pada penekanan yang agak lama.

REFERENSI
  1. Tanra AH. Nyeri Suatu Rahmat Sekaligus Sebagai Tantangan. Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005
  2. Latief SA. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2 ed. Bag Anestesi FKUI, 2007.p:74-83.
  3. Meliala L, Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain. [serial online] Oktober 2007 [cited 2008 February 2008] : [4 screens]. Available from: URL : http://www.dexa-medica.com
  4. Nicholson B. Differential Diagnosis: Nociceptive and Neuropathic Pain. The American Journal of Managed Care. Juni 2006. p256-61.
  5. Romanoff ME. Neuropathic Pain. In: Ramamurthy S, Alanmanou E, Rogers JN. Decision Making in Pain Management. 2nd ed. Philadelphia: Mosby, 2006: p86-89.
  6. Argoff CE. Managing Neuropathic Pain: New Approaches For Today's Clinical Practice. [online] 2002 [cited 2008 February 8] : [31 screens]. Available from:
  7. URL : http://www.medscape.com/viewprogram/2361.htm


















SKALA NYERI

1 komentar: