Sabtu, 31 Desember 2011

Anestesi pada Laparaskopi


EFEK FISIOLOGI
Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa efek meliputi insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan pneumoperitonium, perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO2 dan juga pengaruh refleks peningkatan tonus vagus yang dapat berkembang menjadi aritmia. Efek fisiologi dari laparoskopi ini meliputi:

Efek Kardiovaskular
Prinsip terjadinya respon fisiologis ini adalah peningkatan resistensi vaskular sistemik (SVR), tekanan pengisian miokardium, bersama – sama dengan penurunan awal cardiac index (CI), dengan perubahan yang kecil dari frekuensi denyut jantung (HR).

Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut : diawali dengan terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas CO2 intra peritoneum dan selanjutnya diikuti dengan pemulihan. Joris dkk. menemukan penurunan yang signifikan dari cardiac index (30 – 40%) setelah induksi anestesi dan kebalikan posisi trendelenburg (head-up position), selanjutnya terjadinya penurunan cardiac index sampai 50% setelah insuflasi intra peritoneum. Kembalinya cardiac index secara bertahap setelah terjadinya penurunan SVR. Fraksi ventrikel kiri menurun sesaat setelah insuflasi intraperitoneum dan kembali ke nilai awal setelah 30 menit pneumoperitoneum.
Respon hemodinamik terhadap insuflasi intraperitoneum tergantung pada interaksi beberapa faktor 2,4 :
1.  Faktor penderita 2,4,16
Faktor yang berasal dari penderita yang mempengaruhi hemodinamik adalah ststus kardiorespirasi pasien yang ada dan kondisi intravaskular sebelum dimulainya prosedur laparoskopi.
Pada pasien penyakit jantung yang menjalani laparoskopi, pneumoperitoneum menyebabkan perubahan hemodinamik yang lebih besar karena meningkatnya SVR sehingga meningkatkan afterload, akhirnya akan menurunkan cardiac output yang lebih besar.
Pada pasien dengan penyakit paru berat terjadi gangguan ventilasi – difusi, dengan adanya pneumoperitoneum CO2 akan menyebabkan penurunan cardiac output. Pasien ini juga membutuhkan ventilasi semenit yang lebih besar dan peak airway pressure yang lebih tinggi untuk mencapai normokarbia sehingga akan menyebabkan penurunan cardiac output yang lebih besar.
Pada pasien dengan volume intravaskular yang kurang (hipovolemik) sebelum pneumoperitoneum memiliki cardiac output yang sudah kecil dan SVR yang tinggi serta tekanan arteri rata – rata (MAP) yang tinggi. Dengan pneumoperitoneum akan terjadi peningkatan SVR dan penurunan cardiac output yang lebih besar.
2.  Tekanan intra abdomen (pneumoperitoneum) 1,2,4,14
Insuflasi ruang intra peritoneum dengan dengan gas CO2 menghasilkan pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO2 dan peningkatan refleks tonus vagal yang bisa berkembang menjadi aritmia.
Peningkatan tekanan intra abdomen berhubungan dengan penekanan pembuluh darah vena yang awalnya menyebabkan peningkatan preload sesaat diikuti secara perlahan dengan penurunan preload. Penekanan pembuluh darah arteri meningkatkan afterload dan biasanya secara nyata mengakibatkan peningkatan SVR. Cardiac Index biasanya menurun dan besarnya penurunan ini sebanding dengan besarnya tekanan intraabdominal. Pada pasien sehat yang akan menjalani laparoskopi kolesistektomi, Dexter dkk. dengan menggunakan Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac output menurun maksimal yaitu 28% saat tekanan insuflasi peritoneum 15 mmHg tetapi dapat dipelihara pada tekanan insuflasi 7 mmHg. Sebagian besar peneliti mendapatkan terjadinya penurunan cardiac output sebesar 10 – 30% selama insuflasi peritoneum baik pada posisi head down atau head up. Ishizaki dkk. merekomendasikan batas tekanan intraabdomen selama insuflasi oleh CO2 dengan efek hemodinamik yang minimal adalah ≤ 12 mmHg.
Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung, tekanan vena sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya meningkat ringan. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah cenderung dipaksa keluar dari abdomen masuk kedalam thoraks.
Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH2O/18 mmHg) cenderung membuat kolaps vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang akan menurunkan aliran darah balik vena dan menyebabkan penurunan cepat preload dan cardiac output pada beberapa pasien.
Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi dengan cara meningkatkan volume sirkulasi sebelum dilakukan pneumoperitoneum. Peningkatan tekanan pengisian dapat dicapai dengan pemberian cairan atau memposisikan pasien sedikit head down sebelum insuflasi peritoneum, dengan mencegah pengumpulan darah dengan pneumatic compression device, atau dengan pembalutan kaki dengan elastic bandages. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tidak mengalami penurunan yang signifikan ketika tekanan intraabdomen meningkat sampai 15 mmHg. Peningkatan SVR bisa dikoreksi dengan pemakaian obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi seperti isofluran atau obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin.
Penggunaan agonis α2-adrenergik seperti klonidin dan deksmedetomidin dan obat penghambat β mengurangi perubahan hemodinamik dan kebutuhan obat anestesi secara signifikan. Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara komplit bisa mencegah perubahan hemodinamik.
3.  Efek dari posisi pasien 1,2,4,7,11,14-16
Insuflasi intra peritoneum dengan gas CO2 pada laparoskopi kolesistektomi dilakukan dengan pasien pada posisi horizontal atau 15 - 20º trendelenburg. Posisi pasien kemudian berubah keposisi kebalikan posisi trendelenburg (head up position) dengan ditekan kelateral kiri untuk memfasilitasi retraksi fundus kandung empedu dan meminimalkan disfungsi diafragma. Perubahan posisi pada pasien dengan pneumoperitonium menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.
Pada posisi anti trendelenburg (head up position) terjadi penurunan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri, hal ini menunjukkan adanya penurunan aliran darah balik vena (venous return) atau preload, cardiac output, dan tekanan arteri rata – rata. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tetap terpelihara pada pasien sehat. Pola perubahan cardiac output dan tekanan arteri pada pasien dengan penyakit jantung ringan sampai berat mirip dengan pasien sehat. Namun secara kuantitatif perubahan ini tampak lebih jelas. Peningkatan tekanan intraabdomen dan posisi head-up mengakibatkan penurunan aliran darah vena femoralis, stasis pada vena – vena tungkai bawah, diperburuk dengan posisi litotomi dengan fleksi pada lutut merupakan predisposisi terjadinya tromboemboli.
Walaupun posisi trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral (preload), namun MAP dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hal ini merupakan respon paradoksikal yang dijelaskan dengan mediasi refleks karotis dan baroreseptor aortic yang menyebabkan vasodilatasi sistemik dan bradikardia. Perubahan volume vena sentral dan perubahan tekanan yang lebih besar pada pasien dengan penyakit arteri koroner (CAD), khususnya yang disertai dengan fungsi ventrikel yang jelek menyebabkan perburukan secara potensial dan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Posisi trendelenburg ini juga mempengaruhi sirkulasi serebral, khususnya pada pasien dengan komplians intrakranial yang rendah dan mengakibatkan peningkatan tekanan intraokular yang bisa menyebabkan perburukan pada pasien dengan glaucoma akut.
4.  Efek Absorbsi Sistemik gas CO2 1,2,4,14,16
Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena absorbs CO2. Hiperkapni menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium dan menurunkan nilai ambang aritmia. Efek antisipasi langsung vaskular terhadap hiperkapni adalah terjadinya dilatasi arterioler dan penurunan SVR, yang dimodulasi oleh respon mekanik dan neuro humoral dengan pengeluaran katekolamin.
Hiperkarbia akan menstimulasi system syaraf simpatis yang akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan resiko aritmia. Usaha untuk mengkompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau frekuensi nafas akan meningkatkan tekanan intrathoraks, selanjutnya menurunkan aliran darah balik vena dan peningkatan tekanan rata – rata arteri pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada pasien dengan penyakit restriktif paru,gangguan fungsi jantung dan kurangnya volume intravaskular.
5.  Respon neurohumoral 1,2,4,16
Mediator – mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR selama pneumoperitoneum adalah vassopresin dan katekolamin. Hiperkapnea dan pneumoperitoneum dapat menyebabkan stimulasi system syaraf simpatis dan menstimulasi pengeluaran katekolamin. Beberapa penelitian melaporkan adanya aktivasi system renin angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris dkk. menemukan menemukan peningkatan vassopresin plasma segera setelah insuflasi peritoneum. Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan aldosteron berhubungan dengan peningkatan MAP.
Katekolamin, system renin angiotensin dan khususnya vasopressin semua dikeluarkan selama pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam meningkatkan afterload. Stimulasi mekanik reseptor peritoneum juga mengakibatkan peningkatan pengeluaran vasopressin.
   
Efek Respirasi 1-4,15
1.  Efek Mekanik
Insuflasi intraperitoneum oleh CO2 untuk membuat pneumoperitoneum pada laparoskopi, mengakibatkan perubahan pada ventilasi dan respirasi yang dapat menyebabkan 4 komplikasi respirasi : empisema subkutis CO2, pneumothoraks, intubasi endobronkial, dan emboli gas.
Perubahan fungsi paru selama insuflasi abdomen meliputi penurunan volume paru, penurunan komplian paru, dan peningkatan tekanan puncak jalan nafas (peak airway pressure). Komplian paru menurun 30 – 50% pada pasien sehat, obesitas, dan ASA III – IV. Penurunan kapasitas residu fungsional (FRC) dan koplian paru yang berhubungan dengan posisi terlentang dan induksi anestesi yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi CO2 dan perpindahan ke sefalad diafragma selama posisi trendelenberg dan perubahan distribusi ventilasi dan perfusi paru yang disebabkan oleh peningkatan tekanan jalan nafas (airway pressure).
Hipoksemia oleh karena penurunan FRC pada pasien yang sehat sangat jarang selama laparoskopi. Penurunan oksigenasi arteri (hipoksemia) disebabkan penurunan FRC, atelektasis, gangguan ventilasi perfusi, dan pintasan intrapulmoner pada pasien obesitas dengan riwayat merokok yang lama atau pasien dengan penyakit paru.
Posisi trendelenburg menyebabkan perpindahan organ visceral dan diafragma. FRC, volume total paru, dan komplians paru akan menurun, bahkan bisa berkembang menjadi atelektasis. Perubahan ini biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien sehat, namun pada pasien obesitas, pasien tua, dan pasien dengan penyakit paru meningkatkan resiko hipoksemia. Posisi trendelenburg cenderung menyebabkan pergeseran trakea ke atas, sehingga pipa endotrakea yang terfiksasi dimulut bisa bermigrasi kedalam bronkus utama kanan. Pergeseran trakeobronkial ini diperbesar oleh insuflasi abdomen.
2.  Efek Pertukaran Gas – Absorbsi CO2 2,4
CO2 adalah pilihan gas untuk insuflasi pada bedah laparoskopi. CO2 tidak mudah terbakar seperti N2O, sehingga dapat digunakan secara aman untuk diatermi. Dibandingkan dengan helium, kelarutan CO2 darah lebih tinggi dan ekskresinya lewat paru menurunkan resiko efek samping emboli gas,CO2juga mudah di eliminasi, dan dosis letal lima kali dari udara. Insuflasi CO2 kedalam ruang peritonem meningkatkan CO2 arteri (PaCO2), yang akan dikompensasi dengan peningkatan ventilasi semenit.
Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada kemampuan difusinya, luas daerah absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi dinding insuflasi. Karena difusi CO2 tinggi, maka terjadi absorbsi CO2 dalam jumlah besar kedalam darah yang ditandai dengan peningkatan PaCO2. Absorbsi gas CO2 lebih besar pada insuflasi ekstraperitoneum (pelvis) daripada innsuflasi intraperitoneum. Dampak dari peningkatan PaCO2 tidak dapat diprediksi, khususnya pada pasien dengan penyakit paru berat. Wittgen dkk. meneliti terjadinya penurunan pH darah dan peningkatan PaCO2 pada pasien ASA III selama pneumoperitoneum dan pasien ini membutuhkan ventilasi semenit yang lebih tinggi dan airway pressure yang juga lebih tinggi. Nilai ETCO2 tidak berkorelasi dengan konsentrasi CO2 arteri pada pasien ini. Gradient PETCO2 masih stabil selama laparoskopi pasien ASA III. ETCO2 merupakan nilai yang tidak dapat dipercaya untuk mengetahui PaCO2 selama insuflasi CO2 pada pasien dengan penyakit paru berat.
Kelarutan CO2 yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh darah peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena rendahnya komplian paru menyebabkan peningkatan kadar CO2 arteri dan penurunan pH.
Peningkatan PaCO2 yang progresif mencapai kondisi konstan 15 – 30 menit setelah mulainya insuflasi CO2 pada pasien dengan kontrol ventilasi mekanik selama laparoskopi ginekologi dengan posisi trendelenburg atau laparoskopi kolesistektomi pada posisi head up. Peningkatan PaCO2 tergantung pada tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan anestesi lokal, PaCO2 tetap tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat. Pada anestesi umum dengan nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak mencukupi untuk menghindari hiperkapnea karena anestesi menginduksi depresi ventilasi dan peningkatan kerja pernafasan yang disebabkan oleh penurunan komplian torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam waktu 15 – 30 menit untuk mencapai PaCO2 konstan, teknik anestesi dengan menggunakan nafas spontan harus dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan intraabdomen yang rendah.
Penyebab peningkatan PaCO2 saat pneumoperitoneum adalah multifaktorial yaitu :
  1. Absorbsi CO2 dari ruang peritoneum. 
  2. Gangguan ventilasi dan perfusi oleh faktor – faktor mekanik seperti distensi abdomen, posisi pasien, dan kontrol ventilasi mekanik, penurunan cardiac output. 
  3. Depresi ventilasi yang disebabkan oleh obat – obat premedikasi dan anestesi yang terjadi pada pasien dengan nafas spontan. 
  4. Peningkatan metabolisme (anestesi yang kurang dalam). 
  5. Kejadian yang tidak diinginkan, seperti emfisema CO2 subkutis atau dalam ruang tubuh, kapnothorak, emboli CO2, intubasi bronkus.
Mekanisme utama peningkatan PaCO2 pada pasien sehat selama pneumoperitoneum CO2 lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek ventilasi mekanik akibat peningkatan tekanan intraabdomen. Tetapi pada pasien dengan masalah kardiorespirasi, perubahan ventilasi juga bertanggung jawab meningkatkan PaCO2. PaCO2 harus dipertahankan dalam rentang fisiologis dengan menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada kondisi khusus seperti emfisema subkutis CO2, koreksi peningkatan PaCO2 bisa dengan mudah dicapai dengan peningkatan 10 – 25% ventilasi alveolar.

Efek Pada Sistem Lain1,2,4,14
Sistem Gastrointestinal
Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi untuk terjadinya sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat peningkatan tekanan intragastrik karena peningkatan IAP. Namun, selama pneumoperitoneum, tonus sfinkter esophagus inferior jauh lebih kuat daripada tekanan intragastrik dan peningkatan tekanan ini membatasi insidensi regurgitasi.

Sirkulasi Mesenterik
Pembuluh darah visceral adalah yang pertama-tama mengalami kompresi pada peningkatan IAP, sehingga mengakibatkan disfungsi organ karena kolapsnya pembuluh darah kapiler dan vena-vena kecil. Hiperkapnia akibat simpatotonia, kompresi mekanis organ-organ abdominal, posisi reverse Trendelenberg, dan pelepasan vasopressin adalah beberapa faktor yang turut mengakibatkan menurunnya sirkulasi mesenterik.

Sirkulasi Hepatoportal
Peningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran balik pada pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin, angiotensin, dan vasopressin) selama pneumoperitoneum akan semakin meningkatkan tahanan vaskuler mesenteric sehingga mengakibatkan penurunan yang berarti pada volume darah hepatic dan splanknik. IAP > 20 mmHg menyebabkan penurunan 60% pada aliran darah vena porta sehingga mengakibatkan disfungsi hepar, yang akan menetap lebih lama pada periode postoperative. Terdapat penurunan suplai darah secara menyeluruh ke semua organ, kecuali glandula adrenal.

Fungsi Ginjal
Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada curah jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran darah vena renalis yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH plasma dan peningkatan aktivitas rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan resistensi vaskuler ginjal sehingga mengakibatkan penurunan tekanan filtrasi dan produksi urine.

Tekanan Intrakranial dan Tekanan Intraokuler
Peningkatan IAP akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan spinal lumbal dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga meningkatkan tekanan intrakranial dan intraokuler. Hiperkapnia menyebabkan refleks vasodilatasi pada sistem saraf pusat dan hal ini juga  turut meningkatkan tekanan intrakranial.

ANESTESI PADA LAPAROSKOPI 1-3,5
Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani pembedahan laparoskopi harus mengakomodasi kebutuhan pembedahan dan sesuai dengan perubahan fisologis yang terjadi selama pembedahan. Peralatan pemantauan disediakan untuk deteksi dini komplikasi. Pemulihan anestesi harus cepat dengan efek residual yang minimal, dan antisipasi kemungkinan prosedur laparoskopi berubah menjadi laparotomi.

Evaluasi Pasien Preoperasi Dan Premedikasi 1,2,5,8,16
Kontra indikasi medis pembedahan laparoskopi adalah relatif. Pembedahan laparoskopi telah berhasil dilakukan pada pasien yang mendapat antikoagulan, wanita hamil, dan obesitas morbid.
Pneumoperitoneum tidak dikehendaki pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial (tumor, hydrocephalus, trauma kepala), hipovolumia, ventrikuloperitoneal shunt, dan peritoneojugular shunt. Pneumoperitoneum dapat dilakukan secara aman pada pasien dengan shunt ini, dengan melakukan klem pada shunt sebelum insuflasi peritoneum. Efek terhadap tekanan intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien glaucoma. Laparoskopi tanpa gas dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus ini.
Oleh karena efek samping peningkatan tekanan intraabdominal pada fungsi ginjal, pasien dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian khusus untuk mengoptimalkan hemodinamik selama pneumoperitoneum, dan menghindari penggunaan obat – obat nefrotoksik. Pada pasien dengan penyakit respirasi, laparoskopi lebih dipilih dibandingkan dengan laparotomi oleh karena disfungsi respirasi pasca operasi lebih ringan. Efek positif ini harus dipertimbangkan dengan resiko terjadinya pneumothorak selama pneumoperitoneum dan resiko ketidakadekuatan pertukaran gas yang disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi.
Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital dan tingginya status ASA mungkin bisa memprediksi resiko pasien akan mengalami hiperkapnea dan asidosis selama laparoskopi kolesistektomi. Hiperkapnea dan asidosis yang persisten mungkin memerlukan penghilangan insuflasi dari pneumopertoneum, penurunan tekanan insuflasi ataukonversikan ke prosedur terbuka.
Karena kemungkinan terjadinya stasis vena pada tungkai bawah selama laparoskopi, profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan memberikan tromboprofilaksis low-molecular-weight heparin (LMWH) seperti fragmin heparin sodium 2500 – 5000 IU atau Clexane enoxaparin sodium 20 – 40 mg subkutan preoperasi dan pasca operasi, knee-length graduated compression elastic stocking selama perawatan di rumah sakit, dan intermiten pneumatic calf compression intraoperasi. LMWH diberikan sekali malam hari sebelum pembedahan dan diteruskan sampai pasien keluar dari rumah sakit.
Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan untuk pemulihan cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dan opioid dapat bermanfaat mengurangi nyeri pasca operasi. Penggunaan klonidin dan deksmedetomidin menurunkan respon stress intraoperasi dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. Premedikasi anxiolitik (benzodazepin) biasanya tidak perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.
Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi saat terjadi perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum dan posisi pasien, khususnya pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel. Pasien dengan gagal jantung kongestif yang berat dan insufisiensi katup yang terminal lebih cenderung mengalami komplikasi kardiak daripada pasien denganpenyakit jantung iskemik selama laparoskopi. Untuk pasien seperti ini keuntungan laparoskopi pasca operasi harus dipertimbangkan dengan resiko intraoperasi dalam menentukan pilihan apakah laparotomi atau laparoskopi.

Teknik Anestesi 1,2,4-6,15
Pendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi anestesi lokal dengan sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan anestesi umum. Pemilihan teknik anestesi tidak merupakan penentu dalam outcome pasien.
Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik lain, anestesi umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik yang paling aman untuk operasi laparoskopi.
Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat (sterilisasi tuba perlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat dan punya motivasi. Walaupun pemulihan pasca operasi cepat, namun perasaan tidak enak/nyaman pada pasien, dan visualisasi organ – organ intraabdomen yang tidak optimal merupakan pengecualian penggunaan teknik anestesi lokal ini untuk laparoskopi kolesistektomi.
Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi epidural dan spinal. Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi tunggal karena pada operasi laparoskopi membutuhkan level blok yang tinggi, perubahan posisi yang ekstrem, dan adanya pneumoperitoneum yang bisa menyebabkan gangguan mekanik respirasi. Laparoskopi ini membutuhkan blok pada level yang tinggi untuk mendapat relaksasi otot yang lengkap dan untuk mencegah iritasi diafragma yang disebabkan oleh insuflasi gas dan manipulasi pembedahan.
Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh otot disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan beberapa alasan : adanya resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan intraabdominal saat insuflasi; perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi secara relatif karena pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan karena tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah pergerakan pasien yang tidak diinginkan.
Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung selama ventilasi karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat insersi trokars. Pemasangan pipa nasogastrik dan dekompresi lambung untuk meminimalkan resiko perforasi organ visceral saat insersi trokar dan mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan keuntungan pada pasien obesitas untuk mengurangi hipoksemia, hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan teknik ventilasi spontan tidak dianjurkan dalam perspektif adanya pneumoperitoneum intraoperasi dan posisi pasien.
Selama pneumoperitoneum kontrol ventilasi disesuaikan untuk mempertahankan PETCO2 kira – kira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak lebih dari 15 – 25% peningkatan ventilasi semenit, kecuali bila terjadi emfisema subcutis. Peningkatan frekuensi nafas lebih dpilih daripada peningkatan volume tidal pada pasien dengan PPOK dan pada pasie dengan pneumothorak spontan atau emfisema bulosa untuk menghindari peningkatan inflasi alveolar dan menurunkan resiko pneumothorak. Pemberian obat – obatan vasodilator seperti nikardipin, agonis α2-adrenergik dan remifentanil mengurangi dampak hemodinamik pneumoperitoneum dan dapat memfasilitasi manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit jantung.
Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin untuk mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh lebih dari 20 mmHg. Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari dengan menjaga kedalaman anestesi. Karena kecenderungan terjadi refleks peningkatan tonus vagus selama laparoskopi, atropine harus disediakan untuk injeksi jika diperlukan.
Teknik anestesi untuk prosedur laparoskopi pembedahan umum intraabdomen dan ginekologi sering dilakukan dengan anestesi umum. Beberapa prosedur pendek seperti sterilisasi perlaparoskopi bisa dilakukan tanpa pelumpuh otot tergantung dari ketrampilan ahli bedah dan pasiennya tidak obesitas.

Manajemen jalan nafas 2,4,16
Teknik anestesi dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan kontrol ventilasi mekanik untuk mengurangi peningkatan PaCO2 dan menghindari gangguan ventilasi akibat pneumoperitoneum dan posisi trendelenburg saat awal operasi. Laryngeal mask airway (LMA) telah digunakan dalam laparoskopi pelvis secara luas. LMA, khususnya LMA pro seal berhasil digunakan untuk insersi ETT, pada prosedur yang pendek untuk pasien one day care (ODC). Pemantauan kontinyu terhadap pH esophagus dan kondisi klinis gagal mendeteksi refluk esophageal pada pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi dengan menggunakan LMA. Untuk laparoskopi abdomen atas dan laparoskopi kolesistektomi dengan dengan tekanan intraabdomen yang tinggi, refluk esophageal tidak bisa diperkirakan dan meningkatkan resiko regurgitasi pasif isi lambung. Penggunaan ballon pipa endotrakeal mengurangi resiko aspirasi asam lambung karena refluk isi lambung.

Pelumpuh otot 2,17
Pemilihan obat – obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan profil efek samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh otot dengan neostigmin meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi (PONV) setelah laparoskopi dibandingkan dengan pemulihan secara spontan, dan beberapa klinisi menghindari reverse ini. Namun penelitian yang lain menemukan tidak ada efek pada insiden PONV berkaitan dengan penggunaan neostigmin, khususnya pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi yang direncanakan rawat jalan, penggunaan neostigmin dan glikopirolat tidak meningkatkan insiden atau beratnya PONV. Bahkan adanya residu pelumpuh otot yang sedikit menyebabkan gejala dan tanda distress yang harus dihindari. Selanjutnya keuntungan tidak memakai neostigmin harus diseimbangkan dengan resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh otot.

Nitrous Oxide (N2O) 2,3,4
Penggunaan N2O selama prosedur laparoskopi masih kontroversi karena kemampuan N2O untuk berdifusi kedalam lumen usus yang menyebabkan distensi, gangguan lapangan pembedahan, dan meningkatkan mual muntah pasca operasi, namun secara klinis tidak signifikan pada prosedur pendek dan sedang. N2O lebih mudah larut (30X) dari pada Nitrogen (N2), ruang udara tertutup akan mengakumulasi N2O lebih cepat dari eliminasi N2. Edger dkk. mendapatkan adanya peningkatan lebih dari 200% ukuran lumen usus setelah 4 jam pernafasan dengan N2O. keamanan dan efikasi N2O khususnya selama laparoskopi kolesistektomi diteliti oleh tailor dkk. mendapatkan bahwa N2O berdifusi kedalam CO2 pneumoperitoneum dan fraksi N2O lebih dari 29%, level seperti ini dapat menyebabkan luka bakar pada operasi lebih dari 2 jam.
N2O biasanya memberikan kontribusi terhadap PONV. Lomie dan Harper dalam studi randomized prospective pada 87 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi ginekologi, mendapatkan penurunan mual muntah pasca operasi dari 49% menjadi 17% bila tidak menggunakan N2O.

Obat Induksi 2
Propofol merupakan obat induksi pilihan karena non emetogenik dan pemulihannya yang baik. Propofol memberikan efek samping pasca operasi yang lebih kecil.

Obat Anestesi Inhalasi 2
Halotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur laparoskopi, khususnya bila terjadi hiperkarbia penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat – obat inhalasi yang baru seperti isofluran, desfluran, dan sevofluran yang mempunyai efek depresi miokardium lebih rendah dan kurang aritmogenik.

Analgesia 2,3,4
Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi umum untuk prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl, alfentanyl dan remifentanyl bisa digunakan intraoperatif untuk mencegah stimulus pembedahan yang hebat. Kesalahan interpretasi hasil kolangiografi intraoperasi selama laparoskopi kolesistektomi dapat terjadi karena penggunaan opioid dapat menyebabkan spasme spinkter oddi. Spasme spinkter oddi yang disebabkan oleh opioid bisa dilawan dengan beberapa obat seperti glucagon dan nalokson.
Walaupun laparoskopi kolesistektomi merupakan prosedur invasif yang minimal, namun tetap berhubungan dengan nyeri intraabdomen, nyeri insisional, dan nyeri bahu setelah operasi. Obat – obat analgesia multimodal kombinasi dengan opioid, NSAID dan anestesi lokal infiltrasi sangat efektif mengurangi dosis opioid untuk meminimalkan efek samping. Pemberian obat anestesi lokal melalui jalur intraperitoneum sangat sederhana dan tidak melibatkan blok neuroaksial, khususnya untuk pasien anestesi rawat jalan. Pemberian obat anestesi lokal bupivakain 0,25% 50 – 200mg dalam volume 10 – 100 ml, signifikan mengurangi nyeri yang terjadi. Efek samping atau tanda – tanda toksisitas anestesi lokal yang diberikan melalui jalur intraperitoneum ini belum pernah dilaporkan. Joris dkk. mendapatkan nyeri visceral berupa rasa tidak enak setelah laparoskopi kolesistektomi tidak berkurang dengan pemberian 80 ml bupuvakain 0,125% intraperitoneum.

Mual dan Muntah Pasca Operasi (PONV) 1,2,3,5
PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga merupakan gejala yang sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40 – 75% pasien) dan merupakan faktor yang paling penting yang menyebabkan lamanya perawatan rumah sakit setelah anestesi. Penggunaan opioid intraoperasi secara signifikan meningkatkan insiden PONV masih kontroversial. Drainase isi lambung juga mengurangi insiden PONV. Pengurangan dosis opioid dengan obat – obatan analgesia multimodal bisa menurunkan insiden PONV. Selektif reseptor antagonis 5 HT, ondansetron dengan dosis 4 mg efektif sebagai profilaksis terhadap emesis pasca operasi laparoskopi. Penelitian yang lain mendapatkan tidak ada perbedaan antara ondansetron 4 mg dan siklizin 50 mg sebagai antiemesis pada pasien yang menjalani laparoskopi rawat jalan. Waktu yang tepat pemberian ondansetron ditemukan lebih signifikan sebagai antiemesis pada akhir pembedahan dibandingkan pemberian saat preinduksi. Pendekatan multimodal untuk mencegah PONV bisa dilakukan dengan menggunakan obat kombinasi droperidol 0,625 – 1 mg, antagonis 5 HT3 (ondansetron 4 mg atau dolasetron 2.5 – 5 mg), dan deksamethason 4 – 8 mg, disertai dengan hidrasi yang cukup, penggunaan dosis minimal opioid.

Monitoring 1,2,4,16
 Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang menjalani prosedur dengan akses yang minimal. Monitor standar yang digunakan : pulse rate, kontnyu ECG, Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2), Capnography (EtCO2), suhu, tekanan intraabdominal, pulmonary airway pressure. Pemantauan hemodinamik invasif sesuai pada pasien ASA III – IV untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum, perubahan posisi dan untuk memberikan terapi. Kapnografi dan pulse oximetri merupakan monitor PaCO2 dan saturasi oksigen arteri yang dapat dipercaya pada pasien sehat tanpa gangguan intraoperasi akut. PaCO2 dan Δa-ETCO2 meningkat lebih besar pada pasien ASA II – III daripada pasien ASA I. Hal ini juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dan pada anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Pemeriksaan analisis gas arteri danjurkan bila secara klinis diduga adanya hiperkapnea bahkan pada pasien tanpa adanya PETCO2 abnormal. Pemantauan ETCO2 pasca operasi paling sering digunakan sebagai indikator non invasif dari PaCO2 dalam menilai dan memberikan petunjuk keadekuatan ventilasi semenit untuk mempertahankan normokarbia selama prosedur laparoskopi. Penurunan perfusi paru  terjadi jika cardiac output menurun dengan cepat oleh karena tekanan inflasi yang tinggi, perubahan posisi yang berlawanan dengan posisi trendelenburg, atau terjadi emboli gas. Selanjutnya distensi abdomen menurunkan komplian paru. Volume tidal yang besar dihindari karena akan meningkatkan tekanan puncak inspirasi dan menyebabkan pergerakan/perpindahan lapangan operasi. Pilihan untuk menghindari hal ini menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan frekuensi nafas yang lebih cepat namun bisa menyebabkan sampel gas alveolar yang buruk dan kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai ETCO2 tidak bisa dipercaya khususnya pada pasien dengan penyakit jantung dan paru yang menjalani laparoskopi. Pemasangan kateter arteri seharusnya dilakukan dan analisa gas darah penting untuk mendeteksi hiperkarbia. Monitor PETCO2 juga bermanfaat untuk deteksi dini emboli gas vena (VGE) pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner.
Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO2 dan PaCO2 setelah Insuflasi CO2 pada pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit kardiopulmoner PaCO2 meningkat secara bertahap selama insuflasi CO2 dan hal ini tidak mencerminkan paningkatan ETCO2.
Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang diberikan IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu mendeteksi peningkatan berlebihan tekanan intraabdomen, juga mencegah pergerakan pasien tiba – tiba selama pembedahan yang dapat menyebabkan trauma organ intraabdomen oleh peralatan laparoskopi.

KOMPLIKASI INTRAOPERASI YANG SPESIFIK 1,2,4
Kompikasi intraoperasi selama prosedur laparoskopi dengan pneumoperitoneum CO2 meliputi :
1.  Trauma vaskular 2,3,4,8,16
Trauma vaskular mayor isa terjadi saat insersi alat – alat pembedahan terutama veress needle atau trokars. Insiden trauma vaskular selama laparoskopi abdomen atas ± 0,03 – 0,06% dan menurun dengan meningkatnya pengalaman pembedahan. Perdarahan bisa terjadi oleh karena insersi veress needle atau trokar mengenai pembuluh darah besar intraabdomen atau trauma pada pembuluh darah dinding abdomen, seperti aorta, vena cava inferior, pembuluh darah iliaka, dan hematom retroperitoneum, biasanya merupakan trauma vaskular yang terdiagnosa terlambat oleh karena terbatasnya visualisasi, yang awalnya ditandai dengan terjadinya hipotensi yang tidak bisa diterangkan.
2.  Trauma Gastrointestinal 2,3,4,8
Trauma abdomen lain yang berhubungan dengan insersi veress needle dan trokar meliputi perforasi traktus gastrointestinal baik usus besar dan usus halus yang bisa menyebabkan peritonitis, robekan hepar dan lien dan laserasi mesenterium. Trauma gastrointestinal yang tidak bisa dikenali mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Faktor resiko terjadi trauma gastrointestinal meliputi distensi lambung dan adhesi yang disebabkan oleh operasi abdomen sebelumnya.
3.  Aritmia jantung 2,3,4,6
Aritmia selama prosedur laparoskopi bisa disebabkan oleh berbagai penyebab meliputi : hiperkapnea sebagai akibat insuflasi CO2 intraperitoneum dan peningkatan reflek tonus vagus saat insersi trokar, insuflasi peritoneum, tarikan peritoneum, dan manipulasi organ visceral, khususnya bila anestesi kurang dalam. Jenis gangguan aritmia jantung yang pernah dilaporkan adalah bradikardia sampai asistol.
Walaupun aritmia ini bisa membaik dan hilang dengan spontan, namun harus dipertimbangkan untuk melakukan tindakan: menghilangkan stimulus (pengurangan insuflasi intraperitoneum) dan pemberian obat vagolitik (sulfas atropine)
4.  Emfisema Subkutis 1,2,3,4,5,12,14,15
Emfisema subkutis bisa disebabkan oleh insuflasi CO2 ekstraperitoneum yang disengaja (pada operasi hernia inguinalis, pembedahan ginjal, limfadenektomi pelvis) dan insuflasi CO2 ekstraperitoneum yang tidak disengaja. Akses keruang peritoneum pada laparoskopi dicapai dengan cara insersi buta veress needle melalui insisi kecil subumbilikus. Insuflasi CO2 ekstraperitoneum bisa terjadi jika ujung jarum ditempatkan di subkutan, jaringan preperitoneum atau retroperitoneum saat insuflasi. Insiden dari komplikasi insuflasi ekstraperitoneum bervariasi antara 0,4 – 2%. Emfisema subkutan yang luas bisa mengenai abdomen,dada, leher, dan paha. Emfisema subkutis ditandai ditandai dengan adanya krepitasi diatas dinding abdomen. Peningkatan absorbsi CO2 menyebabkan peningkatan tiba – tiba ETCO2 dan hiperkapnea, dan asidosis respirasi yang berhubungan dengan emfisema subkutis karena insuflasi ekstraperitoneum. Kehati – hatian teknik pembedahan saat insersi veress needle dan penilaian lokasi jarum intraperitoneum sebelum insuflasi mengurangi insiden komplikasi ini.
5.  Pneumothorak, Pneumomediastinum dan Pneumoperikardium 1-6,12,14-16
Pneumothorak bisa terjadi saat prosedur laparoskopi intraperitoneum atau ekstraperitoneum, walaupun jarang, komplikasi ini adalah komplikasi yang mengancam nyawa. Faktor penyebab komplikasi ini berupa defek embrional, defek diafragma (hiatus aorta/esophagus), robekan pleura, rupture bulla emfisematus. Pada laparoskopi kolesistektomi, pneumothorak dapat terjadi saat insersi veress needle dan trokar, CO2 insuflasi, dan diseksi kandung empedu. Diduga mekanisme terjadinya pneumothorak ini meliputi insuflasi CO2 sekitar aorta dan hiatus esophagus diafragma kedalam ruang mediastinum yang selanjutnya terjadi rupture ruang pleura. Perjalanan gas melewati defek anatomi diafragma atau melalui defek kongenital pada hiatus pleuroperitoneum (paten canalis pleuroperitoneum). Tension pneumothorak pernah ditemukan selama laparoskopi kolesistektomi, dan berhubungan dengan defek diafragma kongenital. Rupture dari bulla paru dapat menyebabkan tension pneumothorak terpisah dari pneumoperitoneum. Pneumothorak bisa tidak terdeteksi intraoperasi, atau keberadaannya bisa dicurigai dengan adanya peningkatan tekanan jalan nafas yang tidak bisa dijelaskan, hipoksemia – hiperkapnea, emfisema bedah, atau jika tension pneumothorak terjadi gangguan kardiovaskular dengan gejala hipotensi yang berat. Jika diduga ada pneumotorak, foto thorak harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pada keadaan hemodinamik tidak stabil atau secara klinis nyata menunjukkan pneumothorak tension, segera lakukan pengempisan abdomen dan pemasangan WSD sebelum dilakukan foto thorak. Selanjutnya penatalaksanaannya tergantung dari status hemodinamik. Jika pasien stabil, abdomen bisa diinsuflasi kembali dan prosedur dapat diteruskan. Pneumothorak kecil yang terdeteksi saat akhir operasi dan tidak menyebabkan gangguan hemodinamik dapat diterapi secara konservatif. CO2 dalam ruang pleura sangat cepat diabsorbsi setelah pengempisan abdomen dan tidak memerlukan pemasangan WSD.
   Pneumomediastinum dan pneumoperikardium juga dapat terjadi saat prosedur laparoskopi. Tekanan intraabdomen yang tinggi saat insuflasi memegang peranan terjadinya komplikasi ini. Penatalaksanaan tergantung pada tingkat gangguan hemodinamik yang terjadi. Pengempisan pneumoperitoneum dan observasi ketat harus dilakukan pada pasien dengan komplikasi ini.
6.  Emboli Gas CO2 1-6,12,14-16
Komplikasi intraoperasi serius berupa terjadinya emboli gas saat prosedur laparoskopi. Emboli CO2 vena ditandai dengan hipotensi berat, sianosis, dan asistol setelah tindakan pneumoperitoneum. Kemungkinan mekanisme emboli gas meliputi penempatan veress needle intravena yang tidak disengaja, aliran CO2 kedalam pembuluh darah dinding abdomen dan pembuluh darah peritoneum selama insuflasi, atau ke dalam pembuluh darah pada permukaan hepar saat diseksi kandung empedu. Tanda dan beratnya efek emboli CO2 meliputi hipotensi dengan kolap kardiovaskular, hipoksemia, hipertensi pulmoner, edema paru, deteksi dari ‘mill wheel murmur’, tidak seperti emboli udara biasa, pada emboli gas CO2, ETCO2 meningkat sementara setelah itu baru terjadi penurunan ETCO2 karena penurunan aliran darah ke paru. Emboli paradoksikal yang melewati defek paten foramen ovale,defek septum atrium bisa menyebabkan emboli CO2 serebral.
    Insiden emboli gas yang dideteksi menggunakan ekhokardiografi transesofageal sekitar 69% pasien yang menjalani laparoskopi kolesistektomi, tetapi tanpa efek kardiopulmoner yang signifikan. Wadhwa dkk. tidak menemukan emboli gas pada 100 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi ginekologi dengan menggunakan Doppler prekordial. Monitoring yang baik dan meningkatkan kewaspadaan kita dapat menghasilkan deteksi dini dan mencegah komplikasi lebih berat dari emboli CO2 ini
Penatalaksanaan emboli gas CO2 ini meliputi :
  • Penghentian segera insuflasi dan menghilangkan pneumoperitoneum 
  • Pasien diposisikan head down dan lateral kiri dekubitus. Pada posisi ini sejumlah gas yang masuk melalui jantung kanan kesirkulasi pulmonal berkurang karena busa yang ringan berpindah kebagian lateral dan kaudal outflow ventrikel kanan. 
  • Hentikan pemakaian N2O, diikuti dengan ventilasi O2 100% untuk memperbaiki hipoksemia dan pengurangan ukuran emboli gas dan dampak emboli gas. 
  • Hiperventilasi untuk meningkatkan ekskresi CO2 dan dilakukan seperlunya dengan memperbesar ruang rugi fisiologis.
  • Jika cara – cara sederhana ini tidak efektif, dilakukan pemasangan kateter vena sentral atau kateter arteri pulmonalis untuk mengaspirasi udara. 
  • Resusitasi kardiopulmoner dimulai jika perlu, kompresi jantung luar mungkin bermanfaat untuk memecah emboli CO2 menjadi gelembung yang kecil.
PEMULIHAN DAN PEMANTAUAN PASCA OPERASI 1,2,5
Keuntungan pasca operasi laparoskopi meliputi berkurangnya trauma pembedahan, ukuran luka kecil, berkurangnya nyeri, berkurangnya disfungsi paru, penyembuhan lebih cepat, dan perawatan rumah sakit lebih pendek.

Pembedahan laparoskopi dapat mengurangi komplikasi pasca operasi oleh karena tidak adanya pola nafas restriktif yang biasanya terjadi setelah operasi abdomen bagian atas. Prosedur laparoskopi adalah prosedur dengan trauma otot dan nyeri insisional yang kurang dibandingkan dengan pembedahan terbuka. Disfungsi paru dan diafragma masih tetap terjadi setelah paling tidak dalam 24 jam pasca operasi laparoskopi kolesistektomi sehingga PaO2 masih rendah setelah laparoskopi kolesistektomi. Peningkatan kebutuhan oksigen terjadi setelah operasi laparoskopi, untuk itu harus diberikan oksigen pasca operasi bahkan pada pasien sehat. Penyebab disfungsi ini adalah peregangan diafragma selama pneumoperitoneum. Disfungsi diafragma oleh karena aferen yang berasal dari kandung empedu atau aferen somatic yang berasal dari dinding abdomen mendesak aksi inhibisi dari nervus prenikus. Pada pengukuran spirometri paru, fungsi paru seperti FRC, FEV1 dan kapasitas vital parumenurun setelah prosedur laparoskopi sekitar 30 – 38%. Force vital capacity menurun 27% setelah pembedahan laparoskopi dan menurun 48% setelah pembedahan terbuka.

Selama periode awal pasca operasi laparoskopi, frekuensi nafas dan PETCO2 dari pasien yang bernafas spontan lebih tinggi dibandinkan pasca operasi terbuka.

Peningkatan tekanan intraabdomen saat pneumoperitoneum menyebabkan stasis vena yang dapat meningkatkan potensi DVT dan emboli paru. Insiden emboli paru yang fatal setelah laparoskopi kolesistektomi adalah 0,016% lebih rendah daripada setelah operasi terbuka yaitu 0,8%. Penggunaan graduated elastic compression stocking dalam periode perioperasi dapat mengurangi stasis vena. Teknik laparoskopi dengan trauma jaringan yang minimal bisa memfasilitasi ambulasi lebih awal, sehingga bisa mengurangi resiko DVT.

Mual dan muntah pasca operasi laparoskopi umum terjadi walaupun rutin dilakukan pengosongan lambung dengan pemasangan pipa nasogastrik, untuk ini perlu dipertimbangkan untuk memberikan obat profilaksis.

Trauma saluran empedu lebih sering terjadi setelah laparoskopi dibandingkan dengan kolesistektomi terbuka dan cenderung lebih luas dan lebih tinggi. Pasca operasi sering terjadi nyeri dan ikterus.

REFERENSI
  1. Sood J, Kumra VP. Anaesthesia for Laparoscopy. Indian Journal Surgery 2003;65;232 – 40 
  2. Adnyana IGN, Pryambodo. Anestesia pada Prosedur Laparoskopi. Majalah Anestesi dan Critical Care 2008; 26; 2; 225 – 39. 
  3. Joshi GP. Anesthesia for laparoscopic surgery. Canadian Journal Anesthesia 2002;49;6;1 – 5 
  4. Cunningham A.J., Nolan C. Anesthesia for Minimally Invasif Procedures. Clinical Anesthesia, 5th Edition 2006;38;2204-28 
  5. Joris JL. Anesthesia for Laparoscopic Surgery; 56; 2003 – 17. 
  6. Ramachandra. Anaesthesia for Laparoscopy. IAGES journal. pp 1 – 9. 
  7. Morgan GE, et al. Laparoscopic Surgery. Lange Clinical Anesthesia third Edition 2002;23;522 – 24 
  8. Desmon J., Gordon RA. Ventilation in patient Anaesthetized for Laparoscopy. Canadian Anaesthesia Soc. J. 1970;17;4;378 - 87 
  9. Boddy AP., Mehta S., Rhodes M. The effect of Intraperitoneal Lokal Anaesthesia in Laparoscopic Cholecystectomy: A Systematic Review and Meta – Analysis. International Anesthesia Research Society 2006;103;3;682 - 87 
  10. Weingram J. laparoscopic Surgery. Anesthesiology - Problem Oriented Patient Management, fourth Edition 1998; 39; 732 - 59 
  11. Stolzenburg JU., et al. Anaesthetic consideration for endoscopic extrapritoneal and laparoscopic transperitoneal radical prostatectomy. Journal Compilation 2006; 508 – 13. 
  12. Slodzinski M., Merritt WT. Anesthesia for Gastrointestinal Surgery. Longnecker Anesthesiology 2008; 55; 1317 - 19 
  13. Mehler SJ. Minimally Invasif Surgery (Laparoscopy and Thoracoscopy) available at mehlerst@cvm.msu.edu. pp. 1 - 8 
  14. Michaels IK. Laparoscopy. Clinical Cases in Anesthesia Third Edition 2005; 40; 217 – 23. 
  15. Ezekiel MR. Laparoscopic Surgery. Current Clinical Strategies. Handbook of Anesthesiology 2005; 167 - 8. 
  16. Muralidhar V. Physiology of Pneumopritoneum and Anaesthesia in Laparoscopic Surgery in Comprehensive Laparoscopic Surgery; 6; 52 – 6.
17.  Fourie PJHL., et al. Comparison between atracurium and alcuronium for muscle relaxation during laparoscopy. South Africa Medical Journal 1986; 69; 553 – 55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar